“Bagaimana jika saya tidak menemukannya dalam dua hari?” tanya Morgan, lebih terdengar seperti ancaman.
“Jika tidak, kami terpaksa menggunakan susu formula dari kedelai, tapi saya tidak bisa menjamin hasilnya akan sebaik ASI,” jawab dokter hati-hati.
“Tidak ada cara lain?” tanya Morgan menyelidik.
Dokter menggeleng dan berkata, “Keadaan mereka sangat mendesak, Tuan. Atau mungkin, Tuan dapat membawa ibu mereka ke sini untuk memberi susu.”
Morgan menyipitkan mata ke arah dokter. Seketika hawa dingin menerpa sekitarnya dan membuat lawan bicaranya menutup mulut.
“Mereka tidak punya ibu. Hanya ada saya seorang,” jawab Morgan penuh penekanan.
Dokter menunduk, memutus tatapan Morgan yang mampu menembus matanya itu. Dia sudah menyinggung pria itu.
Sydney yang sejak tadi bersembunyi di balik tembok, menggigit bibirnya. Sekilas, dia menangkap ekspresi Morgan yang terlihat frustasi.
‘Anak mana yang tidak punya ibu?’ Sydney tertegun dalam hati.
Satu-satunya kemungkinan yang bisa Sydney pikirkan adalah ibu anak-anak itu tidak menginginkan mereka. Dan lebih buruk lagi, meninggalkan mereka sejak lahir.
“Berarti satu-satunya jalan yang bisa kita lakukan adalah mencari ibu susu, Tuan,” ujar dokter memberanikan diri menatap Morgan kembali.
Morgan mengusap wajahnya dan mendengkus kasar.
“Saya tidak mengerti. Bagaimana saya tahu seorang wanita layak untuk menjadi ibu susu si kembar?” Morgan bertanya lagi.
“Yang terpenting adalah ibu susu harus sehat, tidak memiliki penyakit menular, dan produksi ASI-nya cukup untuk dua bayi prematur,” jawab dokter menatap Morgan dengan ragu. “Akan lebih baik jika dia bisa fokus menyusui hanya untuk si kembar.”
Sydney mengepalkan tangan. Hatinya mencelos membayangkan dua malaikat kecil itu berjuang dengan paru-paru yang belum matang, dan sekarang mereka juga harus menghadapi masalah kekurangan ASI.
Sydney melangkah maju ke depan, nuraninya tergerak. Walaupun menampakkan diri di depan Morgan sama saja seperti memberi tahu pria itu bahwa sejak tadi Sydney menguping pembicaraan.
Morgan menoleh tajam. Apalagi saat Sydney kembali mengambil ponsel yang ada di tangannya, lalu memaksa Morgan membuka kata sandi dengan sidik jarinya.
“Bagaimana denganku?” Sydney melebarkan kedua bola matanya.
“Permisi, Nona,” ujar Morgan tegas. “Aku sedang sibuk. Jangan menggangguku dan kembalikan ponselku sekarang.”
Namun, Sydney tidak mengindahkan perintah Morgan dan justru mengetik sesuatu lagi.
“Aku bisa menjadi ibu susu untuk anak-anakmu.”
Dokter tampak mempertimbangkan, tetapi Morgan langsung menggeleng. “Tidak mungkin.”
Sydney menatap Morgan sambil menyipitkan mata, sedikit tersinggung.
“Kenapa tidak?” Sydney terus menggunakan ponsel Morgan seolah itu adalah miliknya.
Morgan melipat tangan di depan dada dan menatap lurus wanita itu.
“Kau baru saja mencoba bunuh diri beberapa menit yang lalu. Bagaimana aku bisa mempercayakan si kembar padamu?”
Sydney membuka mulutnya, hampir saja lupa bahwa tidak akan ada suara yang keluar dari sana.
Morgan benar. Bahkan, Sydney sendiri merasa ironis—beberapa menit lalu dia ingin mengakhiri hidup, sekarang dia justru menawarkan diri untuk menyelamatkan dua bayi.
Namun tetap saja, Sydney tidak mungkin diam saja. Dia mengetik lagi.
