Share

BAB 11

Author: Fredy_
last update Last Updated: 2025-07-02 08:58:55

Nayla tersentak, tubuhnya terlonjak dari kursi, dan refleks memeluk Matteo lebih erat di pelukannya. Dari kamar sebelah, terdengar suara pintu terbuka, dan Leo muncul langkah cepat. Rambutnya acak-acakan, kaos tidurnya kusut, dan matanya masih menyisakan bekas kantuk yang belum tuntas. Dan, keterkejutan tercetak jelas di wajahnya saat melihat ibunya berdiri di ambang pintu, menatap Nayla seperti baru saja melihat mahkluk gaib.

"Mama?!" seru Leo. "Kapan datang? Kenapa teriak-teriak gitu, sih? Nanti Matteo nangis lagi."

Sementara itu, Matilda—wanita paruh baya yang berdiri di ambang pintu itu—masih menatap Nayla dengan sorot mata antara takut, bingung, syok, semuanya campur aduk. Tangan kirinya mencengkeram dada sendirinya, seolah jantungnya hampir copot.

"Hantu ... Hantu ...! A-apa kamu... Zoya?! Oh Tuhan, arwahnya datang menjemput bayi ini! Leo! Leo, usir dia!"

Leo nyaris tersedak napasnya sendiri mendengar kalimat ngelantur ibunya.

"Mama! Astaga... bukan! Bukan hantu, Ma! Itu bukan Zoya!" Leo cepat-cepat menghampiri ibunya dan menuntunnya masuk ke dalam kamar. "Ini Nayla. Dia manusia - asli - nyata - bisa disentuh."

Ibunya masih ternganga, matanya bergantian menatap wajah Nayla, lalu bayi mungil yang kini mulai menggeliat kecil dalam pelukan.

"Nayla? Nayla itu siapa? Tadi ... tadi hantu itu nyanyi ... suaranya bagus, mirip suara Zoya ..."

"Mama kurang tidur, ya?" sahut Leo cepat, sambil menyodorkan kursi ke arah ibunya. "Duduk, Ma. Leo jelasin dulu. Dan tolong, jangan panggil dia hantu lagi."

Matilda hanya menatap Leo sejenak, kedua alisnya masih bertaut, wajahnya penuh tanya. Namun, lututnya yang sudah terlanjur lemas, memaksanya duduk. Matilda dudu menggenggam pegangan kursi, masih sedikit kaku. Leo menarik napas panjang.

"Aku tahu Mama syok. Tapi dengerin penjelasan aku dulu ..."

Ia menoleh sebentar ke arah Matteo yang masih tenang dalam dekapan Nayla, sebelum kembali menatap ibunya.

"Bayi itu... dari sejak kita pulang dari rumah sakit, hampir nggak berhenti menangis. Perawat sudah nyoba kasih susu formula macam-macam. Tapi dia tetap nolak. Menjerit, terus-menerus. Aku panik, Ma."

Nada suara Leo melemah, guratan lelah yang belum selesai kembali menghantamnya.

"Aku udah hubungi Adrian. Dia datang kemarin buat periksa. Semuanya normal. Berat badan cukup, pernapasan stabil, suhu tubuh baik... tapi tetap saja, bayi itu nangis. Nggak bisa tenang. Minum susu nggak mau, bahkan sampe muntah."

Matilda mulai tampak lebih tenang, melirik bayi di pelukan Nayla. "Jadi... bayi itu… bener cucuku?"

"Iya, dia cucu Mama."

"Siapa namanya tadi?"

"Matteo, Ma."

Matilda mengerjapkan matanya, seolah ingin memastikan ia tidak sedang bermimpi. "Matteo... cucu Oma...?"

Mendengar Matilda menyebutkan nama bayi itu, Nayla yang sejak tadi berdiri tak jauh, lekas berjalan mendekat agar wanita itu bisa melihat cucunya lebih jelas.

Matilda menatap mereka mendekat. Matanya menyorotkan haru. Saat Nayla sudah semakin dekat, tangan Matilda terangkat, terulur ke arah tubuh mungil itu. Jarinya ragu-ragu menyentuh selimut tipis yang membungkus Matteo, lalu bergerak menyentuh pipi kecil cucunya.

"Oh Tuhan…" napasnya tercekat. "Aku udah punya cucu ... Matteo… cucu Oma… akhirnya Oma bisa lihat kamu… Matteo ... kasihan kamu ... ibu kamu malah ninggalin kamu secepat ini ..." Matilda terisak kecil.

Tangan tuanya bergerak pelan, memeluk tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Nayla, yang mengerti maksud gerakan itu, dengan hati-hati menyerahkan Matteo ke pelukan sang nenek.

Matilda langsung mendekap cucunya, mengusap kepala mungil itu dengan jari-jarinya yang bergetar. "Kamu ganteng, mirip banget Leo waktu bayi…" gumamnya lirih.

