RUMAH HARTANTO – MALAM HARI
Di ruang tengah yang remang-remang hanya diterangi cahaya lampu meja, Anita duduk di depan laptopnya. Cangkir kopi yang sudah mendingin diletakkan di samping tumpukan dokumen. Matanya lelah, namun pikirannya masih dipaksa tetap terjaga. Tugas kantor menumpuk tanpa ampun. Suasana tenang itu mendadak pecah oleh suara langkah kaki yang terburu-buru. "Anita." Suara itu terdengar datar namun penuh maksud. Anita mengangkat wajahnya, menoleh dengan enggan ke arah sumber suara. Hana berdiri di ambang pintu, dengan senyum licik mengembang di bibirnya. Anita menghela napas berat. Sudah malam, dan wanita itu masih juga tidak tahu waktu. "Ada apa lagi, Hana?" tanyanya dingin. "Aku hanya ingin memastikan kamu tahu, aku akan menikah dengan keluarga Sanjaya. Sepertinya kamu perlu mengatur jadwalmu agar bisa datang," ucap Hana sembari berjalan santai, namun angkuh, mendekati Anita. Anita menutup laptopnya perlahan. Ia memutar bola matanya malas. "Berapa kali kamu bilang hal itu, Hana? Sampai dinding pun mungkin sudah hafal. Bosan aku dengarnya." Nada suaranya menyiratkan rasa muak yang mendalam. Senyuman Hana tidak luntur sedikit pun. Justru makin lebar, seperti seekor kucing yang sedang bermain-main dengan tikus. "Tenang saja, aku hanya ingin memastikan satu hal lagi." Ia mendekat, mencondongkan tubuhnya, dan berkata dengan lirih namun menusuk, "Datanglah bersama suamimu. Aku ingin semua orang tahu kamu tidak menikah dengan pria fiktif." Tatapan Anita membeku sejenak. Ada jeda. Namun bibirnya kemudian melengkung pelan. Bukan senyuman marah—melainkan senyuman tenang yang membingungkan. "Baiklah," jawab Anita mantap, membuat Hana sedikit terkejut. "Kamu akan melihat sendiri suamiku. Jangan sampai kamu sendiri yang malu nanti." Hana menegakkan tubuhnya, tatapannya meneliti wajah Anita yang tiba-tiba percaya diri. Ada kegelisahan yang singgah sekejap di matanya, namun dia segera menepisnya. Hana terheran karena Anita tidak merasa ketakutan atau malu, apa yang direncanakan oleh wanita itu. "Kamu akan mengajak suami kamu yang cacat itu, Anita. Aku tidak sabar." Anita terdiam sejenak setelah Hana malah mengejek dirinya. Hanya saja Anita berharap kalau suaminya sudah berubah sekarang, dia yakin pengobatan itu sudah selesai dan suaminya mungkin saja sudah berubah. "Terserah kamu saja mau bilang apa, jangan menggangguku!" "Haha, tidak sabar jadinya." Hana mengatakan itu dan dia langsung pergi naik ke kamarnya yang berada dilantai atas. Anita melihat kepergian dari Hana barusan. Dia lalu memutuskan untuk mengambil ponselnya dan menghubungi suaminya. "Hallo Morgan." "Iya, Anita. Tumben kamu menghubungiku duluan." "Kamu ke sini kapan?" tanya Anita. "Sepertinya kamu sudah tidak sabar menantikan kepulanganku, aku baru selesai packing barang dan besok aku akan ke Indonesia." Anita yang mendengar itu pun merasa senang. Terlebih ketika mendengar Morgan akan pulang. "Baiklah, aku hanya ingin kamu datang menemani aku ke acara pesta pertunangan adik tiriku," kata Anita. "Adik tirimu yah, baiklah. Tapi ada satu hal lagi yang ingin aku bicarakan padamu," kata Morgan. "Apa?" tanya Anita. "Setelah aku pulang ke Indonesia, aku