Share

04.

Rani menoleh mendengar suara yang begitu akrab di telinga. Dunianya seakan berhenti pada saat itu. Ela, sahabatnya tiba-tiba datang dan menyapanya dengan begitu ramah. Rani terdiam, lidahnya kelu, bibirnya pun tak bisa lagi mengucapkan sebait tanya atau sapa. Netranya menyorot tajam pada sepasang tangan yang saling bertaut. Tangan itu, tangan yang sama yang setiap kali memberikan uluran bantuan di kala dia berada dalam putusnya harapan. Tangan itu adalah tangan yang sama, yang setiap kali mengusap punggungnya, menenangkan di saat tangis datang tidak diundang. Lalu kenapa, tangan itu memegang erat tangan Azlan-nya.

Kebetulan macam apa ini? Kenapa Tuhan mempermainkan jalan hidupnya sedemikian kencang? Kenapa tak sekalian angin puting beliung datang, membawanya menjauh dari orang-orang di dekatnya yang penuh kemunafikan. Rani benci keadaannya saat ini. Rani enggan untuk mencari kebenarannya lagi. Rani telah kalah, bahkan tanpa tahu kapan genderang perang itu ditabuh. Rani menyerah, bahkan tanpa diberikan kesempatan untuk bertarung yang sesungguhnya.

"Sepertinya kamu cukup terkejut dengan keberadaanku di sini. Well, aku hanya ingin mengucapkan terimakasih kepadamu. Atas kesempatan yang kamu berikan kepadaku untuk menjadi Rani."

Angela berkata sembari mendaratkan pantatnya di sofa. Tak lupa Azlan pun duduk di sampingnya.

Mata Rani mengembun, belum cukupkah Tuhan memisahkannya dengan Azlan, belum cukupkah dia harus kehilangan kebebasan. Kenapa harus sahabat baiknya yang menjadi pengantin bayangan ataukah dirinya yang menjadi pengantin bayangan itu sendiri.

"Kenapa ?"

Setelah bertempur dengan segala rasa yang berkecamuk di dalam dada, akhirnya keluar juga satu tanya yang berputar-putar di dalam kepala Rani sedari kemarin.

"Harusnya aku yang bertanya kepadamu, Deswita Maharani. Kenapa kamu tidak mencari tahu dulu, siapa orang yang kamu dekati malam itu?"

Rani mencoba mengingat malam yang disebut oleh Ela, sapaan akrabnya untuk Angela. Namun, apa yang disebut oleh Ela itu tak terekam oleh memorinya. Terlalu banyak kenangan manis yang pernah dia lukis bersama Azlan. Bahkan malam-malam yang bisa dia hitung dengan jari. Terlalu sedikit memang, tetapi begitu berkesan.

"Bukankah aku sudah memberimu waktu selama lima tahun untuk bersama dengan Azlan?"

Sebuah pertanyaan yang mampu memporak porandakan keyakinan Rani akan sebuah kesetiaan juga kasih sayang. Rani menatap Ela penuh rasa ingin tahu, dia memang kecewa dengan gagalnya pernikahannya dengan Azlan, tetapi kenyataan yang baru dia dapatkan nyatanya lebih menusuk dan menghancurkan seluruh kekuatan yang tersisa pada dirinya.

"Azlan adalah pria yang sudah dijodohkan denganku sejak kecil, kami saling mencintai. Namun, tiba-tiba kamu datang dan menghancurkan segalanya."

Rani membekap mulutnya sendiri, menahan lolongan menyedihkan yang nyaris saja dia keluarkan. Kenyataan itu terasa begitu pahit. Rani kembali teringat bagaimana dia menceritakan hari-hari bahagia bersama Azlan kepada Ela. Tapi itu bukan suatu kesengajaan, dia tidak tahu menahu tentang hubungan Ela degan Azlan.

"Sudahlah, tidak perlu mendramatisir keadaan. sekarang aku adalah istri sah dari seorang Azlan. Kamu adalah istri bayangan !" Putus Angela. Terdengar kejam, tetapi juga membingungkan.

"Tetapi kamu bertindak ilegal, pernikahan kalian tidak sah. Azlan mengucap janji kepadaku, bukan kepadamu."

"Apa peduliku?" Balas Angela sengit, saat itu Rani melihat banyak sekali luka di mata itu. Luka dan kekecewaan yang mungkin sudah menjadi dendam di antara mereka. Luka yang tercipta tanpa kesengajaan dari Rani.

"Bukankah selama ini kamu juga menganggap ku tidak ada? Menceritakan bagaimana Azlan dengan menggebu-gebu dan penuh rona kebahagiaan? Aku sakit, bodoh!" Maki Angela.