"Emm, Ma ..." Leo kembali melanjutkan penjelasannya. "Kesimpulan sementara dari Adrian, Matteo perlu diobservasi ulang, karena tidak bisa susu formula. Dan ... dia hanya bisa menerima ASI."

Matilda menoleh cepat, mengerutkan dahi. "Dia sakit?"

"Bukan sakit ... dia hanya perlu diobservasi ulang saja. Tapi sekarang... sekarang sudah ada Nayla yang akan jadi ibu susu Matteo." Leo menelan ludah kasar.

“Apa?!” pekik Matilda, matanya membulat. "Dia? Wanita ini ...? Kamu izinkan wanita asing menyusui cucu Mama? Leo! Kamu waras nggak?!”

Suasana kamar kembali tegang seketika. Matteo yang sempat terlelap, menggeliat gelisah dalam pelukan sang nenek.

Leo menekan napasnya, berusaha tetap tenang. "Mama, aku nggak punya pilihan lain. Aku belum pernah jadi ayah sebelumnya, aku nggak ngerti harus gimana, dan jelas... aku nggak bisa nyusuin anakku sendiri!"

"Tapi kenapa wanita ini? Kamu nggak curiga sama sekali?" Nada suara Matilda meninggi. "Bagaimana kalau besok-besok dia bawa kabur cucu Mama?! Matteo cucu pertama keluarga kita, Leo! Penerus darah Utama yang kelak akan mewarisi semua bisnis kita!"

Leo memejamkan mata, kepalanya menunduk dalam-dalam. "Aku… belum kepikiran sampai ke situ, Ma. Aku... cuma pengen anakku tenang dan ... tidak mati kelaparan."

"MAMA TIDAK SETUJU!" Matilda menarik napas panjang, lalu menatap Nayla dengan tajam. "Kecuali ..."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
De Edward
Oma Mat galak nih
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Up lagi dong kak .... penasaran euy
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Kecuali nikahi wanita itu ...kata mm Matilda hihihi
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 105

    Suasana kamar mendadak mencekam. Udara sejuk dari hembusan AC, menusuk dingin kulit mereka, diiringi gumaman kecil Matteo yang masih berusaha menegakkan tubuh mungilnya. Surti duduk di ujung ranjang, menatap Nayla dengan sorot mata tajam.“Nay… sekarang kamu yang cerita semua sama aku... aku dengerin kamu," ujar Surti. "Cerita, kamu kenal sama cowok ini di mana? Kok bisa sampai… sampai tidur sama dia? Apa kamu… kamu cinta sama dia? Sampe-sampe kamu... rela kasih keperawananmu gitu aja?"Nayla mengangkat wajahnya pelan, matanya sudah basah. Tubuhnya gemetar, seolah pertanyaan itu membelah hatinya jadi dua. Air mata jatuh satu-satu, membasahi pipi.“Ti… aku kenal dia di vila...” suaranya parau. “Dia... cowok pertama yang bilang suka sama aku...""Ya ampun, Nay..." Surti gemas sekali mendengar pengakuan Nayla. Dadanya naik turun cepat, tangannya meremas surat itu seolah meremas kepolosan Nayla. "Lanjut.... terus? Kamu cinta dia?" todongnya.Nayla menggeleng lugu, matanya berkaca-kaca. "A

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 104

    Suara deru mesin mobil Leo berpacu dengan detak jantungnya. Dua motor besar yang sedari tadi membuntuti makin liar, jaraknya semakin rapat. Dari kaca spion, Leo seperti bisa menangkap tatapan tajam mata elang pengendara di balik helm hitam. Leo bergegas menekan tombol handsfree di layar mobil, menelepon Putra. “Halo, Pak Boss?” suara Putra terdengar riang, seolah dunia baik-baik saja. “Put, kamu masih di hotel?” tanya Leo, berusaha terdengar tenang meski telapak tangannya sudah berkeringat menggenggam setir. “Masih, Boss. Lagi siap-siap turun. Jadi kita makan di mana, nih?” “Kamu duluan aja ya, ke Warung—” ucapan Leo terpotong ketika salah satu motor tiba-tiba menyalip dari kanan, menutup jalurnya. Refleks Leo berbelok tajam dan mengumpat, “Bajingan!” Putra terperanjat. “Warung Bajingan? Di mana tuh, Boss?” “Bukan! Bukan bajingan!” Leo mendengus, menekan gas lagi. “Oh… bukan bajingan. Bujangan? Bapak mau makan bakso apa bebek?" tanya Putra. “Warung di Jalan Riau… Warung—” suar