mungkin tidak akan tinggal bersama dengan kamu untuk sementara, masih banyak urusan yang harus aku urus," kata Morgan. Anita menaikan sebelah alisnya heran. "Urusan apa?" Morgan malah tertawa ketika Anita menanyakan tentang hal ini. "Nanti kamu juga akan tahu, tetapi ini bukan saatnya kamu tahu semuanya." Sebenernya Anita sedikit penasaran, apa yang sebenernya disembunyikan oleh Morgan. Tetapi dia tidak akan ikut campur, terlebih setelah ayahnya tadi bertemu dengan dirinya. "Baiklah terserah kamu saja. Asal kamu temani aku ketika di pesta nanti." "Aku pasti akan menemani kamu nanti." "Okeh, kalau begitu aku tutup," ujar Anita yang pada akhirnya memutuskan untuk menutup sambungan teleponnya. Dia kembali fokus kepada pekerjaan dirinya sekarang. Tidak sabar menunggu suaminya yang akan segara pulang. **** Rumah mewah milik keluarga Prayoga. Prayoga menatap kearah anak buahnya dengan pandangan yang sinis. Sudah hampir dua tahun anak buahnya itu tidak menemukan kebenaran Prawira. Prayoga berdiri sambil menatap mereka dengan tatapan tajam, mata yang menyimpan amarah dan rasa frustrasi yang mendalam. "Sudah hampir dua tahun..." katanya lirih, namun tajam. "Dua tahun kalian mencari, tapi tidak ada hasil. Kalian ini bodoh atau memang tidak niat kerja?" Salah satu anak buahnya memberanikan diri berbicara. "Kami sudah berusaha keras, Tuan... tapi kami memang tidak menemukan jasadnya. Ada kemungkinan... dia masih hidup." BUGH! Prayoga menghantam wajah pria itu tanpa ragu. Darah segar mengalir di sudut bibirnya. "JANGAN PERNAH KATAKAN ITU!" teriak Prayoga, suaranya menggetarkan ruangan. "Kau tahu apa artinya kalau dia masih hidup? Semua—semua yang sudah jadi milikku bisa direbut kembali!" Prayoga menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya tapi gagal. Dadanya naik turun menahan emosi. Ia berbalik, membelakangi mereka, namun suaranya tetap tajam. "CCTV dekat lokasi kecelakaan itu? Tidak ada yang bisa diakses?" "Sudah rusak sejak lama, Tuan. Kami benar-benar tidak punya jejak lagi." "Sial!" Dia membalikkan badan dan menghantam meja di sampingnya. Gelas kaca pecah di lantai, serpihannya mencerminkan wajahnya yang dipenuhi ketakutan yang berusaha ditutupi oleh amarah. "Keluar! Kalian semua tidak berguna!" bentaknya akhirnya, mengusir mereka seperti anjing liar. Dia hanya berharap akan bertemu dengan mayat Prawira yang sudah mati. Tetapi pada kenyataannya sampai sekarang dia tidak menemukan sama sekali. Apa yang dikhawatirkan takut terjadi kalau seandainya Prawira masih hidup dan ini akan merugikan dirinya. Saat para anak buahnya keluar dengan langkah terburu-buru dan luka di wajah mereka, suara langkah pelan terdengar di belakangnya. "Ada apa ini, Prayoga?" "Papah." "Aku melihat para anak buah itu babak blur, apa kamu memukul mereka?" tanya Umar pada anaknya. "Iya, mereka tidak becus sama sekali. Sampai sekarang Prawira tidak ditemukan jasadnya." "Mungkin saja memang dia beneran mati setelah kecelakaan itu, tidak usah khawatir." "Tapi Pa, bisa saja kalau dia masih hidup," kata Prayoga. "Kamu harus segara menikahi anak dari Hartanto dan mengambil alih warisan milik Prawira, itu jalan satu-satunya." Prayoga langsung tersenyum