Share

2. Jatuh Ke Jurang Terdalam

Author: prasidafai
last update Last Updated: 2025-01-21 10:10:30

“Dokter! Pasien ruang 187 sudah sadar!”

Seruan bersemangat itu menembus kesadaran Sydney yang masih samar. Dia membuka matanya perlahan, mencoba membiasakan diri dengan cahaya yang menusuk mata.

“Telepon keluarganya! Kabarkan Nona Sydney akhirnya terbangun.”

Setelah dokter dan suster menjalankan pemeriksaan terhadap dirinya, pintu bangsal Sydney terbuka.

“Sydney!”

Sydney menoleh, mengira yang tiba adalah orang tua atau suaminya, tapi … dia harus berakhir kecewa karena yang dia lihat malah bibi dan pamannya, Ghina dan Fred. 

Ghina memeluk Sydney erat. “Syukurlah kau sudah bangun, Nak,” suara Ghina terdengar lega. Namun, dalam hitungan detik, nada suaranya berubah menjadi isakan tertahan. “Kenapa, Nak? Kenapa kamu berniat bunuh diri seperti itu?!”

Sydney mengerutkan kening, rasa pening menyelimuti kepalanya seiring kebingungan menyelimutinya.

Bunuh diri? Apa maksud bibinya? Walau kepalanya sempat terbentur, tapi Sydney ingat ada yang telah mendorongnya! 

Sydney mendudukkan diri perlahan, lalu mencoba bersuara. Akan tetapi, yang keluar hanyalah erangan parau. Tenggorokannya terasa seperti kertas kering yang diremas. 

“Kenapa suaranya seperti itu?” Fred, sang paman, langsung menatap dokter dengan alis tertaut. “Ada apa dengan keponakan saya?”

Dokter segera mendekat, lalu berkata, “Kita bicara di luar, Nyonya, Tuan.”

Fred dan Ghina tampak ragu, tetapi mereka tetap mengikuti dokter. Beberapa menit kemudian, tangisan Ghina meledak di balik pintu.

“Oh, Tuhan!” teriak Ghina sambil terisak. “Sydney sudah kehilangan bayinya dan diceraikan oleh suaminya saat masih koma, Dokter! Sekarang dokter juga mengatakan kalau keponakanku bisu karena trauma?!”

‘Cerai?' ulang Sydney dalam hatinya. Dia sudah menduga hal tersebut akan terjadi, tapi … bisu?

Apa maksudnya dia bisu?!

Sydney meremas selimutnya kuat-kuat, lalu bangkit untuk menghampiri sang bibi dan dokter, meminta penjelasan.

Bruk!

Sydney jatuh dari ranjang rumah sakit. Darah juga mengalir deras dari tangannya karena selang infus terlepas.

Mendengar keributan di dalam ruangan, dokter beserta Fred dan Ghina masuk kembali ke dalam kamar, dan mereka terkejut menemukan Sydney menangis di lantai.

"Ya Tuhan, Sydney!"

Dengan sigap, Sydney kembali dibaringkan di ranjang dan dipasang infus. Sementara Ghina berusaha menenangkan keponakan malangnya itu.

Usai menyelesaikan urusannya, dokter dan suster pamit undur diri, meninggalkan Sydney dengan Ghina. Fred sendiri pergi untuk mengurus sejumlah administrasi.

Sydney menatap Ghina dengan mata yang merah, tampak ingin mengatakan sesuatu.

Menyadari itu, Ghina langsung meraih pulpen dan kertas dari atas meja nakas, lalu menyerahkannya pada Sydney. “Sayang, coba tuliskan apa yang ingin kamu tanyakan," pinta Ghina sambil menghapus sisa air matanya.

Dengan susah payah, Sydney menggenggam pulpen. Tangannya masih kaku, tetapi ia berhasil menuliskan satu kata:

Cerai?

Ghina menahan isakan dan mengangguk. Dengan suara bergetar, ia mulai menjelaskan semuanya.

Setelah Sydney terjatuh di tangga pemakaman dan berakhir koma, Lucas sempat datang. Bukan untuk melihat keadaan Sydney, tetapi untuk menceraikannya secara sepihak.

Tidak sampai di situ, ternyata Lucas juga mengalihkan utang atas namanya yang terjadi selama pernikahan menjadi milik Sydney. Totalnya 275 miliar!

“Ini baju yang pernah Isaac gunakan,” ucap Ghina sambil menyerahkan satu kotak kecil berisi pakaian Isaac. “Hanya ini yang bisa Tante pertahankan dari Lucas.”

Sydney membuka kotak itu dan tangannya gemetar saat mencoba menyentuh baju Isaac. Dia mengambil kaos bergambar gajah itu dan menciumnya. Ada wangi Isaac yang tertinggal di sana, walaupun sudah bercampur dengan air dan deterjen.

Air mata Sydney mengalir lagi, seperti tidak ada habisnya.

Sydney belum pernah merasa sesakit ini sebelumnya, seperti ada seseorang yang tengah memukul hatinya dengan keras dan tidak berperasaan.

