Halaman belakang rumah itu menyambut mereka dengan suasana yang berbeda. Lantai batu abu muda yang bersih, lampu taman kecil yang tertanam rapi di sepanjang jalur, dan sebuah bangku taman terletak di bawah pohon kamboja. Yang paling mencolok bagi Nayla, deretan koleksi bonsai dalam pot-pot batu bergaya klasik.
Nayla memandangi barisan bonsai itu. Teringat koleksi bonsainya yang ada di vila. Setiap pohon kecil itu ia rawat sendiri dengan telaten, disiram setiap pagi, bahkan diberi nama satu per satu.
Nama? Nayla tertegun melihat sebuah tanaman bonsai yang terdapat ukiran nama di potnya. Inul, batinnya. Dulu, ia juga pernah menamai bonsainya dengan nama yang sama, karena batangnya yang meliuk-liuk seperti sedang bergoyang.
"Nay, sini!" panggil Surti menepuk bangku taman, sambil meroboh ponsel jadulnya dari kantong celana. "Duduk dulu. Aku mau telpon Bu Lilis."
Nayla menurut. Ia melangkah pelan ke arah bangku dan duduk di ujungnya, matanya masih melirik ke arah bonsai. Sementara itu, Surti sudah sibuk menekan-nekan tombol ponselnya, lalu menempelkannya ke telinga.
"Halo, Bu Lilis? Iya, ini Surti. Kita udah di rumah Bu Zoya…" Suaranya menurun pelan. "Iya... Tapi, Bu Zoya ... meninggal ..."
Surti masih bercakap-cakap dengan Bu Lilis. Nayla menatap sandal jepit yang menjadi alas kakinya, sambil mendengarkan suara angin sore meniup pelan, yang semakin lama suaranya terdengar seperti ... Tangisan bayi?
"Eh, Nay ... Nanay ... Kamu mau ke mana?" tegur Surti pelan sambil menempelkan telepon ke telinga yang lain.
Tapi Nayla sudah berdiri.
Kakinya melangkah perlahan menuju pintu dapur di sisi rumah yang entah kenapa dibiarkan terbuka. Angin semilir menyibak tirai tipis yang menggantung di ambang pintu. Suara tangis itu kini terdengar lebih jelas.
Langkah Nayla ringan, seperti tubuhnya dikendalikan oleh suara kecil itu. Ia bahkan tidak menoleh ketika Surti berseru lebih kencang, “Nay! Jangan bikin masalah, Nay!"
Namun Nayla terus berjalan masuk. Naluri keibuannya tak sanggup menolak panggilan itu.
Langkah Nayla terasa ringan, hampir tanpa suara, saat ia menyelinap masuk ke dalam rumah melalui pintu dapur yang terbuka. Bagian belakang rumah itu begitu sepi, kontras dengan keramaian para pelayat di ruang tamu. Suara tangisan bayi yang tadi samar, kini terdengar semakin jelas—seperti gema yang menuntunnya, memanggil. Jantung Nayla berdegup kencang, dadanya sesak oleh sesuatu yang belum bisa ia beri nama.
Nayla berjalan menyusuri lorong yang sunyi, melewati dinding berwarna putih bersih yang dihiasi lukisan-lukisan abstrak dalam bingkai hitam. Di ujung lorong terdapat sebuah tangga kayu dengan pegangan besi hitam yang mengarah ke lantai dua. Nayla ragu sejenak, lalu meletakkan telapak tangannya di pegangan dingin itu, dan mulai menaiki anak tangga satu per satu.
Tangisan bayi itu semakin nyaring. Bukan sekadar tangisan lapar atau ngantuk. Tapi jerit kesepian, jerit kebingungan—seperti sedang memanggil ibu yang belum pernah dikenalnya.
"Ya ampun, kenapa lagi sih, Ganteng? Susu premium ini lho ... mahal ... ayo, minum ..."
Sebuah pintu kamar di ujung lorong lantai dua terbuka setengah. Suara panik seorang perawat menembus dari celahnya. Wanita berseragam putih itu bergerak mondar-mandir sambil menggendong bayi mungil yang terus menangis kencang.
"Kamu nggak mau yang ini, ya? Mau yang mana? Yang ini? Ini susu bayi sejuta umat. Jadi harusnya kamu mau ... yuk, dicoba ..."
Perawat itu meraih botol yang lain, tapi baru saja masuk sedikit, bayi itu sudah memuntahkan lagi cairan susu ke sisi mulutnya.
"Yah, muntah lagi. Aduuhh... apa kamu nggak lapar ya? Ini susunya hangat, enak loh ..."
