Share

4. Bagaimana Denganku?

Author: prasidafai
last update Last Updated: 2025-01-21 10:14:14

“Bagaimana jika saya tidak menemukannya dalam dua hari?” tanya Morgan, lebih terdengar seperti ancaman.

“Jika tidak, kami terpaksa menggunakan susu formula dari kedelai, tapi saya tidak bisa menjamin hasilnya akan sebaik ASI,” jawab dokter hati-hati.

“Tidak ada cara lain?” tanya Morgan menyelidik.

Dokter menggeleng dan berkata, “Keadaan mereka sangat mendesak, Tuan. Atau mungkin, Tuan dapat membawa ibu mereka ke sini untuk memberi susu.”

Morgan menyipitkan mata ke arah dokter. Seketika hawa dingin menerpa sekitarnya dan membuat lawan bicaranya menutup mulut.

“Mereka tidak punya ibu. Hanya ada saya seorang,” jawab Morgan penuh penekanan.

Dokter menunduk, memutus tatapan Morgan yang mampu menembus matanya itu. Dia sudah menyinggung pria itu.

Sydney yang sejak tadi bersembunyi di balik tembok, menggigit bibirnya. Sekilas, dia menangkap ekspresi Morgan yang terlihat frustasi.

‘Anak mana yang tidak punya ibu?’ Sydney tertegun dalam hati.

Satu-satunya kemungkinan yang bisa Sydney pikirkan adalah ibu anak-anak itu tidak menginginkan mereka. Dan lebih buruk lagi, meninggalkan mereka sejak lahir.

“Berarti satu-satunya jalan yang bisa kita lakukan adalah mencari ibu susu, Tuan,” ujar dokter memberanikan diri menatap Morgan kembali.

Morgan mengusap wajahnya dan mendengkus kasar.

“Saya tidak mengerti. Bagaimana saya tahu seorang wanita layak untuk menjadi ibu susu si kembar?” Morgan bertanya lagi.

“Yang terpenting adalah ibu susu harus sehat, tidak memiliki penyakit menular, dan produksi ASI-nya cukup untuk dua bayi prematur,” jawab dokter menatap Morgan dengan ragu. “Akan lebih baik jika dia bisa fokus menyusui hanya untuk si kembar.”

Sydney mengepalkan tangan. Hatinya mencelos membayangkan dua malaikat kecil itu berjuang dengan paru-paru yang belum matang, dan sekarang mereka juga harus menghadapi masalah kekurangan ASI.

Sydney melangkah maju ke depan, nuraninya tergerak. Walaupun menampakkan diri di depan Morgan sama saja seperti memberi tahu pria itu bahwa sejak tadi Sydney menguping pembicaraan.

Morgan menoleh tajam. Apalagi saat Sydney kembali mengambil ponsel yang ada di tangannya, lalu memaksa Morgan membuka kata sandi dengan sidik jarinya.

“Bagaimana denganku?” Sydney melebarkan kedua bola matanya.

“Permisi, Nona,” ujar Morgan tegas. “Aku sedang sibuk. Jangan menggangguku dan kembalikan ponselku sekarang.”

Namun, Sydney tidak mengindahkan perintah Morgan dan justru mengetik sesuatu lagi.

“Aku bisa menjadi ibu susu untuk anak-anakmu.”

Dokter tampak mempertimbangkan, tetapi Morgan langsung menggeleng. “Tidak mungkin.”

Sydney menatap Morgan sambil menyipitkan mata, sedikit tersinggung.

“Kenapa tidak?” Sydney terus menggunakan ponsel Morgan seolah itu adalah miliknya.

Morgan melipat tangan di depan dada dan menatap lurus wanita itu.

“Kau baru saja mencoba bunuh diri beberapa menit yang lalu. Bagaimana aku bisa mempercayakan si kembar padamu?”

Sydney membuka mulutnya, hampir saja lupa bahwa tidak akan ada suara yang keluar dari sana.

Morgan benar. Bahkan, Sydney sendiri merasa ironis—beberapa menit lalu dia ingin mengakhiri hidup, sekarang dia justru menawarkan diri untuk menyelamatkan dua bayi.

Namun tetap saja, Sydney tidak mungkin diam saja. Dia mengetik lagi.