“Aku sehat. Aku tidak punya penyakit menular. Aku bisa fokus menyusui si kembar. Dan ASI-ku melimpah. Itu memenuhi syarat, bukan?”
Morgan mengikis jarak dengan Sydney dan mengangkat dagu wanita itu.
“Bagaimana dengan kesehatan mentalmu?” tanya Morgan dingin. “Bagaimana kalau besok kau tiba-tiba memutuskan untuk lompat dari jendela? Apa yang akan terjadi pada anak-anakku?”
Sydney menggigit bibir. Hatinya seperti tersengat mendengar kata-kata pria itu.
Dokter yang sejak tadi diam akhirnya ikut bicara. “Sebenarnya, kita bisa mencoba dulu. Jika bayi-bayi itu mau menyusu dan tidak ada masalah, bukankah itu lebih baik daripada tidak ada pendonor sama sekali, Tuan?”
Morgan masih terlihat enggan, tetapi dia terpojok. Waktu terus berjalan, dan Jade serta Jane tidak punya banyak pilihan.
Morgan menatap Sydney tajam, seolah mencari tanda-tanda bahwa wanita ini akan berubah pikiran kapan saja. Namun, yang Morgan lihat pada manik cokelat Sydney hanyalah keteguhan.
Morgan mendesah panjang. “Baik. Kita coba sekali. Tapi jika terjadi sesuatu, aku tidak akan membiarkanmu mendekati mereka lagi.”
Sydney mengangguk cepat.
Seorang perawat datang, lalu membawa mereka ke ruangan NICU. Sydney mengenakan baju steril dan duduk di kursi menyusui.
Seorang suster membawa Jade dan Jane dengan hati-hati, kemudian menyerahkan salah satunya ke Sydney.
Bayi mungil itu terlihat lemah, tubuhnya masih terhubung dengan beberapa selang kecil. Sydney merasa hatinya remuk melihat bayi itu.
Sydney menarik napas, lalu mulai menyusui.
Morgan berdiri tidak jauh dari Sydney, memperhatikan dengan tatapan yang tidak beralih sedikit pun dari pemandangan di depannya.
Jade yang ada di pelukan Sydney mulai menyusu dengan lahap, menyusul Jane. Sydney tersenyum kecil, matanya mulai berkaca-kaca.
‘Ternyata, aku masih berguna untuk mereka,’ batin Sydney.
Bayangan Isaac tiba-tiba muncul begitu jelas di depan mata Sydney.
Rasanya seperti baru kemarin Sydney menggendong Isaac seperti ini, mencium rambutnya yang halus, dan mendengar tawa riangnya. Namun sekarang yang tersisa hanyalah kenangan dan rasa hampa yang tak pernah benar hilang.
Air mata Sydney sudah menggenang di pelupuk mata, tetapi dia berusaha menahannya dengan tersenyum lebih lebar. Dia tidak ingin menangis di depan kedua bayi kembar lucu di pelukannya.
Morgan, yang melihat senyum itu, terdiam sejenak. Ada sesuatu dalam dirinya yang perlahan melunak.
Setelah menyusui selesai, dokter meminta Sydney kembali ke bangsalnya untuk beristirahat.
Saat kembali ke bangsal, Sydney baru menyadari betapa lemah tubuhnya. Namun, sebelum dia bisa benar-benar berbaring, seorang suster datang.
“Nona Sydney, ada sesuatu yang perlu Anda tahu,” kata suster itu dengan wajah sedikit cemas.
Sydney mengernyit.
Suster itu terlihat ragu, lalu menyerahkan selembar kertas tagihan rumah sakit.
“Pembayaran perawatan Anda masih menunggak,” lanjut suster itu.
Sydney membeku.
“Tuan Fred dan Nyonya Ghina sudah berusaha membayar sebagian, tapi jumlahnya masih cukup besar,” tambah suster dengan hati-hati.
Sydney mengepalkan selimutnya.
‘Om dan Tante pasti sudah melakukan yang terbaik. Aku tidak bisa menyalahkan mereka,’ batin Sydney menghibur diri.
Sebelum Sydney bisa merespons apa pun, seorang suster lain masuk.
