Share

Bab 3

Tak terasa sudah dua bulan Sabiya merasakan kehidupan yang hampa tanpa kabar apa pun dari Hamas dan Ella.

Sabiya sangat tidak tenang menghadapi hari ini.

Rumah Sabiya sudah ramai dikunjungi oleh keluarga besar, karena hari ini adalah hari Sabiya dikhitbah (dilamar).

Sekarang Sabiya sedang didandani oleh beberapa ahli make up di kamarnya. Namun, suasana hati Sabiya sangat kalut.

Salah satu orang yang menghiasi bagian mata Sabiya pun cemas melihat air mata Sabiya terus keluar hingga merusak hasil make up yang sudah rapi. "Dek, jangan nangis terus. Nanti berantakan lagi. Adek harus tersenyum di hari bahagia ini."

Sabiya tersadar dari lamunannya. Dia sempat mengingat kenangannya dengan Hamas yang tidak mungkin dia buang begitu saja. "Maaf, Mbak," balas Sabiya yang berusaha menghentikan air matanya dengan cara menengok ke atas.

Sebenarnya, Shin sudah sering datang ke rumah Sabiya beberapa kali untuk bertamu sekaligus ta'aruf ditemani oleh orang tua angkatnya yaitu Harun dan Sekar. Namun, setiap kali bertemu, Sabiya hanya melihat sekilas wajah Shin. Mengantar minuman pun Sabiya terus menunduk ke bawah. Berbicara juga sangat singkat sambil memasang senyum palsu. Memang hati tidak bisa berbohong, Shin memiliki sorot mata yang indah dan melunakkan hati. Namun, Sabiya tidak akan mudah tergoda oleh hal seperti itu. Si Ikan A-Shin sudah membuatnya jengah di awal.

Tokkk. Tokkk. Tokkk.

"Kak Biya?" panggil Idris dari luar pintu kamar.

"Masuk, I'id," jawab Sabiya agak serak.

Idris pun masuk ke kamar Sabiya dengan deru napas kelelahan. Dia baru pulang dari mengerjakan misi mecari Hamas. Diharapkan membawa berita baik untuk Sabiya, tetapi ternyata gagal.

Sabiya menatap penuh harap kepada Idris.

Idris menggelengkan kepalanya dengan raut wajah sedih, tanda bahwa dia tidak berhasil bertemu dengan Hamas.

"Mungkin hati Kak Hamas terlalu sakit, Id," duga Sabiya. "Aku jadi ga tenang. Seenggaknya, dia tahu kalau aku tersiksa."

Idris segera menghapus air mata Sabiya yang terus mengalir. "Kak Biya, I'id bingung. I'id ngerasa ga berguna. Maafin I'id ga bisa mencegah ini,” sesal Idris.

Sabiya menggelengkan kepalanya karena tak kuasa dengan keterpaksaan ini. "Aku ga mau buat Mama sedih, Id. Tapi aku juga takut."

Beberapa ahli make up hanya diam memerhatikan keseriusan antara Sabiya dan Idris.

Idris merapikan jilbab cantik Sabiya yang sedikit terlipat. "Kakak cantik. Kakak harus senyum. Tenang aja, Kak. Kalau ada yang membuat Kakak takut, I'id ga akan diam," bujuk Idris untuk menyemangati cahaya hidup Sabiya yang hampir pudar.

"Janji?" tanya Sabiya lagi.

"Insha Allah janji. I'id kan sayang sama Kak Biya. Kita hanya bisa pasrah sekarang. Kakak harus kuat," jawab Idris yang menghapus sisa air mata Sabiya di pipi.

Akhirnya, Sabiya berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis lagi. Dia kembali merapikan diri. Dia merasa cukup kuat karena kata-kata penyemangat dari adiknya itu.

Deg. Deg. Deg.

Menit-menit terus berlalu. Itu bukan detakan cinta atau pun rindu. Kagum pun tidak. Itu detakan karena takut dan tidak siap menghadapi hal kedepannya.

