Share

05.

Pagi ini semua terlihat berbeda, kehidupan yang kemarin indah kini berganti gundah. Mentari yang kemarin cerah kini berganti mendung yang bergelayut manja di langit. seolah ikut merasakan suramnya hari-hari yang akan dilalui oleh Rani ke depannya. Akhir tahun yang kelabu. Pagi ini, Rani masih bebas dari perjanjian kontrak. Sekarang masih hari Minggu, Rani masih bebas untuk melakukan apapun sendirian. Tanpa Azlan dan juga Angela di sekitarnya.

Wanita berdarah blasteran itu memiliki wajah yang begitu cantik. Bentuk muka sedikit lonjong dan mata biru teduhnya selalu bisa menghipnotis siapapun yang melihatnya. Jangan lupakan rambut sedikit pirang yang menegaskan kecantikan wanita itu.

Namun ternyata di balik kecantikan itu, ada banyak sekali luka yang dia sembunyikan. Dia adalah wanita yang kehilangan kasih sayang orang tua sedari kecil. Hidup sebatang kara karena orang tuanya meninggal. Selain kedua orang tuanya, dia tidak mengenal siapapun lagi. Beruntung rumahnya dekat dengan panti asuhan. Jadi, setiap kali pasti ada yang mengurusnya meskipun dia menolak untuk tinggal di panti.

Suara dering ponsel yang memekakkan telinga membuat wanita itu menggeliat. Rasanya masih begitu malas untuk bangun dan beraktifitas. Matanya menyipit ketika melihat layar ponselnya. Nama Ron Ibrahim terpampang jelas. Dengan rasa yang begitu malas wanita itu pun mengangkat panggilan dari Ron. Ya, dia tetap menyimpan nama Ron di ponselnya. Meskipun Azlan melarangnya menambah kontak siapapun.

Menurut Rani, Ron adalah pengecualian.

Bukankah di dunia nyata dia juga pasti bertemu Ron setiap harinya? Jadi menurut Rani tidak masalah untuk menyimpan nomor ponsel pria itu. Pun dengan pria itu yang tidak merasa keberatan.

"Halo."

"Halo, Ran. Apa kamu sudah bangun?"

"Belum."

"Terus yang ngangkat telpon ini siapa?"

"Arwahnya."

"Jangan bercanda Ran, itu sama sekali tidak lucu." Rani bisa membayangkan wajah Ron yang kesal, membuat senyum tipis terbit di bibirnya.

"Pertanyaanmu yang aneh, kenapa kau menyalahkan ku?"

"Aku sudah berada di apartemen,-"

"Hah !" Tentu saja Rani terlonjak bangun karena terkejut. Meskipun Ron juga tidak melihat reaksinya sama sekali.

"Kenapa?"

"Aku terkejut, ada apa seorang Ron Ibrahim, pagi-pagi mau berkunjung ke tempat orang miskin ini."

"Bersiaplah, aku akan mengajakmu ke suatu tempat. Kita perlu menikmati hari sebelum kau benar-benar di penjara oleh Azlan."

Mendengar ucapan Ron, Rani segera mengingat semua perjanjian itu. Dia segera bangkit, merapikan tempat tidurnya yang berantakan. Gadis itu segera menuju ke kamar mandi sekedar mencuci muka. Sementara Ron dibuat kebingungan ketika panggilannya tersambung dan tidak ada suara apapun yang dia dengar.

"Halo ... Rani ... Kamu masih di situ kan?"

Tidak ada jawaban, tetapi pintu apartemen tiba-tiba sudah terbuka. Menampilkan muka bantal Rani yang terlihat cantik meskipun dengan kantung mata yang lumayan tebal.

"Ayo, masuk!"

Ron tersenyum lebar. Tidak jadi memarahi Rani yang lupa mematikan telponnya.

"Dengan senang hati, putri."

Rani tidak tersenyum, wajahnya begitu datar. Namun, itu semua tidak membuat Ron berkecil hati. Dia sangat senang melihat wanita itu terlihat baik-baik saja.

"Mau minum apa?"

"Cappucino," jawab Ron sembari mendaratkan pantatnya di sofa.

"Kamu pikir ini kafe? Adanya air putih, kamu mau?"

"Aku hanya menjawab saja,"elak Ron.

"Sama saja, lelaki memang tidak peka. Seharusnya kamu jawab, terserah." Suara Rani terdengar kesal.

Ron menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak menyangka pagi-pagi akan mendapat omelan manis dari wanita cantik. Andai saja wanita itu istrinya, dia pasti akan dengan senang hati menggendongnya ke kamar.

