Share

Imamku dari Seoul
Imamku dari Seoul
Penulis: Bebek Zoy

Bab 1

Belasan sayap ayam goreng (fried chicken wings) yang gurih itu sudah tertata rapi di atas beling oval yang pipih. Senyum merekah terpancar dari bibir manis si gadis bergamis ungu dengan jilbab bergambar bunga chamomile. Padahal, baru saja dia dan keluarganya menikmati sarapan, tetapi perut gadis itu seraya memanggil agar diisi cemilan lagi. Si gadis ungu pun membawa makanan favoritnya itu menuju ke kamarnya.

Setibanya di tempat tujuan, dia duduk santai di tempat tidurnya dan berpesta sayap ayam. Jika saja kelakuannya ini dilihat oleh Mamanya, pasti dia akan diomeli. Heuh, tapi bagaimana? Si gadis ungu ini suka sekali menikmati cemilan apa pun di atas kasurnya yang empuk bagai marshmallow.

Tampak dinding ruangan berwarna ungu cerah ditambah beberapa bagian yang ditempel wallpaper bergambar tumbuhan lavender. Ada stiker yang menunjukkan nama si pemilik, It's Sabiya's room!

Sabiya Naladhipa, hidupnya penuh tekad yang kuat untuk menjadi kebanggaan orang tuanya. Dia juga bekerja keras untuk dirinya sendiri, pencapaian yang ia raih saat ini adalah lulus menjadi pengajar di sebuah universitas yang terkenal canggih akan berbagai teknologi mesin.

Meskipun dikatakan golongan universitas yang baru menetas di Jakarta beberapa tahun terakhir ini, tetapi sistem pendidikan di sana tidak bisa dipandang sebelah mata, terlebih lagi ada banyak pengajar dari berbagai negara yang ikut bekerja sama dengan universitas tersebut.

Shin University, pembelajarannya berhubungan dengan komputer dalam lingkup super luas, angka-angka fantastis, dan mesin robot. Namun, ada juga fakultas lainnya seperti kedokteran, keguruan, astronomi, sastra, dan masih banyak lagi. Saat ini tengah menduduki posisi paling ternama di Jakarta dan populer di Indonesia. Universitas dengan segala kecanggihan dan alat-alat modern.

Sabiya tidak sabar lagi ingin kembali menginjakkan kakinya di tanah universitas itu, terakhir dia di sana saat menjalani tes atau seleksi penerimaan dosen baru. Sekarang dia harus menahannya karena akan menunggu sampai tanggal yang tertera pada surat kelulusan sebagai tenaga pengajar. Surat tersebut saat ini terhimpit di dalam diary bergambar karakter kura-kura kesukaannya. Well, turtle is so cute for her.

“Alhamdulillah..., aku diterima,” ucap Sabiya senang dan terharu memeluk surat undangan kelulusan sebagai dosen pendidikan bahasa Inggris. Gejolak bahagianya menembus relung hati hingga menyampaikan hasrat kepada air mata yang masih bersembunyi.

Sabiya juga memeluk erat diary kura-kura itu, lalu menyebut nama seseorang yang sudah membelikan diary itu untuknya, “Makasih, Kak Hamas. Aku suka diary kura-kura ini.”

Smartphone Sabiya dengan case berbentuk tempurung kura-kura berwarna ungu, pun bergetar tanda sebuah pesan masuk. Sabiya perlahan membuka pesan itu.

•From: Kak Hamas

|| Assalamualaikum, Biya. Sebentar lagi aku akan datang ke rumahmu... Semoga Papa dan Mama kamu bisa nerima niat baik aku :) ||

"Aaaa!" teriak Sabiya tak kuasa meledakkan rasa bahagianya. Hamas benar-benar akan melamarnya. Sabiya sampai salah tingkah dan langsung bercermin memerhatikan penampilannya. Setelah itu, dia duduk kembali ke ranjang dan melanjutkan teriakan histerisnya.

Ternyata, suara teriakan kegirangan dari mulut Sabiya membuat telinga seseorang sedikit ngilu.

Pintu kamar Sabiya terbuka pelan, dilanjutkan oleh kedatangan seorang cowok dengan paras menawan bersama ekspresi tengilnya masuk ke dalam kamar. Dia berkacak pinggang melihat banyaknya sayap ayam goreng yang disantap Sabiya, terlebih lagi gadis berjilbab ungu itu tidak berhenti tersenyum dan cekikikan sendiri sejak tadi.