"Biya?" panggil Yunus yang sedikit mengintip pintu kamar anak gadisnya. "Udah siap belum, Sayang?"

"Udah, Pa," jawab Sabiya. Kini dia sudah begitu anggun dengan gaun gamisnya yang indah. Wajahnya terlihat begitu cerah dan merona, meski memasang senyum palsu di hadapan Papanya.

"Masya Allah. Cantiknya anak Papa!" puji Yunus gemas sambil mencium kening Sabiya hingga menimbulkan senyuman tulus di bibir merah Sabiya.

"Pa, calon Kak Biya udah datang?" tanya Idris penasaran.

"Dia udah nunggu di bawah daritadi, kamu ga lihat?" jawab Yunus heran.

Ya, Idris tadi mana sempat melihat karena saat tiba di rumah, tujuan utamanya adalah menemui Sabiya untuk membahas tentang Hamas.

"Gimana orangnya, Pa?" tanya Idris yang mulai penasaran. Tentu saja Idris belum pernah bertemu dengan Shin karena di saat Shin datang ke rumah, Idris malah sibuk keluar untuk kuliah dan mencari Hamas. Lagipula, Idris juga terlanjur kesal karena kehadiran Shin membuat hubungan Sabiya dan Hamas kacau.

"Dia gagah, seperti waktu Papa muda dulu," jawab Yunus terkekeh dan merasa bangga dengan dirinya sendiri.

"Hoeeek!" Idris ingin muntah melihat tingkah Papanya yang sok ganteng.

Yunus spontan menepuk lengan kanan Idris karena mengejeknya. "Kamu tuh beruntung jadi anak Papa!" ketusnya sebal.

"Iya'in aja lah, daripada namaku dicoret dari kartu keluarga," balas Idris dengan wajah yang begitu mengesalkan.

**

Sabiya menuruni tangga perlahan yang diiringi oleh Papa dan Adik laki-lakinya. Dia gugup melihat keluarga besar sudah ramai. Malunya, Sabiya hampir tersandung karena ulah Idris yang tidak sengaja menginjak gaun panjangnya.

"I'id!" pekik Sabiya tertahan, kesal bercampur ingin meledak.

"Dasar, I'id! Yang benar pegangin Kak Biya-nya," sambung Yunus ikutan kesal.

"Iya, iya, maaf. Aku deg-deg'an," balas Idris. Kakaknya yang akan dikhitbah, malah dia yang gugup.

Sabiya menatap sosok laki-laki yang duduk di ambal merah membentang luas, terlihat begitu gagah dengan jas putih berpadu ungu.

Idris memerhatikan wajah calon Kakak iparnya dengan saksama. "Oh, ini si Ikan A-Shin itu? Keren, sih? Tapi kok mukanya mencurigakan?" batinnya merasa aneh.

Semua keluarga besar sudah kegirangan sendiri melihat dua insan yang akan dipasangkan.

"Assalamualaikum," ucap Shin dengan senyum tulusnya, menatap Sabiya sedikit malu. Bibirnya agak gemetar usai mengucapkan salam.

"Waalaikumsalam," jawab Sabiya yang langsung memalingkan wajah. Dia tidak ingin berlarut-larut melihat wajah 'Ikan A-Shin' itu. Ya, itu julukan dari Sabiya untuk Shin. Sampai Idris pun ikut-ikutan menyebut lelaki itu 'Ikan A-Shin'.

Shin melihat Sabiya yang begitu cantik dan anggun dengan gaun putih bercampur ungu yang selaras dengan jasnya. Dia terpesona, apalagi saat melihat bibir merah Sabiya yang merekah. Shin langsung menunduk dan berucap dalam hati, "Masya Allah."

Laila geregetan melihat anak gadisnya yang begitu cantik sudah duduk di dekatnya.

Shin dan Sabiya duduk saling berhadapan, tapi agak jauh. Serta dikerubungi oleh keluarga baik dari pihak Sabiya maupun Shin.

Sabiya terus menunduk. Dia takut air matanya yang kembali jatuh akan dilihat oleh pihak keluarga.

