LOGINNayla tersentak, tubuhnya terlonjak dari kursi, dan refleks memeluk Matteo lebih erat di pelukannya. Dari kamar sebelah, terdengar suara pintu terbuka, dan Leo muncul langkah cepat. Rambutnya acak-acakan, kaos tidurnya kusut, dan matanya masih menyisakan bekas kantuk yang belum tuntas. Dan, keterkejutan tercetak jelas di wajahnya saat melihat ibunya berdiri di ambang pintu, menatap Nayla seperti baru saja melihat mahkluk gaib.
"Mama?!" seru Leo. "Kapan datang? Kenapa teriak-teriak gitu, sih? Nanti Matteo nangis lagi." Sementara itu, Matilda—wanita paruh baya yang berdiri di ambang pintu itu—masih menatap Nayla dengan sorot mata antara takut, bingung, syok, semuanya campur aduk. Tangan kirinya mencengkeram dada sendirinya, seolah jantungnya hampir copot. "Hantu ... Hantu ...! A-apa kamu... Zoya?! Oh Tuhan, arwahnya datang menjemput bayi ini! Leo! Leo, usir dia!" Leo nyaris tersedak napasnya sendiri mendengar kalimat ngelantur ibunya. "Mama! Astaga... bukan! Bukan hantu, Ma! Itu bukan Zoya!" Leo cepat-cepat menghampiri ibunya dan menuntunnya masuk ke dalam kamar. "Ini Nayla. Dia manusia - asli - nyata - bisa disentuh." Ibunya masih ternganga, matanya bergantian menatap wajah Nayla, lalu bayi mungil yang kini mulai menggeliat kecil dalam pelukan. "Nayla? Nayla itu siapa? Tadi ... tadi hantu itu nyanyi ... suaranya bagus, mirip suara Zoya ..." "Mama kurang tidur, ya?" sahut Leo cepat, sambil menyodorkan kursi ke arah ibunya. "Duduk, Ma. Leo jelasin dulu. Dan tolong, jangan panggil dia hantu lagi." Matilda hanya menatap Leo sejenak, kedua alisnya masih bertaut, wajahnya penuh tanya. Namun, lututnya yang sudah terlanjur lemas, memaksanya duduk. Matilda dudu menggenggam pegangan kursi, masih sedikit kaku. Leo menarik napas panjang. "Aku tahu Mama syok. Tapi dengerin penjelasan aku dulu ..." Ia menoleh sebentar ke arah Matteo yang masih tenang dalam dekapan Nayla, sebelum kembali menatap ibunya. "Bayi itu... dari sejak kita pulang dari rumah sakit, hampir nggak berhenti menangis. Perawat sudah nyoba kasih susu formula macam-macam. Tapi dia tetap nolak. Menjerit, terus-menerus. Aku panik, Ma." Nada suara Leo melemah, guratan lelah yang belum selesai kembali menghantamnya. "Aku udah hubungi Adrian. Dia datang kemarin buat periksa. Semuanya normal. Berat badan cukup, pernapasan stabil, suhu tubuh baik... tapi tetap saja, bayi itu nangis. Nggak bisa tenang. Minum susu nggak mau, bahkan sampe muntah." Matilda mulai tampak lebih tenang, melirik bayi di pelukan Nayla. "Jadi... bayi itu… bener cucuku?" "Iya, dia cucu Mama." "Siapa namanya tadi?" "Matteo, Ma." Matilda mengerjapkan matanya, seolah ingin memastikan ia tidak sedang bermimpi. "Matteo... cucu Oma...?" Mendengar Matilda menyebutkan nama bayi itu, Nayla yang sejak tadi berdiri tak jauh, lekas berjalan mendekat agar wanita itu bisa melihat cucunya lebih jelas. Matilda menatap mereka mendekat. Matanya menyorotkan haru. Saat Nayla sudah semakin dekat, tangan Matilda terangkat, terulur ke arah tubuh mungil itu. Jarinya ragu-ragu menyentuh selimut tipis yang membungkus Matteo, lalu bergerak menyentuh pipi kecil cucunya. "Oh Tuhan…" napasnya tercekat. "Aku udah punya cucu ... Matteo… cucu Oma… akhirnya Oma bisa lihat kamu… Matteo ... kasihan kamu ... ibu kamu malah ninggalin kamu secepat ini ..." Matilda terisak kecil. Tangan tuanya bergerak pelan, memeluk tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Nayla, yang mengerti maksud gerakan itu, dengan hati-hati menyerahkan Matteo ke pelukan sang nenek. Matilda langsung mendekap cucunya, mengusap kepala mungil itu dengan jari-jarinya yang bergetar. "Kamu ganteng, mirip banget Leo waktu bayi…" gumamnya