“Aku sehat. Aku tidak punya penyakit menular. Aku bisa fokus menyusui si kembar. Dan ASI-ku melimpah. Itu memenuhi syarat, bukan?”

Morgan mengikis jarak dengan Sydney dan mengangkat dagu wanita itu.

“Bagaimana dengan kesehatan mentalmu?” tanya Morgan dingin. “Bagaimana kalau besok kau tiba-tiba memutuskan untuk lompat dari jendela? Apa yang akan terjadi pada anak-anakku?”

Sydney menggigit bibir. Hatinya seperti tersengat mendengar kata-kata pria itu.

Dokter yang sejak tadi diam akhirnya ikut bicara. “Sebenarnya, kita bisa mencoba dulu. Jika bayi-bayi itu mau menyusu dan tidak ada masalah, bukankah itu lebih baik daripada tidak ada pendonor sama sekali, Tuan?”

Morgan masih terlihat enggan, tetapi dia terpojok. Waktu terus berjalan, dan Jade serta Jane tidak punya banyak pilihan.

Morgan menatap Sydney tajam, seolah mencari tanda-tanda bahwa wanita ini akan berubah pikiran kapan saja. Namun, yang Morgan lihat pada manik cokelat Sydney hanyalah keteguhan.

Morgan mendesah panjang. “Baik. Kita coba sekali. Tapi jika terjadi sesuatu, aku tidak akan membiarkanmu mendekati mereka lagi.”

Sydney mengangguk cepat.

Seorang perawat datang, lalu membawa mereka ke ruangan NICU. Sydney mengenakan baju steril dan duduk di kursi menyusui.

Seorang suster membawa Jade dan Jane dengan hati-hati, kemudian menyerahkan salah satunya ke Sydney.

Bayi mungil itu terlihat lemah, tubuhnya masih terhubung dengan beberapa selang kecil. Sydney merasa hatinya remuk melihat bayi itu.

Sydney menarik napas, lalu mulai menyusui.

Morgan berdiri tidak jauh dari Sydney, memperhatikan dengan tatapan yang tidak beralih sedikit pun dari pemandangan di depannya.

Jade yang ada di pelukan Sydney mulai menyusu dengan lahap, menyusul Jane. Sydney tersenyum kecil, matanya mulai berkaca-kaca.

‘Ternyata, aku masih berguna untuk mereka,’ batin Sydney.

Bayangan Isaac tiba-tiba muncul begitu jelas di depan mata Sydney.

Rasanya seperti baru kemarin Sydney menggendong Isaac seperti ini, mencium rambutnya yang halus, dan mendengar tawa riangnya. Namun sekarang yang tersisa hanyalah kenangan dan rasa hampa yang tak pernah benar hilang.

Air mata Sydney sudah menggenang di pelupuk mata, tetapi dia berusaha menahannya dengan tersenyum lebih lebar. Dia tidak ingin menangis di depan kedua bayi kembar lucu di pelukannya.

Morgan, yang melihat senyum itu, terdiam sejenak. Ada sesuatu dalam dirinya yang perlahan melunak.

Setelah menyusui selesai, dokter meminta Sydney kembali ke bangsalnya untuk beristirahat.

Saat kembali ke bangsal, Sydney baru menyadari betapa lemah tubuhnya. Namun, sebelum dia bisa benar-benar berbaring, seorang suster datang.

“Nona Sydney, ada sesuatu yang perlu Anda tahu,” kata suster itu dengan wajah sedikit cemas.

Sydney mengernyit.

Suster itu terlihat ragu, lalu menyerahkan selembar kertas tagihan rumah sakit.

“Pembayaran perawatan Anda masih menunggak,” lanjut suster itu.

Sydney membeku.

“Tuan Fred dan Nyonya Ghina sudah berusaha membayar sebagian, tapi jumlahnya masih cukup besar,” tambah suster dengan hati-hati.

Sydney mengepalkan selimutnya.

‘Om dan Tante pasti sudah melakukan yang terbaik. Aku tidak bisa menyalahkan mereka,’ batin Sydney menghibur diri.

Sebelum Sydney bisa merespons apa pun, seorang suster lain masuk.

