Share

Bab 7

"Aku mau...," kata Shin gugup.

Idris berhasil memasukkan sesendok nasi goreng ke mulutnya meski matanya masih sedikit terpejam menahan kantuk. Dia mengunyah sangat lemah.

"Aku mau kita kencan," lontar Shin dengan gerogi, suaranya terdengar gemetar namun yakin dengan apa yang dia katakan.

"UHUKKK! OHOKKK!" Idris terbatuk seketika mendengar permintaan Shin tersebut. Hampir saja nasi goreng masuk ke saluran pernapasannya.

Pak Didi dan Bi Susan hanya saling menatap dengan ekspresi tak bisa diartikan, namun mereka pikir Tuan Shin mereka memang sangat manis.

"Hahaha!" tawa Idris menggelegar dan sudah benar-benar melebarkan matanya. "Kencan? Romantis juga. Aku ikut, dong!" goda Idris dengan bibir yang masih berlepotan nasi goreng.

"Eh, bocah! Ngerti dikit, lah," sembur Pak Didi kesal dengan kejahilan Idris.

"Apa sih, Pak? Aku tuh cuma penasaran kencan yang indah itu seperti apa?" balas Idris dengan hidung mengembang menatap Pak Didi.

"Gimana, Biya? Kamu mau kencan denganku?" tanya Shin lagi, ia tidak sabar mendengar jawaban dari Sabiya.

Sabiya mematung sejenak, antara malu dilihat Pak Didi dan Bi Susan, serta bingung ingin menjawab apa. Sabiya merasa disudutkan. "Kencan? Sok romantis! Biar apa coba?" batin Sabiya heran mendengar ajakan Shin tersebut, terlalu lebay baginya.

"Biya?" panggil Shin lagi, tak lepas dengan nada lembut.

Drrrttt!

Getaran pada smartphone-nya berhasil membuyarkan lamunan Sabiya.

Panggilan masuk dari Kak Hamas...

Mata Sabiya membulat, tak percaya melihat nama dan foto kontak yang terpampang di smartphone-nya sekarang. "Kak Hamas!" pekiknya dalam hati, senang. Namun, kesenangannya penuh keraguan saat mengetahui Shin sedang menatapnya.

"Panggilan dari siapa?" tanya Shin agak terheran melihat senyuman bahagia yang tidak bisa ditahan oleh Sabiya, membuat Shin penasaran.

"D-dari....," Sabiya terbata-bata. Dia seperti kepergok melakukan kesalahan. Padahal, cuma melihat nama Hamas, tetapi hatinya menjadi runyam karena statusnya sekarang adalah sebagai istrinya Shin.

Idris yang duduk di sebelah Sabiya pun sedikit melirik ke arah smartphone Sabiya yang masih bergetar. "Ya Allah!!!" kejut Idris terpekik.

"Kenapa?!" Shin menjadi panik melihat ekspresi Idris yang tegang seolah akan terjadi perang besar.

Idris mematung dan tidak berani bicara karena dia tahu siapa yang menelepon. "Kak Hamas kembali di saat Kak Biya udah nikah sama Ikan A-Shin. Oke, aku pasrah!" Idris komat-kamit dalam hati, ia tiba-tiba mengkhawatirkan perasaan Sabiya.

"Kenapa belum diangkat?" tanya Shin penasaran menatap Sabiya yang kebingungan.

Sabiya pun meyakinkan hatinya bahwa dia tidak salah. Dengan sekali menggeser layar smartphone-nya, ia menjawab panggilan itu. "Assalamualaikum...."

"Waalaikumsalam. Biya, maaf kalau aku mengganggumu. Maaf kalau selama ini aku ga ada kabar atau apa pun. Sulit menjelaskannya," kata Hamas dari telepon dengan suara penuh keputusasaan.

"Ada apa?" tanya Sabiya jutek, karena dia marah dengan Hamas yang sudah lama tidak ada kabar.

"Ella...," kata Hamas dengan suara agak parau seperti usai menangis.

"Kenapa???" seketika Sabiya panik jika ada berita yang berhubungan dengan Ella.

Shin jadi ikut-ikutan memasang wajah panik melihat tingkah Sabiya meski dia tidak mengerti.

"Astaghfirullah!" Sabiya sudah tidak bisa tenang mendapati kabar buruk itu. "Iya, aku akan ke sana," lanjutnya, lalu menutup panggilan.