lirih. "Emm, Ma ..." Leo kembali melanjutkan penjelasannya. "Kesimpulan sementara dari Adrian, Matteo perlu diobservasi ulang, karena tidak bisa susu formula. Dan ... dia hanya bisa menerima ASI." Matilda menoleh cepat, mengerutkan dahi. "Dia sakit?" "Bukan sakit ... dia hanya perlu diobservasi ulang saja. Tapi sekarang... sekarang sudah ada Nayla yang akan jadi ibu susu Matteo." Leo menelan ludah kasar. “Apa?!” pekik Matilda, matanya membulat. "Dia? Wanita ini ...? Kamu izinkan wanita asing menyusui cucu Mama? Leo! Kamu waras nggak?!” Suasana kamar kembali tegang seketika. Matteo yang sempat terlelap, menggeliat gelisah dalam pelukan sang nenek. Leo menekan napasnya, berusaha tetap tenang. "Mama, aku nggak punya pilihan lain. Aku belum pernah jadi ayah sebelumnya, aku nggak ngerti harus gimana, dan jelas... aku nggak bisa nyusuin anakku sendiri!" "Tapi kenapa wanita ini? Kamu nggak curiga sama sekali?" Nada suara Matilda meninggi. "Bagaimana kalau besok-besok dia bawa kabur cucu Mama?! Matteo cucu pertama keluarga kita, Leo! Penerus darah Utama yang kelak akan mewarisi semua bisnis kita!" Leo memejamkan mata, kepalanya menunduk dalam-dalam. "Aku… belum kepikiran sampai ke situ, Ma. Aku... cuma pengen anakku tenang dan ... tidak mati kelaparan." "MAMA TIDAK SETUJU!" Matilda menarik napas panjang, lalu menatap Nayla dengan tajam. "Kecuali ..."Rumah sudah tenang ketika Nayla dan Leo akhirnya berbaring. Lampu kamar diredupkan, menyisakan cahaya hangat dari lampu tidur di sisi ranjang. Leo menghela napas panjang, seperti baru saja menurunkan batu tak kasatmata dari kepalanya—seharian rapat yang berlapis-lapis membuat pelipisnya berdenyut.Ia meraih Nayla, mendekat tanpa kata. Bibirnya menyentuh leher Nayla, mencium pelan aroma sabun mewah yang masih tertinggal di kulit istrinya. Hangat, akrab, dan sangat menenangkan. Nayla memejamkan mata, membiarkan Leo berlama-lama di sana.Tangan Leo menyusup ke balik kain lingerie hitam Nayla. Merayapi pinggang wanitanya yang ramping, dan merambat naik menyusuri rusuknya sebelum meremas lembut dadanya. Nayla menahan napas. Sentuhan-sentuhan Leo selalu memabukkan dirinya.Namun ketika Leo mengangkat wajahnya dan bibir mereka hampir bertemu, Nayla mendadak menegang.“Aku mual, Leo…” ucapnya lirih.Leo segera menarik wajahnya, alisnya berkerut. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, meng
Jarum suntik telah menembus selang infus. Tekanan kecil sudah diberikan—nyaris tak terlihat—saat cairan bening itu mulai bergerak, bercampur perlahan dengan aliran yang seharusnya menyelamatkan. Lalu suara itu terdengar. “Adrian…” Gumaman pelan, serak, seperti nama yang tak sadar terseret keluar dari mimpi. Tangan pria itu membeku. Jarinya refleks melepas tekanan. Napasnya tersangkut di tenggorokan, dadanya naik turun satu kali. Ia menurunkan tangan perlahan, seolah takut suara sekecil apa pun bisa merobek keadaan. Di ranjang, kelopak mata Matilda bergerak. Tak sepenuhnya terbuka, tapi cukup hidup untuk mengenali. “Adrian, kan?” suara itu lirih, namun pasti. “Kamu mau jenguk Aunty, ya?” Tak ada jawaban. Matilda tersenyum tipis, senyum orang tua yang mengenali anaknya bahkan dalam gelap. “Kok diam? Malu ya jenguk nenek-nenek,” katanya pelan. “Biar kamu nggak pakai seragam dokter, muka ditutup masker, jaket gede... Aunty bisa tahu itu kamu... bukan demit." Ia menelan ludah, na