“Apa yang kau lakukan? Bukankah sudah kukatakan untuk tidak memberitahunya?” tegur suster kedua.
Suster pertama menunduk, lalu berkata lirih, “Saya rasa Nona Sydney punya hak untuk tahu.”
Sydney menarik napas panjang, menenangkan dirinya. Dia harus mencari cara untuk membayar biaya rumah sakit ini.
Namun, sebelum Sydney bisa memikirkan solusi, suara berat terdengar dari pintu.
“Aku yang akan membayar semuanya.”
Sydney menoleh dan mendapati Morgan berdiri di sana, tatapannya dingin dan tajam.
Suster-suster itu terkejut. “Tapi, Tuan—”
“Sebagai gantinya,” lanjut Morgan mengalihkan pandangan ke Sydney, “kau harus menjadi ibu susu untuk bayi kembarku.”
“Beberapa mantan anggota Echelon Vanguard sudah menandatangani kontrak dengan perusahaan lain, aku tidak bisa membujuk mereka kembali,” lapor Jerry begitu ditemui di paviliun belakang mansion Ravenfell. Morgan mengernyitkan dahi. Tatapan lurus itu menajam. “Bukan karena kau yang kehilangan wibawa hingga mereka tidak mendengarmu lagi?” tuding Morgan curiga. Morgan mencengkeram gelas yang ada di atas meja. Sementara Jerry dengan santai meneguk air dalam gelas lebih dulu. Sengaja membiarkan Morgan menunggu lebih lama. “Mungkin saja begitu,” sahut Jerry sambil mengedikkan kedua bahunya. “Kewibawaan itu pergi bersama kejantananku.” Jerry mencondongkan tubuh ke depan. “Tapi anehnya, ternyata setelah kejantananku dikebiri, setiap pagi aku masih merasakan seolah bagian itu masih ada di sana dan tengah berdiri tegak, Morgan!” Morgan menajamkan tatapannya pada Jerry. “Aku sedang bicara serius, Jerry!” tegur Morgan sambil mengepalkan tangan. “Terserah apa kesulitanmu, yang aku tahu perj
Irene tersenyum sambil mengangkat kedua bahunya. “Setelah memikirkannya baik-baik, aku tahu kalau sebenarnya kalian adalah orang baik. Tidak ada alasan bagiku untuk mendendam lagi,” tukas Irene melanjutkan. Sydney membalas senyum Irene. Kedua wanita itu banyak berbincang bersama dan saling memberi kabar. Bahkan Chessa tampak senang dalam gendongan Sydney. Bayi perempuan itu memeluk Sydney dengan erat. Morgan yang baru saja kembali bersama Ken tertegun melihat itu. “Tuan Morgan, Ken,” sapa Irene seraya sedikit membungkuk sopan. Morgan mengangguk. “Kau mau menggendongnya?” tawar Sydney, lebih ceria dari sebelum Morgan meninggalkannya. Morgan tersenyum tipis. Itu menandakan pertemuan Sydney dan Irene berjalan baik. Chessa mengangkat tangan ke arah Morgan dengan mata berbinar. “Pa!” seru Chessa antusias. Morgan menegang. Mendengar Chessa memanggilnya seperti itu, justru mengingatkan kesalahan pria itu yang sudah mengeksekusi Chester. “Tuan Morgan bukan Papa, Sayan
“Negara Suri?” ulang Sydney terperangah. “Kau akan–”Morgan meremas tangan Sydney pelan.“Jangan menyebutnya di sini. Banyak mata yang melihat dan telinga yang mendengar.” Morgan memotong ucapan Sydney.Sydney spontan menutup mulutnya rapat-rapat.Negara Suri adalah negara terjauh dari dari Highvale.Bahkan masih termasuk negara berkembang karena pemerintahnya tidak banyak melakukan pembangunan.Tiba-tiba Sydney kembali merasa gelisah.Wanita itu menelan ludah dengan sudah payah.Morgan segera bangkit dari duduknya.“Kami pergi dari sini,” tukas Morgan dengan tegas.“Ayo, Darling.” Pria itu menggenggam tangan Sydney kuat.Walaupun masih bingung, Sydney mengikuti permintaan suaminya.Morgan menarik Sydney menjauh dari orang tua Nirina.“Tuan Morgan,” panggil Simon tidak kalah tegas.Simon sengaja menggunakan sapaan Tuan lagi, supaya Morgan memahami betapa dia menghormati pria itu walaupun berusia lebih muda darinya.Morgan menghentikan langkah, begitu pula Sydney.Saat Sydney menoleh k