Bug.

Sedang asyiknya melamun, bantal sofa sudah mendarat di mukanya. Ron menghela nafas. Beginilah jika berkunjung ke rumah seorang gadis yang sedang patah hati, harus siap-siap menjadi pelampiasan.

"Ada apa lagi Ran?"

"Kamu ngapain ke sini? Dari tadi ditanyain malah senyum-senyum tidak jelas."

"Aku mau mengajakmu ke pantai. Manfaatkan hari bebas yang kamu punya."

Dahi Rani mengkerut, terlihat sedang memikirkan sesuatu. Dia memang sedang ingin menenangkan diri. Namun pantai bukanlah pilihannya.

"Bagaimana kalau kita ke puncak saja? Berangkat sekarang. Besok pagi pulang pagi-pagi sekali."

"Kalau pagi, jalannya masih macet. Bisa-bisa kita terlambat ke kantor. Mulai besok kamu kan kerja."

Rani mengangguk. Dia kembali berpikir untuk mencari tujuan yang dia inginkan.

"Baiklah, kita ke pantai." Akhirnya Rani mengalah. Dia menjawab sambil berjalan menuju dapur dan membuatkan kopi pesanan Ron. Ron yang melihat itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. Merasa heran dengan segala tingkah Rani yang begitu ajaib menurutnya. Tak berapa lama, gadis itu membawa dua gelas minuman.

"Ini, minumlah."

"Terimakasih, eh itu punyamu apa?" Ron merasa heran dengan minuman yang dibawa Rani.

"Ini teh dicampur susu putih."

"Memangnya enak?"

"Kalau gak enak, enggak aku bikin Ron." Rani kesal dengan Ron yang serba ingin tahu tentang dirinya.

"Tunggu aku bersiap dulu!" kata wanita itu setelah meletakkan dua gelas minuman di meja.

"Baiklah, sebanyak waktu yang kamu butuhkan. Aku akan menunggu."

Rani terkekeh mendengar jawaban Ron. Dirinya kembali bangkit dan menuju ke kamarnya untuk mandi dan bersiap-siap. Menunggu Rani adalah hal yang cukup membosankan untuk Ron. Pria itu memilih masuk ke dapur minimalis milik gadis itu. Mencari bahan makanan yang ada untuk dibuat sarapan. Beruntung sekali ada nasi, mungkin memang Rani menyiapkannya untuk sarapan.

Dengan cekatan pria itu meracik bumbu. Kebetulan di lemari pendingin masih ada telur dan sosis, jadilah Ron membuat nasi goreng spesial rasa cinta.

Kok namanya seperti itu? Ya, karena memang Ron membuatnya penuh cinta untuk Rani. Selesai membuat nasi goreng, ternyata Rani belum juga keluar dari kamarnya. Pria itu memilih membuka ponselnya. Namun, suara merdu Rani membuatnya kembali mendongakkan kepala.

"Aku sudah siap," kata gadis itu terlihat lebih ceria.

"Sarapan dulu, aku enggak mau melihatmu pingsan nantinya."

"Kamu yang memasak ini?"

"Iyalah ... Siapa lagi?"

Rani mendaratkan pantatnya di samping Ron. Wangi vanila segera saja masuk dengan sopan ke hidung Ron. Membuat pria itu semakin merasa candu pada gadis di sampingnya.

"Ini buat aku?" tanya Rani.

"Iya, dan ini punyaku. Maaf aku lancang masuk ke dapur."

"Its ok. Sekarang waktunya kita sarapan," jawab Rani. Tak lupa sebuah senyum tersemat di bibirnya.

Ron mengangguk. Segera memasukkan ponsel ke saku celananya. Pria itu tidak ingin kehilangan moment makan bersama bersama gadis itu. Merekapun saling diam. Hanya denting suara sendok dan garpu beradu dengan piring.

"Enak." Puji Rani mengacungkan jempolnya. Rani heran, ternyata pria di sampingnya bisa memasak seenak ini. Selesai sarapan mereka berdua pun segera berangkat. Ron membawa Rani ke pantai Anyer. Sepanjang perjalanan dua anak manusia itu tidak ada yang memulai pembicaraan. Rani yang selama ini terkesan cerewet memilih diam. Sesekali matanya menatap ke luar. Namun, sebuah pertanyaan dari Ron mampu membuatnya terkejut.

"Apa kamu tidak berencana untuk melarikan diri?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status