ketika mendengar ide tersebut. Dia langsung menepuk pundak ayahnya. "Papah benar. Aku hanya tinggal melakukan itu. Secepatnya aku akan menikahinya." "Jangan terlalu cepat, fokus saja pada pertunangan kamu, yakinkan dulu para kolega bisnisnya. Baru kamu mengambil alih semuanya," saran Umar. Prayoga hanya mengangguk sambil tersenyum dengan penuh arti. "Baiklah. Aku paham, semuanya akan menjadi milikku." BERSAMBUNGAnita masih tidak habis pikir dengan semuanya. Rasanya begitu aneh, semua orang malah berusaha untuk membohongi dirinya. Membuat dia sedikit murka. Anita berjalan keluar rumah sakit, dia masih kesal karena tidak ada yang mau jujur padanya. Sampai tak lama kemudian, Hana yang baru saja turun dari mobil melihat kearah Anita. "Anita."Anita menatap kearah Hana dengan sekilas. Wanita itu sampai datang menemui dirinya. "Kenapa?" tanya Anita. "Jelaskan padaku, bagaimana bisa Prawira adalah suami misterius kamu selama ini?" kata Hana dengan nada yang marah. Anita sendiri pun tidak tahu semuanya jadi begini. "Kenapa Hana? Kamu terkejut mengetahui fakta ini.""Jadi kamu sudah tahu selama ini? Kamu sengaja menjadikan Prawira sebagai suami kamu untuk balas dendam padaku karena aku bertunangan dengan Prayoga?" tanya Hana. Anita malah tertawa ketika mendengar ucapan dari Hana barusan. "Kamu lucu sekali Hana. Bukannya memang benar seharusnya aku yang menikah dengan Prawira. Kamu lupa kalau se
Anita membalikan tubuhnya ketika mendengar suara teriakan dari seseorang yang memanggil nama Prawira. Dia langsung mematung di tempatnya ketika melihat ada orang jahat hendak akan melukai Prawira. "Astaga.""Icha?"Anita langsung menghampiri Icha yang kini sudah berlumuran dengan darah. Dia tidak tahu kalau akan kejadian seperti ini. "Icha, kejar orang jahat itu," umpat Prawira kepada anak buahnya. Dia langsung menggendong Icha untuk menyelematkan nyawa wanita itu. Prawira sedikit merasa bersalah karena Icha sampai berkorban untuk dirinya. Padahal dia yakin kalau orang itu tadi hendak akan menyerang dirinya. "Ambulan!"Prawira membawa Icha ke dalam ambulan, begitu pun dengan Anita yang ikut ke rumah sakit sekarang. Dia menggenggam tangan Icha untuk menguatkan wanita itu. "Kenapa bisa seperti ini? Dia melindungi kamu," kata Anita. "Aku tahu," jawab Prawira.Mereka sekarang mendorong Icha yang memang terluka parah, tubuhnya banyak sekali mengeluarkan darah akibat sebuah tusukan t
"15 juta." Prawira kembali menawar benda tersebut. "20 juta," kata Hana yang kini ikutan menawar ketika melihat Prawira dan Anita tengah berdebat. Anita jadi kesal karena Hana malah ikut-ikutan menawar barang yang seharusnya milik dirinya. "30 juta!" "40 juta," balas Prawira kembali sambil melirik kearah Anita. "50 juta," kata Hana kembali. Sampai tak lama kemudian, Ayu datang membisikan sesuatu pada anaknya. "Apa kamu gila, kita tidak punya uang banyak sekarang.""Biarkan saja mah. Lagian aku sudah punya ayah yang kaya raya sekali." Hana mengatakan itu dengan nada yang sedikit bangga. "Lebih baik kamu biarkan dua orang itu berdebat saja.""Baiklah." Hana akhirnya diam dan tidak menawar lagi. "70 juta!" Anita mengatakan itu dengan sedikit penuh keberanian. "100 juta," tawar Prawira kembali membuat Anita semakin jengkel dan menatap laki-laki itu dengan tajam. "Sialan Prawira, kamu lihat Icha, dia bahkan menantang aku sekarang," bisik Anita. "Kamu bisa tawar barang itu lebih b