Di saat ini, Ghina yang sedari tadi menahan sesuatu, memutuskan untuk angkat bicara, “Ada satu lagi yang belum Tante ceritakan.” Air mata yang sedari tadi dibendung, sekarang mengalir sepenuhnya. “Tapi berjanjilah untuk kuat dan tidak akan menyerah, Sayang.”

Hati Sydney sudah hancur berkeping-keping. Dia berpikir, apa lagi yang bisa menyiksanya setelah ini?

“Saat mendengar apa yang terjadi padamu di pemakaman … orang tuamu … orang tuamu kecelakaan dan … meninggal di tempat.”

Seketika, Sydney ambruk sepenuhnya. Dia menangis sejadi-jadinya dengan suara yang terdengar asing di telinga.

Hanya dalam waktu beberapa hari, dia kehilangan segalanya. Putranya. Suaminya. Orang tuanya. Bahkan suaranya sendiri. 

Kalau seperti ini, apa lagi yang dia miliki di dunia ini?

**

Beberapa hari berlalu dalam kehampaan. Sydney masih menjalani terapi atas permintaan Ghina. Hanya saja, walau tubuhnya bergerak, tetapi jiwanya terasa kosong. 

Sering Sydney menatap keluar jendela rumah sakit cukup lama, memerhatikan begitu banyak orang menjalani hidupnya dengan senyum di bibir mereka. Namun, tak elak hal tersebut membuatnya terus bertanya, dari sekian banyak orang di dunia, kenapa semua malapetaka harus terjadi padanya?

Terus berpikir demikian, malam itu Sydney berjalan keluar dari kamarnya menuju rooftop rumah sakit yang telah dia ketahui jadwal tidak terkuncinya.

Angin malam menggigit kulitnya, tapi langkah Sydney tak berhenti di tepi rooftop. Dia naik ke pembatas, lalu berdiri dengan tangan terbuka.

‘Isaac, Mama datang.’

Matanya terpejam. Angin menyapu air matanya.

Saat tubuhnya mulai condong ke depan—

Brak!

“Ah!”

Sydney merasakan sebuah lengan kekar melingkar di pinggangnya dan menariknya mundur, mengakibatkan dirinya terjatuh dan membentur sesuatu yang keras.

Nafas Sydney tertahan. Dia jatuh, tapi bukan ke lantai dasar, melainkan ke dalam pelukan seseorang!

“Kau gila?” Suara dalam yang berkumandang membuat Sydney terkejut dan mengangkat pandangannya.

Seketika, pandangan Sydney bertemu dengan sepasang manik cokelat tajam yang menatapnya dingin. Sosok asing yang tampan, tetapi aura gelapnya begitu kuat.

“Kalau ingin mati, jangan di sini. Kamu hanya akan membuatku dicurigai polisi.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (9)
goodnovel comment avatar
Imam Mahdi
sangat menarik
goodnovel comment avatar
Imam Mahdi
lanjutkan cerita bagus sekali
goodnovel comment avatar
Fatimah Daulay
lanjutkan pe
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   Epilog

    Epilog 13 tahun kemudian …. “Mami, aku ingin bicara sebentar.” Sebuah suara pria muda memecah fokus Sydney yang tengah membaca laporan keuangan Zahlee Entertainment. Wanita cantik yang kini berusia hampir setengah abad itu menoleh dari meja kerja kecilnya di ruang kerja Mansion Ravenfell. Tatapan Sydney langsung bertemu dengan sorot mata Jade, anak laki-lakinya yang kini sudah beranjak dewasa. Jade baru saja merayakan ulang tahunnya yang kedelapan belas minggu lalu. Rambut cokelat anak yang masih memakai seragam sekolah menengah atasnya itu sedikit berantakan. Di tangannya, Jade menggenggam amplop putih dengan logo universitas asing. “Tentu, Sayang.” Sydney meletakkan pulpen sambil tersenyum lembut. “Duduklah. Kau kelihatan serius sekali.” Jade menelan ludah, lalu duduk di seberang ibunya. “Aku diterima kuliah di Negara Suri,” ucap Jade seraya menyodorkan amplop putih itu pada Sydney. Senyum di bibir Sydney perlahan menghilang. “Negara Suri?” ulang Sydney pelan,

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   535. Bintang Ketujuh

    “Sangat memungkinkan, Morgan,” jawab Ken tanpa ragu. “Sydney akan terbang bersama dokter terbaik sepanjang masa yang pernah ada. Tidak mungkin mereka tidak mengizinkannya.” Sydney dan Morgan tidak bisa menahan tawanya. “Aku hampir lupa kalau kau sepercaya diri ini, Ken,” komentar Sydney. “Lupakan saja, Darling. Dia tidak penting,” sahut Morgan cepat sambil menatap Sydney. “Sialan!” maki Ken sambil mendorong pelan bahu Morgan yang tengah terkekeh. Beberapa bulan kemudian. Udara Highvale sore itu bertiup lembut dan sejuk. Aroma bunga musim semi memenuhi halaman Mansion Ravenfell yang kini terasa benar-benar hidup kembali. Burung-burung kecil beterbangan di antara pohon maple yang baru tumbuh, sementara dari jendela besar lantai dua, cahaya matahari menerobos lembut ke dalam kamar yang kini dipenuhi suara tangis bayi. Morgan berdiri di sisi ranjang. Wajah pria itu tampak tegang, tetapi matanya penuh cahaya. Di lengannya, terbaring seorang bayi mungil berusia lima hari