"Mau ke mana?" tanya Shin gelagapan melihat Sabiya sudah berdiri.

Sabiya hanya menatap Shin sekilas. Dia tidak menjawab pertanyaan Shin melainkan langsung menoleh ke arah Idris yang tengah menikmati sarapan. "Id! Temani aku sekarang!"

"Haaa? Ke mana? Ngapain? Aku baru mau nyapa nasi, nih," keluh Idris yang langsung menyuap sesendok nasi goreng cukup banyak hingga membuat pipinya kembung.

"Pokoknya temani aku! Kalau ga, kucoret predikatmu sebagai Adik ganteng yang baik!" Sabiya sudah menarik tangan Idris.

"Tapi aku belum mandi, Kak. Ya Allah, masih bau aku. Mana berantakan." Idris pun mencium bagian keteknya, "Tuh, kan, manis-manis asem ketekku."

"Ga peduli! Siapa coba yang sengaja mau nyium ketekmu itu?! Cepat ambil jaketmu," perintah Sabiya manyun.

Sabiya berlari cepat untuk mengambil tas kecil yang berada di ruang tengah. Kemudian, dia kembali lagi menghampiri Idris yang belum beranjak dari tempat semula.

"Kita mau naik apa? Mobilku kan di rumah Papa dan Mama. Mau naik taksi?" pikir Idris yang tidak mau ikut.

"Biar aku yang antar," tawar Shin dengan senyumannya.

"Ga mau!" balas Sabiya menolak karena tidak mau satu mobil dengan Shin. "Yuk, Id. Kita naik taksi aja!" rengeknya.

Idris bersikeras agar tubuhnya tidak diseret paksa oleh Kakaknya itu. "Aku mau basuh muka sebentar, biar fresh. Takutnya di jalan aku ketemu sama jodohku, nanti dia illfeel melihat wajahku yang minyakan!"

Shin tersenyum kecil menahan tawa karena ucapan Idris barusan. "Kalau memang dia jodohmu, dia akan terima kamu apa adanya termasuk minyak di wajahmu, Id," jelas Shin yang mulai berani meledek Idris.

Idris pun mencerna kata-kata Shin barusan yang cukup menarik untuk dipikirkan. "Iya, kah?"

Sabiya manyun menatap Shin yang tidak berhenti tersenyum penuh makna padanya sejak tadi. "Kenapa sih dia senyum-senyum terus?! Aku kan jadi risi!" umpatnya dengan hati was-was.

Shin memikirkan cara lain, dia tidak mau membuat Sabiya dan Idris kesulitan. "Kalau begitu, kalian pakai mobilku yang satunya. Tunggu sebentar, aku akan ambil kuncinya." Shin pun bergegas berjalan menaiki tangga menuju ke kamarnya.

Sabiya dan Idris terdiam mengetahui Shin akan meminjamkan mobil yang lain.

Idris mulai terkekeh lagi sambil menggaruk-garuk kepala. "Heh, Kak Biya lupa ya kalau suami Kakak itu punya banyak mobil?"

"Ga urus!" celetuk Sabiya tak peduli.

"Gimana dengan ajakan kencannya? Kakak nerima? Kayaknya bakal seru, tuh. Udah timbul cinta belum sama Ikan A-Shin?" Idris mulai semakin bersemangat meledek Sabiya sekarang.

"Ga, ah! Apa'an kencan-kencan? Kayak ga ada kerjaan lain. Heh? Cinta katamu? Ga akan!" tolak Sabiya lagi.

Idris segera berjalan cepat menuju ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan menyikat gigi. Dengan sapuan tangan yang cepat ia membasuh muka, lalu dilanjut dengan menggosok gigi super kilat sampai selesai. Idris menatap dirinya bangga di depan cermin besar itu, lalu membatin, "Heh, aku benar-benar mempesona. Mungkin Allah sedang menyiapkan jodoh yang terbaik untukku!"

Idris keluar dari kamar mandi dengan wajah lebih segar dibandingkan sebelumnya. "Kan, jadi pede ketemu jodoh, hehe," Idris gemas sendiri memikirkan siapa jodohnya nanti. Niat menikah sudah ada, namun calonnya belum tampak. Lagipula, Idris juga masih ingin fokus dengan kuliah S2 yang sedang dia jalani.