Selama waktu berjalan, perwakilan dari tiap pihak keluarga terus saling memberikan kesan yang baik. Sampai akhirnya, Harun dari pihak Shin pun bertanya, "Apakah lamaran dari putra kami Muhammad Shin Leo, akan diterima?"

Hening.

Deg. Deg. Deg.

Idris gigit jari melihat Kakaknya yang terdiam cukup lama. "Oh, jadi kayak gini ya kalau aku lamaran nanti. Ya Allah, kok aku ngeri? Aku bisa ga, ya?" batin Idris gugup sendiri.

Akhirnya, Sabiya pun angkat suara ketika Mamanya menyuruh untuk menjawab. "Bismillaahirrahmaanirrahiim, lamaran dari Kak Shin...."

Hening lagi.

Laila terus berdoa dan berharap Sabiya tidak salah berucap.

"Lamaran dari Kak Shin, a-aku terima," lanjut Sabiya yang membuat semua pihak keluarga mengucap syukur dan bahagia.

Tangisan haru dan kebahagiaan dari pihak keluarga, beberapa barang-barang mewah yang dirangkai indah dari keluarga pihak laki-laki, dan hidangan enak yang sudah tersedia untuk disantap tidak membuat suasana hati Sabiya berubah sama sekali. Dia tetap merasa hampa.

***

Tanggal pernikahan sudah ditetapkan. Semua undangan sudah tersebar ke tempat yang dituju. Hari H tinggal menghitung jari saja.

Sabiya termenung di dekat jendela kamarnya. Dia merasa hidupnya akan tamat sebentar lagi. Sayap ayam goreng tidak lupa menemani rasa kalutnya.

Tokkk. Tokkk. Tokkk.

"Masuk aja, Id," kata Sabiya yang sudah menduga kalau Idris selalu mengganggu pintu kamarnya itu.

"Assalamualaikum...."

Pupil mata Sabiya membesar seketika mendengar suara itu, suara calon suami yang tidak diharapkan. Sabiya ingin berteriak karena takut. Dia berhenti menyantap chicken wings.

"Assalamualaikum...." suara Shin lagi.

Sabiya pun terpaksa menjawab salam dari Shin dengan suara kecil, "Waalaikumsalam."

Tokkk. Tokkk. Tokkk.

"Isss!" Sabiya kesal sendiri. "Aku lagi capek!" kata Sabiya yang menunjukkan ketidaksenangannya.

"Kak Biya, ada I'id nih. Buka dulu pintunya sebentar," suara Idris.

Sabiya agak tenang ketika mendengar suara Adiknya. Dia pun merapikan jilbabnya, lalu membuka pintu sedikit.

Terlihatlah Shin dan Idris yang berada di depan pintu kamarnya.

"Biya, lagi apa?" tanya Shin ramah sambil mengangkat alis. Hatinya terasa hangat saat bertemu dengan Sabiya.

Sabiya masih sulit percaya kalau lelaki berdarah Korea ini sedang berbicara santai padanya menggunakan bahasa Indonesia. Terlebih lagi, orang itu akan menjadi suaminya. Bagai mimpi aneh.

"A-ada apa? Aku capek!" kata Sabiya ketus.

Idris juga memasang wajah jengkel menatap Shin yang berada di sebelahnya. "Entahlah, Kak. Maksa banget dia minta ditemenin aku, katanya mau ngasih sesuatu!"

Shin tersenyum dengan tangan yang masih berada di belakang punggung.

"Sesuatu? Apa, sih? Jangan ganggu waktu istirahatku," kata Sabiya berbicara, namun menghadap ke arah lain, tidak menganggap Shin ada.

Shin memaklumi, mungkin Sabiya bertingkah cuek karena belum mengenalinya secara utuh. Shin pun menunjukkan benda kecil yang ada di tangannya. "Maaf kalau aku mengganggu. Aku cuma mau kasih ini."

Mata Sabiya kian membulat dan ia tercengang melihat sebuah gantungan kunci kecil berbentuk kura-kura, "Keychain kura-kura?"

