Dua minggu berlalu. Aku saja yang bukan anaknya, begitu kaget hampir pingsan melihat kondisi Ibunya Emir.Rencana kami yang ingin memeriksa gudang Pak Lurah, batal dilakukan. Sebab, beliau entah siapa yang mengantar. Tiba-tiba sudah ada di depan rumah Emir, dengan keadaan tanpa busana. Astagfirullah!Sungguh kejam! Sungguh bi**ab orang-orang yang sudah melakukan hal tersebut!Entah di mana hati nuraninya, semoga hukum Allah segera menimpa mereka siapa saja!"Kamu sudah lapor polisi, Emir?" Bapak bertanya, saat kami menunggui pemeriksaan Dokter.Emir yang tengah frustasi, menggeleng lemah. Semoga saja kabar dari Dokter, membuat hati Emir jauh lebih baik.Banyak luka lebam pada tubuh Ibunya Emir, yang lebih parah di bagian kewanitaan. Nampak terkoyak, Astagfirullah!Tak kubanyangkan bagaimana sakitnya, pasti trauma ini akan terbawa hingga kapanpun!"Biar diurus nanti saja, Pak. Emir mau fokus dulu di sini," ucapnya, yang masih tak mau mengalihkan netra pada kamar di mana Ibu berada."Y
"Memang betul-betul nggak karuanlah hukum di Indonesia ini," komentar Bapak, yang rupanya laporan mereka terkait pelecehan yang terjadi pada Ibu hanya ditanggapi biasa saja. Terkesan abai, apalagi saat mereka menyebutkan ada curiga pada Pak Lurah. Sudah kuduga. Para lelaki berseragam itu minta disuap dulu sebanyak mungkin, barulah mau bergerak!Walaupun memang tak semua demikian, tapi, masyarakat sendiri jarang bahkan tidak pernah dipertemukan dengan yang betul-betul menjalankan tugasnya."Rupanya selain menjabat jadi Lurah, tuh orang punya kuasa lain. Melihat begitu banyak yang takut dengannya," sambung, Bapak. Ya, bisa jadi mereka punya kuasa yang lebih meyakinkan dari seorang Lurah. Kita mana tahu, dilihat dari rumahnya yang paling besar se-kampung. Bodyguard yang banyak, istri jangan ditanya!"Yo berarti kita harus hati-hati, jangan sampai salah melangkah." Bibi ikut menimpali, jujur saja aku juga sebetulnya malas jika terus berhubungan dengan Lurah tersebut.Nggak kayak Lurah
Nyatanya itu hanya reaksi sebentar saja, tapi, apapun itu tak mengurangi rasa haru. Sebab, kata Dokter ini sudah menjadi satu pertanda yang baik. In Syaa Allah, Ibu akan segera sadar dari tidur panjangnya. "Tapi, kenapa Ibu sampai memberikan reaksi ya, Dok? Tadi itu ... kami ada ribut-ribut sedikit." Kujelaskan saja pada Dokter, siapa tahu kehadiran Aima memicu ketenangan beliau."Bisa jadi dia bermimpi sesuatu, atau ada hal yang membuatnya merasa terancam. Macam-macam alasan, semoga ini memang pertanda baik." Aku mengangguk paham, tak sabar dengan kesadaran Ibu. Setidaknya si pelaku akan segera terungkap, tak perlu lagi menunggu pihak yang berwajib."Kenapa kamu tanya begitu, Wi?" Risma bertanya usai Dokter dan Perawat pergi."Tadi itu kita udah bikin ribut, bisa jadi Ibu terganggu. Mungkin memang bagus, Ibu jadi sadar. Tapi, sebisa mungkin jangan begitulah. Takutnya membahayakan," ucapku, yang berharap semua baik-baik saja.Entah kenapa aku jadi makin curiga pada semua keluarga Pak
"Alhamdulilah," ucap kami serempak, demi melihat kondisi Ibu yang ternyata sudah siuman. Namun, belum mau bicara apa pun saat ditanya.Hampir jantungku mau copot rasanya, saat Emir menelpon setengah-setengah. Ternyata ponselnya keburu habis baterai, dia sering kali lupa semenjak Ibu masuk RS.Pikiranku sudah jauh ke mana-mana, takutnya Ibu kenapa-napa. Tapi, syukurlah. Kata Dokter, hanya tinggal menunggu Ibu mau bicara itu saja. Jangan menyinggung suatu hal, yang kemarin menimpa beliau."Genap dua minggu, Alhamdulilah Ibumu sadar, Nak Emir." Bibi berucap, sembari mendekat pada ranjang Ibu yang masih menatap sendu.Seakan banyak beban yang ingin dia bicarakan, namun, seakan sengaja dikunci. Aku tahu ini sangatlah berat, kalau itu yang aku alami lebih baik mati saja!"Alhamdulilah, Bi. Emir juga nggak sangka," ujarnya, terus menggenggam jari-jemari Ibu. Sesayang itu dia.Siapa yang sangka? Setelah Ibu mengalami banyak robekan di area tertentu, usai pelecehan yang bukan dilakukan hanya s
