Safira menangis tergugu seraya mengenakan pakaian untuk menutupi tubuhnya. Sementara Sagara masih tertidur pulas.
Inilah pagi yang paling kelam di mata Safira, sekalipun pagi itu, matahari bersinar cerah.
Sambil menahan ngilu di tubuhnya, Safira berpikir apa yang harus ia lakukan setelah malapetaka ini.
"Keparat, bangun lo!" Safira memukul Sagara bertubi-tubi. Air matanya tumpah.
Sagara belum merespon. Dia masih terlelap dalam tidurnya.
Safira mencari cara agar Sagara bangun. Sembarang dia mencari benda yang ada di depan dashboard mobil. Dia meraih aksesoris jam lalu memukulkannya dengan kencang ke kepala Sagara.
"Aaaaawww!" teriakan Sagara sangat kencang. Dari mengalir dari pelipisnya. Darah merembes ke jari tangannya lantaran memegangi lukanya.
Safira menatap lelaki bejat yang masih menodai dirinya itu. Tubuhnya yang tak berpakaian membuat Safira merasa amat jijik. Terlebih membayangkan saat dirinya dipaksa untuk memuaskan nafsu iblisnya.
"Setan, pakai tuh baju lu. Setan!" Safira benar-benar murka. Air matanya terus berderai.
Menyadari tubuhnya yang masih terbuka, Sagara segera mengenakan pakaian.
"Brengsek! Setan! Lu sudah ngerusak hidup gue!" Safira murka. Dengan penuh nafsu dia menjambak kepala Sagara.
Sagara berusaha melepaskan jambakan itu, namun karena terlalu kuat. Usahanya gagal.
"Auwww, sakiiit!!!" Sagara berteriak berkali-kali karena tak kuat menahan sakit di kepalanya.
Safira makin gemas. Dia sama sekali tak melepas jambakan itu, hingga tangannya sendiri yang pegal. Dalam benaknya, kalau saja ada benda yang dapat membantunya, ingin sekali dia membunuh dan memutilasi lelaki bejat yang sudah menidurinya ini.
Safira kini terdiam. Hanya air matanya yang terus tumpah.
"Maaafkan aku," ucap Sagara pelan.
"Apa lu bilang, MAAF?" Safira tertawa dalam tangisannya. Ucapan itu sungguh sangat melukai perasaannya sebagai wanita.
Tangan Safira meraih tas cover mininya. Segera dia keluar dari mobil itu.
"Kamu, mau ke mana?" Sagara menahan Safira dengan memegang lengannya.
Safira menepisnya. "MInggir, bukan urusan lu, iblis!"
"Aku akan mengantarmu pulang," kata Sagara.
"Lepas! Nggak perlu! Aku bisa pulang sendiri!" Safira berusaha melepaskan genggaman Sagara.
"Jangan, berbahaya!" ucap Sagara pelan.
"DI sini lebih berbahaya lagi. Kamu mau merusak aku lagi haah?" Mata Safira membulat, sangat menohok.
Jalanan sudah mulai terlihat ramai. Tanpa pikir panjang, Sagara segera mengunci pintu mobil dan mulai melajukan kendaraannya.
"Kamu mau bawa aku ke mana?" tanya Safira dengan suara serak.
"Aku mau mengantarmu pulang!"
Safira pasrah. Hari ini perasaannya sungguh hancur. Dia tidak mempercayai lelaki di hadapannya ini. Mungkin saja, dia akan melecehkannya lagi.
Tapi kali ini tidak akan dia birkan. Kalau dia melakukannya, sungguh dia akan membunuhnya.
Sepanjang perjalanannya, Safira lebih memilih diam. Ketika sesekali tatapannya beradu dengan Sagara, rasa sakit dan jijik menjadi satu.
Ingin sekali dia meludahi, memukul, dan mencincangnya.
Namun apa daya, dia kini hanya seorang wanita yang justru malah menjadi korban kebiadabannya.
***
Sagara menghentikan mobilnya di sebuah rumah di kawasan Tangerang Selatan. Sagara benar-benar yakin ini memang rumah Safira.
Beberapa kali, saat melakukan penguntitan, Sagara sering melewati rumah ini.
"Sudah sampai," ucap Sagara.
Lama tak ada respon. Sagara melirik ke arah perempuan yang duduk di sampingnya. Rupanya Safira tertidur lelap.
Aku tak tega membangunkannya, bagaimana ya? Sagara merasa gamang.