Di ruang tamu VVIP, semua interiornya terlihat lebih elegan dan mewah dengan sentuhan budaya yang tidak begitu Sydney pahami.Hanya ada beberapa orang di sana, dan semuanya menoleh ketika Sydney masuk ke area itu.Mereka melihat ke arah Sydney dan Morgan sambil tersenyum sopan.Sydney membalas senyum itu sambil sedikit mengangguk.“Tuan Morgan, Nyonya Sydney,” sapa seorang wanita paruh baya yang melangkah mendekat bersama suaminya.Mereka adalah Simon dan Abigail.Abigail memeluk Sydney dan mencium kedua pipi wanita itu.Sementara Simon menjabat tangan Morgan.“Terima kasih sudah mengundang kami ke area VVIP,” ucap Morgan.“Tidak perlu berterima kasih. Nyonya Sydney adalah kakak sepupu mempelai pengantin pria, seharusnya menantuku itu sejak awal memasukkan nama kalian ke dalam daftar tamu VVIP,” sahut Abigail yang terus tersenyum.Mereka duduk bersama di satu meja bundar yang sama.Meja paling depan yang dekat dengan akses ke pelaminan utama.Orang kalangan atas sering terlihat hidup
Malam harinya, Morgan meminta Ken untuk memeriksa kondisi Sydney sebelum mereka berangkat ke pesta pernikahan. “Beberapa jam lalu aku baru diperiksa. Itu pun atas permintaanmu, Honey,” ucap Sydney sambil membiarkan Ken mengecek tekanan darahnya. “Kondisimu bisa saja berubah sewaktu-waktu,” sahut Morgan yang berdiri di sisi sofa. Sydney duduk di sofa itu, sementara Ken duduk di sebelahnya. “Kalau bisa, dia pasti ingin aku memeriksamu setiap detik, Sydney,” desis Ken penuh sarkasme. “Atau bahkan, dia akan masuk jurusan kedokteran supaya bisa memeriksamu sendiri,” lanjut Ken. “Lalu, dia akan mengambil alih Rumah Sakit Terasehat.” Morgan mengangkat salah satu alisnya. “Ide bagus.” Ken hanya memutar bola mata, tidak menjawab lagi. Sydney tertawa renyah. “Apa kau juga menyediakan seorang dokter di tempat pengungsianku?” tanya Sydney pada Morgan. Niat awalnya, Sydney hanya ingin mencairkan suasana. Namun ucapannya berhasil membuat Morgan terdiam. “Belum,” jawab Morgan penuh penye
Acara pemberkatan pernikahan Timothy dan Nirina dilaksanakan pagi hari. Karena belum sempat ke hotel, Sydney dan Morgan langsung menghadiri pemberkatan itu di gereja. Dengan gaun sederhana dan riasan tipis, Sydney tetap memancarkan aura kecantikan yang kuat. “Kau datang!” seru Nirina sambil memeluk Sydney. Wanita dengan gaun pengantin itu bahkan meloncat kegirangan di depan Sydney. “Terima kasih, Kak Sydney dan Kak Morgan!” Timothy tersenyum lebar di sebelah Nirina. “Adik sepupu dan sahabatku jatuh cinta, lalu menikah. Bagaimana bisa aku tidak datang?” Sydney tertawa pelan. “Selamat atas pernikahan kalian,” ucap Morgan sambil tersenyum tipis. “Ya, selamat atas pernikahan kalian. Siapa sangka ternyata kalian berjodoh?” Sydney menambahkan. Pipi Timothy dan Nirina memerah malu. “Kalian berdua saja?” tanya Nirina, mata pengantin wanita itu terus berbinar. Ken muncul dari balik punggung Morgan sambil melambaikan tangan. “Perkenalkan, aku anak pertama Morgan dan Sydney,” sahut K