“Pantas chicken wings ga ada satu pun di balik tudung saji. Ternyata, ini biang keroknya?” kata cowok itu merebut piring yang menampung kumpulan sayap ayam goreng.

“I’id! Balikin sayap ayamku!” Sabiya melarang Idris—Adik laki-lakinya—agar tidak mengambil cemilan favoritnya itu.

“Ya Allah, aku minta sedikit!” bantah Idris yang sudah mengambil bagiannya. Idris Naladhipa, satu-satunya Adik kandung Sabiya. Orangnya ganteng, cukup menyebalkan, tetapi perhatian.

Saat Sabiya kembali mendapatkan cemilannya, dia cengengesan lagi.

Idris menggeleng ngeri, “Kak Biya daritadi haha-hehe ga jelas. Ada apa, sih?”

Sabiya tersenyum lebar. Wajahnya menjadi merah menahan malu bercampur senang karena memang sebentar lagi pria idamannya akan melamarnya.

Idris menaikkan kedua alis tebalnya, dia heran melihat tingkah Sabiya seperti orang yang tidak waras. "Astaghfirullah, Kak Biya. Istighfar, Kak."

Sabiya pun berguling ke sana dan kemari sambil memeluk bantal diiringi tawa dengan suara agak serak karena kerongkongannya yang kering bagai gurun pasir, "Ahahahah!"

Idris langsung menghampiri. Dia meletakkan telapak tangan kanannya ke kening Kakak perempuannya itu, lalu membaca, "ALLAHU LAA ILAAHA ILLA HUWAL HAYYUL QAYYUM...."

"I'id! Kamu apa'an, sih? Emangnya aku kesurupan?!" tanya Sabiya manyun sambil berusaha menyingkirkan tangan Idris dari keningnya.

Idris menggelengkan kepala sambil duduk di tepi ranjang Sabiya. "Kakak, sih! Bikin khawatir."

Sabiya langsung merangkul manja Adik laki-lakinya itu, lalu bertanya, “Id, menurutmu... apa aku cocok bersanding dengan Kak Hamas?”

“Insha Allah, kalau Kak Hamas yang terbaik buat Kakak, pasti cocok! Apalagi kita berdua udah kenal lama sama dia, dan menurutku Kak Hamas adalah pria yang sangat baik,” kata Idris yakin dan begitu menyetujui jika sang Kakak nanti menerima pinangan Hamas. “Cepetan nikah gih, Kak. Aku juga pengin nikah nih."

Sabiya mengerutkan dahi mendengar kalimat terakhir dari mulut Idris. "Kamu mah, fokus dulu sama S dua. Emangnya, kamu udah punya calon? Perasaan belum pernah kamu cerita apa pun ke aku," pikir Sabiya.

"Kak Biya, bisa carikan untukku?" rayu Idris.

"Ha? Kok minta cari'in sama aku? Nanti kamu komplain. Cari sendiri, wleee! Intinya jodoh cerminan diri, kalau kamu nyebelin kayak gini, berarti jodohmu juga ga kalah nyebelin!”

Idris pun kesal mendengar Sabiya meledek tentang jodohnya, sehingga si cowok alis tebal itu merampas sayap ayam goreng kesukaan Sabiya agar masuk semua ke mulutnya.

Sabiya geram dan berteriak kesal, “I’id!!!"

**

Sabiya dan Idris menuruni tangga yang dominan berwarna cokelat itu bersama-sama seraya berkejar-kejaran. Ya, meskipun sudah cukup dewasa, mereka masih sering bermain dan bertengkar seperti anak kecil.

Idris yang kadang sok menasehati Kakaknya itu sebenarnya masih menyimpan sifat kekanak-kanakannya. Dia memang suka mengganggu Sabiya, namun Sabiya adalah Kakak yang sangat berarti di hidupnya.

"Aku bocorin ke Papa dan Mama sekarang ya kalau Kak Hamas sebentar lagi akan datang ngelamar Kakak," kata Idris yang berlari mendahului Sabiya.

"Ih, I'id. Jangan gitu. Aku gugup, nih," keluh Sabiya sambil menarik lengan kanan Idris. Jantung Sabiya semakin berdetak kencang menikmati detik-detik menjelang momen berharganya.

Tiba-tiba langkah mereka berdua terhenti saat menyadari kalau suasana ruang tamu sedang ramai.

"Duh, Kak. Kayaknya Kak Hamas udah datang dan ngomong ke Papa dan Mama!" tebak Idris geregetan sambil mencubit kedua pipi Kakaknya itu dengan gemas.

