Share

Bab 2

Sudah hampir tiga jam Sabiya membuat bantalnya menjadi basah akibat air mata kesedihannya. Hatinya terasa seperti sedang mengalami luka parah yang menganga begitu lebar tanpa obat, bahkan chicken wings pun tidak benar-benar mengobati mood-nya saat ini.

"Kak Biya?" suara Idris dari luar kamar Sabiya.

Sabiya sudah berkali-kali tak mengacuhkan ketukan pintu dari Adiknya itu. Dia benar-benar jengah untuk keluar kamar. Bergerak pun rasanya tidak ada kekuatan, ingin menghilang saja.

"Kak Biya Sayang, please, bukain pintunya. Masa I'id ga boleh masuk juga?" tanya Idris sedih.

Netra kecoklatan Sabiya yang basah karena air mata pun teralihkan pada bingkai foto kecil yang terdapat foto Hamas dan Ella yang tertawa bahagia.

Air matanya menetes lagi, Sabiya benar-benar tidak bisa menerima semuanya. Berpikir sedikit saja kepalanya sudah sakit. Matanya bengkak dan dadanya sesak. Sabiya pun memeluk foto itu dengan penuh perasaan.

"Kenapa Mama ga ngerti perasaan aku? Apa masih zaman jodoh-jodohin? Aku tahu yang terbaik buat aku!" tangis Sabiya yang tidak kuasa kehilangan harapan bahagianya.

Idris masih berusaha mengetuk pintu. "Kak Biya, gigi I'id hampir rontok nih... gara-gara Kak Biya dorong I'id sampe nabrak pintu."

Akhirnya, Sabiya pun membukakan pintu untuk Idris.

"Ya Allah!" Idris terkejut melihat mata Sabiya yang merah dan bengkak. "Kak Biya!" sentak Idris khawatir.

"Kamu mau marahin aku juga?!" kata Sabiya memandang Idris kesal, lalu lanjut menangis dan mendorong Idris agar keluar dari kamarnya.

Idris tidak mau kalah. "Kak, dengarkan aku!" pinta Idris yang sudah memegang kedua pipi Kakaknya yang banjir air mata. Mata Idris ikut berkaca-kaca. Dia tidak menyangka kalau Kakaknya akan sesakit ini.

Sabiya menggelengkan pelan kepalanya. "Kalau kayak gini, aku ga mau nikah sama siapa pun! Aku mau mati, Id!"

"Astaghfirullah!" tangisan Idris pun keluar. Dia tidak sanggup melihat Kakaknya yang semula ceria sudah berubah menjadi orang lain. "Kak Biya, jangan begini. I'id akan bantu sebisa mungkin. Kakak jangan putus asa dulu," jelas Idris yang sudah memeluk erat tubuh sang Kakak yang lebih kecil darinya.

Sabiya sesenggukan. "Ka-mu tahu kan hubungan kita sama Kak Hamas dan Ella selama ini?"

Idris mengangguk dengan wajah yang sudah basah karena air mata. "Aku tahu, Kak. I'id juga udah anggap Kak Hamas itu keluarga kita, Kak Hamas udah kayak kakak aku sendiri. Aku juga berpikir, harusnya kalian segera bersatu," pikir Idris sambil menghapus air mata Sabiya.

"Kenapa ini?" Laila muncul tiba-tiba di dekat pintu kamar Sabiya.

Yunus pun menyusul untuk melihat keadaan anak gadisnya yang sudah mengurung diri selama tiga jam. "Sabiya," panggil Yunus dengan suara lembutnya.

"Pa-pa," balas Sabiya makin terisak. Sabiya langsung berlari dan jatuh ke pelukan Yunus. Dia menangis kuat di sana, mengadu semua duka laranya. Dia pun menatap kesal pada Mamanya.

Laila mengurut kening, perasaannya ikut sedih. Lebih tepatnya sedih mengapa Sabiya sampai menatap marah padanya.

"Duh, Biya. Jangan nangis terus," kata Yunus sambil mengusap dan mencium puncak kepala Sabiya dengan lembut.

Sabiya memulai aksinya. "Biya ga mau nikah sama yang lain, Pa. Hiksss... Papa tahu ga? Tadi Kak Hamas datang ke sini mau ngomong ke Papa tentang niat baik dia," jelas Sabiya tersendat sambil menatap mata Yunus.

Yunus menghela napas antara terkejut dan bingung dengan keadaan ini. "Hamas mau ngelamar kamu?" tanya Yunus memastikan.

"Iya, Pa," jawab Idris menerobos Sabiya yang sudah kesulitan menjawab akibat terlalu lama menangis.

"Coba telepon Hamas sekarang!" perintah Laila.

Hening.

Idris pun cepat-cepat mengeluarkan smartphone dari saku celananya. Dia pun mencari kontak Hamas.

