LOGINHari mulai beranjak senja ketika Anita keluar dari kantornya. Langit memerah, seakan mencerminkan hatinya yang akhirnya tenang. Ia menarik napas panjang, menikmati semilir angin yang menyapu wajahnya. Hari ini cukup berat, tetapi setidaknya dua ular berbisa—Anita menyebut mereka begitu—tidak lagi bisa mengintimidasi dirinya.
Ia membuka pintu mobilnya, siap melangkah masuk, ketika suara langkah tergesa menghentikannya. "Anita." Refleks, ia menoleh. Seorang pria paruh baya dengan setelan jas abu-abu berdiri beberapa meter darinya. Wajahnya teduh, namun ada garis-garis kerisauan di sudut matanya. "Ayah mertua?" Anita memiringkan kepala, terkejut. "Sedang apa Ayah di sini?" "Bisakah kita bicara sebentar?" Nada suara Anwar tenang, tapi Anita menangkap ada nada waspada tersembunyi di sana. Ia sempat menaikkan sebelah alis, mempertimbangkan, tapi akhirnya mengangguk. "Baiklah. Ayo ke taman belakang gedung. Lebih tenang di sana." Mereka berjalan tanpa banyak bicara, hanya suara langkah sepatu mereka yang terdengar memantul di lantai keramik. Taman kecil di belakang gedung sunyi. Hanya gemericik air dari kolam ikan dan desir angin di sela-sela dedaunan yang menemani mereka. "Jadi, ada apa Ayah mencariku?" tanya Anita, menatap langsung ke mata Anwar. Pria itu menghela napas berat, seolah sedang menimbang banyak hal. "Morgan akan pulang ke Indonesia." Anita hanya diam sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Aku tahu. Dia sudah menghubungiku lebih dulu." Anwar terkejut. "Sudah bilang padamu?" "Iya. Kenapa? Apa ada yang Ayah khawatirkan? Dia dalam kesulitan uang?" Anita sengaja memancing. Ia tahu ada sesuatu yang tidak dikatakan. Bibir Anwar bergerak, seolah hendak berkata, lalu mengurungkan niat. Akhirnya, ia menggeleng pelan. "Bukan. Bukan itu." "Kalau begitu apa? Ayah tampak gelisah," ujar Anita pelan, memperhatikan sorot mata mertuanya. Diam. Anwar menatap kolam di depan mereka, lalu akhirnya bersuara. "Dia dalam masalah besar. Masalah yang tidak bisa kuceritakan secara detail padamu. Tapi yang pasti... Morgan punya banyak musuh, Anita. Musuh yang tak segan menghabisi apa pun yang ada di dekatnya." Anita terdiam. Hatinya mencelos, tapi ia berusaha tetap tenang. "Apa maksud Ayah? Apa aku—" "Sebaiknya kamu berhati-hati. Kalau begitu aku pergi dulu." Pak Anwar langsung pergi pamit dengan begitu saja setelah mengatakan kalau Morgan banyak musuh. Dia khawatir kalau Anita yang nanti menjadi sasaran utamanya. Anita sendiri pun heran dengan yang dikatakan oleh Pak Anwar barusan. Morgan mempunyai banyak musuh? Memangnya siapa musuhnya?" "Pak Anwar," panggil Anita kembali tetapi orang itu sudah lebih dulu pergi dari sini. "Aduh larinya cepat sekali." Anita hendak akan mengejar Anwar dan menanyakan sesuatu, tetapi laki-laki itu sudah lebih dulu pergi dari sini. Membuat dia merasa heran sendiri. "Apa maksud dari perkataannya itu?" batin Anita. Sementara Anita berbincang dengan Anwar di taman, dua sosok wanita mengintip dari balik dinding pembatas yang dipenuhi tanaman rambat. Angin sore menyibak rambut Hana yang dibiarkan tergerai, namun pandangannya tetap tajam mengawasi gerak-gerik Anita. "Apa Mamah kenal dengan laki-laki tadi?" bisik Hana pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh gemericik air kolam. Ayu menggeleng pelan. Wajahnya penuh teka-teki. "Tidak. Tapi dari cara mereka bicara… itu bukan hubungan biasa." "Mamah yakin?" Hana menatap sang ibu dengan alis menukik. "Dia terlihat akrab. Bahkan seperti sedang menyampaikan sesuatu yang penting." "Iya… aku juga merasa aneh. Anita bukan tipe yang sembarangan dekat dengan pria." Hana menyipitkan mata, memperhatikan postur Anwar dari kejauhan. Meski tubuh pria itu sudah tak semuda dulu, sorot matanya kuat dan penuh tekanan. "Tunggu