Deg.

Sabiya menggigit bibir bawahnya menahan rasa gugup sambil meremas lengan Idris. "Yang benar? Kak Hamas udah bilang belum ya ke Papa?" katanya khawatir.

Idris mengelus lembut bahu Sabiya. "Tenang, Kak. Papa sama Mama kan udah tahu sama Kak Hamas. Mereka pasti nerima kok. Masa niat baik ga diterima?"

Akhirnya, mereka berdua memutuskan untuk mengintip dan menguping pembicaraan di ruang tamu.

Tunggu, Sabiya merasakan hal yang janggal. Dia tidak mendengar ada suara Hamas sama sekali, malah ada suara tawa orang lain.

Idris mengernyitkan dahi tanda bingung dengan keadaan itu. "Lah, itu temannya Papa sama Mama, Kak. Bukan Kak Hamas."

Terlihat Yunus dan Laila (orang tua dari Sabiya & Idris) yang tengah mengobrol asyik dengan pria dan wanita yang dikenal sebagai teman akrab dari Yunus dan Laila sendiri.

Sabiya menyadari kalau dia memang sudah pernah bersapa sesekali dengan teman orang tuanya itu, mereka adalah Tante Sekar dan Om Harun yang bersahabat cukup dekat dengan kedua orang tuanya.

"Kira-kira, apa kalian akan menerima dia?" tanya Harun kepada Yunus dan Laila penuh harap. Barusan Harun sudah menyampaikan kata-kata perwakilannya bahwa ada seseorang yang sangat ingin berhubungan baik dengan Sabiya.

Mamanya Sabiya terlihat berbinar-binar mendengar hal itu. "Alhamdulillah, ya Allah. Aku sangat menerima jika dia ingin menjadi menantuku," kata Laila dengan senang hati tanpa penolakan sedikit pun.

Yunus sedikit tersenyum tidak enak karena istrinya sudah mengambil keputusan tanpa menunggunya atau pun menunggu Sabiya. "Ma, apa sebaiknya kita tanya Sabiya dulu?"

Laila langsung manyun menatap suaminya. "Kenapa? Aku sudah kenal cukup baik dengan anak angkat dari Mas Harun dan Mbak Sekar, Pa. Dia itu anak yang sangat penurut. Lagian, Sabiya yang cantik dan anggun pasti cocok dengan Shin yang manis dan cerdas," jelas Laila mantap kepada Yunus.

Sekar tersenyum senang karena Laila memuji putra angkatnya itu. "Iya, Shin memang anak yang baik. Kami bahagia bisa ditakdirkan bertemu dengannya. Mungkin Sabiya akan senang jika sudah mengenal Shin," kata Sekar yakin.

Sabiya seakan dihantam batu besar hingga menumbuk hancur tubuh dan hatinya. Shin? Siapa Shin? Sabiya tidak tahu sama sekali. Sabiya tidak pernah terpikirkan akan kejadian ini. Ya, ini buruk bagi Sabiya! Bagaimana rencananya dengan Hamas?

Idris mulai merasa kalau aura hati Kakaknya tidak menerima apa yang didengar barusan. "Kak Biya, tenang."

"I'id, lepasin tangan aku!" Sabiya meronta agar Idris membiarkannya ke ruang tamu.

Idris tidak bisa menahan Kakaknya itu. Dia melihat Sabiya sudah berjalan cepat menuju ke tempat orang tuanya berada. Dia pun menyusul.

Sabiya tidak bisa diam. Dia tidak ingin bersembunyi lagi. Kali ini dia menampakkan diri di hadapan orang tuanya dan para tamu. "Ma, Pa. Aku ga mau!"

Semuanya terkejut melihat kedatangan Sabiya bersama dengan penolakan itu. Tolak mentah-mentah!

Laila langsung berdiri sambil menatap kaget terhadap anak gadisnya, "Sabiya, dengarkan Mama. Kenapa kamu jadi ga sopan? Di sini ada Om Harun dan Tante Sekar, harusnya kamu memberi salam dulu!"

Yunus berusaha menenangkan istrinya yang memarahi Sabiya. "Ma, jangan marah-marah. Mungkin Biya kaget," pikir Yunus.

Harun dan Sekar ikut merasa tidak enak dengan suasana tidak bersahabat ini.

