Sarah tidak menjawab apa yang dikatakan okeh kakak iparnya, Baskara. Sarah lebih memilih untuk membawa langkahnya juga Azka yang berada di pelukannya untuk masuk ke kamar miliknya. Dia tidak ingin menganggap serius ucapan dari kakak iparnya itu yang benar-benar tidak masuk akal.
“Aku tak ingin ambil pusing, lebih baik aku mengadu pada pria yang kucintai,” gumamnya pelan, tak ingin menganggu bayi yang masih di pelukannya.
Malam itu, karena ingin melupakan permintaan tak masuk akal dari kakak iparnya, dia memutuskan untuk menemui kekasihnya. Sarah berjalan ke arah kamarnya untuk menidurkan Azka karena dia akan pergi setelah Azka tertidur.
Setelah semuanya selesai, dia kembali berjalan ke arah box bayi Azka dan mencium kening Azka dengan lembut.
"Aunty mau pergi dulu ya, Azka yang anteng ya sayang."
Kening Azka dikecup pelan oleh Sarah, setelah itu Sarah kemudian mulai pergi meninggalkan kamarnya.
Namun, tiba-tiba sebuah suara mengejutkannya. "Mau ke mana, Sar?"
Sarah menghentikan langkahnya ketika menemukan bahwa ibunya telah berada di hadapannya.
Tanpa banyak basa-basi, Sarah memegang tangan ibunya, "Ma, aku titip Azka ya? Aku mau ketemu sama temen aku dulu. Sebentar kok."
Sang ibu menganggukkan kepalanya dan mempersilahkan Sarah untuk pergi, membuat Sarah segera berpamitan dan berjalan meninggalkan sang ibu.
Bu Ayu memandang sendu punggung Sarah yang perlahan menghilang dari pandangannya. Bu Ayu sengaja tidak melarang Sarah untuk pergi, karena bu Ayu tahu bahwa Sarah butuh udara segar untuk memulihkan pikirannya dan perasaannya.
Sejak kematian kakaknya, Sarah memang tidak pernah pergi. Waktunya didekasi secara penuh untuk menjaga Azka, sambil sesekali menangisi kematian kakaknya.
‘Semoga kamu bisa secepatnya menikah dengan Baskara ya, nak. Maaf, jika keputusan kami ini adalah hal yang egois untuk kamu. Tapi, kami harap kamu paham dengan posisi kami yang tidak mudah ini."
**
“Kapan bisa liburnya kalau seperti ini? setiap hari kerjakan menambah terus, gak ada habisnya.”
Gerutuan kecil Baskara seketika memecah kesunyian area merokok di sebuah mini market. Seusai menyalakan sebatang rokok yang baru saja dibelinya, pria itu menghela napas panjang sembari mengambil ponselnya untuk mengecek beberapa pekerjaan yang masuk pada emailhya.
Brak!
Selang beberapa menit, tiba-tiba sebuah suara keras mengejutkannya. Dengan refleks, Baskara melihat ke sumber suara, dan menemukan seorang lelaki yang sedang menggebrak meja dengan kuat di belakangnya.
“Apa-apaan ini!” ucap seorang tukang parkir yang menyadari bahwa lelaki tersebut akan membuat keributan di sana.
Baskara yang merasakan akan terjadi konflik, pun bergegas menghalangi tukang parkir tersebut yang terlihat ingin memukul si ‘pembuat onar’ tersebut.
“Jangan pak, sepertinya dia ada di bawah pengaruh alkohol. “
Baskara sadar betul dengan gelagat orang di depannya yang jalannya sempoyongan serta meracau tidak jelas seperti itu. Pria itu bisa memastikan, bahwa orang tak dikenal tersebut sedang berada di bawah pengaruh alkohol.
“Apapun caranya, aku harus segera memilikimu seutuhnya, bahkan jika aku harus melecehkanmu, aku akan lakukan segalanya, Sarah.”
Seketika, leher Baskara menegang. Begitu mendengar nama Sarah melalui gumaman pria asing itu, Baskara yang semula tak peduli dan tak ingin berurusan lebih jauh, kini dipenuhi rasa khawatir.
Sarah? Apakah mungkin jika nama Sarah yang disebutkan oleh lelaki tersebut adalah Sarah sang adik ipar?
“Tidak. Banyak sekali nama Sarah di kota ini, aku hanya berlebihan.” gumam Baskara, berusaha menenangkan hatinya.