Idris berjalan santai menghampiri Sabiya yang berdiri di ruang depan.

Tak lama kemudian, Shin juga sudah turun dari tangga. Di tangannya tergenggam sebuah kunci mobil dan gantungan kunci kura-kura yang sudah menjadi milik Sabiya.

"Keychain kura-kura," ucap Sabiya dalam hati, merasa lucu melihat gantungan kunci itu. Namun, dia kembali bad mood melihat Shin yang membawa benda itu.

"Id, hati-hati bawa mobilnya," pesan Shin sambil memberikan kunci mobil kepada Idris.

"Ga akan lecet kok mobilnya, takut amat!" celetuk Idris seraya merampas kunci mobil itu dari tangan Shin.

Shin tersenyum dan berusaha menjelaskan lagi, "Aku ga khawatir kalau mobilku yang lecet. Yang penting itu... kamu dan Biya."

Idris terdiam seribu bahasa mendengar penuturan Shin barusan. Sebegitu pedulinya Shin pada dirinya, sementara Idris malah terus-terusan membuat hati Shin sakit berkali-kali. "Terserah," balas Idris malas.

Shin kembali melirik Sabiya dengan tatapan teduh dan hangat. "Istriku, keychain-nya aku pasangkan ke tas kamu, ya?"

Sabiya hanya diam pasrah saat Shin memasangkan pelan gantungan kunci kura-kura pada tas imutnya yang berwarna ungu, perpaduan yang sangat pas.

Setelah itu, Shin melihat ada sehelai rambut yang sedikit keluar dari jilbab Sabiya di bagian pipi kiri. Tangan Shin tanpa diperintah sudah bergerak memasukkan rambut Sabiya dengan pelan ke dalam jilbab.

Deg.

Sabiya merasakan tangan besar laki-laki itu sudah menyentuh kulit pipinya. Aroma parfum yang soft pada tangan Shin membuat darah Sabiya berdesir menikmatinya. "Chamomile-lavender ala manly? Aku sempat mengenal harum ini di suatu tempat. Tapi, baru kusadari, bagaimana bisa keharuman itu ada padanya?" tebak Sabiya dalam hati, agak tertegun merasakan aroma itu bersamaan menatap netra indah Shin yang begitu bening.

Sabiya pernah merasakan harum itu beberapa kali di suatu tempat selain di toko parfum langganannya. Namun, dia agak lupa tempat yang lain itu di mana?

Kebetulan, pernah suatu hari, Sabiya menyempatkan diri menemani Idris yang ingin membeli parfum. Di toko parfum yang elegan itu Sabiya menemukan parfum yang beraroma sama persis dengan yang pernah dia rasakan di suatu tempat tersebut. Ternyata, parfum itu beraroma Chamomile-lavender versi yang manly, terpampang berkelas pada deretan parfum khusus laki-laki. Sabiya ingin Idris membeli parfum itu saja, namun Idris malah lebih memilih parfum Orange-fresh seperti biasa.

Sabiya pikir, hari ini aroma Chamomile-Lavender pada tubuh Shin menjadi lebih kontras, sedangkan hari-hari sebelumnya tidak terlalu kentara.

"Ehm!!! Masih pagi, masih segar," Idris meledek Sabiya yang terdiam menanggapi tingkah Shin yang manis tersebut.

Sabiya otomatis menjauhkan diri dari Shin yang tanpa sadar sudah cukup lama memainkan pinggiran jilbabnya. "Kami mau pergi sekarang," pamit Sabiya sedikit menunduk antara sebal dan malu.

Shin sudah berniat mengarahkan tangannya agar Sabiya menjabat dan mencium tangannya itu, sebuah harapan besar. Namun, Sabiya langsung pergi sambil menarik tangan Idris meninggalkan Shin begitu saja.

Shin menurunkan kembali tangannya. "Dia udah bilang mau pamit, itu udah lebih dari cukup," batinnya mencoba tenang dan bersabar.

Shin melirik arloji hitam mengilap berhiaskan gambar robot simpel yang berkelas pada lengan kirinya. "Oke, aku ga akan terlambat kerja," batin Shin yakin dengan keputusannya untuk mengikuti Sabiya diam-diam.

**

Sabiya dan Idris sudah menempuh setengah perjalanan.

