"Assalamualaikum," sahut wanita yang ada diantara rombongan tersebut."Walaikumussalam," sahut Wati.Wati mempersilahkan rombongan tersebut masuk dan duduk. Sementara Riana dan Miriam di dapur. Wati memanggil Riana untuk keluar."Ri, mereka udah datang. Ri siapkan?" beritahu Wati."Insha Allah, Tan," balas Riana, mengikuti Wati ke ruang tamu. Di sana telah hadir calon pria yang ingin melihat Riana dan sepasang suami istri. Riana hanya menundukan wajahnya saja. Tidak berani melihat ke arah tamu maupun si pria."Kamu!" ucap si pria. Riana yang mendengar si pria kaget dan dari nada bicaranya seperti mengenal Riana. Riana mengangkat wajahnya."Dokter!" Riana juga tidak kalah kaget karena si pria ternyata adalah dokter yang mengoperasi ayahnya."Wah, ternyata kalian telah saling kenal?" tanya Ahmad, laki-laki yang menemani dokter."Sebenarnya belum berkenalan secara formal, sih Om, hanya kebetulan kami telah bertemu duluan. Ayah Riana pasien saya," jelas Leon, dokter sekaligus pria yang ak
Lima hari kemudian, Riana kembali merawat ayah, setelah perkenalan dengan dokter Leon. Dokter Leon sendiri tidak lagi menjadi dokter ayah karena sedang dinas luar kota. Tenaganya di perbantukan di sana selama satu minggu."Yah, tahu nggak, kalau dokter yang mengoperasi Ayah, adalah orang yang dikenalkan Wati," beritahu Miriam kepada suaminya."Benar, Bu? Alhamdulillah. Terus gimana, Bu? Kapan mereka menikah?" cerocos ayah tidak sabar."Mereka mau meminta petunjuk Allah dulu, Yah. Lanjut atau tidaknya," jelas Miriam."Udah dapat petunjuk, Ri?" tanya ayah kepada Riana yang sibuk mengupas buah untuk di jus karena ayah belum bisa memakan secara langsung."Masih ragu, Yah, belum seratus persen," jawab Riana."Kenapa, Ri?" tanya Ayah lagi."Entahlah, Yah, hati Ri masih bimbang. Lagian dari dokter Leon juga belum mendapat petunjuk sepertinya," elak Riana karena memang tante Wati belum mendapat kabar dari dokter Leon."Semoga kalian berjodoh ya, Ibu dan Ayah berdo'a demi kebaikan kalian," uca
Sebulan lebih Radit tidak bertemu Riana. Naylapun seperti tidak bisa diganggu. Dia sangat sibuk dengan ajang olimpiade fisika. Seharusnya Radit senang jika putrinya lebih mementingkan pendidikannya. Ini malahan Radit menjadi uring-uringan. Dia merasa kesepian karena Nayla sibuk dengan kegiatan belajarnya. Raditpun sebenarnya sangat sibuk dengan proyek pembangunan perumahannya. Namun, ada kalanya dia butuh refreshing. Radit seperti sedang mengalami puber kedua, di mana perasaannya kepada Riana menggebu-gebu. Radit tahu dia salah karena menginginkan istri orang. Radit sering berdo'a agar perasaannya kepada Riana hilang. Radit mengunjungi rumah ibunya karena telah lama dia tidak main ke sana."Ma!" panggil Radit begitu ART mamanya membukakan pintu. Radit sempat bertanya kepada ART, apakah mamanya ada atau sedang pergi. Karena mamanya sering tidak di rumah dan selalu ke rumah Rania, kakak pertama Radit."Ada apa?" tanya mama yang baru keluar dari kamarnya. Orang tua Radit memang hanya ti
Radit gerah sendiri karena Maya semakin gencar mendekatinya. Maya bahkan sering bertamu ke rumahnya di hari weekend karena tahu Radit tidak bekerja. Mamanya pun juga sering memaksa Radit agar menerima dan menjadikan Maya sebagai istrinya.Sementara Riana tidak pernah lagi dilihat oleh Radit. Nayla akhirnya sedikit longgar jadwal belajarnya dan dia ingin membeli pakaian untuk olimpiade fisika nanti. Mereka menuju butik Riana."Selamat datang, Pak dan gadis cantik!" sapa Wirda ramah.Nayla hanya tersenyum dikatakan cantik."Kak. Ada koleksi terbaru?" tanya Nayla."Ada, ayo kakak tunjukan." Riana memang tetap memesan koleksi terbaru sekalipun dia tidak memantau secara langsung.Wirda menunjukan koleksi-koleksi terbaru mereka. Tias sibuk menyusun pakaian-pakaian dan mendandani manekin. Biasañya Riana yang akan melakukannya.Radit mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Namun, tidak melihat keberadaan Riana. Nayla tahu papanya pasti ingin melihat Riana."Tante Riana, kok nggak kelihatan,
"Riana ... Riana ...!" teriak Murni memasuki rumah. Miriam yang mendengar kaget dengan teriakan Murni."Yah, ibu coba lihat keluar dulu." pamit Miriam, tanpa menunggu jawaban dari ayah. Miriam langsung keluar."Ada apa, Tante.""Kenapa, Mur!" teriak Wati dan Miriam serempak.Riana dan Wati keluar dari dapur, Miriam dari kamar."Arman ... Arman, ingin berjumpa dengan Riana ... dia sangat kesakitan," isak Murni.Wajah Riana seketika memucat, ini yang dia hindari bertahun-tahun. Dan sekarang dia harus menghadapi ketakutannya. Terus terang Riana belum siap. Dia tidak ingin membuka noda masa lalu. Susah payah Riana mencoba melupakan mimpi buruk itu.Miriam dan Watipun tidak tahu harus berbuat apa? Mereka hanya terdiam. Mereka tahu Riana pasti sangat tertekan. Mereka hanya bisa menyerahkan semua keputusan kepada Riana."Tante mohon, Ri ... mungkin ini adalah ... saat terakhir paman, dia ingin minta maaf." Murni kembali berbicara dengan terbata-bata."Ri, cobalah memaafkan paman," bujuk Wati.