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   534. Tiga Buket Bunga untuk Sydney

    Suara seseorang terdengar pelan dari walkie-talkie yang menempel di telinga kanan Anton. Pria berperawakan tegap itu mengernyitkan dahi, mendengarkan dengan seksama. Tidak lama kemudian, Anton menekan tombol kecil di alat komunikasi itu. Tidak ada suara yang terdengar lagi dari walkie-talkie-nya. Anton menoleh dan menghadapkan tubuh ke arah Sydney yang masih duduk di ranjang. Wanita itu tampak pucat, matanya sembab setelah percakapan tegang dengan Nenek Tristan beberapa menit sebelumnya. “Nyonya Sydney,” panggil Anton sopan, dan juga berhati-hati. “Tuan Morgan dan anak-anak sudah sampai di lobi.” Sydney refleks menyeka sisa air mata di pipinya dengan punggung tangan. “Rahasiakan soal Nenek Tristan,” pinta Sydney lirih. “Dan, tolong ambilkan air. Aku perlu cuci muka.” Anton menunduk, lalu menyahut pelan, “Baik, Nyonya.” Dalam waktu singkat, satu wadah berukuran sedang berisi air bersih sudah di ada tepi ranjang Sydney. Sydney mencipratkan air ke wajah, membiarkan d

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   533. Mencegah Doa Buruk

    “Aku kasihan pada anak dalam kandunganmu,” cibir wanita tua itu lagi. “Dia akan menanggung dosa yang sama seperti ibunya.” Sydney mengusap perutnya pelan. Jemarinya bergetar menahan amarah yang mendidih di dada. Darah terasa naik ke kepala, tetapi napas Sydney tetap tertata. Sydney menunduk sebentar, lalu menegakkan punggung dengan tenang, meski matanya mulai berembun. Anton yang berdiri di dekat pintu mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras. Anak buah Morgan itu hampir saja maju dan menarik wanita tua itu keluar paksa, tetapi gerakan tangan Sydney yang terangkat pelan menghentikannya. “Tidak apa-apa,” sergah Sydney berusaha terlihat meyakinkan. Anton mengembuskan napas berat, menunduk dengan patuh, meski matanya menyorotkan ketidaksetujuan yang jelas. Wanita tua itu berdecih, matanya berputar sinis. “Sikapmu itu …” Nenek Tristan menatap Sydney meneli

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   532. Rumah Dijual

    Beberapa hari setelah proses pengurusan kepindahan sekolah Jade dan Jane selesai, suasana siang di kediaman tempat anak-anak Draxus tinggal terasa berbeda. Langit cerah, tetapi halaman rumah tampak lengang. Mobil-mobil hitam berjejer di depan pagar, berbaris rapi seperti rombongan penting yang siap berangkat. Suara mesin mobil satu per satu menyala. Para pengasuh sibuk membantu mengangkat koper kecil ke dalam bagasi. Anak-anak berlarian sebentar di teras, lalu naik ke mobil sesuai arahan Primus. Morgan berdiri tidak jauh dari pintu, memandangi rumah itu untuk terakhir kalinya sebelum masuk ke mobil. Udara siang itu terasa berat. Banyak kenangan tersimpan di balik dinding rumah itu. Tangis, tawa, juga kehilangan. Namun kini, semua kenangan itu harus Morgan tutup rapat. Saat mobil terakhir bersiap meluncur, seorang pria berpakaian serba hitam menghampiri pagar. Pria itu mengunci gerbang dengan gembok besar, lalu memasang spanduk bertuliskan ‘Rumah Dijual’ di sisi gerbang. D

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   531. Mami Kapan Pulang?

    Saat pagi tiba, Morgan sengaja menyempatkan diri untuk mengantar Jade dan Jane sekolah.“Papi, Mami kapan pulang?” Pertanyaan itu meluncur dari mulut Jane begitu mobil hitam Morgan melaju keluar gerbang rumah.Morgan melirik ke kaca spion, menatap wajah mungil anak perempuannya yang duduk di kursi belakang.Mata Jane berbinar penuh harap.“Kami lindu Mami,” sambung Jade dengan suara lebih pelan, tetapi matanya sama-sama berkilat. “Apalagi adik bayi. Apakah dia baik-baik saja, Papi?”Morgan tidak langsung menjawab.Kedua tangannya menegang di setir, sementara napasnya terdengar berat.Suara anak-anak itu menusuk hatinya, membuat rasa bersalah yang sudah menumpuk semakin menggerogoti.“Mami sedang beristirahat,” sahut Morgan akhirnya. “Adik bayi juga baik. Dokter menjaganya dengan sangat hati-hati.”Morgan sengaja tidak menjawab dengan detail tentang situasi Sydney dan salah satu janin dalam kandungannya yang gagal diselamatkan.“Kalau begitu, kapan kita boleh beltemu Mami?” Jane kembal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status