Pun jika Sarah yang dimaksud bukanlah Sarah adik iparnya, tetap saja, pria asing itu gila dan berbahaya!
Akhirnya, Baskara memutuskan untuk terus memperhatikan lelaki tersebut. Lelaki itu kini berjalan ke sebuah mobil yang terparkir beberapa meter dari mini market. Namun, entah sengaja atau tidak, pria itu memarkirkan mobilnya di tempat yang sangat minim cahaya.
Tepat ketika lelaki yang masih di bawah alkohol itu membuka pintu mobil dan menyalakan lampu, darah Baskara seketika terasa membeku. Baskara bahkan berkali-kali mencoba mengucek matanya demi meyakinkan apa yang dia lihat. Wanita yang terduduk di kursi penumpang itu adalah Sarah yang dia kenal.
“Sarah!”
Detik itu juga, Baskara sadar bahwa ada yang tidak beres dengan hubungan antara Sarah dengan lelaki yang baru saja Baskara lihat. Baskara memang pernah mendengar, bahwa adik iparnya sudah memiliki kekasih. Namun, Baskara tak pernah menyangka bahwa pria yang menjadi kekasih Sarah adalah pria bajingan dan gila.
Menyadari adik iparnya sendiri yang bisa jadi sedang dalam bahaya, Baskara pun bergegas ke mobilnya, dan segera menginjak gas untuk mengikuti mobil lelaki asing yang membawa Sarah.
Jantung Baskara terasa berdetak amat kencang, rasa khawatir memenuhi seluruh tubuhnya. Pasalnya, kekasih Sarah juga mengendarai mobil dalam keadaan mabuk, sehingga, bisa saja terjadi kecelakaan yang tak diinginkan.
“Astaga, Sarah! Kenapa harus lelaki tukang mabuk yang menjadi kekasihmu!?” teriaknya, pria itubahkan memukul setirnya dengan telapak tangan, berusaha melepaskan rasa marah dan juga khawatirnya.
Baskara terus mengikuti mobil tersebut dengan hati yang tidak karuan. Pikirannya sudah ke mana-mana, memikirkan bagaimana nasib Sarah seandainya dia tidak bertemu dengan pria itu di minimarket.
Dugaan Baskara memang benar, lelaki tersebut memang sedang merencanakan sesuatu untuk membuat Sarah menjadi miliknya dengan cara yang kotor. Bagaimana tidak, saat ini mobil mereka memasuki sebuah hotel bintang lima yang semakin membuat Baskara bertekad untuk menghancurkan semua rencana jahat lelaki tersebut.
Baskara tidak tahu dia siapa, dia tidak tahu siapa lelaki yang merupakan kekasih dari Sarah tersebut. Yang jelas, dia merasa sangat marah terhadap lelaki tersebut.
Tak menghabiskan banyak waktu, Baskara segera turun dari mobilnya dan mengikuti sepasang kekasih. Dengan matanya yang, Baskara dapat melihat bahwa lelaki asing tersebut membawanya naik lift menuju lantai 22.
Di sisi lain, Sarah merasa ada yang tidak beres dengan kekasihnya, Andre. Kekasih yang sudah lima tahun ini menemani dirinya itu terlihat aneh, gelisah dan selalu memperlihatkan senyum yang menurut Sarah aneh kepadanya.
“Emang kenapa harus di hotel? Istirahat doang kenapa nggak di rumah aku aja, sekalian aku akan kenalkan kamu sama orang tua aku. Kamu belum pernah ketemu papa dan mamaku kan?” tanya Sarah ketika Andre sedang membuka pintu kamar hotel, tempat keduanya akan beristirahat dan saling melepaskan rindu.
“Aku butuh waktu berdua saja denganmu, Sarah” ucap Andre, berusaha gombal dengan mengecup pipi putih Sarah.
Perilaku kekasihnya itu membuat Sarah tersenyum kecil. Dia mengalah, lagi pula dia juga memang rindu kepada Andre. Selama berpisah karena Andre meneruskan pendidikannya di luar kota, mereka berdua jarang sekali bertemu.
Melihat kekasihnya yang tak bisa mengelak, Andre kini menyandarkan kepalanya di bahu Sarah seraya tangannya melilit pinggang Sarah dengan erat.
“Mulut kamu bau alkohol lho, mata kamu juga sayu, jalan kamu juga kelihatan sempoyongan. Kamu—mabuk ya?” tanya Sarah hati-hati.
“Tahu apa kamu tentang aku? Nggak usah asal nuduh deh.”
