Share

Bab 2 | Pagi Terkelam

Safira menangis tergugu seraya mengenakan pakaian untuk menutupi tubuhnya. Sementara Sagara masih tertidur pulas.

Inilah pagi yang paling kelam di mata Safira, sekalipun pagi itu, matahari bersinar cerah.

Sambil menahan ngilu di tubuhnya, Safira berpikir apa yang harus ia lakukan setelah malapetaka ini.

"Keparat, bangun lo!" Safira memukul Sagara bertubi-tubi. Air matanya tumpah.

Sagara belum merespon. Dia masih terlelap dalam tidurnya.

Safira mencari cara agar Sagara bangun. Sembarang dia mencari benda yang ada di depan dashboard mobil. Dia meraih aksesoris jam lalu memukulkannya dengan kencang ke kepala Sagara.

"Aaaaawww!" teriakan Sagara sangat kencang. Dari mengalir dari pelipisnya. Darah merembes ke jari tangannya lantaran memegangi lukanya.

Safira menatap lelaki bejat yang masih menodai dirinya itu. Tubuhnya yang tak berpakaian membuat Safira merasa amat jijik. Terlebih membayangkan saat dirinya dipaksa untuk memuaskan nafsu iblisnya.

"Setan, pakai tuh baju lu. Setan!" Safira benar-benar murka. Air matanya terus berderai.

Menyadari tubuhnya yang masih terbuka, Sagara segera mengenakan pakaian.

"Brengsek! Setan! Lu sudah ngerusak hidup gue!" Safira murka. Dengan penuh nafsu dia menjambak kepala Sagara.

Sagara berusaha melepaskan jambakan itu, namun karena terlalu kuat. Usahanya gagal.

"Auwww, sakiiit!!!" Sagara berteriak berkali-kali karena tak kuat menahan sakit di kepalanya.

Safira makin gemas. Dia sama sekali tak melepas jambakan itu, hingga tangannya sendiri yang pegal. Dalam benaknya, kalau saja ada benda yang dapat membantunya, ingin sekali dia membunuh dan memutilasi lelaki bejat yang sudah menidurinya ini.

Safira kini terdiam. Hanya air matanya yang terus tumpah.

"Maaafkan aku," ucap Sagara pelan.

"Apa lu bilang, MAAF?" Safira tertawa dalam tangisannya. Ucapan itu sungguh sangat melukai perasaannya sebagai wanita.

Tangan Safira meraih tas cover mininya. Segera dia keluar dari mobil itu.

"Kamu, mau ke mana?" Sagara menahan Safira dengan memegang lengannya.

Safira menepisnya. "MInggir, bukan urusan lu, iblis!"

"Aku akan mengantarmu pulang," kata Sagara.

"Lepas! Nggak perlu! Aku bisa pulang sendiri!" Safira berusaha melepaskan genggaman Sagara.

"Jangan, berbahaya!" ucap Sagara pelan.

"DI sini lebih berbahaya lagi. Kamu mau merusak aku lagi haah?" Mata Safira membulat, sangat menohok.

Jalanan sudah mulai terlihat ramai. Tanpa pikir panjang, Sagara segera mengunci pintu mobil dan mulai melajukan kendaraannya.

"Kamu mau bawa aku ke mana?" tanya Safira dengan suara serak.

"Aku mau mengantarmu pulang!"

Safira pasrah. Hari ini perasaannya sungguh hancur. Dia tidak mempercayai lelaki di hadapannya ini. Mungkin saja, dia akan melecehkannya lagi.

Tapi kali ini tidak akan dia birkan. Kalau dia melakukannya, sungguh dia akan membunuhnya.

Sepanjang perjalanannya, Safira lebih memilih diam. Ketika sesekali tatapannya beradu dengan Sagara, rasa sakit dan jijik menjadi satu.

Ingin sekali dia meludahi, memukul, dan mencincangnya.

Namun apa daya, dia kini hanya seorang wanita yang justru malah menjadi korban kebiadabannya.

***

Sagara menghentikan mobilnya di sebuah rumah di kawasan Tangerang Selatan. Sagara benar-benar yakin ini memang rumah Safira.

Beberapa kali, saat melakukan penguntitan, Sagara sering melewati rumah ini.

"Sudah sampai," ucap Sagara.

Lama tak ada respon. Sagara melirik ke arah perempuan yang duduk di sampingnya. Rupanya Safira tertidur lelap.

Aku tak tega membangunkannya, bagaimana ya? Sagara merasa gamang.

Sagara menatap Safira yang masih memejamkan mata. Kamu benar-benar cantik, lelaki itu tak bisa mengalihkan perhatiannya dari Safira.

Mengingat kejadiannya yang sudah dilakukannya semalam, tak bisa dipungkiri ada rasa penyesalan sekalipun dari awal dia memang sudah merencanakannya.

Dia tahu Safira tak akan memberikan cintanya kepadanya karena wanita itu sudah bertunangan dengan Benua.