Laila bersikukuh ingin Sabiya menuruti kemauannya. "Sabiya. Ini untuk masa depan kamu. Kamu sudah cukup umur untuk menikah. Ada laki-laki yang berniat baik sama kamu. Mama udah kenal dekat dengan Shin."

"Mama yang kenal, aku ga!" balas Sabiya sedikit membentak karena kesal dengan keputusan sepihak tersebut.

Tangan Laila tergerak untuk menampar Sabiya, tetapi dia urungkan. Baru kali ini anak gadisnya itu berani membentaknya.

“Ya Allah. Sabar, Ma,” kata Yunus berusaha meredakan kemarahan Laila.

"Biya udah berani bentak-bentak Mama, Pa!" balas Laila tidak kuasa melihat sikap Sabiya.

Harun dan Sekar turut terkejut dan tidak menyangka jika kedatangan mereka malah membuat keluarga Sabiya menjadi ribut.

Idris langsung bertindak, dia segera menjauhkan Sabiya dari Mamanya. "Ma, kalau Kak Biya ga mau, jangan dipaksa. Kak Biya udah ada pilihan sendiri, Ma," bujuk Idris.

"Pilihan sendiri? Siapa, Id?" tanya Laila heran menatap anak laki-lakinya.

"Kak Hamas, Ma," jawab Idris meyakinkan sang Mama.

"Hamas?" tanya Laila tercengang dan syok, "Hamas si duda beranak satu itu?" lanjutnya, sakit kepala Laila.

Sabiya menatap sedih ke arah Mamanya. "Memangnya kenapa kalau Kak Hamas udah punya anak? Kak Hamas baik, aku juga sayang banget sama Ella," jelas Sabiya memohon.

“Mama ingin kamu mengenal Shin,” bujuk Laila.

Ternyata, di luar pintu, sejak tadi seorang pria berpenampilan rapi yang tengah menggendong anak perempuan cantik sudah mendengarkan perbincangan yang agak menyinggung hati kecilnya, yaitu 'duda beranak satu'.

Hamas Muzammil, dia mendadak patah hati dan tidak memiliki keyakinan kuat setelah mendengar bahwa sudah ada laki-laki lain yang akan melamar Sabiya.

"Sepertinya, dia lelaki yang sempurna sampai Tante Laila ga menolak sedikit pun, bahkan sangat memujinya," ucap Hamas dalam hati, dia ciut. Mana jiwa pemberaninya? Tidak, ini bukan masalah berani atau tidaknya. Ini tentang logika, Hamas sadar diri akan posisinya.

"Papa, kenapa kita ga masuk ke rumah Mama Biya?" tanya Ella bingung karena melihat wajah tampan papanya yang tidak bersemangat.

Hamas pun mengelus lembut kepala anak perempuan yang tak lain adalah darah dagingnya sendiri. "Ella, kita pulang aja ya, Sayang."

"Tapi Ella mau ketemu sama Mama Biya," rengek Ella dengan bibir yang sudah melengkung ke bawah seolah kesenangannya akan hilang.

Sabiya dan Idris pun menyadari kalau Hamas yang berada di teras rumah sudah menyaksikan semuanya.

"Kak Hamas!" panggil Sabiya berniat ingin mengejar. Dia berlari sambil sedikit mengangkat gamis ungu panjangnya.

Ella yang berada di gendongan Hamas pun menangis.

Hamas merasa malu. Dia langsung pergi saja bersama Ella.

"Kak Hamas, tunggu!" cegah Sabiya yang sudah berada di pekarangan.

Hamas berhenti berlari. Dia mencoba mengatur napas dengan mata berkaca-kaca. Perasaannya sungguh hancur. Tidak tahu siapa yang bersalah. Dia hanya bisa mengumpat dirinya sendiri yang begitu pengecut di depan Sabiya.

"Ma-ma," Ella memanggil Sabiya. Dia ingin Sabiya menggendongnya.

Sabiya mencoba mendekati Hamas dan Ella. "Ella... Sayang," panggil Sabiya tersenyum sedih menatap manik indah dari seorang anak perempuan yang baru berumur lima tahun itu.

"Sabiya," ucap Hamas sedikit gemetar, menghentikan langkah Sabiya. "Benar kata Mama kamu. Kamu bisa bersama dengan seseorang yang lebih sempurna dan bisa bahagia'in kamu."

Hening cukup lama. Mereka sama-sama berpikir.

Tiba-tiba terdengar suara bebek di sekitar pekarangan, namun hal itu tidak digubris oleh Sabiya.