Lilis memberitahu suaminya tentang informasi yang didapat dari Lisda."Papa rasa, itu hanya kecemburuan Lisda saja. Pasti dia tidak rela jika Leon menikah lebih dulu daripada dia. Apalagi dia batal menikah dengan pria itu." Lilis paham maksud suaminya."Mama, juga berpikir begitu, Pa, tapi Lisda mengatakan dengan yakin.""Jika Mama penasaran, coba ditanyakan langsung saja kepada Wati atau Riana langsung. Agar pikiran kita tenang. Namun menurut Papa jika memang dia pernah punya anak, biarkan saja, mungkin itu hanya masa lalunya. Anggap saja Leon menikahi janda." Suaminya mencoba membuka pikiran Lilis."Jika itu benar, berarti mereka membohongi kita dan Mama tidak suka itu, Pa."***Lilis menghubungi Wati, dia akan berkunjung ke rumah Riana. Wati yang hanya menerima pesan bahwa Lilis akan berkunjung tidak bertanya tujuannya apa? Dia bahagia, dia pikir mereka akan melamar Riana."Ri, ibunya Leon mengirim pesan kepada tante, besok pagi dia ke sini," beritahu Wati."Apakah mereka akan mel
Lilis menghubungi Leon, dia tidak terima dengan kebohongan Riana dan keluarganya. Tadinya mereka pikir Leon mendapatkan wanita baik yang masih gadis. Namun, ternyata mereka telah dibohongi.Lilis menuju rumah sakit tempat Leon parktek. Lilis langsung ke ruangan Leon, kebetulan Leon tidak ada pasien."Mama, papa kenapa ke sini?" tanya Leon heran."Batalkan untuk melanjutkan ta'aruf dengan Riana," ujar Lilis tiba-tiba."Ada apa ini, Ma, Pa. Jika masalah Lea yang belum setuju, Leon nanti yang akan membujuknya," beritahu Leon."Bukan, ini tentang masa lalu Riana, dia bukan seperti yang kita sangka!" ucap Lilis, dia masih berdiri. Di sampingnya ayah Leon hanya diam, tidak bisa menenangkan istrinya."Bukankah setiap manusia punya masa lalu?" tanya Leon, dia merangkul mamanya untuk duduk."Dia telah memiliki anak di usia lima belas tahun." Lilis menepis tangan Leon yang mennyuruhnya untuk duduk."Itu bukan masalah Mama, toh, aku juga seorang duda dan usia lima belas tahun? Aku rasa mereka pu
Adik-adik Riana, suami dan istri mereka serta anak-anak mereka telah diberitahu. Besok mereka akan sampai. Ayah akan di makamkan besok karena tidak memungkinkan juga untuk menguburkan ayah hari ini. Adik-adik Riana telah mengizinkan untuk segera memakamkan ayah. Karena bagi mereka memakamkan segera lebih baik.Riana merawat ibu yang masih lemah. Memaksa ibu untuk makan. Saudara laki-laki Riana yang mengurus semua proses pemakaman ayah.Riana menemani ibu tidur, untuk menguatkan ibu. Ibu seperti kehilangan pegangan. Akan tetapi ibu masih berusaha tegar. Besoknya, saudara-saudara Riana telah lengkap. Mereka menyelengaraka proses pemakaman.Leon juga datang melayat, dia mengajak mamanya juga. Namun, mama Leon menolak. Dia masih tidak terima keluarga Riana membohonginya.Setelah dari pemakaman, mereka kembali ke rumah. "Tante, Riana, maafkan mama saya," pinta Leon saat mereka duduk di ruang tamu. Di sana ada Miriam, Wati, Riana dan Leon."Kami memahami kondisi mamamu, dia ingin kamu men