"Macet lagi! Beginilah jalan bumi, drama kemacetannya ga ada ending," gerutu Idris yang berniat membunyikan klakson cukup lama.

Tiiinnn!!!

Idris menganga saat melihat ada banyak bebek yang lepas di jalanan, sehingga sang pemilik kewalahan dan dimarahi pengendara lainnya.

“Ya Allah, di mana-mana ada aja ketemu bebek?!” kata Idris tidak habis pikir. “Itu yang punya bebek ada masalah hidup apa sih, sampai bebeknya pencar gitu? Ini jalan besar! Apa dunia ini akan dikuasai oleh bebek?”

“Tahu, nih!” Sabiya ikutan kesal dan tidak tenang dengan kemacetan itu. "Aku ga sabar mau lihat Ella, Id."

"Ella kenapa sih, Kak? Kakak belum bilang ke aku sejak tadi. Kenapa kita harus ke rumah sakit? Dia sakit apa?" tanya Idris yang ikut khawatir.

"Lemah jantung," jawab Sabiya berat.

"Ya Rabbi...," Idris lemas mendengar kabar buruk yang menimpa anak perempuan lucu yang hampir saja menjadi keponakan tirinya.

Sementara itu, di belakang terlihat mobil putih kinclong yang tak lain adalah mobil Shin.

"Tuan, yakin kita mau ngikutin mereka?" tanya Pak Didi yang fokus menyetir.

Shin yang duduk di jok belakang sedang merasa ragu sudah mengikuti Sabiya diam-diam. "Emmm, iya, Pak. Ikutin aja."

Pak Didi akan menuruti apa pun perintah Shin.

"Kalau aku sadap seluruh isi hp-nya? Ah, jangan. Aku harus tahan dan percaya dengan istriku," kata Shin dalam hati, tak puas dengan hanya mengikuti Sabiya. Namun, dia mencoba percaya pada istrinya itu.

Jalanan kota Jakarta semakin macet dan riuh. Hal itu membuat Shin tak ragu untuk menggunakan kecanggihan dan kegilaan G-phone-nya.

"Tuan akan melakukan cara pintas?" tebak Pak Didi yang sudah memahami semua kebiasaan dan rahasia tentang keistimewaan yang dimiliki Shin.

"Atas izin Allah," jawab Shin tersenyum dan mulai mengotak-atik G-phone, yang mana fungsinya saat ini sedang disambungkan ke dalam perangkat canggih mobilnya.

Pada layar hijau yang sudah terpampang, terlihat miniatur keberadaan mobil yang dia gunakan dan mobil yang sedang dipakai Sabiya dan Idris.

Jemari tangan Shin yang lincah mulai mengetik beberapa angka dan simbol dengan gerakan cepat sambil memastikan di mana wilayah yang tidak terlalu macet. Terciptalah hasil ketikan Move 180° to 90°. “Semoga mereka ga syok.”

Tiiit!!!

Bunyi tombol merah pada layar yang ditekan Shin. "Bismillah. Bersiaplah!"

Sementara itu, Idris merasa jengah mendengar suara klakson mobil lain yang mengusik gendang telinganya. "Aaarghhh! Rasa mau kubawa terbang nih mobil!"

Tiba-tiba mobil yang mereka naiki sekarang terasa melakukan pergerakan sendiri.

"Haaah! Kenapa ini?" teriak Idris saat merasakan mobil bergoyang aneh.

"Id, gempa???" pikir Sabiya histeris dan sudah memeluk Idris sambil memejamkan mata karena takut.

Deg!!!

Pemandangan di luar jendela sudah tampak asing dan tak bisa diterima di dalam pikiran Idris. Mobil seperti melaju dengan kecepatan di atas rata-rata.

Idris menyaksikan tidak ada pemandangan kemacetan seperti biasa, tetapi malah keadaan angin yang cepat. Idris merasa sedikit mual dan berkeringat dingin.

"Mobilnya kenapa, Id?!" teriak Sabiya takut, masih dengan mata terpejam kuat.

"AKU GA TAHU!!!" Idris memilih untuk memejamkan mata juga sambil membalas pelukan Sabiya. "Ya Allah, ampuni dosa-dosaku. Kalau memang sudah waktunya aku pergi...." Idris mulai meracau.

