Share

Chapter 6 - Amarah yang Meledak

“Kenapa, Mas? Ada masalah di kantor?”

Hari di mana Endra mengantarkan Gina pulang sampai ke rumah sudah satu minggu yang lalu, dan semenjak itu pula perlakuan Endra kembali kasar dan dingin padanya.

Seperti malam ini. Lelaki itu pulang dengan wajah merah menahan amarah. Hal ini membuat Gina sebenarnya enggan untuk bertanya, namun ia juga tidak nyaman jika harus diam dan membiarkan Endra dalam keadaan yang seperti itu.

“Mas-“

“Kamu tahu, kan, kalau kamu ini hanya benalu? Cukup dengan statusmu yang seperti itu, jangan buat aku semakin muak sama kamu.”

“Tapi aku khawatir, aku takut kamu ada masalah dan-“

“Masalahku itu kamu, Sialan! Sampai kapanpun selama kamu masih ada di sini, masalahku nggak akan pernah hilang dan justru makin bertambah!”

Ada banyak perasaan yang Gina rasakan setiap kali Endra berteriak dan memakinya tanpa alasan, salah satunya adalah perasaan tertekan yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya.

“Berapa kali aku bilang, cukup urusi urusanmu dan jangan ingin tahu urusanku. Sedungu apa kamu sampai nggak bisa memahami kalimat itu?”

Gina berusaha keras menahan air yang sudah menggenang di pelupuk matanya. “Ta-tapi, Mas. Aku istrimu.”

Kalimat singkat itu justru membuat Endra semakin naik pitam. Ia beranjak dari posisi duduknya dan tanpa aba-aba langsung menjambak rambut Gina yang tergerai bergelombang.

Gina refleks menjerit kesakitan dan berusaha melepaskan tangan Endra yang justru semakin kuat menarik rambutnya. Air mata yang keluar sudah tak tertahankan lagi. Ia menangis dengan keras dan beberapa kali memanggil Endra seolah berusaha menyadarkan sang suami. Namun sayangnya Endra seperti kesetanan, ia malah berseringai seolah menikmati pemandangan Gina yang tersiksa di hadapannya.

“Gara-gara kamu aku berpisah dari Safira. Gara-gara kamu, kini Safira sudah dilamar dan menjadi milik orang lain. Gara-gara kamu, aku harus menyaksikan keromantisan Safira bersama si sialan itu di depan mataku sendiri. Gara-gara kamu juga, hidupku yang tadinya bahagia dengan pilihanku kini harus berbalik 180 derajat. DAN SEMUA KARENA KEEGOISAN MANUSIA RENDAHAN SEPERTI KAMU. KENAPA?! KENAPA, SIALAN?! KENAPA KAMU EGOIS?!”

Gina terisak sembari memandang Endra dengan wajah kacaunya. Ia tidak tahu bahwa ternyata Endra sebenci itu padanya. Ia tidak tahu bahwa ternyata ketidaksukaan Endra sebegitu dalam padanya. Melihat Safira dilamar dan melakukan hal romantis bersama orang lain mungkin memang sangat menyakitkan untuk Endra. Tapi apakah lelaki itu tidak berpikir bahwa perlakuannya pada Gina sudah lebih dari kata menyakiti? Demi Tuhan, ini pertama kalinya ia diperlakukan seperti ini oleh Endra. Rasa sakit pada hatinya tak terbendung, pun pada kepalanya yang ia yakini beberapa helai rambutnya sudah terlepas dari sana.

“Ma-maaf, Mas. S-sakit… Sudah, a-ampun…” isaknya pedih.

Melihat sang istri yang tengah menatapnya seperti itu, Endra malah semakin kalap. “Andai dari dulu kamu ikut mati bersama kedua orang tua dan kakakmu, aku nggak harus repot-repot untuk tampung kamu di sini. Keluargaku nggak akan memaksaku untuk menikahimu, dan yang terpenting pastinya Safira masih bersamaku sampai sekarang. Kamu itu pengacau, Gina. Kamu pembawa sial untuk semua orang yang ada di sekitar kamu.”

Kalimat demi kalimat menyakitkan itu bagai suntikan yang langsung mematikan kinerja tubuhnya.

