Share

06.

Sejauh apapun kamu berlari, rasanya tetap akan sama saja ketika kamu belum bisa berdamai dengan rasa sakit itu sendiri.

Rani tertegun mendengar pertanyaan Ron. Bukan dia tidak berniat untuk melarikan diri. Bukan pula dia akan terus bertahan di sini. Namun, ada sebuah harapan yang terpelihara dalam diam. Bertunas kecil jauh di tempat yang tidak bisa dijangkau oleh siapapun.

Rani sadar diri, dia tidak akan menyirami harapan itu. Biarlah semua berjalan sesuai dengan yang digariskan. Wanita itu terlalu pintar mengolah rasa, saat dunianya hancur lebur, dia tetap berdiri tegak menyambut dunianya yang baru. Dunia yang begitu kejam memperlakukan manusia seperti dirinya.

"Hai, kamu melamun Ran?"

"Kenapa kamu begitu baik sementara bosmu begitu jahat?"

Ron menatap perempuan di sebelahnya dengan sendu. Andai saja perempuan itu tahu, bagaimana kelakuannya yang sebenarnya. Mungkin dia pun akan menjadi sasaran kemarahannya.

"Bukankah setiap manusia punya pilihan? Aku dan Azlan punya pilihan masing-masing."

"Ck, kalian sama saja. Mungkin bagi kalian wanita itu hanya barang. Bisa diperlakukan seenak hati kalian."

Ron tak lagi menjawab ocehan dari Rani. Bisa jadi wanita itu nantinya akan semakin kalap jika mengingat pengkhianatan sang kekasih.

Diliriknya Rani dengan ekor matanya, tampak gadis itu membuka ponsel dan berselancar di sosial media.

"Bukankah kamu sudah menonaktifkan sosial mediamu?" Ada nada khawatir terselip di pertanyaan itu.

"Untuk apa? Aku memang gagal menikah, tetapi aku juga punya kehidupan pribadiku sendiri. Apa kamu keberatan?"

"No, itu lebih bag,-"

"Oh tidak, dasar Aslan tidak punya otak!" Rani berteriak keras, membuat Ron segera menoleh ke arah wanita itu. Tak lupa dia pun reflek mengerem secara tiba-tiba.

"Ada apa?"

"Temanmu itu sengaja membuatku terkurung dalam surat kontrak menyebalkan itu."

"Apa maksudmu?"

"Lihat ... Semua orang bahkan memberiku ucapan selamat."

"Sudah ku bilang jangan membuka akun sosial mediamu!"

"Aku harus bagaimana Ron? Katakan ... Aku harus bagaimana?"

Rani kembali menggila dengan rasa frustasinya. Ron sampai kewalahan memegangi tangan Rani yang berusaha memukulnya.

"Tak bisakah lelaki mengerti kami sedikit saja, hah !"

"Sudah Ran, hentikan! Itu tidak baik."

"Apa kamu pikir aku baik-baik saja setelah ini?Dia sudah menghancurkan hidupku. Aku pun akan menghancurkannya," kata Rani berapi-api.

Ron segera menghentikan mobilnya supaya tidak membahayakan dirinya maupun Rani. Terlihat raut khawatir di wajahnya.

"Berhenti mengasihani aku, Ron! Aku benci tatapan itu." Rani menatap nyalang ke arah Ron. Dadanya kembali sesak mendapatkan begitu banyak ucapan selamat dari orang-orang yang mengenalnya. Dunianya yang indah tercerabut paksa.

"Tenangkan dirimu, Rani!"

"Tenang seperti apalagi, Ron? Aku adalah raga tanpa nyawa. Aku adalah robot yang dikendalikan orang lain. Mereka mengatakan seolah-olah itu semua adalah anugerah terhebat yang mesti ku syukuri. Kamu tahu Ron, bahkan aku tidak tahu lagi harus bersikap seperti apa nantinya menghadapi dunia. Ini terlalu kejam dan tidak adil."

Wanita itu kembali meraung-raung tidak karuan. Ron menghela nafas lelah. Seandainya dia bisa, mungkin dia akan membawa lari wanita di sampingnya itu. Namun, apa yang bisa dia lakukan? Dia adalah anak buah Azlan Bagaskara. Dia juga yang dipercaya menjaga Rani, dengan segenap jiwanya. Jika sesuatu terjadi pada Rani, maka nyawanya pun pasti melayang.

Suara ponsel Ron mengagetkan keduanya. Hal itu membuat pria itu segera menyambar benda pipih itu. Azlan menelponnya.

"Di mana Rani?"

"Ada di sampingku?"

"Kalian mau kemana?"

"Apa itu penting untukmu?"

"Jangan membawa dia pergi terlalu jauh, kau akan tahu akibatnya."

Panggilan itu segera dimatikan sepihak oleh Azlan. Ron mendesah pasrah. Dia tidak punya cukup keberanian untuk membalas perlakuan semena-mena Azlan kepadanya.

"Apa kau selalu memberi tahu apapun kepadanya?"

Ron menggeleng.

"Aku sama sekali tidak bisa percaya kepadamu. Kalian berdua terlihat menyembunyikan sebuah rahasia. Sepertinya memang kalian sengaja membuat aku seperti ini. Apa salahku padamu, Ron?"

Kembali raungan putus asa itu terdengar memekakkan telinga. Ron yang tidak bisa menahan lebih lama kebingungannya menenangkan Rani, segera merengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. Tangan kanan Ron memegang kedua pergelangan tangan Rani, sementara satunya merengkuh Rani ke dadanya.

Rani berontak. Namun, tenaganya kalah dengan Ron. Akhirnya wanita itu menangis kembali di pelukan Ron. Pakaian Ron basah oleh air mata, tetapi pria itu begitu sabar membiarkan Rani menyelesaikan tangisnya.

"Aku lelah."

"Kita kembali ke rumah."

"Tidak. Aku belum mau pulang."

"Biarkan seperti ini," pinta Rani lirih.

Ron semakin kebingungan ketika Rani membalas pelukannya. Sebuah kalimat lirih dari bibir Rani mampu menggoncangkan iman Ron saat itu juga.

"Ron, maukah kamu menyembuhkan luka ini?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status