Memanggil Kak Hamas Muzammil...

Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.

"Lailahaillallah!" ucap Idris dalam hati saat mengetahui kalau nomor Hamas tidak bisa dihubungi. Kacau!

"Mana? Ga bisa dihubungin, kan?" kata Laila bosan menunggu.

"Bentar, Ma. Mungkin sinyal gangguan," kata Idris yang terus mencoba menghubungi nomor Hamas.

Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.

"Aaarrrgggh! Kak Hamas ga aktif segala!" umpat Idris kesal dalam hati.

Laila melipatkan tangannya seraya memenangkan perdebatan tersebut. "Sudahlah, Biya. Hamas itu pasti fokus ngurusin si Ella. Kamu masih muda dan cantik, Mama akan sangat setuju kalau kamu menikah dengan Shin.”

"SHIN?" tanya Sabiya meradang. "Siapa Shin? Ikan A-Shin, hah?" lawan Sabiya kesal menatap Mamanya, berang.

"Sabiya!" bentak Laila yang tidak terima kalau Sabiya memelesetkan nama calon menantunya.

"Udah!" lerai Yunus yang mencegah keduanya agar tidak berlanjut ribut.

Sabiya kembali menatap Mamanya dengan penuh tanda tanya. "Shin itu orang mana? Dari namanya aja udah aneh! Apa dia bisa ngaji? Bisa salat? Apakah dia bisa membimbingku ke surga-Nya Allah?" tanya Sabiya bertubi-tubi.

"Sabiya, jangan marah-marah sama Mama. Ga boleh," Yunus memperingati. "Mama juga jangan maksain anak," lanjutnya melihat Laila.

"Biarkan, Pa. Mama akan jawab semua pertanyaan dia," jelas Laila yakin. "Shin itu dari Seoul. Dia mualaf-“

"Seoul, Korea Selatan?! MUALAF???" Sabiya memotong cepat omongan Mamanya. Dia syok bukan main. Yang benar saja, Sabiya merasa asing. Dia akan dinikahkan dengan orang yang jauh dari tipe lelaki impiannya.

"Dengarkan Mama dulu!" sela Laila kesal.

"Mama mau nyuruh aku hidup sama orang asing? Sedangkan Kak Hamas yang lebih paham tentang agama malah Mama tolak! Mama sehat ga, sih?" Sabiya semakin membantah dengan keputusan Mamanya yang begitu bertolak belakang dengan pahamnya.

"Mama belum selesai!" kata Laila kesal tidak diberikan kesempatan untuk bicara banyak.

"Kalau kayak gini, aku ga mau nikah sama siapa pun!!!" tegas Sabiya lagi.

Kata-kata dari Sabiya barusan membuat Laila syok. Dia merasakan ada gejolak aneh yang mengganggu kondisi tubuhnya, karena sejak tadi Sabiya tidak bisa memenuhi harapannya. Kepala Laila merasa pusing mendadak.

"M-ma?" kata Sabiya, Idris, dan Yunus yang mulai khawatir melihat tubuh Laila tidak seimbang.

"Astaghfirullah," ucap Laila yang merasa kepalanya sakit, hingga penglihatannya menjadi buram dan berputar-putar.

"Mama!" Yunus dengan sigapnya langsung menahan istrinya yang jatuh pingsan.

**

Kedua tangan halus Sabiya kini tengah memeras kain kompres untuk diletakkan di kepala Mamanya.

Sabiya merasa sangat sedih. Dia sudah berdebat hingga membuat Mamanya tersebut tidak kuasa menerima amukan darinya.

"Maafin Biya, Ma," ucap Sabiya gemetar sambil melihat mata Mamanya yang terpejam. Sabiya memeriksa suhu tubuh Mamanya yang sangat panas.

Sosok Idris duduk sedikit termenung di kursi sudut kamar Mamanya.

"Bi-ya," ucap Laila dengan suara agak serak. Matanya membuka pelan, sedikit menyipitkan penglihatan untuk menyesuaikan cahaya yang perlahan masuk ke matanya.

"Ma...," Idris segera beranjak dari kursi dan duduk di tepi ranjang menghampiri Mamanya.

"Mama mau minum?" tanya Sabiya yang gelagapan ingin mengambil cangkir berisi air putih di atas meja.

Laila mengangguk lemas dengan wajah pucatnya, lalu minum yang dibantu oleh Sabiya. Setelah itu, dia bertanya, "Mana Papa?"

Idris merasa lega melihat kondisi Mamanya berangsur membaik. "Papa lagi ngobrol di depan sama dokter, Ma. Kata dokter, Mama kecapek'an dan tertekan. Mama jangan banyak pikiran deh," jelas Idris seraya menasehati Mamanya.

Sabiya langsung menunduk dan tidak berani menatap mata Mamanya. "Maafin aku, Ma,” sesalnya.