"Apa perjuangan kita hanya sebatas ini, Kak? Kakak jadi kan mau ngomong ke Papa, tentang lamaran itu?" tanya Sabiya berharap penuh agar Hamas tidak gegabah dalam mengambil keputusan.

"Mungkin Mama kamu ga akan bisa nerima Ella," tegas Hamas. "Maafin aku, Biya. Anggap saja aku lelaki paling pengecut yang pernah kamu temui," lanjutnya. Hamas terpaksa berkata seperti itu agar Sabiya tidak melawan orang tuanya.

"Tapi..., Kakak belum coba bicara sama Papa aku. Papa pasti-" kata Sabiya belum selesai.

"Assalamualaikum," pamit Hamas, membawa sejuta luka. Mungkin hari ini adalah hari terakhirnya melihat wajah Sabiya yang biasanya selalu menghangatkan hatinya. Sebentar lagi, semua itu hilang.

Sabiya merasa tercekat mendengar Hamas seperti melepasnya. Kakinya berat melangkah untuk mengejar Hamas, laki-laki yang sudah dia impikan menjadi imamnya. Sabiya merasa jahat. "Waalaikumsalam, K-ak Hamas. Maafin aku," tangisnya sakit. Dia sungguh menyalahkan Mamanya atas semua ini.

Hamas lanjut berjalan cepat bersama tangisan Ella, meninggalkan area rumah Sabiya. Niat bulatnya sudah tidak rapi lagi, bagai lingkaran yang koyak di setiap sisi.

"Kak Hamas!" Idris ikut memanggil dan mengejar. Namun, Hamas sudah tidak bisa dicegah lagi. Idris menjadi pusing akan hal ini. Dia tidak sanggup jika perasaan bahagia Sabiya berubah menjadi kehancuran.

“Kwek, kweeek!” suara bebek.

Idris yang tidak berkonsentrasi pun tak sengaja tersandung bebek-bebek yang melintas. “Hoyyy, bebek siapa pula masuk sini?!!!” kaget Idris. “Hush…, hush!” usirnya. Idris sebenarnya sudah tahu jika bebek-bebek itu milik tetangganya, tapi tetap saja dia gemas.

“Kwek, kweeek!” para bebek berlari beriringan keluar dari pekarangan.

"Ini hari terburukku!" kutuk Sabiya penuh kebencian.

"Astaghfirullah. Sabar, Kak Biya," kata Idris yang sudah memeluk lembut tubuh Sabiya yang gemetaran.

Sabiya menangis sesenggukan di pelukan Idris hingga membuat baju kokoh milik Adiknya basah dan kusut. "Semuanya hancur, Id!" isaknya tidak terima.

"Sabar, Kak Biya. I'id ga mau Kakak sedih. Nanti kita coba bilang ke Papa aja," bujuk Idris sambil mengusap kepala Kakaknya yang tertutupi jilbab berhiaskan gambar bunga chamomile.

Idris ingin menenangkan Sabiya cukup lama, tetapi Sabiya melepas pelukannya dan sudah berlari masuk ke dalam rumah.

"Kak Biya!" Idris mengejar. Dia pun berhasil meraih tangan Sabiya.

Sabiya berusaha melepaskan genggaman Idris cukup kuat hingga tarikannya membuat wajah Idris mencium pintu.

Duaaakk!

"Aduh, ya Allah. Gigiku!" Idris sedikit terpekik sambil menyentuh bagian bibir yang dekat dengan gigi depannya akibat menghantam pintu.

Sabiya tidak menghiraukan panggilan dari Idris, kedua orang tuanya, dan juga para tamu.

Kaki Sabiya melangkah cepat menaiki tangga hingga dia hampir tersandung. Setiap anak tangga dibanjiri oleh air mata patah hatinya. Lidahnya terasa kelu untuk berteriak. Ia membatin, "Terlalu sakit memulai kehidupan pernikahan yang diawali air mata keterpaksaan. Aku ingin menikah dengan pilihanku, bukan pilihan siapa pun!"

Garrr!

Sabiya menutup pintu kamarnya cukup kuat. Emosinya tak terkendali. Hancur sudah impiannya menikah dengan laki-laki yang sangat dicintai. Apalagi, Sabiya sangat sedih saat mengingat air mata Ella yang keluar banyak karena anak kecil itu sangat mengharapkan Sabiya menjadi mamanya.

"Siapa pun yang bernama Shin itu, aku sungguh membencinya!" kutuk Sabiya dengan penuh rasa kemarahan.

*

Bersambung…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status