Bab 137: Babeh
**
Pak Mulkan namanya, orang Betawi tulen, tapi cukup mahir berbahasa Batak sebab pergaulannya dengan sesama sopir yang banyak berasal dari Sumatera Utara.
Benar, dia adalah sopir bus metromini jurusan Cililitan-Kampung Rambutan, di mana aku pernah menjadi kondekturnya selama lebih dari setahun.
Aku cukup akrab dengan Pak Mulkan mantan sopirku itu, yang jika perhitunganku tak salah, maka sekarang dia genap berusia enam puluh tahun.
Ramahnya dia, beserta istri dan tiga anaknya membuat hubunganku dengannya melebihi hubungan antara sopir dengan kondektur.
Dia telah menganggapku sebagai anak, dan aku sebagai ‘anaknya’ telah memanggil dia pula dengan sebutan Babeh—ayah.
Sejurus, aku ragu. Namun teringat sebuah nasehat bahwa silaturahmi bisa memanjangkan umur, akhirnya aku pun memantapkan hati.
Setelah membayar ongkos taksi, aku pun keluar dan mengajak Idah menyeberangi jalan. Aku memega
Bab 138: Tak Ada Yang Abadi**Tiba-tiba saja, entah apa pasalnya, Idah memekik-mekik histeris.“Berhenti..! Berhenti..!”Setelah aku membayar ongkos taksi, Idah menarik-narik tanganku. Menuju arah sebaliknya.“Ada apa, Idah?” Tanyaku penasaran.Idah tak menjawab. Ia terus menarik tanganku dengan langkah tergesa. Aku tercepuk-cepuk di belakangnya.Akhirnya, kami berhenti di depan sebuah toko besar yang menjual barang-barang elektronik.Dari balik dinding kaca, aku melihat ratusan televisi yang terpajang di rak-rak besar, tersusun rapih bertingkat-tingkat.Ratusan televisi itu semuanya sedang menyala dan menampilkan sebuah mata acara yang menarik perhatian Idah tadi, yaitu; Audisi Bintang Indonesia!Baru kusadari, ini adalah malam grand final. Ada tiga orang finalis yang akan menunjukkan penampilan terbaiknya di putaran pamungkas. Dan sejauh ini, walaupun selalu berada
Bab 139: Terkenang**Masih ada beberapa jam sebelum kembali melaksanakan tugasnya sebagai flight attendant. Anggun duduk di depan sebuah meja kecil, menghadap jendela dan membuang pandangannya keluar hotel.Tangan kiri menopang dagunya, dan tangan kanan mengaduk-aduk kopi susu yang sudah mulai dingin.Di samping cangkir kopinya itu ada seporsi sarapan pagi berupa roti bakar dan beberapa irisan aneka macam buah yang sama sekali tidak disentuhnya.Herna, rekannya sesama pramugari baru saja keluar dari kamar mandi, berkimono putih dengan rambut terkemul handuk yang juga berwarna putih.Sementara Christin, rekannya yang lain baru saja masuk ke kamar mandi yang ditinggalkan Herna itu.“Hei!” Herna menegur Anggun, sembari melolosi handuk yang melingkari kepalanya.“Kok bengong?” Herna mengambil hair dryer dari dalam koper, mencucukkan colokannya ke soket listrik dan lantas mengeringkan rambutnya dengan perang
Bab 140: Drama di Ruang Tunggu**Seorang lelaki muda, berperawakan tinggi dan gagah, dengan usia sekitar dua puluh lima, berjalan memasuki ruang tunggu bandara Soekarno Hatta sembari menoleh kanan kiri.Sebelah tangannya memegang botol air mineral, sementara tangan yang lain memegang tiket pesawat.Matanya mencari bangku yang kosong, setidaknya dua tempat duduk supaya dia bisa leluasa meletakkan tas backpack-nya dan bisa membuka laptop untuk mereview laporan kerja, yang sedianya akan dia presentasikan pada meeting setelah cutinya berakhir nanti.Huh, menyebalkan, keluhnya dalam hati saat teringat hal yang satu itu. Mau pulang liburan untuk menjenguk orang tua saja, memanfaatkan jatah cuti yang sangat jarang diambilnya, dia sudah dibekali pekerjaan rumah oleh manajer tempatnya bekerja.Inginnya dia protes, tapi sebuah kebijaksanaan di dalam dirinya melarang dia melakukan itu.Pandangan mata si pemuda mendapatkan beberapa bangku yang k
Bab 14: Pulang**“Kak Cindiiiiy..!”“Kak Cindiiiiy..!”Idah melompat dari kursi dan berlari mengejar wanita yang ia panggil Kak Cindy tadi. Lalu aku, bagaikan terbangun dari mimpi cepat pula bangkit dan mengejar Idah.Kami berlarian melewati banyaknya orang-orang yang ada di ruang tunggu ini, menyusuri lorong-lorong yang dicipta barisan kursi-kursi yang dipenuhi para calon penumpang.“Idah..!” Panggilku menahan Idah.Rasa-rasanya aku tidak percaya, benarkah yang dikejar Idah itu adalah Kassandra??Nyatakah ini?? Atau mimpikah ini??Apakah ini hanya sebuah rangkaian skenario dari Tuhan untuk memberi aku kejutan??“Idaaahh..!”Beberapa tas entah milik siapa, tersambar kaki Idah. Aku hanya menyempatkan diri berkata ‘maaf’ kepada si empunya tanpa sempat membenahi tas tersebut.Idah tersandung sebuah kaki, lalu jatuh terjerembab di lantai, tapi dengan cepatnya ia bangkit lagi dan teruskan berlari.
