“Dokter! Pasien ruang 187 sudah sadar!”
Seruan bersemangat itu menembus kesadaran Sydney yang masih samar. Dia membuka matanya perlahan, mencoba membiasakan diri dengan cahaya yang menusuk mata.
“Telepon keluarganya! Kabarkan Nona Sydney akhirnya terbangun.”
Setelah dokter dan suster menjalankan pemeriksaan terhadap dirinya, pintu bangsal Sydney terbuka.
“Sydney!”
Sydney menoleh, mengira yang tiba adalah orang tua atau suaminya, tapi … dia harus berakhir kecewa karena yang dia lihat malah bibi dan pamannya, Ghina dan Fred.
Ghina memeluk Sydney erat. “Syukurlah kau sudah bangun, Nak,” suara Ghina terdengar lega. Namun, dalam hitungan detik, nada suaranya berubah menjadi isakan tertahan. “Kenapa, Nak? Kenapa kamu berniat bunuh diri seperti itu?!”
Sydney mengerutkan kening, rasa pening menyelimuti kepalanya seiring kebingungan menyelimutinya.
Bunuh diri? Apa maksud bibinya? Walau kepalanya sempat terbentur, tapi Sydney ingat ada yang telah mendorongnya!
Sydney mendudukkan diri perlahan, lalu mencoba bersuara. Akan tetapi, yang keluar hanyalah erangan parau. Tenggorokannya terasa seperti kertas kering yang diremas.
“Kenapa suaranya seperti itu?” Fred, sang paman, langsung menatap dokter dengan alis tertaut. “Ada apa dengan keponakan saya?”
Dokter segera mendekat, lalu berkata, “Kita bicara di luar, Nyonya, Tuan.”
Fred dan Ghina tampak ragu, tetapi mereka tetap mengikuti dokter. Beberapa menit kemudian, tangisan Ghina meledak di balik pintu.
“Oh, Tuhan!” teriak Ghina sambil terisak. “Sydney sudah kehilangan bayinya dan diceraikan oleh suaminya saat masih koma, Dokter! Sekarang dokter juga mengatakan kalau keponakanku bisu karena trauma?!”
‘Cerai?' ulang Sydney dalam hatinya. Dia sudah menduga hal tersebut akan terjadi, tapi … bisu?
Apa maksudnya dia bisu?!
Sydney meremas selimutnya kuat-kuat, lalu bangkit untuk menghampiri sang bibi dan dokter, meminta penjelasan.
Bruk!
Sydney jatuh dari ranjang rumah sakit. Darah juga mengalir deras dari tangannya karena selang infus terlepas.
Mendengar keributan di dalam ruangan, dokter beserta Fred dan Ghina masuk kembali ke dalam kamar, dan mereka terkejut menemukan Sydney menangis di lantai.
"Ya Tuhan, Sydney!"
Dengan sigap, Sydney kembali dibaringkan di ranjang dan dipasang infus. Sementara Ghina berusaha menenangkan keponakan malangnya itu.
Usai menyelesaikan urusannya, dokter dan suster pamit undur diri, meninggalkan Sydney dengan Ghina. Fred sendiri pergi untuk mengurus sejumlah administrasi.
Sydney menatap Ghina dengan mata yang merah, tampak ingin mengatakan sesuatu.
Menyadari itu, Ghina langsung meraih pulpen dan kertas dari atas meja nakas, lalu menyerahkannya pada Sydney. “Sayang, coba tuliskan apa yang ingin kamu tanyakan," pinta Ghina sambil menghapus sisa air matanya.
Dengan susah payah, Sydney menggenggam pulpen. Tangannya masih kaku, tetapi ia berhasil menuliskan satu kata:
Cerai?
Ghina menahan isakan dan mengangguk. Dengan suara bergetar, ia mulai menjelaskan semuanya.
Setelah Sydney terjatuh di tangga pemakaman dan berakhir koma, Lucas sempat datang. Bukan untuk melihat keadaan Sydney, tetapi untuk menceraikannya secara sepihak.
Tidak sampai di situ, ternyata Lucas juga mengalihkan utang atas namanya yang terjadi selama pernikahan menjadi milik Sydney. Totalnya 275 miliar!
“Ini baju yang pernah Isaac gunakan,” ucap Ghina sambil menyerahkan satu kotak kecil berisi pakaian Isaac. “Hanya ini yang bisa Tante pertahankan dari Lucas.”
Sydney membuka kotak itu dan tangannya gemetar saat mencoba menyentuh baju Isaac. Dia mengambil kaos bergambar gajah itu dan menciumnya. Ada wangi Isaac yang tertinggal di sana, walaupun sudah bercampur dengan air dan deterjen.
Air mata Sydney mengalir lagi, seperti tidak ada habisnya.
Sydney belum pernah merasa sesakit ini sebelumnya, seperti ada seseorang yang tengah memukul hatinya dengan keras dan tidak berperasaan.