Sagara menatap Safira yang masih memejamkan mata. Kamu benar-benar cantik, lelaki itu tak bisa mengalihkan perhatiannya dari Safira.
Mengingat kejadiannya yang sudah dilakukannya semalam, tak bisa dipungkiri ada rasa penyesalan sekalipun dari awal dia memang sudah merencanakannya.
Dia tahu Safira tak akan memberikan cintanya kepadanya karena wanita itu sudah bertunangan dengan Benua.
Kalau dipikir-pikir, kok bisa-bisanya dia melakukan hal sebejat itu pada Safira, apakah ini didorong karena rasa cinta? Ah entahlah.
Hati kecilnya, itu bukan cinta, tapi nafsu yang sudah dikendalikan setan.
Kalau mau sebenarnya, Sagara bisa dengan mudah mendapatkan gadis-gadis cantik di kampusnya. Tak perlu dia yang mengejar, justru mereka sendiri yang berdatangan dan dengan rela menawarkan keperawanannya.
Sayangnya dari semua gadis itu, sama sekali tak ada hasrat pada mereka. Justru yang selalu hadir dan selalu menghantui adalah aura kecantikan Safira.
Sayangnya, bagi dirinya Safira itu seperti permata yang teramat susah untuk meraihnya.
Pernah suatu hari, dia ingin menjalin kedekatan dan menyatakan cintanya, tapi niatnya urung lantaran sudah jadi tunangan orang.
Sagara paham. Safira sudah menjadi tunangan Benua. Di kampus pun berita itu ramai dibicarkan.
Bahkan di akun I*******m Safira yang sering ia stalking, Sagara bisa melihat momen-momen indah itu bersama kekasihnya.
Tentu saja itu membuat hatinya dipenuhi rasa iri dan sakit hati.
Setelah kejadian itu, Sagara mulai stres dan merasa tertekan. Kuliahnya pun jadi berantakan. Hingga akhirnya muncullah, ide bejad dengan menodainya.
Sagara baru menyadari idenya ini terlalu dangkal. Risikonya pun sangat besar dan baru terpikirkan sekarang.
Sagara membayangkan, mungkin dirinya akan menjadi terkenal. Viral karena telah memperkosa. Apalagi keluarga besarnya adalah keluarga ulama. Ayah dan ibunya adalah seorang aktivis yang cukup terkenal di tanah air. Mereka punya banyak follower di media sosial dan di masyarakat pun mereka sangat disegani.
Mampus! Dia merutuki dirinya sendiri.
Sagara kembali menatap Safira. Menatapnya berlama-lama sungguh tak membosankan. Seandainya mampu, dia berharap Safira tetap tidur terlelap hingga tetap bisa berlama-lama menatapnya dan berduaan bersamanya.
Tangan Sagara perlahan ingin membelai wajah putih berseri Safira. Tangannya bergetar dan jantungnya berdegup kencang. Inikah yang disebut cinta?
Namun belum selesai Sagara melancarkan aksinya, mata Safira terbuka. Safira terbelalak dan langsung murka.
"Hei, kamu apa lagi, Setan! Jangan berani-berani menyentuhku!" Safira membanting tangan Sagara.
"Di mana ini?" tanya Safira mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Dari tadi sudah sampai di depan rumahmu," ucap Sagara tersenyum.
Safira tak percaya. Kok dia bisa mengantarkannya sampai rumah, padahal, dia tak pernah memberikan alamat atau link G****e Maps.
Seakan bisa membaca pikiran Safira, Sagara berkata, "Aku sudah tahu rumahmu dari dulu."
Pikiran Safira dijejali teka-teki. Dari jawaban Sagara, dia menerka-nerka, kenapa dia bisa tahu. Apa jangan-jangan selama ini dia selalu memata-matainya?
"Oh, jadi selama ini kamu sudah mematai-mataiku?" teriak Safira. "Hebat ya, kamu sudah merencanakan semuanya. Hidupku sekarang sudah hancur!"
Sagara menganggukkan kepala pelan tanpa keluar sepatah kata apa pun.
"Dasar bajingan!" kembali Safira memukulkan jam aksesoris mobil di kepala lelaki itu dengan cepat.
"Auuuw!" Sagara meraung. Pukulan itu lebih sakit dari yang sebelumnya. Belum kering luka di pelipisnya, kini pelipisnya kembali mengucurkan darah.
Belum puas memukul Sagara, aksesoris jam itu Safira lemparkan dengan kuat ke muka lelaki itu dengan kuat.
Jam itu kini mengenai matanya. Sagara kembali mengaduh.