“Apa yang kau lakukan? Bukankah sudah kukatakan untuk tidak memberitahunya?” tegur suster kedua.

Suster pertama menunduk, lalu berkata lirih, “Saya rasa Nona Sydney punya hak untuk tahu.”

Sydney menarik napas panjang, menenangkan dirinya. Dia harus mencari cara untuk membayar biaya rumah sakit ini.

Namun, sebelum Sydney bisa memikirkan solusi, suara berat terdengar dari pintu.

“Aku yang akan membayar semuanya.”

Sydney menoleh dan mendapati Morgan berdiri di sana, tatapannya dingin dan tajam.

Suster-suster itu terkejut. “Tapi, Tuan—”

“Sebagai gantinya,” lanjut Morgan mengalihkan pandangan ke Sydney, “kau harus menjadi ibu susu untuk bayi kembarku.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (6)
goodnovel comment avatar
Tri Maryati
ceritanya bagus kayak e
goodnovel comment avatar
Nurti 68
bagus ceritanya aku suka
goodnovel comment avatar
yani haryani
aku suka cerita ini
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   Epilog

    Epilog 13 tahun kemudian …. “Mami, aku ingin bicara sebentar.” Sebuah suara pria muda memecah fokus Sydney yang tengah membaca laporan keuangan Zahlee Entertainment. Wanita cantik yang kini berusia hampir setengah abad itu menoleh dari meja kerja kecilnya di ruang kerja Mansion Ravenfell. Tatapan Sydney langsung bertemu dengan sorot mata Jade, anak laki-lakinya yang kini sudah beranjak dewasa. Jade baru saja merayakan ulang tahunnya yang kedelapan belas minggu lalu. Rambut cokelat anak yang masih memakai seragam sekolah menengah atasnya itu sedikit berantakan. Di tangannya, Jade menggenggam amplop putih dengan logo universitas asing. “Tentu, Sayang.” Sydney meletakkan pulpen sambil tersenyum lembut. “Duduklah. Kau kelihatan serius sekali.” Jade menelan ludah, lalu duduk di seberang ibunya. “Aku diterima kuliah di Negara Suri,” ucap Jade seraya menyodorkan amplop putih itu pada Sydney. Senyum di bibir Sydney perlahan menghilang. “Negara Suri?” ulang Sydney pelan,

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   535. Bintang Ketujuh

    “Sangat memungkinkan, Morgan,” jawab Ken tanpa ragu. “Sydney akan terbang bersama dokter terbaik sepanjang masa yang pernah ada. Tidak mungkin mereka tidak mengizinkannya.” Sydney dan Morgan tidak bisa menahan tawanya. “Aku hampir lupa kalau kau sepercaya diri ini, Ken,” komentar Sydney. “Lupakan saja, Darling. Dia tidak penting,” sahut Morgan cepat sambil menatap Sydney. “Sialan!” maki Ken sambil mendorong pelan bahu Morgan yang tengah terkekeh. Beberapa bulan kemudian. Udara Highvale sore itu bertiup lembut dan sejuk. Aroma bunga musim semi memenuhi halaman Mansion Ravenfell yang kini terasa benar-benar hidup kembali. Burung-burung kecil beterbangan di antara pohon maple yang baru tumbuh, sementara dari jendela besar lantai dua, cahaya matahari menerobos lembut ke dalam kamar yang kini dipenuhi suara tangis bayi. Morgan berdiri di sisi ranjang. Wajah pria itu tampak tegang, tetapi matanya penuh cahaya. Di lengannya, terbaring seorang bayi mungil berusia lima hari

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   534. Tiga Buket Bunga untuk Sydney