Di saat ini, Ghina yang sedari tadi menahan sesuatu, memutuskan untuk angkat bicara, “Ada satu lagi yang belum Tante ceritakan.” Air mata yang sedari tadi dibendung, sekarang mengalir sepenuhnya. “Tapi berjanjilah untuk kuat dan tidak akan menyerah, Sayang.”
Hati Sydney sudah hancur berkeping-keping. Dia berpikir, apa lagi yang bisa menyiksanya setelah ini?
“Saat mendengar apa yang terjadi padamu di pemakaman … orang tuamu … orang tuamu kecelakaan dan … meninggal di tempat.”
Seketika, Sydney ambruk sepenuhnya. Dia menangis sejadi-jadinya dengan suara yang terdengar asing di telinga.
Hanya dalam waktu beberapa hari, dia kehilangan segalanya. Putranya. Suaminya. Orang tuanya. Bahkan suaranya sendiri.
Kalau seperti ini, apa lagi yang dia miliki di dunia ini?
**
Beberapa hari berlalu dalam kehampaan. Sydney masih menjalani terapi atas permintaan Ghina. Hanya saja, walau tubuhnya bergerak, tetapi jiwanya terasa kosong.
Sering Sydney menatap keluar jendela rumah sakit cukup lama, memerhatikan begitu banyak orang menjalani hidupnya dengan senyum di bibir mereka. Namun, tak elak hal tersebut membuatnya terus bertanya, dari sekian banyak orang di dunia, kenapa semua malapetaka harus terjadi padanya?
Terus berpikir demikian, malam itu Sydney berjalan keluar dari kamarnya menuju rooftop rumah sakit yang telah dia ketahui jadwal tidak terkuncinya.
Angin malam menggigit kulitnya, tapi langkah Sydney tak berhenti di tepi rooftop. Dia naik ke pembatas, lalu berdiri dengan tangan terbuka.
‘Isaac, Mama datang.’
Matanya terpejam. Angin menyapu air matanya.
Saat tubuhnya mulai condong ke depan—
Brak!
“Ah!”
Sydney merasakan sebuah lengan kekar melingkar di pinggangnya dan menariknya mundur, mengakibatkan dirinya terjatuh dan membentur sesuatu yang keras.
Nafas Sydney tertahan. Dia jatuh, tapi bukan ke lantai dasar, melainkan ke dalam pelukan seseorang!
“Kau gila?” Suara dalam yang berkumandang membuat Sydney terkejut dan mengangkat pandangannya.
Seketika, pandangan Sydney bertemu dengan sepasang manik cokelat tajam yang menatapnya dingin. Sosok asing yang tampan, tetapi aura gelapnya begitu kuat.
“Kalau ingin mati, jangan di sini. Kamu hanya akan membuatku dicurigai polisi.”
“Beberapa mantan anggota Echelon Vanguard sudah menandatangani kontrak dengan perusahaan lain, aku tidak bisa membujuk mereka kembali,” lapor Jerry begitu ditemui di paviliun belakang mansion Ravenfell. Morgan mengernyitkan dahi. Tatapan lurus itu menajam. “Bukan karena kau yang kehilangan wibawa hingga mereka tidak mendengarmu lagi?” tuding Morgan curiga. Morgan mencengkeram gelas yang ada di atas meja. Sementara Jerry dengan santai meneguk air dalam gelas lebih dulu. Sengaja membiarkan Morgan menunggu lebih lama. “Mungkin saja begitu,” sahut Jerry sambil mengedikkan kedua bahunya. “Kewibawaan itu pergi bersama kejantananku.” Jerry mencondongkan tubuh ke depan. “Tapi anehnya, ternyata setelah kejantananku dikebiri, setiap pagi aku masih merasakan seolah bagian itu masih ada di sana dan tengah berdiri tegak, Morgan!” Morgan menajamkan tatapannya pada Jerry. “Aku sedang bicara serius, Jerry!” tegur Morgan sambil mengepalkan tangan. “Terserah apa kesulitanmu, yang aku tahu perj
Irene tersenyum sambil mengangkat kedua bahunya. “Setelah memikirkannya baik-baik, aku tahu kalau sebenarnya kalian adalah orang baik. Tidak ada alasan bagiku untuk mendendam lagi,” tukas Irene melanjutkan. Sydney membalas senyum Irene. Kedua wanita itu banyak berbincang bersama dan saling memberi kabar. Bahkan Chessa tampak senang dalam gendongan Sydney. Bayi perempuan itu memeluk Sydney dengan erat. Morgan yang baru saja kembali bersama Ken tertegun melihat itu. “Tuan Morgan, Ken,” sapa Irene seraya sedikit membungkuk sopan. Morgan mengangguk. “Kau mau menggendongnya?” tawar Sydney, lebih ceria dari sebelum Morgan meninggalkannya. Morgan tersenyum tipis. Itu menandakan pertemuan Sydney dan Irene berjalan baik. Chessa mengangkat tangan ke arah Morgan dengan mata berbinar. “Pa!” seru Chessa antusias. Morgan menegang. Mendengar Chessa memanggilnya seperti itu, justru mengingatkan kesalahan pria itu yang sudah mengeksekusi Chester. “Tuan Morgan bukan Papa, Sayan