Sebelum keluar, Safira memotret wajah Sagara beberapa kali jepretan menggunakan hapenya.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Sagara heran.
"Setan, kamu jangan senang dulu. Aku akan menuntut balas atas semua kejahatanmu ini!"
Buru-buru Safira keluar dari mobil itu dari mobil itu. Ketika di luar, dia pun memotret kendaraan itu. Tidak lupa juga plat nomornya.
Setelah dirasa cukup dia segera menghambur ke rumah. Di rumah sedang tidak ada siapa-siapa. Dia merasa lega.
Setidaknya, orang tuanya tidak mengetahui nasib pilu yang telah menimpanya malam tadi. Dia tidak ingin buru-buru menceritakannya.
Entahlah, kapan dia akan bercerita? Mungkin jika dirinya sudah siap...
Yaa Allah, apa salah dan dosaku... batin Safira meraung-meraung.
Bersambung...
Safira, kamu sudah tak suci lagi! Wanita itu memandangi wajahnya sendiri dan berkata pada dirinya sendiri di depan cermin di kamar mandi. Dia kerap kali bolak-balik ke kamar mandi tak kenal waktu.Di kamar mandi, Safira berkali-kali membasahi seluruh tubuhnya dengan air. Bahkan saat ini, saat malam hari dia tetap melakukannya.Namun perasaannya tetap saja nyaman. Rasanya, walaupun seluruh air di dunia ini telah ia habiskan untuk membersihkan tubuhnya, sungguh tubuhnya saat ini tetap kotor. Kesucian dirinya sudah ternoda.Usai mengenakan kimono handuk berwarna pink dan menutupi rambut kepalanya yang masih basah, Safira keluar dari kamar mandi.Aku sungguh tak berharga. Batin Sa
Setelah berhari-hari dibujuk Berliana dan Mama, Safira akhirnya mau untuk memeriksakan diri ke dokter."Ayo, Lian kita berangkat," ajak Mama yang sudah siap mengenakan gamis dan kerudung warna coklat tua. "Mana, Kakakmu?" tanya mama melirik ke kanan dan kiri mencari Safira."Kayaknya masih di kamar, Ma," jawab Berliana yang tak kalah rapinya mengenakan kerudung dan gamis hijau pastel."Lha, gimana ini, bukannya harusnya dia udah siap?!" Papa yang yang juga sudah rapi dengan suara agak meninggi wajahnya tampak sedikit kesal."Sabar, Pa," Mama mengusap-usap dada papa. "Mohon, Pa. Kejadian kemarin jangan terulang lagi. Kita udah sepakat kan?" ucap mama mengingatkan.
"Awwww!"Saking kencangnya, teriakan itu terdengar hingga ke lantai bawah, di mana kamar kedua orang tuanya berada.Tepat tengah malam, Sagara terbangun oleh mimpi buruk. Keringatnya bercucuran memenuhi seluruh tubuhnya.Dia memegangi kepalanya yang terasa pening dan berat.Dalam mimpi, dia melihat dirinya terlempar ke sebuah jurang. Di jurang itu dia disambut oleh lahar dan binatang-binatang aneh yang mengerikan.Kenapa mimpi mengerikan ini selalu berulang? hatinya bertanya dalam kegundahannya.Sungguh, dia belum pernah merasa jiwanya tak tenang seperti yang dialaminya seka
Kenapa ini semua harus menimpa diriku? hati Safira bertanya-tanya. Sejak peristiwa itu, dia sering menangis saat seorang diri.Dalam kesendiriannya, Safira termenung. Sekalipun Sagara kini sudah meringkuk di penjara, namun bagaimanapun luka yang sudah dihujamkan ke dalam jiwanya masih membekas. Jiwanya belum tenang karena kesuciannya takkan bisa kembali lagi.Apa ini semua salahku? Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa mimpi-mimpi indahku yang sudah kuukir kini berubah menjadi mimpi buruk, lirih Safira.Bagaimana bisa tenang, kesucian yang selama ini dia jaga, hanya dipersembahkan untuk suaminya nanti, malah dirampas begitu saja.Mimpi indah itu telah pergi. Yang menemani ku kini mimpi-mimpi buruk. Aku sudah tak punya masa depan lagi, ungkap hatinya.Ini semua salahku, seharusnya hari itu, aku nggak pergi. Mungkin jika tak pergi, semua ini takkan terjadi, ungkap hatinya lagi, cenderung menyalahkan dirinya sendiri.Safira meraih ponsel pinta