Sore itu, lantai praktik dokter anak terasa lebih riuh dari biasanya. Kursi tunggu penuh, nomor antrean terus bertambah, dan suara panggilan pasien bersahut-sahutan dari balik pintu-pintu ruang periksa lain.“Dokter Adrian sudah datang?” tanya seorang perawat sambil menenteng papan jadwal.Perawat lain menggeleng. “Belum. Jam praktiknya sudah lewat lima belas menit nih."Mereka berpencar. Satu mengecek ruang dokter, satu lagi ke ruang istirahat, sementara yang lain menyusuri lorong menuju nurse station. Nama Adrian disebut berulang, namun jawabannya selalu sama—tidak ada yang lihat.“Aneh,” gumam perawat senior. “Tadi aku sempet lihat dia masih jalan-jalan di lobi. Malah kayaknya sempat ngobrol sebentar sama Ners Dede di dekat lift.”“Terus?” Perawat itu mengernyit. “Dia ke mana sekarang? Masa pulang?"Belum sempat kebingungan itu berujung kepanikan, seorang perawat lain datang tergesa. “Maaf lupa info, aku ketemu Dokter Adrian setengah jam lalu,” katanya cepat. “Dia bilang harus pula
Menjelang sore, langkah kaki Leo terdengar tergesa di lorong rumah sakit. Setibanya di depan kamar perawatan VVIP, ia berhenti sejenak—menarik napas dalam, mengatur ekspresi."Kata Nayla nggak boleh kelihatan panik… tarik napas… buang napas…" gumamnya dalam hati, sebelum akhirnya mendorong pintu dengan senyum selebar harapan orang tua.“Mama…” sapa Leo sambil menenteng dua bungkusan besar di kedua tangannya.Matilda yang sejak tadi sebenarnya sudah terjaga—namun memilih pura-pura tidur karena masih menyimpan kekesalan kecil—membuka satu mata, lalu menutupnya lagi dengan dengusan halus.“Mama… mama…” tirunya. “Senyum kamu lebar banget. Senang, ya, lihat mama rebahan di ranjang rumah sakit?”Leo terkekeh hambar. “Baru datang sudah kena omel. Leo senang kalau mama sehat, Ma.”“Mama itu selalu sehat,” sahut Matilda cepat. “Kalian saja yang berlebihan.”Senyum di wajah Leo perlahan surut. Bahunya mengendur sedikit. Ada rasa bersalah yang tak sempat ia sembunyikan—karena telalu keras melara
Tirai krem terpasang rapi, sofa empuk berjajar di sisi dinding, dan jendela besar memperlihatkan langit siang yang pucat. Matilda duduk setengah bersandar di ranjang kamar perawatan rumah sakit, punggungnya disangga bantal tebal. Bibirnya manyun, alisnya berkerut—ekspresi merasa dipenjara tanpa alasan jelas.“Aduh… pelan-pelan dong, Sus,” protesnya saat perawat mulai memasang infus di lengannya. “Orang saya nggak sakit, kok, pakai diinfus segala.” Ia melirik tajam ke arah Nayla. “Nayla, cepat telepon Leo. Mama pengen marahin dia banget.”Di sudut ruangan, Nayla berdiri dengan ponsel di tangan. Ia melirik layar, lalu menekan nomor Leo sekali lagi. Nada sambung terdengar—sekali, dua kali, tiga kali—namun tak kunjung diangkat. Nayla menghela napas pelan, memaksa dirinya tetap tenang. Leo sudah bilang tadi pagi kalau hari ini ia penuh jadwal rapat, berpindah dari satu ruang meeting ke ruang lainnya.Perawat itu tersenyum sabar. “Tarik napas panjang ya, Bu. Biar infusnya cepat masuk.”Mati
Bukannya tidur, Matteo justru semakin menyala begitu mereka masuk ke ruang praktik dokter. Matanya membulat, sibuk mengamati pohon Natal setinggi botol mineral—entah sudah berapa tahun berdiri di sudut meja dokter—penuh ornamen warna-warni yang berkilau.Lampu putih menggantung lembut di langit-langit, aroma antiseptik samar menguar—bau yang asing bagi sebagian orang, tapi sudah terlalu akrab bagi mereka yang sering bolak-balik rumah sakit.Pintu di sisi ruangan terbuka. Seorang pria berusia akhir lima puluhan masuk sambil membawa map tebal berwarna cokelat. Kacamata bertengger di ujung hidungnya, senyumnya ramah bersahabat—senyum profesional seseorang yang sudah sering berhadapan dengan kecemasan orang lain.“Selamat siang, Bu Matilda,” sapanya hangat. “Sehat-sehat saja kelihatannya.”“Dokter Setiawan,” balas Matilda ringan. “Masih hidup, berarti sehat, Dok.”Dokter Setiawan terkekeh kecil, lalu pandangannya beralih ke bayi di pangkuan Nayla. “Ini?” tanyanya sambil mendekat sedikit.







