“Aku ingin pulang ke Highvale bersamamu.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Sydney, seakan hati wanita itu sudah lama menyimpannya. Morgan menatap istrinya lekat-lekat. Sepasang mata kelam itu seolah menimbang ribuan kemungkinan atas permintaan Sydney. Bibir Morgan sempat terbuka, tetapi tidak ada kata keluar. “Darling,” panggil Morgan pelan. “Kau tahu kondisimu sekarang tidak memungkinkan. Perjalanan panjang bisa membahayakanmu.” Sydney memejamkan mata sebentar, lalu menghela napas. Wajah wanita itu tetap terlihat lembut, tetapi sorot matanya menyimpan tekad yang sulit dibantah. “Aku tidak peduli seberapa sulitnya. Aku hanya ingin dirawat di mansion. Aku ingin tidur denganmu di sampingku, mendengar anak-anak berlarian di halaman, dan tahu bahwa kita semua berada di tempat yang sama. Itu akan membuatku jauh lebih tenang,” sahut Sydney memberi alasan. Morgan terdiam lagi. Ruangan seketika hening, hanya suara detak jarum jam yang terdengar. “Aku tidak meminta hal lain
Cahaya pagi menembus tirai rumah sakit, membuat ruangan terasa hangat. “Morgan?” panggil Sydney terdengar lirih begitu kelopak matanya terbuka. Sydney mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar inap. Tempat tidur tambahan kosong. Kursi di sudut ruangan juga tidak berpenghuni. Jantung Sydney berdegup lebih cepat. ‘Jangan-jangan semua yang terjadi kemarin hanya mimpi?!’ Sebuah pikiran buruk menyelinap di kepala wanita itu. Namun tepat ketika rasa cemas menelan dirinya, pintu kamar mandi terbuka. Sosok Morgan muncul, masih basah dengan handuk putih melilit di pinggang. Rambut cokelat Morgan meneteskan air ke dada bidangnya yang penuh bekas luka. Sydney membelalak. Pipi pucatnya langsung merona. “Aku di sini, Darling,” sahut Morgan dengan tenang dan penuh perhatian. “Kau butuh sesuatu?” Morgan bahkan belum selesai mandi, tetapi pria itu buru-buru keluar begitu mendengar Sydney memanggil namanya. Raut wajah Morgan terlihat cemas, seolah takut Sydney membutuhkan bantu
Morgan teringat kejadian beberapa hari lalu, saat dia masih berada di Sevhastone.Tangan Morgan terikat kasar dengan borgol baja.Wajah pria itu tampak lebam dan ada darah mengering di pelipisnya.Dua pria bertubuh kekar menyeret Morgan melewati koridor gelap yang hanya diterangi lampu kuning temaram.Bau besi berkarat dan debu memenuhi udara, membuat suasana semakin menyesakkan.Sebuah pintu besi berderit ketika didorong terbuka.Di dalamnya, berdiri Tristan Caldwell yang tampil rapi dalam setelan jas hitam.Bertolak belakang dengan Morgan yang tengah membiarkan dirinya terlihat tidak berdaya, wajah Tristan justru dipenuhi kesombongan.Belasan anak buah bersenjata mengitari pria bertubuh tinggi itu.Begitu Morgan diseret masuk dan dijatuhkan ke lantai, Tristan menoleh perlahan.Tristan tersenyum tipis sambil menatap Morgan tajam, penuh rasa puas.“Jadi, ini dia legenda yang katanya tidak terkalahkan?” tanya Tristan terdengar penuh ejekan, menggema di dalam ruangan kosong yang remang-
Awalnya Morgan hanya merasa bersalah saat mendengar cerita Sydney.Bayangan istrinya hamil dan sendirian sudah cukup membuat dada Morgan sesak.Namun begitu Sydney menyebut malam kelam itu, saat dia hampir diperkosa, tubuhnya lemah karena pendarahan, lalu ditolong Tristan, rasa bersalah itu berubah jadi bara api yang membakar.Rahang Morgan mengeras, urat di pelipisnya menegang.Morgan bisa membayangkan ketakutan Sydney, wajah pucat dan tubuh rapuhnya yang dipaksa menanggung sesuatu di luar batas.Dan kenyataan bahwa orang lain yang menolong, bukan dirinya, menusuk hati Morgan lebih dalam.Amarah yang menguasai, membuat Morgan ingin menghancurkan siapa pun yang berani menyentuh istrinya.Bahkan jika harus melawan seluruh dunia, Morgan tidak akan membiarkan kejadian itu terulang.“Aku ingin tidur, Honey. Besok kau masih di sini, kan?” tanya Sydney lirih, matanya setengah terpejam, menyisakan lelah setelah meluapkan cerita panjang.“Tentu, Darling. Aku masih di sini. Tidurlah dengan ten
“Jangan bercanda,” protes Sydney sambil memukul ringan dada Morgan.Wajah Sydney bersemu, antara malu sekaligus jengkel dengan lelucon pria itu.Morgan justru terkekeh, suaranya memenuhi kamar.“Aku serius, Darling. Kau baru saja menyuruhku membuka kaus. Kau tahu kan, perintahmu itu sangat berbahaya?” Morgan kembali menggoda istrinya dengan menatap wanita itu lekat.Sydney memutar bola mata, lalu menatap suaminya dengan tatapan penuh arti.“Honey, aku tidak sedang menggoda. Aku sungguh ingin melihat seberapa parah luka-lukamu.” Sydney menyipitkan mata. “Kau selalu menutupi rasa sakitmu, dan itu membuatku khawatir.”Morgan terdiam sambil menatap istrinya lekat-lekat.Sorot mata Sydney begitu tulus, membuat hati Morgan terasa hangat sekaligus rapuh.Akhirnya, dengan senyum tipis, Morgan meraih ujung kausnya dan menariknya ke atas.Gerakan perlahan itu memperlihatkan dada bidang yang dihiasi bekas luka lama bercampur goresan-goresan baru di atas tato Morgan.Sydney menahan napas.Jari-ja
“Aku baru ingat sesuatu,” ucap Sydney tiba-tiba, suara lirihnya memecah kesunyian kamar. Morgan menoleh, keningnya sedikit berkerut. “Waktu Tristan memberitahuku bahwa kau ada di Sevhastone,” lanjut Sydney dengan tatapan yang serius, “Primus dan Anton langsung menggerakkan Keluarga Draxus untuk mencarimu. Tapi mereka tidak menemukanmu. Apa mungkin … kau dibawa oleh anak buah Tristan?” Morgan tidak segera menjawab, seolah sedang mempertimbangkan cara terbaik menyampaikan kebenaran. Sydney sendiri mengernyitkan dahi. Pikiran wanita itu berputar cepat, mencoba menyusun kepingan informasi yang berserakan. Tristan datang pada Sydney, memberi kabar seolah ingin membantu, tetapi nyatanya ada begitu banyak celah yang terasa tidak masuk akal. Sydney mencoba menautkan satu demi satu benang kusut itu di dalam kepalanya. “Dibawa oleh anak buah Tristan?” Akhirnya Morgan membuka suara, disertai senyum tipis yang terdengar sinis. “Itu membuatku terdengar seperti pria payah, Darling.” Morgan