Perawat itu tampak hampir putus asa. Keringat sebiji jagung mengalir di pelipisnya. Namun, si bayi tetap merengek keras, wajahnya merah dan basah oleh tangis serta sisa susu yang menetes.
"Harus telpon dokter, nih. Apa jangan-jangan dia ada masalah pencernaan? Tapi katanya sebelum keluar rumah sakit sehat-sehat saja ..."
Dengan gerakan hati-hati, perawat itu menurunkan si bayi ke dalam keranjang bayi di dekat jendela. Dia mengusap wajahnya yang lelah, lalu merogoh saku bajunya, mencari ponsel dengan jemari gemetar.
"Angkat, Dok. Aku bingung harus gimana lagi…" Perawat itu menempelkan ponsel di telinga dan membalikkan badannya menghadap dinding kamar, matanya terpejam, satu tangan memijat kening. Tidak sadar ada seseorang yang berdiri di ambang pintu.
Nayla diam di sana, kakinya terpaku. Tetapi, naluri keibuannya terus mendesak dari dalam dada, mendorongnya untuk melangkah masuk tanpa suara. Cahaya matahari menembus jendela, menyinari keranjang kecil itu. Nayla mendekat ... jantungnya berdebar ingin segera melihat wajah bayi itu.
Dan saat ia melihat wajah mungil itu—napasnya tertahan.
Bayi itu begitu kecil. Kulitnya kemerahan, matanya sembab. Tapi bibir mungilnya terus mengecap, seperti mencari-cari sesuatu ... atau seseorang.
Dalam sekejap, Nayla seperti disambar sebuah perasaan rindu yang begitu dalam. Tanpa sadar, air matanya mengalir, dan tangannya terulur, menyentuh pipi bayi itu dengan ujung jemari. Hangat. Lembut. Begitu hidup.
"Ganteng banget ...." gumam Nayla dalam hati.
Tepat saat itu juga, secara ajaib ... bayi itu berhenti menangis.
"Oh itu... bule ya, Ti?" tanya Nayla, sembari merapikan kancing bajunya."Bule dari mana? Asal pirang kamu bilang bule. Heran banget," sahut Surti, masih mengkeret di kursinya."Ah, tapi pasti ada turunan bule... hidungnya mancung gitu," Nayla sengaja melantur untuk mengalihkan ketegangan Surti."Kalau punya duit banyak, hidung pesek bisa jadi mancung, gigi mancung bisa jadi rata. Gampang banget..." balas Surti."Ohh... gitu..." Nayla mengangguk-angguk.Di belakang kemudi, Leo ikut menggulung senyum, menahan tawa. Yah, percakapan receh semacam ini memang sangat ia butuhkan. Makanya, ia sering sengaja nongkrong bareng Putra dan staff lain di kantin kantor. Hanya untuk mendengarkan obrolan ringan, absurd, dan jauh dari urusan kantor."Turun, yuk..." ujar Nayla, setelah memasang topi kecil di kepala Matteo.Surti mencengkeram pinggiran kursi mobil, wajahnya pucat pasi. “Aku nggak mau turun, Nay… sumpah aku takut. Aku bisa kena pukul lagi gara-gara kabur kelamaan…” bisiknya.Nayla menoleh
Pagi itu, Nayla sudah tampil cantik dengan terusan warna cerah. Rambut panjangnya disisir rapi, jatuh indah di bahu. Matteo bersandar nyaman di dadanya, sementara tas ASI tersampir di bahu kiri. Ia berdiri di depan pintu kamar Surti, mengetuk pelan.“Ti, udah siap? Leo bentar lagi turun,” panggil Nayla.“Bentar, Nay. Bentar… rambut aku masih basah. Emang rambut kamu nggak basah, gitu?” sahut Surti dari dalam, suaranya terdengar menggoda.Nayla spontan mengangkat sebelah alis. “Aunty Surti! Semua gara-gara kamu ya... udah ah, nggak usah bercanda..." sahutnya salah tingkah. Dari dalam, terdengar tawa cekikikan Surti.Rona merah merambat di wajah Nayla, pikirannya melayang pada kejadian semalam.Di dapur, suasana masih menyisakan aroma antiseptik. Dalam hening itu, Nayla akhirnya membuka suara, menceritakan semua masalah Surti dengan jemari mereka yang saling bertaut.Leo mendengarkan dengan wajah serius, matanya tak lepas dari wajah Nayla. Ia sama sekali tak bereaksi berlebihan, bahkan