Gerakan aneh pada mobil pun terhenti. Sabiya dan Idris yang masih berpelukan pun memberanikan diri membuka mata dengan pelan sambil terus berdoa dan mengucap nama Allah.

"What?!" Idris mendelikkan matanya tak percaya ketika menyadari mereka berada di pinggir jalan yang tidak macet seperti tadi.

Sabiya mencoba menormalkan kembali detakan jantungnya, lalu ia bersiap-siap memarahi adik laki-lakinya itu, "I'id!!! Kamu gila emang! Ngebut banget!"

"Ga, Kak. Bukan aku! Kita kan tadi pelukan. Mana ada aku pegang stir, apalagi jalanin mobil. Tadi kan kita masih di pusat kemacetan!" Idris frustrasi dan heran, seperti bermimpi.

Sabiya yang mengetahui Idris sudah biasa jahil padanya pun menganggap Idris tengah berbohong sekarang. "Ah, ga usah bohong. Makanya kita udah keluar dari jalur macet, kan?" pikir Sabiya yakin. "Jangan ulangi lagi!"

"Tap-Tapi...." Idris semakin stres karena Sabiya malah menuduhnya yang membawa mobil begitu ngebut.

"Udah, ah. Rumah sakitnya udah ga jauh. Lanjut!" perintah Sabiya seakan tidak ada hal aneh yang terjadi.

Idris merasa ingin membenturkan kepalanya ke jendela mobil saking tidak percayanya dengan hal aneh barusan. Namun, dia harus menuruti Kakaknya agar segera menuju ke rumah sakit yang sudah tak jauh lagi.

Sementara itu, Shin yang terus mengikuti mereka dari belakang pun hanya senyum-senyum sendiri. "High technology, nikmat dari Allah yang harus digunakan dengan baik tanpa harus merusak apa pun," ucapnya penuh syukur.

**

Kaki Sabiya menapak kuat lantai putih rumah sakit yang sudah ia kunjungi itu. Langkah kecilnya sudah disusul oleh Idris yang tak kalah khawatir dengan kondisi Ella sekarang.

Di saat sedang berusaha memikirkan Ella pun Idris masih tidak bisa konsentrasi gara-gara kejadian aneh pada mobil. "Aku yakin banget tadi mobilnya masih berhimpitan sama mobil lain. Mana bisa keluar! Kok tiba-tiba udah di jalan yang luwes? Kapan aku jalaninnya? Aku ga nyentuh stir sama sekali waktu macet tadi!" batinnya berkecamuk. Dia merasa gila sekaligus takjub, tak lupa juga ngeri sendiri.

Sabiya melihat sosok laki-laki berparas tampan dengan mata sendu yang sedang duduk menunggu di luar ruangan dengan wajah khawatir. "Kak Hamas," ucapnya kecil dengan nada gemetar. Sabiya mencoba menahan tangisnya sebisa mungkin.

Hamas menyadari kedatangan Sabiya dan Idris. Dia berusaha mengatur ekspresi wajahnya yang tengah jatuh menjadi sedikit lebih hangat.

"Assalamualaikum," ucap Sabiya dan Idris bersamaan.

"Waalaikumsalam," jawab Hamas yang berusaha menahan kesedihannya.

"Kemana aja sih, Kak?! Aku udah nyari berbulan-bulan ga ada kabar!" kata Idris marah dan khawatir.

"Id! Jangan bentak Kak Hamas!" Sabiya balas memarahi Idris.

"Aku khawatir!" jelas Idris pada Sabiya dan Hamas.

Ternyata, Shin juga sudah menapakkan kaki di rumah sakit yang sama. Dia benar-benar penasaran dengan apa yang sudah terjadi. Shin seperti sangat tahu kemana Sabiya melangkah hingga tibalah Shin pada tempat yang tak jauh pada tempat Sabiya berpijak sekarang.

"Itu, Biya," kata Shin yakin. Shin melihat dari kejauhan kalau Sabiya dan Idris sedang berbincang-bincang dengan seorang laki-laki yang tak ia kenal. "Siapa laki-laki itu?"

Shin memilih untuk bersembunyi di balik dinding. Dia benar-benar seperti stalker sekarang saking penasarannya dengan Sabiya.

Idris sudah berpelukan erat dengan Hamas. Ya, mereka berdua sudah sangat dekat seperti Kakak-adik.