Perlahan tubuh Gina melemas. Ia tidak lagi berusaha melepaskan tangan Endra yang masih menarik rambutnya dengan kuat. Kedua tangannya terjatuh ke sisian tubuhnya, pun dengan pandangannya yang ikut turun, tak berani menatap wajah penuh kebencian Endra yang begitu kentara untuknya.

Entah. Gina hanya merasa bahwa sebagian dari nyawanya sudah melayang entah kemana. Yang ia rasakan hanya kehampaan yang begitu lapang. Bahkan tarikan tangan Endra pada rambutnya yang semakin mengencang dan membuat wajahnya mendongak, tidak lagi ia hiraukan. Semuanya meluap, termasuk perasaan-perasaan riuh yang sempat melandanya tadi.

“Orang tua dan kakakmu kecelakaan karena kamu. Hancurnya hubunganku dan Fira itu juga karena kamu. Lantas nanti apalagi yang akan kamu kacaukan? Coba sesekali hancurkan hidupmu sendiri, agar kamu tahu rasanya di posisi seseorang yang kamu rugikan.”

Kedua manik coklat Gina perlahan bergerak naik, menatap kedua mata sang suami yang masih menampakkan kilat-kilat amarah. Dengan parau ia berkata, “kalau begitu, buat aku hancur, Mas. Luapkan semuanya. Tapi tolong, jangan anak kita.”

Deg

Seketika Endra melepaskan cengkramannya dengan tiba-tiba. Dan saat itu pula, tubuh Gina merosot ke lantai karena kedua kakinya yang bergetar sudah tak mampu untuk menahan tubuhnya yang melemas. Setelahnya, ia hanya diam. Pun Endra yang masih bergeming pada posisi berdirinya seperti tadi.

Namun, dengan pikiran yang berkecamuk, akhirnya Endra memutuskan untuk segera beranjak dari sana, meninggalkan Gina yang masih bersimpuh di dekat sofa dengan pandangan yang kosong.

Semuanya berantakan. Termasuk perasaannya yang sudah tak bisa lagi ia jabarkan seperti apa bentuknya.

***

“Gina sudah tidur, Ma. Dia kelelahan. Endra nggak tega kalau harus bangunkan dia.”

“Ya sudah. Tadinya Mama hanya tiba-tiba khawatir sama Gina. Kandungannya sudah tua, jangan buat dia capek, ya? Pakai jasa ART saja mulai sekarang.”

Endra memejamkan matanya sesaat sebelum kembali menjawab ucapan ibunya di telepon. “Mama mungkin ada kenalan orang? Endra takut salah pilih orang.”

“Oh, iya, Nak. Nanti Mama carikan, ya.”

Percakapan itu berakhir beberapa saat kemudian. Endra kembali menuju peraduannya dan merebahkan tubuhnya di sana. Sekujur tubuhnya lelah, pun pikirannya yang sudah sangat berantakan.

Sore tadi, Safira dilamar orang lain tepat di depan matanya. Endra yang awalnya hanya ingin makan di restoran langganannya bersama Safira dulu, nyatanya harus menerima kenyataan pahit atas apa yang dilihatnya. Amarah Endra seketika menguar dengan hebat ketika lamaran itu disambut dengan sama antusiasnya oleh Safira. Perempuan itu benar-benar terlihat bahagia ketika menerima pinangan dari lelaki yang tidak Endra ketahui identitasnya.

Perasaannya hancur berkeping-keping. Ia tidak bisa menunjukkan wajahnya di depan Safira, apalagi sampai harus meluapkan amarahnya di sana. Jadi, ia memutuskan untuk pulang agar bisa menenangkan diri. Sayangnya, ketika pulang dan melihat wajah Gina, amarahnya malah semakin terpancing dan ia tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Semuanya meledak begitu saja. Ia benar-benar tidak tahan untuk tidak menghujani Gina dengan kata-kata kasar yang sudah ingin diucapkannya sejak di restoran.

“Apa aku keterlaluan?” gumamnya ketika ia menyadari bahwa beberapa helai rambut Gina masih menempel di tangan dan bajunya.

Perasaan ini…

Endra benci ini. Tapi, ia berusaha menyangkalnya. Pikirnya, Gina pantas menerima itu. Hidupnya jauh lebih menyakitkan daripada sekadar jambakan pada rambut yang ia rasa itu pun tidak terlalu kuat.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status