Kalau dipikir-pikir, kok bisa-bisanya dia melakukan hal sebejat itu pada Safira, apakah ini didorong karena rasa cinta? Ah entahlah.

Hati kecilnya, itu bukan cinta, tapi nafsu yang sudah dikendalikan setan.

Kalau mau sebenarnya, Sagara bisa dengan mudah mendapatkan gadis-gadis cantik di kampusnya. Tak perlu dia yang mengejar, justru mereka sendiri yang berdatangan dan dengan rela menawarkan keperawanannya.

Sayangnya dari semua gadis itu, sama sekali tak ada hasrat pada mereka. Justru yang selalu hadir dan selalu menghantui adalah aura kecantikan Safira.

Sayangnya, bagi dirinya Safira itu seperti permata yang teramat susah untuk meraihnya.

Pernah suatu hari, dia ingin menjalin kedekatan dan menyatakan cintanya, tapi niatnya urung lantaran sudah jadi tunangan orang.

Sagara paham. Safira sudah menjadi tunangan Benua. Di kampus pun berita itu ramai dibicarkan.

Bahkan di akun I*******m Safira yang sering ia stalking, Sagara bisa melihat momen-momen indah itu bersama kekasihnya.

Tentu saja itu membuat hatinya dipenuhi rasa iri dan sakit hati.

Setelah kejadian itu, Sagara mulai stres dan merasa tertekan. Kuliahnya pun jadi berantakan. Hingga akhirnya muncullah, ide bejad dengan menodainya.

Sagara baru menyadari idenya ini terlalu dangkal. Risikonya pun sangat besar dan baru terpikirkan sekarang.

Sagara membayangkan, mungkin dirinya akan menjadi terkenal. Viral karena telah memperkosa. Apalagi keluarga besarnya adalah keluarga ulama. Ayah dan ibunya adalah seorang aktivis yang cukup terkenal di tanah air. Mereka punya banyak follower di media sosial dan di masyarakat pun mereka sangat disegani.

Mampus! Dia merutuki dirinya sendiri.

Sagara kembali menatap Safira. Menatapnya berlama-lama sungguh tak membosankan. Seandainya mampu, dia berharap Safira tetap tidur terlelap hingga tetap bisa berlama-lama menatapnya dan berduaan bersamanya.

Tangan Sagara perlahan ingin membelai wajah putih berseri Safira. Tangannya bergetar dan jantungnya berdegup kencang. Inikah yang disebut cinta?

Namun belum selesai Sagara melancarkan aksinya, mata Safira terbuka. Safira terbelalak dan langsung murka.

"Hei, kamu apa lagi, Setan! Jangan berani-berani menyentuhku!" Safira membanting tangan Sagara.

"Di mana ini?" tanya Safira mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

"Dari tadi sudah sampai di depan rumahmu," ucap Sagara tersenyum.

Safira tak percaya. Kok dia bisa mengantarkannya sampai rumah, padahal, dia tak pernah memberikan alamat atau link G****e Maps.

Seakan bisa membaca pikiran Safira, Sagara berkata, "Aku sudah tahu rumahmu dari dulu."

Pikiran Safira dijejali teka-teki. Dari jawaban Sagara, dia menerka-nerka, kenapa dia bisa tahu. Apa jangan-jangan selama ini dia selalu memata-matainya?

"Oh, jadi selama ini kamu sudah mematai-mataiku?" teriak Safira. "Hebat ya, kamu sudah merencanakan semuanya. Hidupku sekarang sudah hancur!"

Sagara menganggukkan kepala pelan tanpa keluar sepatah kata apa pun.

"Dasar bajingan!" kembali Safira memukulkan jam aksesoris mobil di kepala lelaki itu dengan cepat.

"Auuuw!" Sagara meraung. Pukulan itu lebih sakit dari yang sebelumnya. Belum kering luka di pelipisnya, kini pelipisnya kembali mengucurkan darah.

Belum puas memukul Sagara, aksesoris jam itu Safira lemparkan dengan kuat ke muka lelaki itu dengan kuat.

Jam itu kini mengenai matanya. Sagara kembali mengaduh.

Sebelum keluar, Safira memotret wajah Sagara beberapa kali jepretan menggunakan hapenya.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Sagara heran.

"Setan, kamu jangan senang dulu. Aku akan menuntut balas atas semua kejahatanmu ini!"

Buru-buru Safira keluar dari mobil itu dari mobil itu. Ketika di luar, dia pun memotret kendaraan itu. Tidak lupa juga plat nomornya.

Setelah dirasa cukup dia segera menghambur ke rumah. Di rumah sedang tidak ada siapa-siapa. Dia merasa lega.

Setidaknya, orang tuanya tidak mengetahui nasib pilu yang telah menimpanya malam tadi. Dia tidak ingin buru-buru menceritakannya.

Entahlah, kapan dia akan bercerita? Mungkin jika dirinya sudah siap...

Yaa Allah, apa salah dan dosaku... batin Safira meraung-meraung.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status