"Mama juga minta maaf sama kamu, Sayang," balas Laila yang sudah berlinang air mata. Laila mengelus wajah cantik anak gadisnya itu.

Sabiya pun memeluk lengan Laila yang menyentuh wajahnya. Dia ikut terisak.

Idris berdeham pelan. "Mama tuh udah bikin kami semua khawatir," jelas Idris sambil merasakan kening Mamanya yang masih panas menggunakan punggung tangan kanannya.

"Maafin Mama ya, Id," kata Laila tersenyum kecil. Setelah itu, dia beralih memandang Sabiya. "Biya, Mama boleh minta sekali ini saja?" pinta Laila memohon.

Sabiya sudah menduga kalau dia akan berada di posisi ini. Hanya keheningan sebagai jawaban dari Sabiya.

"Mama mau kamu menikah dengan Shin," jelas Laila penuh harap. Dia sangat menginginkan anak gadisnya menikah dengan seorang Shin yang begitu baik di matanya. Dia ingin Sabiya mau mengenal Shin.

Hati Sabiya sungguh bimbang. Di saat seperti ini, Hamas juga tidak ada kabar sama sekali. "Kak Hamas, Kakak kemana?" batinnya berharap penuh dengan Hamas.

"Mama mohon, Sayang. Percaya sama Mama. Shin itu baik," Laila benar-benar memohon.

"Kalau aku menolak?" tanya Sabiya pedih.

"Mama akan menyesal seumur hidup karena ga bisa ngasih kamu kebahagiaan," jawab Laila yang membuat Sabiya berpikir keras.

"Mama udah bikin aku bahagia selama ini. Aku cuma mau bersanding dengan pilihan aku, Ma," Sabiya berharap Mamanya memberikan kebebasan padanya.

Laila menggelengkan kepalanya, "Karena Mama yakin, Shin adalah bagian dari salah satu bahagia di hidup kamu. Kamu ga percaya sama Mama?"

Sabiya lelah kalau harus berdebat lagi. Dia jadi merasa semakin berdosa saat melihat wajah pucat Mamanya. Sebagai orang yang mulai dewasa, Sabiya ingin menentukan pilihannya sendiri. Namun, sebagai anak, Sabiya akan mematuhi orang tuanya meskipun harus sakit?

"Yang Mama tahu, kamu dan Hamas cuma sebagai teman biasa. Mama ga tahu kalau Hamas mau ngelamar kamu," jelas Laila.

Sabiya sedikit bersemangat, mungkinkah Mamanya akan berubah pikiran?

"Tapi, Mama ingin Shin yang menjadi menantu Mama," lanjut Laila yang membuat harapan Sabiya dihempas lagi.

Idris menggelengkan kepalanya melihat sikap Mamanya yang semakin hari semakin memaksakan kehendak. "Mama, kok, kejam sama kak Biya? Kak Biya juga punya perasaan, Ma."

"Mama juga punya perasaan," balas Laila tak mau kalah. "Id, kamu mau ga Mama jodohin sama anaknya teman Mama yang-"

Idris spontan menutup telinga menggunakan kedua tangannya. Melihat Sabiya yang dibujuk menikah dengan pilihan Mamanya pun dia sudah ngeri, apalagi kalau dia yang kena imbas juga. Niatnya untuk menikah menjadi kecil. "Ga, ga, ga! Bye, aku mau nulis tugas dulu!" kata Idris yang sudah berjalan keluar dari kamar Mamanya.

Laila tersenyum getir melihat Idris menghindarinya. Padahal, dia cuma asal bicara.

Sabiya cukup ditaburi rasa penasaran karena Mamanya begitu ingin dia mengenal Shin. "Apa spesialnya Shin sampai Mama seperti ini? Sampai jatuh sakit. Apa Shin lebih berharga dari aku, Ma? Anak mama itu aku, bukan Shin."

Laila langsung mengangkat dagu Sabiya, lalu menggenggam tangan Sabiya yang gemetaran. "Sulit bagi Mama menjelaskannya. Mama ingin melihat, apakah penilaian kita sama?"

"Apa dia paham tentang keimanan kita, Ma? Dia itu baru atau-" Sabiya mulai melakukan wawancara dengan Mamanya seputar Shin.

"Dia paham, Biya. Dia sudah lama memiliki keyakinan yang sama seperti kita," jelas Laila tersenyum senang hingga membuat Sabiya tidak berkutik.

"Kerjanya apa, Ma?" Sabiya semakin gencar bertanya.

"Emmm, berhubungan dengan mesin. Kamu nanti bisa tanya-tanya langsung sama Shin," jawab Laila seadanya sambil menggoda anak gadisnya.

"Mesin? Bengkel?" Sabiya menduga.