Bab 142: Janji Yang Tunai**Mungkin, akibat pengaruh obat anti mabuk yang kuminumkan kepadanya tadi, beberapa kali Idah menguap dengan mata sayu dan berair.Dipaksanya terus membuka mata untuk melihat daratan yang kehijauan nun di bawah sana, juga lautan yang membiru serupa hamparan terpal di tengah padang.Pesawat semakin tinggi, yang tampak sekarang hanyalah awan.Idah tertidur dengan pertanyaan terakhir yang belum sempat aku jawab, sekaligus juga membuatku teringat pada cerita dia di salah satu jengukanku di rumah Menteng dulu.“Kak Cindy membelikan Idah sebuah kalung. Ini. Cantik tidak, Kak?” Idah menunjukkan kalung yang melingkar di lehernya, kalung yang terbuat dari rangkaian kerang laut dengan liontin berupa mutiara.“Cantik, cantik sekali kalungnya,” sahutku waktu itu.Aku baru saja menyadari saat membenahi kerah baju Idah. Kalung yang dibelikan Kassandra itu ternyata sedang dipakainya sekarang
Bab 143: Sepotong Kisah di Angkasa – part 1**Pesawat yang membawa seratusan lebih penumpang itu terbang memintas langit, mengembara di angkasa dan menyibak gerumbulan awan.Sistem navigasi canggih yang terkomputerisasi memandunya menyusuri rute sepanjang selat Malaka dengan ketinggian jelajah di 30 ribu kaki dari permukaan laut.Sistem auto-pilot diaktifkan, artificial intelligent di komputer pesawat menjaganya terbang stabil sesuai program.Sementara di dalamnya, pilot Rudi Gunawan sebagai kapten, keluar dari kokpit, meninggalkan Dedi Chaniago, co-pilotnya di depan flight instrument.Ia melangkah sedikit tergesa-gesa ke arah belakang, menuju bagian ekor pesawat. Di bagian belakang itu ia berbicara sembari berbisik-bisik dengan salah satu pramugari.Tak lama kemudian ia kembali lagi ke depan bersama si pramugari dengan wajah yang sedikit tegang.Ketika melintas di deretan kursi bagian tengah ia melirikkan matanya dengan
Bab 144: Sepotong Kisah di Angkasa – part 2**Sebagian penumpang tertidur di kursinya. Sebagian yang lain asyik menonton film lewat layar yang ada di head rest.Ada beberapa yang memainkan game, namun lebih banyak lagi yang sedang berbincang-bincang. Semuanya tenang, dan semuanya merasa nyaman dengan penerbangan mereka sekarang ini.Pada saat-saat yang tenang dan nyaman itulah, tiba-tiba terdengar suara dari seluruh speaker yang ada di kabin pesawat.“Selamat siang, Bapak Ibu penumpang Gxaruda Airline. Semoga kita selalu dalam lindungan Tuhan, dan semoga Bapak Ibu semua bisa menikmati penerbangan bersama maskapai kami..,”“Di sini, adalah Kapten Rudi Gunawan, pilot Anda yang sedang berbicara di angkasa, dengan ketinggian 30 ribu kaki bersama udara cerah, awan berarak tanpa mendung, badai atau pun hujan..,”“Izinkan saya untuk menyampaikan sebuah maklumat, yang penting atau tidak pentingnya sesuatu
Bab 145: Jangan Menangis!**Aku tak kuasa menahan haru, melihat ketiga ayah ibu beranak itu berpelak-peluk dalam tangisan melepas rindu. Apalagi kemudian Razak, Alim dan Ifah, adik-adik Idah melebur pula di dalam lingkaran itu.Semuanya bagaikan mimpi bagi Pak Latif dan Bu Latif. Darah daging mereka yang hilang telah kembali ke pangkuan. Berganti-ganti mereka menanyai Idah sesuatu, tentang apa saja yang ingin mereka tahu.“Kamu diikat, Idah? Mulut kamu ditutup?”Idah menggeleng, bersamaan dengan menyeka air mata dengan pundaknya.“Kamu di sana tidurnya bagaimana, Idah? Di gudang? Di kamar?”“Di kamar, Mak”“Di tikar atau di kasur?”“Di kasur.”“Kamu makan apa di sana?”“Makan nasi.”“Ada yang memukul kamu?”Idah menggeleng. “Tidak ada, Mak.”“Ada yang menyakiti kamu? Mencubit? Atau, atau..,”Idah menggeleng lagi.“Siapa yang menjaga kamu, Nak? Siapa teman kamu di sana?”