Share

BAB 2

Author: Fredy_
last update Last Updated: 2025-04-29 08:09:42

Halaman belakang rumah itu menyambut mereka dengan suasana yang berbeda. Lantai batu abu muda yang bersih, lampu taman kecil yang tertanam rapi di sepanjang jalur, dan sebuah bangku taman terletak di bawah pohon kamboja. Yang paling mencolok bagi Nayla, deretan koleksi bonsai dalam pot-pot batu bergaya klasik.

Nayla memandangi barisan bonsai itu. Teringat koleksi bonsainya yang ada di vila. Setiap pohon kecil itu ia rawat sendiri dengan telaten, disiram setiap pagi, bahkan diberi nama satu per satu.

Nama? Nayla tertegun melihat sebuah tanaman bonsai yang terdapat ukiran nama di potnya. Inul, batinnya. Dulu, ia juga pernah menamai bonsainya dengan nama yang sama, karena batangnya yang meliuk-liuk seperti sedang bergoyang.

"Nay, sini!" panggil Surti menepuk bangku taman, sambil meroboh ponsel jadulnya dari kantong celana. "Duduk dulu. Aku mau telpon Bu Lilis."

Nayla menurut. Ia melangkah pelan ke arah bangku dan duduk di ujungnya, matanya masih melirik ke arah bonsai. Sementara itu, Surti sudah sibuk menekan-nekan tombol ponselnya, lalu menempelkannya ke telinga.

"Halo, Bu Lilis? Iya, ini Surti. Kita udah di rumah Bu Zoya…" Suaranya menurun pelan. "Iya... Tapi, Bu Zoya ... meninggal ..."

Surti masih bercakap-cakap dengan Bu Lilis. Nayla menatap sandal jepit yang menjadi alas kakinya, sambil mendengarkan suara angin sore meniup pelan, yang semakin lama suaranya terdengar seperti ... Tangisan bayi?

"Eh, Nay ... Nanay ... Kamu mau ke mana?" tegur Surti pelan sambil menempelkan telepon ke telinga yang lain.

Tapi Nayla sudah berdiri.

Kakinya melangkah perlahan menuju pintu dapur di sisi rumah yang entah kenapa dibiarkan terbuka. Angin semilir menyibak tirai tipis yang menggantung di ambang pintu. Suara tangis itu kini terdengar lebih jelas.

Langkah Nayla ringan, seperti tubuhnya dikendalikan oleh suara kecil itu. Ia bahkan tidak menoleh ketika Surti berseru lebih kencang, “Nay! Jangan bikin masalah, Nay!"

Namun Nayla terus berjalan masuk. Naluri keibuannya tak sanggup menolak panggilan itu.

Langkah Nayla terasa ringan, hampir tanpa suara, saat ia menyelinap masuk ke dalam rumah melalui pintu dapur yang terbuka. Bagian belakang rumah itu begitu sepi, kontras dengan keramaian para pelayat di ruang tamu. Suara tangisan bayi yang tadi samar, kini terdengar semakin jelas—seperti gema yang menuntunnya, memanggil. Jantung Nayla berdegup kencang, dadanya sesak oleh sesuatu yang belum bisa ia beri nama.

Nayla berjalan menyusuri lorong yang sunyi, melewati dinding berwarna putih bersih yang dihiasi lukisan-lukisan abstrak dalam bingkai hitam. Di ujung lorong terdapat sebuah tangga kayu dengan pegangan besi hitam yang mengarah ke lantai dua. Nayla ragu sejenak, lalu meletakkan telapak tangannya di pegangan dingin itu, dan mulai menaiki anak tangga satu per satu. 

Tangisan bayi itu semakin nyaring. Bukan sekadar tangisan lapar atau ngantuk. Tapi jerit kesepian, jerit kebingungan—seperti sedang memanggil ibu yang belum pernah dikenalnya.

"Ya ampun, kenapa lagi sih, Ganteng? Susu premium ini lho ... mahal ... ayo, minum ..."

Sebuah pintu kamar di ujung lorong lantai dua terbuka setengah. Suara panik seorang perawat menembus dari celahnya. Wanita berseragam putih itu bergerak mondar-mandir sambil menggendong bayi mungil yang terus menangis kencang.

"Kamu nggak mau yang ini, ya? Mau yang mana? Yang ini? Ini susu bayi sejuta umat. Jadi harusnya kamu mau ... yuk, dicoba ..."

Perawat itu meraih botol yang lain, tapi baru saja masuk sedikit, bayi itu sudah memuntahkan lagi cairan susu ke sisi mulutnya.

"Yah, muntah lagi. Aduuhh... apa kamu nggak lapar ya? Ini susunya hangat, enak loh ..."