"HAHAHAHA!" tawa Idris meledak. Dia menertawai benda kecil yang dipegang oleh Shin. "Ga ada benda yang lebih kecil lagi? Kayak semut gitu? Atau bakteri?" ledek Idris menjadi-jadi.

Shin menghela napas masih dengan senyumannya. Dia terus menunjukkan gantungan kunci itu agar Sabiya menerimanya, lalu membatin, "Aku ingin menjadi lebih dekat dengan cara memberimu benda kecil ini, keychain kura-kura."

Karakter kura-kura membuat Sabiya agak berat jika menolaknya, karena dia suka itu. Dengan gerakan cepat Sabiya mengambil gantungan kunci yang ada di tangan Shin, lalu menutup pintu cukup kuat.

Blaaam!

"Yah, kasihan! Udah ditutup tuh pintunya sama Kak Biya," ledek Idris pada Shin.

"Gapapa. Aku senang," balas Shin yang tidak menghilangkan senyuman manis pada wajahnya.

Idris pun menatap sebal manik calon kakak iparnya itu. "Eh, Ikan A-Shin, awas ya kalau buat Kak Biya-ku nangis. Aku ga akan diam!" ancam Idris mengerucutkan bibirnya, lalu berjalan meninggalkan Shin.

Shin menatap bingung Idris yang sudah meninggalkannya. "Ikan A-Shin?" kata Shin tidak percaya dengan julukan untuknya. "Aku ga akan buat Biya nangis, karena aku...." Shin berusaha bersabar. Dia pun meninggalkan area pintu kamar Sabiya.

Beberapa saat kemudian, wajah sedih Shin berubah cerah saat melihat sebuah e-mail penting masuk. Seorang donatur dengan nama KentangMahal@Zoymail.com sudah menyumbang dengan jumlah terbilang tinggi ke dalam rekening Shin. “MasyaAllah! Dia ngirim lagi? Siapa orang ini?”

Melihat nama KENTANG, Shin teringat dengan adik angkatnya yang suka kentang, yaitu Alvin. Tapi Shin yakin yang mengirim ini bukan Alvin. "Siapa pun orang ini, semoga rezeki dan kebahagiaan terus menyertainya. Aamiin."

**

Sabiya pun duduk di tepi ranjangnya sambil mengatur napas, lalu dia menatap lekat benda kecil pemberian dari Shin. Matanya memandang gemas kura-kura ungu yang kecil itu. "Lucu, sih. Lucu banget!"

Namun, pikiran aneh mulai terbesit di kepala Sabiya. "Eh, kok dia kayak tahu gitu kalau aku suka karakter kura-kura? Mana ini warna ungu, warna favorit aku banget!"

Drrrttt!

Smartphone Sabiya bergetar kuat di atas meja.

Panggilan masuk dari Kak Hamas…

"Ya Allah, Kak Hamas!" senyum Sabiya kembali merekah setelah sekian lama Hamas tidak ada kabar, kini menghubunginya.

Sabiya segera mengangkat panggilan itu. Namun, belum sempat menjawab, panggilan sudah berakhir lebih dulu.

Lantas, Sabiya cepat-cepat menghubungi balik Hamas yang sudah mengaktifkan nomor telepon. "Kak Hamas, ayo angkat. Aku mau ngomong."

Berkali-kali Sabiya mencoba menghubungi, tetapi malah tidak diangkat. Sabiya kembali kesal, "Kak Hamas kenapa, sih?!"

Gantungan kunci kura-kura dari Shin masih tergenggam kuat di tangan Sabiya. Dia pun menatap kesal pada benda itu. "Dengar, ya. Meskipun kamu kura-kura yang lucu, kamu ga bisa ngubah hati aku!" oceh Sabiya pada gantungan kunci kura-kura yang tidak bersalah.

Sabiya pun melempar gantungan kunci itu bebas ke segala arah, hingga benda kecil itu terlempar masuk ke bagian atas lemari pakaiannya. “Jangan sampai luluh sama orang asing yang udah bikin hati aku sakit!”

*

Bersambung…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status