“Hallo, Nanay…” Kalimat itu menghantam telinga Nayla lebih kuat daripada petir di siang bolong. Napasnya tercekat. Kenapa suara maskulin di seberang sana bisa langsung tahu kalau itu telepon darinya? “Nomor ini… hanya kita berdua yang tahu,” sahut pria itu dengan nada rendah yang terdengar mantap. "Apa kabar, Nanay? Kamu sehat?” Nayla mencengkeram erat ponselnya. “Jax? Kamu… benar Jax?” “Iya lah! Siapa lagi, Nay? Lelaki yang pernah melihat liontin mawar itu menggantung di leher kamu…” suara Jax terdengar seperti bisikan masa lalu yang menusuk jantungnya. “Nay… kita harus bertemu.” Nayla buru-buru menyerobot, “Untuk apa kamu mencariku, Jax?” Hening sejenak di ujung sana, sebelum Jax berdesah. “Kamu pasti kecewa sama aku, kan? Maafin aku, Nay. Banyak yang harus aku ceritakan sama kamu. Bukan mau aku menghilang selama sembilan bulan. Itu… siksaan paling mematikan dalam hidupku.” Suaranya semakin lirih, seperti benar-benar tersiksa. “Kamu harus percaya aku…” Nayla memejamkan mata,
Cahaya matahari meredup, saat mobil Leo tiba di Jakarta. Ia melaju kencang menembus kepadatan jalan pulang. Tatapannya lurus ke depan, seakan tidak peduli pada permasalahan dunia di sekitarnya. Hanya ada satu tujuan di kepalanya—markas geng motor yang pernah ia datangi bersama Zoya. Waktu itu, Zoya kalut, stress berat, karena Jax menghilang berhari-hari. Mereka mencarinya ke segala penjuru, sampai akhirnya menjejakkan kaki di tempat itu—bangunan setengah jadi, setengah runtuh, ditelan pepohonan liar yang menjulur setinggi atap. Bukan tempat manusia waras, melainkan sarang orang-orang tak jelas seperti Jax dan gerombolannya. Kini, tempat itu masih sama saja, suram, lembap, lebih cocok disebut sarang dedemit ketimbang tempat berkumpul manusia. Leo menghentikan mobil persis di depan bangunan. Ia mematikan mesin, lalu segera keluar dari mobil. Sepatu kulitnya menghantam tanah dengan berat, penuh ancaman. Matanya menerawang ruangan remang-remang di balik pintu reyot itu. Tanpa basa-basi,
Suasana kamar mendadak mencekam. Udara sejuk dari hembusan AC, menusuk dingin kulit mereka, diiringi gumaman kecil Matteo yang masih berusaha menegakkan tubuh mungilnya. Surti duduk di ujung ranjang, menatap Nayla dengan sorot mata tajam.“Nay… sekarang kamu yang cerita semua sama aku... aku dengerin kamu," ujar Surti. "Cerita, kamu kenal sama cowok ini di mana? Kok bisa sampai… sampai tidur sama dia? Apa kamu… kamu cinta sama dia? Sampe-sampe kamu... rela kasih keperawananmu gitu aja?"Nayla mengangkat wajahnya pelan, matanya sudah basah. Tubuhnya gemetar, seolah pertanyaan itu membelah hatinya jadi dua. Air mata jatuh satu-satu, membasahi pipi.“Ti… aku kenal dia di vila...” suaranya parau. “Dia... cowok pertama yang bilang suka sama aku...""Ya ampun, Nay..." Surti gemas sekali mendengar pengakuan Nayla. Dadanya naik turun cepat, tangannya meremas surat itu seolah meremas kepolosan Nayla. "Lanjut.... terus? Kamu cinta dia?" todongnya.Nayla menggeleng lugu, matanya berkaca-kaca. "A
Suara deru mesin mobil Leo berpacu dengan detak jantungnya. Dua motor besar yang sedari tadi membuntuti makin liar, jaraknya semakin rapat. Dari kaca spion, Leo seperti bisa menangkap tatapan tajam mata elang pengendara di balik helm hitam. Leo bergegas menekan tombol handsfree di layar mobil, menelepon Putra. “Halo, Pak Boss?” suara Putra terdengar riang, seolah dunia baik-baik saja. “Put, kamu masih di hotel?” tanya Leo, berusaha terdengar tenang meski telapak tangannya sudah berkeringat menggenggam setir. “Masih, Boss. Lagi siap-siap turun. Jadi kita makan di mana, nih?” “Kamu duluan aja ya, ke Warung—” ucapan Leo terpotong ketika salah satu motor tiba-tiba menyalip dari kanan, menutup jalurnya. Refleks Leo berbelok tajam dan mengumpat, “Bajingan!” Putra terperanjat. “Warung Bajingan? Di mana tuh, Boss?” “Bukan! Bukan bajingan!” Leo mendengus, menekan gas lagi. “Oh… bukan bajingan. Bujangan? Bapak mau makan bakso apa bebek?" tanya Putra. “Warung di Jalan Riau… Warung—” suar