"Kenapa Ibu memilih diam? Padahal Ibu jelas bisa bicara!" teriak Emir, tampak frustasi.Karena kondisi Ibu sudah lebih membaik, pagi ini beliau sudah bisa pulang. Emir mencoba bertanya perihal kejadiaan naas yang pernah menimpanya, namun, gelengan keras yang terus diberikan.Apa mungkin Bu Ratih sempat menerima ancaman? Hingga memutuskan untuk diam saja, tapi, aku pikir Emir berhak tahu!Emir begitu tersiksa saat Ibunya hilang, jadi wajar jika sekarang dia ingin tahu detail. Termasuk dalang dari semua, biar lebih waspada dan jika memungkinkan dijebloskan saja ke penjara!Bu Ratih kembali histeris, terus menangis sembari menggeleng keras. "Sudahlah Mir, kasihan Ibu. Jangan dipaksa, mungkin Ibu masih butuh waktu."Bu Ratih mengangguk tak kalah keras. Memelukku dengan erat, sembari menangis tak tertahankan.Padahal kalau Ibu mau saja bicara, hari ini juga kami sudah tahu dalang di balik penderitaannya."Tapi, sampai kapan, Wi? Sudah terlalu lama aku bersabar, rasanya tangan ini tak lagi
"Apa kabar, Dwi?" Aku menghela dalam nafas, sungguh kebetulan yang tak menyenangkan.Kabarku jelas menjadi tak baik, melihatmu muncul di depan mataku! "Baik.""Lagi belanja keperluan rumah ya? Sini biar aku bantu, aku juga yang akan membayarnya." Aku berbalik, menatap tajam pada lelaki yang sudah menorehkan banyak luka!"Nggak usah!" Aku menatapnya galak, "Pertama aku bisa sendiri, aku juga mampu membayarnya. Kedua, kamu sedang apa di kampungku heh? Ketiga, udahlah nggak usah ganggu aku lagi, bisa?"Aku terpaksa berbelanja sendiri, lumayan jauh memang dari rumah Bapak. Emir seperti nya sedang sibuk menunggui Ibunya, dia juga katanya akan kedatangan keluarga terkait lamaran nanti malam.Ibu dan Bapak, tahu sendirilah pengantin baru. Jelas nggak mau diganggu! Risma katanya lagi nggak enak badan, jadilah aku sendiri. Harus bertemu juga dengan mantan suamiku yang kedua!"Aku lagi ada kerjaan di sini, Dwi." Aku mengangguk tak peduli, "Apa boleh aku mengantarmu pulang?"Hah?Apa?Dia sungg
"Wi! Dwi!" Suara teriakan itu membuatku terhenyak, aku baru selesai menelpon dengan Emir. "Ada apa toh Bu?" Melihat Ibu yang berdiri di dekat jendela, membuatku heran.Nampak sedang mengintip seseorang, memang siapa yang datang?"Itu, Emir kenapa datang sendiri? Tapi, pake mobil segala." Dahiku mengernyit bingung, nggak mungkin dia pake mobil orang cuma dekat aja kok.Emir juga bukan termasuk lelaki yang suka pamer, aku ikut mengintip di jendela. Keadaan yang mulai gelap, membuatku berpikir bahwa orang itu sekilas mirip dengan Emir."Assalammualaikum." Tanpa bisa kucegah, lelaki itu sudah berdiri di depan pintu rumah. Aku menghela dalam nafas, kubukakan saja sesantai mungkin.Dan betapa terkejutnya aku, demi melihat makhluk yang lebih menyeramkan dari hantu itu sedang berdiri di depanku saat ini!"Dwi, aku datang." Aku meneguk ludah, seringai itu masih sama saat pertama kali kami bertemu."Waalaikumsalam. Maaf, ada keperluan apa lagi kamu ke rumahku?" Di samping Ibu, tanpa berniat me
Lamaran selesai, kupikir besok akan langsung menikah. Namun, ternyata masih harus menunggu satu bulan lagi. Karena akan mengundang lumayan banyak orang, padahal aku malu.Malu dengan statusku yang tak lagi gadis, sedang lelaki yang kudapatkan masih bujang. Ya Allah, belum apa-apa perasaanku sudah ke mana-mana.Apalagi jika memikirkan tentang Uwak Emir semalam, sikap dan sifatnya Maa Syaa Allah. Nampak sekali dia tak setuju padaku, tapi, bila melihat kesungguhan Emir mau tidak mau aku lagi-lagi harus mengalah.Kuredam segala perasaan was-was, toh aku hanya akan menikah dengan Emir bukan dengan Uwaknya! "Bapak jadi kurang sreg gini, Wi." Bapak menghampiriku di dalam kamar, raut wajahnya tampak resah."Kurang sreg gimana, Pak?" Sebetulnya aku tahu apa yang menjadi keresehan beliau."Ya itu sama Uwaknya si Emir, mulutnya itu kepingin sekali Bapak uwel-uwel." Mendengar itu aku terkikik, Bapak sambil memonyongkan bibir ke sisi kiri dan kanan.Memang, bila menurutkan nafsu. Aku juga ingin s