Ucapan dan juga nada tinggi dari mulut kekasihnya itu membuat Sarah lantas terkejut. Mengapa tiba-tiba Andre berubah? Padahal, pria itu baru saja bersikap manis kepadanya.
Sarah menggelengkan kepalanya seraya memijat lengan Andre dengan pelan, “Bukan gitu, Dre. Aku mau mastiin aja.”
Andre terlihat tidak suka dengan apa yang dikatakan oleh kekasihnya, dia segera bangun dari posisinya dan kini menatap Sarah dengan tatapan yang sangat tajam.
Tanpa aba-aba, Andre mencium bibir Sarah begitu saja hingga Sarah terkejut dengan serangan mendadak dari kekasihnya tersebut, “Hmphhh.”
Andre terus mencium bibir Sarah yang terasa candu baginya, memanfaatkan situasi dan kondisi saat ini untuk melancarkan aksinya, untuk mengobati obsesinya menjadikan Sarah sebagai miliknya secara utuh.
Sarah berusaha menolak, dia mencengkram bahu Andre dan berusaha untuk mendorong tubuh Andre. Namun, sayang semua yang dilakukan oleh Sarah terasa sia-sia karena tenaga Andre yang lebih besar darinya. Apalagi, Sarah saat ini sudah sangat lemah ketika Andre mulai berani menggerayangi tubuhnya dan memeras pelan dadanya.
“Andre!! Apa yang kamu—” teriak Sarah kencang ketika Andre melepaskannya ciumannya pada
BRAK!
Sarah dan Andre reflek melihat ke arah pintu kamar hotel mereka yang baru saja di dobrak dari luar.
“Mas Baskara?”
Baskara akhir-akhir ini sedang dilanda masalah besar di kantornya. Kantornya sedang keos dan memiliki problem yang membuat keuangan kantor menurun. Sebagai seorang pemilik perusahaan, tentu saja Baskara harus turun tangan dan bekerja keras demi mempertahankan perusahaan yang menjadi penggantung hidup bagi banyak orang. Dan karena itu juga, dia harus merelakan sebagian besar waktunya untuk bekerja dan membuat perusahaan stabil kembali seperti biasa. Sarah sebagai seorang istri juga ibu tentu saja maklum. Dia berusaha mengerti dan berusaha menyemangati suaminya untuk melakukan apapun yang dia lakukan. Sarah berusaha memposisikan diri dan sebisa mungkin menjadi istri yang penuh support system untuk suaminya. Seperti saat ini, Sarah sedang ada dalam perjalanan untuk menuju kantor suaminya. Matanya melirik jam tangan yang berada di pergelangan tangannya, pukul 11:30 dan mungkin sebentar lagi dia akan tiba di kantor suaminya. Iya, dia akan mengantarkan makan siang untuk suaminya." Semoga
" Bukannya anterin dokumen itu malah sok-sokan curhat sama istri orang, " sindir Baskara.Fendi mengangkat bahunya acuh, dia tidak perduli dengan apa yang dikatakan oleh Baskara, dia hanya diam dan menikmati kue kering yang berada di atas meja sofa kediaman Baskara. " Lho? Udah pulang mas? " tanya Sarah. Baskara tersenyum, " Ada yang mau aku omongin sama kamu. Kita sama-sama ke kamar dulu ya. Azka biar sama Fendi aja. " " Uhukk-- " Fendi terbatuk setelah dia tidak sengaja menelan kue kering utuh yang belum sempat dia kunyah. Dia sudah terkejut duluan mendengar apa yang dikatakan oleh Baskara. " Apa? Masa Azka sama gue? Gue nggak bisa jaga bayi ya. " " Sebentar aja, gue harus cepet omongin ini sama Sarah. " " Tapi--"Fendi berdecak malas ketika dia tidak memiliki pilihan lain karena Sarah yang sudah memberikan Azka di hadapannya. Dengan ogah-ogahan, dia segera menyimpan toples kue yang semula dia peluk itu. Dan ya, sekarang yang dia peluk adalah Azka, bukan toples kue kering itu.