Perawat itu tampak hampir putus asa. Keringat sebiji jagung mengalir di pelipisnya. Namun, si bayi tetap merengek keras, wajahnya merah dan basah oleh tangis serta sisa susu yang menetes.

"Harus telpon dokter, nih. Apa jangan-jangan dia ada masalah pencernaan? Tapi katanya sebelum keluar rumah sakit sehat-sehat saja ..."

Dengan gerakan hati-hati, perawat itu menurunkan si bayi ke dalam keranjang bayi di dekat jendela. Dia mengusap wajahnya yang lelah, lalu merogoh saku bajunya, mencari ponsel dengan jemari gemetar.

"Angkat, Dok. Aku bingung harus gimana lagi…" Perawat itu menempelkan ponsel di telinga dan membalikkan badannya menghadap dinding kamar, matanya terpejam, satu tangan memijat kening. Tidak sadar ada seseorang yang berdiri di ambang pintu.

Nayla diam di sana, kakinya terpaku. Tetapi, naluri keibuannya terus mendesak dari dalam dada, mendorongnya untuk melangkah masuk tanpa suara. Cahaya matahari menembus jendela, menyinari keranjang kecil itu. Nayla mendekat ... jantungnya berdebar ingin segera melihat wajah bayi itu.

Dan saat ia melihat wajah mungil itu—napasnya tertahan.

Bayi itu begitu kecil. Kulitnya kemerahan, matanya sembab. Tapi bibir mungilnya terus mengecap, seperti mencari-cari sesuatu ... atau seseorang. 

Dalam sekejap, Nayla seperti disambar sebuah perasaan rindu yang begitu dalam. Tanpa sadar, air matanya mengalir, dan tangannya terulur, menyentuh pipi bayi itu dengan ujung jemari. Hangat. Lembut. Begitu hidup.

"Ganteng banget ...." gumam Nayla dalam hati.

Tepat saat itu juga, secara ajaib ... bayi itu berhenti menangis.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Bisa jadinya bayi tau naynay ibu yg baik
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 230

    Adrian melesat di lorong rumah sakit seperti bayangan yang dikejar suara sendiri. Langkahnya cepat, nyaris berlari, kepala menunduk, napasnya tak beraturan. Setiap detik terasa terlalu panjang, setiap lampu lorong seperti mata yang mengawasi.Begitu pintu darurat tertutup di belakangnya, udara malam menghantam wajahnya. Ia menyambar helm, menyalakan motor besar itu tanpa ragu. Suara mesin menggeram rendah—lalu melengking—seolah ikut memuntahkan amarah yang ia pendam. Adrian melaju, membelah malam, meninggalkan rumah sakit.Dadanya berdebar kencang. Iri. Dengki. Dua perasaan itu bergantian menghantam, menutup ruang bagi sepercik rasa bersalah. Wajah Matilda sempat melintas, tapi cepat ia tepis. Ia malah memilih mengingat hal yang lain. Nama Leo. CEO Graha Utama. Sepupu yang ia anggap terlalu beruntung.Namun suara Matilda kembali bergulung di telinganya, makin lama makin jelas.“Apa nggak kepikiran buka praktik sendiri, Dri?”“Aunty punya tanah di Surabaya…”Adrian menggertakkan gigi.

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 229

    Rumah sudah tenang ketika Nayla dan Leo akhirnya berbaring. Lampu kamar diredupkan, menyisakan cahaya hangat dari lampu tidur di sisi ranjang. Leo menghela napas panjang, seperti baru saja menurunkan batu tak kasatmata dari kepalanya—seharian rapat yang berlapis-lapis membuat pelipisnya berdenyut.Ia meraih Nayla, mendekat tanpa kata. Bibirnya menyentuh leher Nayla, mencium pelan aroma sabun mewah yang masih tertinggal di kulit istrinya. Hangat, akrab, dan sangat menenangkan. Nayla memejamkan mata, membiarkan Leo berlama-lama di sana.Tangan Leo menyusup ke balik kain lingerie hitam Nayla. Merayapi pinggang wanitanya yang ramping, dan merambat naik menyusuri rusuknya sebelum meremas lembut dadanya. Nayla menahan napas. Sentuhan-sentuhan Leo selalu memabukkan dirinya.Namun ketika Leo mengangkat wajahnya dan bibir mereka hampir bertemu, Nayla mendadak menegang.“Aku mual, Leo…” ucapnya lirih.Leo segera menarik wajahnya, alisnya berkerut. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, meng