“Negara Suri?” ulang Sydney terperangah. “Kau akan–”Morgan meremas tangan Sydney pelan.“Jangan menyebutnya di sini. Banyak mata yang melihat dan telinga yang mendengar.” Morgan memotong ucapan Sydney.Sydney spontan menutup mulutnya rapat-rapat.Negara Suri adalah negara terjauh dari dari Highvale.Bahkan masih termasuk negara berkembang karena pemerintahnya tidak banyak melakukan pembangunan.Tiba-tiba Sydney kembali merasa gelisah.Wanita itu menelan ludah dengan sudah payah.Morgan segera bangkit dari duduknya.“Kami pergi dari sini,” tukas Morgan dengan tegas.“Ayo, Darling.” Pria itu menggenggam tangan Sydney kuat.Walaupun masih bingung, Sydney mengikuti permintaan suaminya.Morgan menarik Sydney menjauh dari orang tua Nirina.“Tuan Morgan,” panggil Simon tidak kalah tegas.Simon sengaja menggunakan sapaan Tuan lagi, supaya Morgan memahami betapa dia menghormati pria itu walaupun berusia lebih muda darinya.Morgan menghentikan langkah, begitu pula Sydney.Saat Sydney menoleh k
Di ruang tamu VVIP, semua interiornya terlihat lebih elegan dan mewah dengan sentuhan budaya yang tidak begitu Sydney pahami.Hanya ada beberapa orang di sana, dan semuanya menoleh ketika Sydney masuk ke area itu.Mereka melihat ke arah Sydney dan Morgan sambil tersenyum sopan.Sydney membalas senyum itu sambil sedikit mengangguk.“Tuan Morgan, Nyonya Sydney,” sapa seorang wanita paruh baya yang melangkah mendekat bersama suaminya.Mereka adalah Simon dan Abigail.Abigail memeluk Sydney dan mencium kedua pipi wanita itu.Sementara Simon menjabat tangan Morgan.“Terima kasih sudah mengundang kami ke area VVIP,” ucap Morgan.“Tidak perlu berterima kasih. Nyonya Sydney adalah kakak sepupu mempelai pengantin pria, seharusnya menantuku itu sejak awal memasukkan nama kalian ke dalam daftar tamu VVIP,” sahut Abigail yang terus tersenyum.Mereka duduk bersama di satu meja bundar yang sama.Meja paling depan yang dekat dengan akses ke pelaminan utama.Orang kalangan atas sering terlihat hidup
Malam harinya, Morgan meminta Ken untuk memeriksa kondisi Sydney sebelum mereka berangkat ke pesta pernikahan. “Beberapa jam lalu aku baru diperiksa. Itu pun atas permintaanmu, Honey,” ucap Sydney sambil membiarkan Ken mengecek tekanan darahnya. “Kondisimu bisa saja berubah sewaktu-waktu,” sahut Morgan yang berdiri di sisi sofa. Sydney duduk di sofa itu, sementara Ken duduk di sebelahnya. “Kalau bisa, dia pasti ingin aku memeriksamu setiap detik, Sydney,” desis Ken penuh sarkasme. “Atau bahkan, dia akan masuk jurusan kedokteran supaya bisa memeriksamu sendiri,” lanjut Ken. “Lalu, dia akan mengambil alih Rumah Sakit Terasehat.” Morgan mengangkat salah satu alisnya. “Ide bagus.” Ken hanya memutar bola mata, tidak menjawab lagi. Sydney tertawa renyah. “Apa kau juga menyediakan seorang dokter di tempat pengungsianku?” tanya Sydney pada Morgan. Niat awalnya, Sydney hanya ingin mencairkan suasana. Namun ucapannya berhasil membuat Morgan terdiam. “Belum,” jawab Morgan penuh penye
Acara pemberkatan pernikahan Timothy dan Nirina dilaksanakan pagi hari. Karena belum sempat ke hotel, Sydney dan Morgan langsung menghadiri pemberkatan itu di gereja. Dengan gaun sederhana dan riasan tipis, Sydney tetap memancarkan aura kecantikan yang kuat. “Kau datang!” seru Nirina sambil memeluk Sydney. Wanita dengan gaun pengantin itu bahkan meloncat kegirangan di depan Sydney. “Terima kasih, Kak Sydney dan Kak Morgan!” Timothy tersenyum lebar di sebelah Nirina. “Adik sepupu dan sahabatku jatuh cinta, lalu menikah. Bagaimana bisa aku tidak datang?” Sydney tertawa pelan. “Selamat atas pernikahan kalian,” ucap Morgan sambil tersenyum tipis. “Ya, selamat atas pernikahan kalian. Siapa sangka ternyata kalian berjodoh?” Sydney menambahkan. Pipi Timothy dan Nirina memerah malu. “Kalian berdua saja?” tanya Nirina, mata pengantin wanita itu terus berbinar. Ken muncul dari balik punggung Morgan sambil melambaikan tangan. “Perkenalkan, aku anak pertama Morgan dan Sydney,” sahut K