deh mah… jangan-jangan, lelaki tua itu adalah suaminya Anita." Ayu menatap Hana dengan cepat, kaget. "Kamu bilang… suaminya?" "Iya. Mereka berdua sama-sama misterius. Kalau benar dia suaminya, berarti Anita menyembunyikan sesuatu." Ayu tampak berpikir keras. Matanya menatap kosong ke arah pohon ketapang yang menggugurkan daunnya satu per satu. "Tidak mungkin. Aku tahu Anita cerdas, dia tak akan menikahi pria seumuran Ayah kita." "Justru karena itu menarik untuk diselidiki." Hana menyeringai kecil. "Aku nggak akan tinggal diam." Namun senyum itu segera memudar ketika Ayu menggenggam tangan putrinya dengan erat. "Aku ingin kamu selidiki pria itu, Hana. Cari tahu siapa dia, apa hubungannya dengan Anita, dan apa yang disembunyikan mereka berdua." "Aku?" Wajah Hana mendadak enggan. "Aku bukan detektif, Mah. Dan aku sibuk ngurusin pertunangan aku sendiri." Ayu mempererat genggaman tangannya. "Dengar, kamu adalah calon menantu keluarga Sanjaya. Kamu punya segalanya—akses, uang, kekuasaan. Jangan sampai pertunanganmu hancur hanya karena satu wanita licik bernama Anita." Hana terdiam, mulai merasa panas di dada. Pertunangan dengan Prayoga adalah bagian dari rencananya, dan jika Anita ikut campur… dia tak akan membiarkannya. "Baiklah, Mah. Kalau ini keinginan Mamah, aku akan lakukan." Senyum licik perlahan terbentuk di bibirnya. "Bagus." Ayu tersenyum puas. "Kita tidak akan membiarkan Anita mengacaukan segalanya. Dia harus tahu tempatnya." Keduanya saling berpandangan sebelum akhirnya berbalik meninggalkan tempat persembunyian. BERSAMBUNG6 bulan sudah berlalu sejak hari itu.Anita juga sudah mulai cuti bekerja karena sekarang dia tengah fokus dengan kehamilan yang tengah dia jalani. "Aku datang ke sini disuruh oleh Anita menemani kamu." Icha tiba muncul sambil membawakan makanan untuk Anita, kebetulan Anita paling suka dengan makanan ini. Anita mengelus perutnya dengan hangat. "Wah ada aunty Icha.""Ini makan dulu.""Makasih yah, maaf loh sampe repot-repot," ujar Anita. "Gak papa, justru aku malah senang bisa datang ke sini. Sekalian mau ngabarin sesuatu juga," kata Icha dengan penuh semangat. Anita menunggu penjelasan dari Icha selanjutnya karena dia merasa penasaran juga dengan informasi tersebut. "Ngabarin apa?" "Tania juga tengah hamil sekarang," kata Icha. Anita yang mendengar itu pun langsung tersenyum, ada rasa bahagia yang tidak bisa dia jelaskan sekarang. Apalagi semuanya saling berhubungan satu sama lain. "Wah, kok kang bisa tahu. Apa kamu datang ke tempat dia?" tanya Anita penasaran. Icha mengangg
Anita senang karena semua urusan miliknya sudah selesai, apalagi semua orang-orang yang menyakiti dirinya kini sudah mendapatkan karmanya masing-masing."Anita," panggil seseorang. Anita menoleh kearah orang yang kini ada dihadapannya. Rupanya itu adalah suaminya yang dia cinta. "Kenapa sayang?" tanya Anita. "Oh sekarang sudah manggil sayang yah," ledek Prawira. Anita pantas tertawa ketika mendengar hal tersebut. "Iya suami misteriusku."Dia masih teringat dengan kisah lama bersama dengan Prawira ketika laki-laki itu sampai menyembunyikan wajahnya dan bersembunyi dibalik nama Morgan. Anita tidak akan pernah lupa dengan hal tersebut. "Sudah siap? Kamu tidak lupa bukan kalau kita akan datang ke acara pernikahan Atlas dengan Dinda."Anita menoleh kearah kaca sambil memasang anting dan tersenyum. Tentu saja dia ingat dengan hal ini, makanya dia sudah berbadan dengan cantik. "Aku tidak lupa," jawab Anita. Prawira kemudian melihat sepatu hak tinggi yang tidak jauh dekat dengan tempat