"Kamu bisa saja bicara jujur, jika memang Azlan adalah cinta pertama yang sering kamu ceritakan padaku. Aku akan memilih mundur." Rani masih berusaha menjelaskan baik-baik. Meskipun jika dipikir kembali itu tidak adil untuknya.

"Kamu memang hanya memikirkan kebahagiaanmu sendiri," ucap Angela dengan sorot mata penuh rasa sakit. Azlan mengusap-usap lengannya dengan begitu manis. Mencoba menenangkan sang istri, ah lebih tepatnya seorang perebut suami orang.

Jangan ditanya lagi bagaimana perasaan Rani. Jika saja ada pintu ajaib milik Doraemon, wanita itu memilih pergi dan menghilang secepat dan sejauh mungkin. Sesak dan perih itu begitu terasa.

Selin Bagaskara terlihat tersenyum samar. Wanita paruh baya itu seperti sedang menonton drama korea kesukaannya. Melihat Rani terpuruk dan menyesal adalah tujuannya.

"Az, apa benar yang dikatakan oleh Ela? Apa kamu tidak sedikitpun melihat dan mempertimbangkan hubungan kita selama lima tahun ini?"

Rani masih berharap Azlan akan memberikan kata penghiburan di tengah rasa sakit dan sekarat yang dia rasakan saat ini. Setidaknya dia bisa memiliki secercah keyakinan, bahwa orang terdekatnya selama lima tahun ini bukan monster. Namun, alangkah terkejutnya ia, ketika dengan tanpa rasa bersalah Azlan malah menyudutkannya.

"Pertanyaan bodoh. Jika aku tidak mencintai Angela, tidak mungkin aku menikahinya bukan?"

"Kenapa kau tidak jujur saja sejak awal? Aku bisa untuk mundur," jawab Rani mulai kesal.

Ya, dirinya begitu kesal begitu tahu hidupnya selama ini dipermainkan oleh orang-orang itu.

Lebih menyesal lagi karena dia baru mengetahuinya sekarang. Sikap Azlan membuatnya begitu kecewa, kenapa selama ini pria itu seakan-akan menerima kehadirannya. Padahal ada wanita lain yang sudah memilikinya.

"Aku tidak bisa menolak permintaan calon istriku," jawabnya sembari tertunduk. Ada rasa sakit yang dirasakan oleh Azlan. Namun, dia tidak boleh lemah. Rani bukanlah orang yang pantas untuk dia perjuangkan.

Rani tidak bisa berkata-kata lagi. Semua orang di sampingnya adalah monster. Monster yang dengan segala kelicikannya berusaha menghancurkan Rani tanpa sisa. Apakah dia harus menyerah saat ini ? Rani tidak bisa berpikir apapun.

"Sudahi urusan kalian dan ingat jangan sampai hal seperti ini tercium oleh media!" Suara bariton itu membungkam mulut tiga orang yang masih beradu argumen. Mereka bertiga menoleh dan mendapati sang kepala keluarga, Adi Bagaskara berdiri dan menatap tajam ke arah Rani. Sungguh penegasan yang sangat kentara sekali, bahwa hanya Ranilah yang dia peringatkan untuk tutup mulut. Setelah mengucapkan itu, Adi dan Selin Bagaskara memilih masuk ke dalam istananya.

Kembali tiga anak manusia itu saling bergelut dengan pikirannya masing-masing. Angela dengan rasa iri dan dendamnya, Azlan dengan rasa bersalah yang coba dia tutupi kuat-kuat, sementara Rani berada dalam jurang kematian yang begitu menyakitkan.

"Jika kalian ingin pamer kemesraan, tolong hargai aku yang sedang sekarat ini,"ucap Rani tiba-tiba.

"Kamu minta dihargai berapa?Bukankah selama ini kamu layaknya jalang yang tidak berharga,-

"Ups ... maafkan kelancanganku ini," lanjut Angela tanpa merasa bersalah sedikitpun.

Rani mengepalkan tangannya. Hinaan demi hinaan dilontarkan Angela pada Rani. Namun, gadis itu memilih diam.

"Baiklah, apa ada yang ingin kau tanyakan dari surat kontrak itu?"

"Tidak," jawab Rani ketus.

"Waow ... kamu memang wanita cerdas, Rani."

Angela memberikan applaus dan mendekati Rani. Mendekatkan bibirnya pada telinga Rani dan berbisik.

"Mulai besok pagi, kamu akan menjadi pembantu di sini."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status