Sarah merasa bahwa semuanya berjalan dengan lancar akhir-akhir ini. Dia sangat menikmati peran sebagai seorang istri dan ibu muda. Ya, meski usianya bisa dibilang sangat muda, namun Srah patut diacungi dua jempol berkat ketelatenannya mengurus rumah tangga, anak juga suaminya. Ya meski begitu, tetap saja Sarah masih malu untuk 'terbuka' kepada suaminya. Dalam artian, dia belum berani jika menyusui di depan suaminya langsung, ya harus di tutup dadanya oleh kain yang selalu dia bawa ke mana pun. Pagi ini suaminya sudah berangkat ke kantornya dan Sarah sedang membetulkan posisi Azka yang berada di dalam gendongannya saat ini. Sarah sedang ada dalam perjalanan menuju tukang sayur yang berada tidak jauh dari kediamannya. " Wah mbak Sarah baru kelihatan lagi, kirain saya mbak Sarah mau pindah rumah, " ucap seorang ibu yang sebetulnya Sarah tidak ingat betul siapa nama ibu tersebut. " Enggak ibu, kebetulan kemarin hujan terus kan, terus juga Azka sedikit demam. Jadi, saya full mengurus A
"Jadi, gimana rasanya nikah lagi padahal kuburan bini lo yang onoh belum kering? Mana nikahnya sama adiknya lagi? " tanya Fendi dengan nada menggodanya. Fendi sudah sepenuhnya paham dengan situasi yang tengah sepupunya hadapi itu. Ya, Fendi pun maklum juga, bagaimana pun Azka butuh seorang ibu dan seseorang untuk ada di saat tumbuh kembangnya-- kan? Baskara menggelengkan kepalanya pelan, " Biasa aja, " jawabnya dengan singkat. " Masa sih, tadi gue liat waktu makan tadi pandangan lo nggak lepas tuh dari bini lo. Jujur aja kali, kaya ke siapa aja, " jelas Fendi seraya menahan tawanya. Baskara menggelengkan kepalanya, " Ya mengucapkan terima kasih harus sambil lihat orangnya kan? Nggak usah suudzon deh. " "Nggak suudzon, toh nggak apa-apa kali kalau lo lihatin istri lo, orang udah jadi milik lo kok. " " Udah jangan ngomongin itu terus! Mending ngomongin kerjaan lo yang nggak bener itu ya! " Fendi memutar bola matanya malas, " Gue bukan males. Tapi, ngerjainnya santuy, toh juga per
Pernikahan keduanya tak terasa sudah menginjak usia dua minggu. Selama dua minggu juga sudah banyak yang terjadi pada rumah tangga Baskara dan Sarah, mulai dari Sarah yang sudah terbiasa untuk melayani semua kebutuhan Baskara hingga Sarah yang sudah enjoy menyusui Azka. Anak Baskara dengan Laras. Seperti saat ini, weekend adalah hari yang paling ditunggu oleh keluarga Baskara dan Sarah, di mana ketika weekend mereka bisa menghabiskan waktunya dengan berleha-leha dan saling memberikan perhatian satu sama lain. "Weekendnya mau di rumah aja gitu? Nggak mau nyoba main keluar? " Sarah bermonolog. Baskara yang berada di sampingnya segera membukanya suaranya, " Di luar hujan, becek ah! Nanti mobilnya kotor, " jawab Baskara dengan santai. Sarah melirim Baskara dengan sinis, " Malah mikirin mobil kamu. Iya deh tau mobilnya baru, baru banget malah. Jadi nggak mau kotor sedikit pun, " ucap Sarah dengan nada sinisnya. Baskara terbahak dan merangkul bahu Sarah yang sedang menggendong Azka den
Sarah mendelik kesal ke arah suaminya yang sejak tadi tidak pernah absen untuk mengikuti dirinya. Sejak suaminya pulang dari kantor, suaminya itu segera membersihkan diri dan menjalankan aksinya untuk mengikuti ke mana pun istrinya pergi. Entah ada niat apa suaminya itu padanya, yang jelas Sarah benar-benar merasa risih. Sarah menghentikan langkahnya tepat di depan oven yang sedang membakar kue buatan Sarah, " Mas kamu kalau ngikutin aku lagi, aku nggak akan kasih kamu tidur sama aku ya. Biar kamu tidur di luar! " ucap Sarah dengan pandangan marahnya, namun terkesan lucu itu. "Eh jangan gitu dong istriku, mas nggak bisa kalau nggak tidur sama kamu, sama Azka. " Sarah berkacak pinggang dan menatap galak ke arag Baskara, " Makanya diem. Aku ini heran dari tadi mas tuh nggak habis-habisnya ngikutin aku. Nggak bisa diem apa? Sana jagain Azka, mas! "Baskara menyerahkan dan akhirnya lebih memilih untuk mengikuti apa yang dikatakan okeh istrinya. Dia tidak ingin ada adegan dirinya tidak