"Sejak kapan kamu di sini?" tanya Icha ketika melihat Prayoga datang. Tania terlihat sedikit tegang khawatir kalau Prayoga mendengar apa yang dia katakan tadi. Prayoga berjalan menuju kearah dua wanita yang ada dihadapannya. "Aku mendengar percakapan kalian."Icha menghela napas panjang, dia jadi tahu sedikit tentang hal ini. Apalagi semuanya saling berhubungan satu sama lain. "Saya...."Tania hendak akan meminta maaf, tetapi kemudian Prayoga sudah lebih dulu berjongkok dan itu membuat Tania terkejut."Apa yang Tuan lakukan?" tanya Tania bingung. "Berhenti bersikap formal padaku," kata Prayoga yang pada akhirnya mengeluarkan sebuah cicin dari sakunya dan dia langsung melamar Tania pada saat itu juga. Icha hanya menutup mulutnya tidak percaya kalau pada akhirnya Tania akan dilamar oleh Prayoga. Syukurlah sekarang laki-laki itu peka juga. "Apa itu?" tanya Tania masih merasa kebingungan. "Aku ingin melamar kamu, mulai sekarang jangan berbicara formal denganku," kata Prayoga dengan
Anita berusaha untuk melepaskan ikatan talinya, dia sudah berhasil memecahkan sebuah pigura foto dan dia menggunakan kaca tersebut untuk membuka talinya. Dia hanya berharap kalau semuanya akan berhasil. "Aku ingin berhasil."Dia bergumam dengan pelan, rasanya memang semuanya saling berhubungan satu sama lain. "Anita aku datang," kata Kevin yang tiba-tiba membuka pintu dan membuat Anita sedikit terkejut. "Kevin.""Apa yang kamu lakukan hah, berusaha untuk kabur," kata Kevin setelah dia menyadari kalau ada foto yang pecah dan kedua tangan Anita sudah lepas. Dia tidak mau membiarkan hal tersebut terjadi. "Tidak...""Tidak usah berbohong, sepertinya kamu memang perlu dihukum Anita," kata Kevin yang kini sudah tersenyum miring sambil membuka baju yang dia gunakan sekarang. Anita seketika jadi panik, apa yang akan dilakukan oleh Kevin selanjutnya? Anita berusaha untuk melarikan diri. "Mau lari ke mana hah, kamu tidak bisa melarikan diri mulai sekarang.""Kevin, kamu jangan macam-macam
Prayoga datang menemui ibunya yang kini sudah ditahan bersama dengan ayahnya. Kebetulan dia punya tujuan yang harus dia lakukan sekarang. "Prayoga kamu ke sini, tolong selamatkan mamah."Weni memohon kepada anaknya untuk diselamatkan. Sedangkan tidak jauh dari sana Umar Sanjaya malah tertawa. Jelas dia tahu dari awal kalau Weni memang orang yang sangat licik. Dia tidak akan membiarkan semuanya terjadi dengan begitu saja. "Wanita licik seperti kamu, sudah ketahuan kejahatannya. Sekarang minta dibebaskan. Tidak tahu malu sama sekali," kata Umar. "Diam kamu, jangan ikut campur," umpat Weni. Umar Sanjaya lalu menatap kearah anaknya. "Prayoga, kamu jangan terhasut oleh ucapan wanita ular seperti dia. Walaupun dia adalah ibumu sendiri.""Kamu yang menghasutnya, sialan!" umpat Weni. Prayoga mendengar perdebatan itu, dia baru menyadari kalau kedua orangtuanya memang tidak akur sebelumnya. Apalagi setelah dia tahu semuanya sekarang. "Aku datang ke sini bukan untuk menyelamatkan mamah,"
Anita membuka matanya dan dia langsung terkejut ketika berada di sebuah kamar asing dan tangan beserta kakinya di ikat sekarang. Dia mencoba untuk mengingat apa yang sudah terjadi. "Bukannya tadi aku pergi bersama dengan Kevin, kenapa sekarang malah dalam keadaan diikat seperti ini?" tanya Anita kebingungan. Anita mencoba mengingat semuanya, lalu dia langsung berteriak. "Kevin, apa yang kamu lakukan?""KEVIN!"Anita sedikit berteriak karena dia yakin kalau semuanya ulah Kevin. Tetapi kenapa dia malah mengikatnya seperti ini. Sampai tak lama kemudian, pintu terbuka dan Kevin membawakan makanan untuk Anita. Dia hanya melakukan hal yang baik untuk dirinya. "Anita, kamu sudah sadar?" tanya Kevin. "Apa yang kamu lakukan Kevin, kenapa tangan dan kakiku diikat?" tanya Anita dengan nada yang kesal. Kevin hanya tersenyum ketika melihat kearah Anita barusan. "Aku hanya ingin memastikan saja kalau kamu tidak kabur.""Kamu gila Kevin, jangan main-main denganku. Apa yang sebenarnya kamu ingi