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 228

    Jarum suntik telah menembus selang infus. Tekanan kecil sudah diberikan—nyaris tak terlihat—saat cairan bening itu mulai bergerak, bercampur perlahan dengan aliran yang seharusnya menyelamatkan. Lalu suara itu terdengar. “Adrian…” Gumaman pelan, serak, seperti nama yang tak sadar terseret keluar dari mimpi. Tangan pria itu membeku. Jarinya refleks melepas tekanan. Napasnya tersangkut di tenggorokan, dadanya naik turun satu kali. Ia menurunkan tangan perlahan, seolah takut suara sekecil apa pun bisa merobek keadaan. Di ranjang, kelopak mata Matilda bergerak. Tak sepenuhnya terbuka, tapi cukup hidup untuk mengenali. “Adrian, kan?” suara itu lirih, namun pasti. “Kamu mau jenguk Aunty, ya?” Tak ada jawaban. Matilda tersenyum tipis, senyum orang tua yang mengenali anaknya bahkan dalam gelap. “Kok diam? Malu ya jenguk nenek-nenek,” katanya pelan. “Biar kamu nggak pakai seragam dokter, muka ditutup masker, jaket gede... Aunty bisa tahu itu kamu... bukan demit." Ia menelan ludah, na

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 227

    Sore itu, lantai praktik dokter anak terasa lebih riuh dari biasanya. Kursi tunggu penuh, nomor antrean terus bertambah, dan suara panggilan pasien bersahut-sahutan dari balik pintu-pintu ruang periksa lain.“Dokter Adrian sudah datang?” tanya seorang perawat sambil menenteng papan jadwal.Perawat lain menggeleng. “Belum. Jam praktiknya sudah lewat lima belas menit nih."Mereka berpencar. Satu mengecek ruang dokter, satu lagi ke ruang istirahat, sementara yang lain menyusuri lorong menuju nurse station. Nama Adrian disebut berulang, namun jawabannya selalu sama—tidak ada yang lihat.“Aneh,” gumam perawat senior. “Tadi aku sempet lihat dia masih jalan-jalan di lobi. Malah kayaknya sempat ngobrol sebentar sama Ners Dede di dekat lift.”“Terus?” Perawat itu mengernyit. “Dia ke mana sekarang? Masa pulang?"Belum sempat kebingungan itu berujung kepanikan, seorang perawat lain datang tergesa. “Maaf lupa info, aku ketemu Dokter Adrian setengah jam lalu,” katanya cepat. “Dia bilang harus pula

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 226

    Menjelang sore, langkah kaki Leo terdengar tergesa di lorong rumah sakit. Setibanya di depan kamar perawatan VVIP, ia berhenti sejenak—menarik napas dalam, mengatur ekspresi."Kata Nayla nggak boleh kelihatan panik… tarik napas… buang napas…" gumamnya dalam hati, sebelum akhirnya mendorong pintu dengan senyum selebar harapan orang tua.“Mama…” sapa Leo sambil menenteng dua bungkusan besar di kedua tangannya.Matilda yang sejak tadi sebenarnya sudah terjaga—namun memilih pura-pura tidur karena masih menyimpan kekesalan kecil—membuka satu mata, lalu menutupnya lagi dengan dengusan halus.“Mama… mama…” tirunya. “Senyum kamu lebar banget. Senang, ya, lihat mama rebahan di ranjang rumah sakit?”Leo terkekeh hambar. “Baru datang sudah kena omel. Leo senang kalau mama sehat, Ma.”“Mama itu selalu sehat,” sahut Matilda cepat. “Kalian saja yang berlebihan.”Senyum di wajah Leo perlahan surut. Bahunya mengendur sedikit. Ada rasa bersalah yang tak sempat ia sembunyikan—karena telalu keras melara

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 225

    Tirai krem terpasang rapi, sofa empuk berjajar di sisi dinding, dan jendela besar memperlihatkan langit siang yang pucat. Matilda duduk setengah bersandar di ranjang kamar perawatan rumah sakit, punggungnya disangga bantal tebal. Bibirnya manyun, alisnya berkerut—ekspresi merasa dipenjara tanpa alasan jelas.“Aduh… pelan-pelan dong, Sus,” protesnya saat perawat mulai memasang infus di lengannya. “Orang saya nggak sakit, kok, pakai diinfus segala.” Ia melirik tajam ke arah Nayla. “Nayla, cepat telepon Leo. Mama pengen marahin dia banget.”Di sudut ruangan, Nayla berdiri dengan ponsel di tangan. Ia melirik layar, lalu menekan nomor Leo sekali lagi. Nada sambung terdengar—sekali, dua kali, tiga kali—namun tak kunjung diangkat. Nayla menghela napas pelan, memaksa dirinya tetap tenang. Leo sudah bilang tadi pagi kalau hari ini ia penuh jadwal rapat, berpindah dari satu ruang meeting ke ruang lainnya.Perawat itu tersenyum sabar. “Tarik napas panjang ya, Bu. Biar infusnya cepat masuk.”Mati

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status