"Yang sabar, Kak. Ella pasti sembuh. Kita berdoa sama Allah," bujuk Idris dengan mata berkaca-kaca.

Hamas mengangguk percaya bahwa kondisi anak perempuannya akan membaik. Kemudian, dia menatap Sabiya dengan penuh rasa bersalah. "Biya, maafin aku ya. Aku ga sempat ngasih tahu kamu dari lama karena aku terlalu panik dan sibuk tiada henti mengurusi dan mengawasi keadaan Ella-ku."

Sabiya mengangguk mengerti dan tersenyum tulus untuk Hamas yang ada di hadapannya. "Iya, Kak. Yang penting sekarang kita harus fokus dengan kesembuhan Ella."

"Ehm. Ngomong-ngomong," sela Idris ragu. "Kak Hamas udah tahu kan kalau...."

"Biya," barusan Hamas memotong omongan Idris.

Sabiya menatap nanar kedua netra Hamas yang sedang terlihat rapuh. "Iya, Kak?"

"Kamu bercanda, kan, tentang yang waktu itu? Aku masih belum terlambat, kan?" tanya Hamas tiba-tiba, penuh harap.

Deg!

Shin bisa mendengar dengan jelas pembicaraan mereka. "Siapa sebenarnya laki-laki itu?" hati Shin mendadak cemas penuh makna dan tanda tanya.

"A-aku," Sabiya terbata-bata saat ingin menjelaskan semua hal yang sudah ia lalui. Sabiya merasa tak sanggup mengatakan bahwa dia memang sudah menikah.

Idris mulai pening ketika melihat Kakaknya tidak bisa menjelaskan tentang pernikahan yang sudah terjadi.

Hamas mengernyitkan dahi. Dia belum mendapatkan jawaban dari Sabiya. Seketika netra Hamas menangkap sebuah daun kecil yang berada di pucuk kepala Sabiya. "Eh, ada daun. Biar kuambil," kata Hamas tersenyum, merasa lucu melihat wajah Sabiya yang menggemaskan ditambah daun yang menghiasi jilbab ungu yang entah sejak kapan menempel di sana.

Shin mendelikkan matanya tak percaya melihat jarak Sabiya dan laki-laki itu terlalu dekat. Apalagi saat tangan laki-laki itu mencoba membuang daun dan sedikit merapikan jilbab ungu Sabiya, membuat tubuh Shin hampir mati rasa. "Terlalu dekat!" protes Shin dalam hati, tidak terima.

Ada rasa ngilu di hati Shin melihat pemandangan itu. Hatinya yang biasanya berdebar bahagia kini seperti ada yang menusuk seakan ingin memadamkan jantungnya. "Aku harus ke sana," pikir Shin yakin.

Shin dan sepatu mengilapnya sudah menapak cukup cepat pada lantai itu. Jalannya sudah tidak santai. Momen di pagi hari yang harusnya segar malah membuat Shin merasa dasinya terlalu mencekik lehernya.

"Sabiya."

Sabiya seakan diguyur air dingin saat mendengar suara berat nan lembut itu. Badannya seakan mengeras dan beku saking kagetnya.

Idris spontan menoleh dan mencari sumber suara itu. "Ikan A-Shin!" teriaknya histeris dalam hati. Entah mengapa dia malah jadi ikut-ikutan gugup.

"Kok bisa?" batin Sabiya juga bertanya-tanya. Bagaimana bisa Shin menyusulnya ke sini? Sabiya sudah tertangkap basah sekarang. Dia tidak bisa menyebut sepatah kata pun.

Hamas masih belum mengerti dengan apa yang terjadi. "Siapa laki-laki berdasi dengan penampilan modis ini? Apa masih keluarga mereka?" pikir Hamas dalam hati, masih tenang.

Shin tak kalah penasaran, siapa laki-laki yang sudah berani menyentuh kepala Sabiya selain dia?

Shin berusaha menguatkan hatinya bersama dengan langkah penuh asa yang baik. "Pasti ada yang belum aku ketahui. Tatapan Biya pada laki-laki itu sangat memancarkan kebahagiaan dan kehangatan. Tidak saat ketika bersamaku. Siapa laki-laki yang bisa membuat Biya bisa tersenyum tulus seperti itu? Aku... cemburu."

*

Bersambung…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status