“Fira, ayolah makan,” pinta mama saat mereka sekeluarga saat berkumpul di meja makan.Seperti malam-malam lainnya, makan malam yang dilalui Safira terasa hambar.Mama, Papa, dan Berliana menatap Safira yang dari tadi memain-mainkan sendoknya di atas piring nasi. Sepertinya baru beberapa suap yang masuk. Karena nasi di piring itu tersisa masih sangat banyak.Sementara adik dan kedua orang tuanya sudah dari tadi menuntaskan makan malamnya.Terlalu berat bagiku, menghadapi ini. Aku tak sanggup, ucapnya dalam hati.Dia tak menyadari permintaan mamanya, karena terlalu larut dalam pikirannya.“Fira, Sayang. Ayolah makan. Kamu harus kuat. Kamu harus bisa melanjutkan kehidupan,” ucap Papanya.Nada suara papanya jauh lebih nyaring dibanding mamanya sehingga Safira bisa mendengarnya.“Iya, Pa…” ucap Safira, dia ingin menyenangkan papanya. “Ini aku, makan,” lanjutnya sembari menyuap n
“Kak, tolong buka, Kak!” suara Berliana terdengar lebih tinggi saat mengetuk-ngetuk kamar Safira.Dia sudah berkali-kali mengucapkan kalimat itu, namun tak kunjung ada respon dari kakaknya.Dia mengkhawatirkan kakaknya, sementara untuk bisa masuk ke kamar pintunya terkunci.“Kak, tolong buka, Kak,” ucap Berliana lagi. Dia mulai cemas. Duuh, Kak, moga-moga aja nggak terjadi apa-apa sama kamu, gumam Berliana.Dari dalam sebenarnya Safira dapat mendengar dengan jelas suara adiknya. Namun dia merasa enggan, sama sekali tak berminat membuka pintu kamar dan menampakkan diri. Terlebih dengan kondisi saat ini, penampilan rambutnya sudah tak jelas.Dia memandangi dirinya di depan cermin, dengan potongan rambut yang sudah pendek.Namun suara adiknya di luar juga masih terus terdengar. Adiknya tak menyerah.Safira berhenti memandangi dirinya di cermin. Dia melangkahmendekati pintu. Akhirnya terpaksa, dia membuka kun
“Hubungan rumah tangga harus dilandasi dengan kejujuran dan keterbukaan,” Safira mengawali. “Aku tahu ini pahit untukku. Tapi aku tidak mau mengecewakanku, sehingga malam ini aku harus berkata apa ada padamu, Ben.”“Ya, aku sepakat,” jawab Benua lugas.“Ben, apa kamu nggak tahu berita viral?” tanya Safira saat dia bersama Benua sudah duduk di kursi halaman rumah. Di samping Safira, Berliana ikut duduk menemani.Kenapa nanya soal berita viral sih, pikir Benua. Nggak ada pertanyaan lain apa? Benua belum memahami alur pembicaraan calon istrinya.“Berita viral apa? Maksud kamu apa?” tanya Benua polos. Dia memang belum paham.Mendengar jawaban seperti itu, Safira menyimpulkan bahwa Benua memang belum mengetahuinya. Mungkin dia belum sempat baca-baca berita di media sosial.Safira menghirup napas dalam-dalam, mengumpulkan kekuatan untuk menjelaskan.“Ben, sebelumnya aku mau m
Ya Tuhan, mengapa dunia ini tiba-tiba gelap teramat pekat dan mencekam? Padahal jauh-jauh hari aku sudah merencanakan kebahagiaanku bersamanya. Bersama Queenku...Dunia Ben kini menggelap, lebih gelap dari jutaan malam yang telah dilaluinya. Selama ini, segelap apa pun malam yang dijalaninya, tetap saja indah karena di langit hatinya ada satu bintang, yaitu Safira yang selalu ia sayang setulusnya.Malam itu, Benua termenung sendiri di kamarnya yang gelap tanpa nyala lampu. Dua memang sengaja mematikan lampu di kamarnya.Sekalipun hatinya mencoba untuk tenang menghadapi masalah asmaranya ini, namun jiwanya tetap saja muncul gelisah.Ada hitam yang semakin membesar di dadanya. Jika dibiarkan, tentu kegelapan itu akan memakan cahaya hati dan membuat jiwanya terguncang.Dalam kegalauannya dia memainkan gawai yang tergeletak di nakas di samping tempat tidurnya. Dia meraihnya perlahan dengan rasa malas.Sungguh beberapa hari i