    Suara seseorang terdengar pelan dari walkie-talkie yang menempel di telinga kanan Anton. Pria berperawakan tegap itu mengernyitkan dahi, mendengarkan dengan seksama. Tidak lama kemudian, Anton menekan tombol kecil di alat komunikasi itu. Tidak ada suara yang terdengar lagi dari walkie-talkie-nya. Anton menoleh dan menghadapkan tubuh ke arah Sydney yang masih duduk di ranjang. Wanita itu tampak pucat, matanya sembab setelah percakapan tegang dengan Nenek Tristan beberapa menit sebelumnya. “Nyonya Sydney,” panggil Anton sopan, dan juga berhati-hati. “Tuan Morgan dan anak-anak sudah sampai di lobi.” Sydney refleks menyeka sisa air mata di pipinya dengan punggung tangan. “Rahasiakan soal Nenek Tristan,” pinta Sydney lirih. “Dan, tolong ambilkan air. Aku perlu cuci muka.” Anton menunduk, lalu menyahut pelan, “Baik, Nyonya.” Dalam waktu singkat, satu wadah berukuran sedang berisi air bersih sudah di ada tepi ranjang Sydney. Sydney mencipratkan air ke wajah, membiarkan d

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   533. Mencegah Doa Buruk

    “Aku kasihan pada anak dalam kandunganmu,” cibir wanita tua itu lagi. “Dia akan menanggung dosa yang sama seperti ibunya.” Sydney mengusap perutnya pelan. Jemarinya bergetar menahan amarah yang mendidih di dada. Darah terasa naik ke kepala, tetapi napas Sydney tetap tertata. Sydney menunduk sebentar, lalu menegakkan punggung dengan tenang, meski matanya mulai berembun. Anton yang berdiri di dekat pintu mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras. Anak buah Morgan itu hampir saja maju dan menarik wanita tua itu keluar paksa, tetapi gerakan tangan Sydney yang terangkat pelan menghentikannya. “Tidak apa-apa,” sergah Sydney berusaha terlihat meyakinkan. Anton mengembuskan napas berat, menunduk dengan patuh, meski matanya menyorotkan ketidaksetujuan yang jelas. Wanita tua itu berdecih, matanya berputar sinis. “Sikapmu itu …” Nenek Tristan menatap Sydney meneli

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   532. Rumah Dijual

    Beberapa hari setelah proses pengurusan kepindahan sekolah Jade dan Jane selesai, suasana siang di kediaman tempat anak-anak Draxus tinggal terasa berbeda. Langit cerah, tetapi halaman rumah tampak lengang. Mobil-mobil hitam berjejer di depan pagar, berbaris rapi seperti rombongan penting yang siap berangkat. Suara mesin mobil satu per satu menyala. Para pengasuh sibuk membantu mengangkat koper kecil ke dalam bagasi. Anak-anak berlarian sebentar di teras, lalu naik ke mobil sesuai arahan Primus. Morgan berdiri tidak jauh dari pintu, memandangi rumah itu untuk terakhir kalinya sebelum masuk ke mobil. Udara siang itu terasa berat. Banyak kenangan tersimpan di balik dinding rumah itu. Tangis, tawa, juga kehilangan. Namun kini, semua kenangan itu harus Morgan tutup rapat. Saat mobil terakhir bersiap meluncur, seorang pria berpakaian serba hitam menghampiri pagar. Pria itu mengunci gerbang dengan gembok besar, lalu memasang spanduk bertuliskan ‘Rumah Dijual’ di sisi gerbang. D

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   531. Mami Kapan Pulang?

    Saat pagi tiba, Morgan sengaja menyempatkan diri untuk mengantar Jade dan Jane sekolah.“Papi, Mami kapan pulang?” Pertanyaan itu meluncur dari mulut Jane begitu mobil hitam Morgan melaju keluar gerbang rumah.Morgan melirik ke kaca spion, menatap wajah mungil anak perempuannya yang duduk di kursi belakang.Mata Jane berbinar penuh harap.“Kami lindu Mami,” sambung Jade dengan suara lebih pelan, tetapi matanya sama-sama berkilat. “Apalagi adik bayi. Apakah dia baik-baik saja, Papi?”Morgan tidak langsung menjawab.Kedua tangannya menegang di setir, sementara napasnya terdengar berat.Suara anak-anak itu menusuk hatinya, membuat rasa bersalah yang sudah menumpuk semakin menggerogoti.“Mami sedang beristirahat,” sahut Morgan akhirnya. “Adik bayi juga baik. Dokter menjaganya dengan sangat hati-hati.”Morgan sengaja tidak menjawab dengan detail tentang situasi Sydney dan salah satu janin dalam kandungannya yang gagal diselamatkan.“Kalau begitu, kapan kita boleh beltemu Mami?” Jane kembal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status