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 103

    Pertemuan bisnis semalam sebenarnya berjalan cukup menyenangkan. Ruangan hotel bintang lima itu penuh tawa, gelas-gelas kristal beradu, aroma wine menguar samar, dan obrolan mengalir dari satu meja ke meja lainnya. Leo duduk di kursinya dengan sikap tenang, sesekali tersenyum tipis ketika lawan bicara mengajaknya berbincang. Ya, pertemuan itu menyenangkan, kalau saja… Budiman Surya tidak muncul. Pria tua itu datang sambil petantang-petenteng, mengenakan jas terlalu mencolok dengan dasi bermotif kuning emas. Suaranya sengaja dibuat keras, agar semua orang di ruangan menoleh. Sungguh haus perhatian dan validasi. “Hotel baru saya, The Golden Crown, resmi dibuka bulan depan! Semua orang penting sudah dapat undangan, tentu saja kalian juga!” serunya dengan bangga, sambil membusungkan dada. "Hotel baru saya... hotel baru saya..." Leo mendesah kasar dalam hati. "Semua orang juga sudah tahu, dari mana modal The Golden Crown." Orang-orang di ruangan itu juga mungkin hanya tertawa basa-basi

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 102

    Nayla menatap buket mawar itu tak berkedip. Dadanya berdegup tak karuan, rasa gelisah yang tadi sudah coba ia tahan agar tidak ikut dirasakan Matteo, kini menyergapnya lagi. Ia bangkit dari duduknya, mendekat ke meja makan. Surti yang masih penasaran dengan buket itu, sigap menarik kartu kecil yang terselip di antara kelopak bunga. Dan membaca sebaris tulisan di kartu dengan lantang. "Telpon aku, Nanay!” Surti menjerit kecil sambil menutup mulutnya, lalu terkekeh geli. “Aduuhh, Pak Leo! Dia kangen kamu telpon tuh, Nay. Eh, dia keluar kota ke mana sih? Jauh ya? Nyampe minta kamu telepon segala. Ihh… iri dweh aku sama kamoh,” candanya sambil menggoyang-goyangkan kedua tangannya gemas. Namun kali ini, wajah Nayla sama sekali tidak tersipu. Ia tidak tersenyum, atau pun membantah sambil salah tingkah seperti biasanya. Tubuhnya menegang kaku. Jari-jarinya yang tadi menggenggam kain gendongan Matteo, kini mengepal kuat. Bukan! Leo tidak mungkin menyuruhnya telepon. Kalau ada hal penting

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 101

    “Nih, kamu bisa tidur di sini, Ti. Dulu aku sama BuDe pakai kamar ini. Udah aku beresin sih pas BuDe dipecat Mama. Cuma spreinya pasang sendiri, ya,” ujar Nayla sambil mendorong pintu kamar pembantu dan menyalakan lampu. Surti melongok ke dalam, matanya berbinar. “Wih, makasih banget, Nay. Aku nekat kabur dari rumah itu tanpa mikir panjang. Yang penting bisa ketemu kamu dulu. Urusan tidur belum aku pikirin sama sekali. Eh, malah dikasih kamar enak gini." Nayla tersenyum lembut, meski hatinya masih sesak melihat wajah memar temannya itu. “Nekat kamu bagus, Ti. Sekarang istirahat ya. Besok pagi atau siang kalau Leo udah pulang, aku bantu obrolin soal utangmu.” “Hehehe, iya, iya…” Surti nyengir, lalu duduk di tepi ranjang. “Terus… kamu tidur di mana, Nay?” “Oh, aku di atas bareng Matteo. Di sebelah kamar Leo,” jawab Nayla santai sambil mengeluarkan sprei dan bantal dari lemari. Surti langsung tersenyum nakal. “Kamar sebelahan gitu, nggak takut malem-malem ada yang salah kamar tuh?"

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 100

    "Paket? Kok malem-malem begini?" tanya Pak Dirman dari celah pagar, suaranya setengah curiga setengah waspada dari celah pagar. Malam menebal, lampu taman memantulkan siluet sosok berjaket tebal dengan tudung yang ditarik rapat, dan masker menutupi separuh wajahnya. Hanya mata dan sedikit dahi yang tampak, sayu dan lelah. Sosok misterius itu menggeleng pelan. "Bukan paket? Terus apa? Mau minta sumbangan? Udah malem, nggak terima tamu" ujar Pak Dirman tegas. Sosok itu menggeleng lagi, lebih kuat. “Bukan, Pak. Saya… saya mau ketemu sama... Nanay.” “Nanay? Bu Nayla?” Pak Dirman memajukan wajah sampai menempel ke jeruji pagar, mencoba mengintip lebih jelas. “Kamu ini... siapa? Suara kamu mirip—” “Pak, tolong…” potong sosok itu, suaranya mendesak. “Sebentar aja. Saya ada perlu sama Nayla... penting. Menyangkut hidup dan masa depan saya, Pak." Nada putus asa itu membuat Pak Dirman tersentak. Kata-katanya berat, seolah membawa beban besar. Hatinya mendadak cemas. “Jam segini Bu Nayl

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status