"Bukan. Emangnya bengkel apa yang penghasilannya sebulan itu lebih besar sepuluh kali lipat dari penghasilan Papamu?" jelas Laila yang membuat Sabiya tercengang.

Ya, Yunus sang Papa yang berprofesi sebagai pengusaha pun penghasilannya sudah begitu besar. Bagaimana Shin yang 10x lipat. Mesin apa?

"Apa Mama punya foto Shin?" tanya Sabiya dengan berat hati, demi membuat Mamanya senang.

"Mama sempat foto sama dia, tapi fotonya belum dikirim. Apa Mama harus meneleponnya sekarang untuk minta dikirimkan foto?" kata Laila bersemangat sambil tersenyum dengan bibirnya yang masih pucat.

"Ga, Ma. Ga usah," kata Sabiya tidak mau. Sabiya tidak habis pikir, apakah Mamanya sudah begitu dekat dengan Shin sehingga sudah memiliki kontak laki-laki itu, bahkan pernah berfoto bersama. "Foto profil ZoyApp-nya ada?" lanjut Sabiya ragu.

Laila pun membuka smartphone-nya dan melihat kontak ZoyApp Shin. "Dia pakai foto robot," jelas Laila tersenyum kecil, merasa lucu.

Sabiya semakin putus asa. Betapa anehnya seorang Shin yang ingin dijadikan Mamanya sebagai menantu. Foto robot? Terlihat kekanak-kanakan! Sungguh berbeda dengan Hamas yang menjadi kebanggaannya.

Cukup, Sabiya tidak mau tahu lebih banyak tentang 'Ikan A-Shin' yang membuat kebahagiaannya remuk. Dia ingin muntah, namun ditahan.

Ah, mata Sabiya semakin sakit karena tidak bisa menghentikan air matanya. Di pikirannya sekarang cuma berharap Hamas datang dan membawanya kabur. "Astaghfirullah," ucap Sabiya dalam hati, barusan dia mendapat rayuan kuat dari iblis.

Laila benar-benar bersemangat jika sudah membahas tentang Shin, "Tanpa kamu tanya pun Mama akan beberkan tentang dia. Shin itu manis, baik, tinggi, rapi, wangi, pintar, sabar. Apa lagi ya? Emmm, dia paham berbagai bahasa, dan dia bisa bicara bahasa kita dengan lancar. Terus-"

"Ih, Mama. Aku, kan, cuma nanya sedikit. Udah, ah," sela Sabiya yang membuat Mamanya berhenti.

“Shin bilang dia udah pernah bertemu denganmu, Biya.”

“Haaah? Kapan? Udah ah, Mama ga usah bicara lagi tentang dia,” gerutu Sabiya merajuk. Bagi Sabiya, Mamanya itu hanya melebih-lebihkan dengan mengatakan kelebihan Shin dan juga tentang Shin yang sudah mengenalnya. Padahal..., bohong, kan?

Laila menghela napas dan kembali tersenyum menatap anak gadisnya. "Biya jangan khawatir. Biya pasti penasaran sama wajah Shin, ya? Shin itu manis lebih dari gula."

Sabiya hanya memutar bola matanya malas sambil berpangku tangan, bosan mendengar Mamanya memuji-muji sosok Shin terus.

Laila pun menggenggam kedua tangan Sabiya dan membujuk tanpa kemarahan lagi, “Baiklah, Mama akan kasih Hamas kesempatan.”

Sabiya berkaca-kaca mendengar Mamanya akan menunggu kedatangan Hamas jika bertekad serius kepada Sabiya. Baiklah, satu-satunya yang harus Sabiya lakukan adalah membujuk Hamas menghadap ke Papa dan Mamanya.

“Tapi...,” kata Laila tersenyum, “Biya juga coba dulu ya kenalan sama Shin. Kalau mau, nanti Mama akan bicara lagi sama Om Harun dan Tante Sekar.”

Sabiya mengangguk saja meski hatinya berteriak benci kepada Shin-Shin makhluk asing yang tiba-tiba merusak semua rencana bahagia Sabiya.

Entah, memang hari yang berlalu begitu cepat, atau kepiluan hati Sabiya yang membuang-buang waktu? Hamas yang tak kunjung ada kabar benar-benar membuat Sabiya frustrasi.

Tak terasa, tibalah hari di mana Sabiya akan segera dipertemukan dengan sosok Shin yang sudah memporak-porandakan emosinya.

Hari yang membuat Sabiya takut dan ingin pergi saja.

Hari yang membuat pikiran Sabiya tentang masa depan menjadi kelabu dan tidak memiliki cita-cita bahagia lagi.

Hari yang ingin dihapus dan dilangkah oleh Sabiya, serta berharap tidak akan terjadi selama hidupnya. Lenyapkan saja Shin itu baginya!

*

Bersambung…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status