Umar Sanjaya tengah merasa marah setelah mengetahui kalau Prawira sudah membawa pergi Arman dari rumah sakit. Ada perasaan yang membuat dia kesal juga sekarang. "Sialan, anak tidak tahu diri itu. Dia malah memindahkan ayahku," umpat Umar Sanjaya. Dia melemparkan barang dengan penuh emosi. Setelah anaknya masuk ke dalam penjara karena kebodohannya sendiri. Dia sekarang harus bergerak sendiri. "Harusnya dari awal aku membunuh anak itu," umpat Umar. "Tuan, cara lelang akan dilakukan besok. Kemungkinan banyak sekali relasi dan rekan bisnis yang datang," kata anak buahnya. Umar Sanjaya tersenyum melihat ini. "Bukannya acara ini dilaksanakan oleh pihak Sanjaya. Aku ingin merusak momen itu," katanya dengan penuh arti. "Apa yang Tuan rencanakan?" tanya anak buahnya. "Bunuh Prawira, aku ingin kamu menghabisi dia ketika acara itu," kata Umar Sanjaya dengan penuh ambisi. "Baik Tuan." "Ingat jangan sampai gagal." Umar Sanjaya mengepalkan tangannya, kali ini dia harus bisa menghab
Di dalam mobil yang melaju menuju rumah besar bercat putih itu, suasana terasa begitu tegang. Ayudia terus memandangi Yasir dengan sorot mata penuh desakan. Jemarinya meremas tas kecil di pangkuan, seolah tengah menahan sesuatu yang bisa meledak kapan saja."Kamu harus memperkenalkan Hana sebagai anakmu, Yasir," ucap Ayudia dengan suara tegas, tapi masih ditahan agar tidak meninggi. "Apalagi besok malam, di acara pelelangan itu. Semua orang penting akan hadir."Yasir menarik napas dalam, pandangannya lurus ke depan menembus kaca mobil. "Tidak semudah itu, Ayudia. Andreas sudah tidak dalam kendaliku lagi. Dia bisa menghancurkan segalanya.""Lupakan Andreas!" potong Ayudia cepat, matanya berkilat penuh kemarahan. "Anak itu memang durhaka, tapi jangan lupa... kamu punya darah daging lain. Hana. Dia anakmu juga. Dia punya hak atas nama besar Sanjaya."Kata-kata itu membuat Yasir diam sejenak. Bibirnya terkatup rapat, rahangnya menegang. "Aku akan mengakui Hana... hanya kalau dia bisa memb
Kamar hotel Ayu tersenyum di dalam ranjang bersama dengan seorang pria, dia memperlihatkan sebuah foto yang memang dia tidak suka. "Aku ingin kamu menghabisi dia," kata Ayudia. Yasir menatap kearah foto yang ditampilkan oleh Ayudia padanya. "Bukannya ini adalah Anwar. Mantan asisten Marwan Sanjaya dulu.""Tunggu, kamu kenal dengan dia?""Iya, tentu saja. Dulu pensiun dini setelah dikeluarkan oleh Umar Sanjaya dulu.""Ini adalah mertuanya Anita. Aku susah sekali menyelidiki tentang suaminya Anita selama ini, belum lagi dia orang misterius. Aku hanya tahu kalau Anwar adalah ayah laki-laki misterius itu."Yasir membaringkan tubuhnya menatap kearah Ayu yang ada disampingnya sekarang. "Anak dari Anwar? Kamu tahu kalau Anwar itu tidak punya anak. Dulu anaknya meninggal ketika masih kecil."Ayu terkejut dengan fakta yang barusan dia dengar itu. "Apa maksudnya ini? Jadi orang itu bukan anak Anwar.""Iya, bisa dibilang begitu.""Sialan, dari awal juga aku sudah curiga. Kalau laki-laki itu h