Share

Chapter 5 - Kejutan Kecil

“Kamu sudah makan, sayang? Maaf, ya, tadi pagi aku buru-buru jadi nggak sempat sarapan bareng kamu.”

Gina yang tadinya berpikir bahwa ia hanya tinggal bersandiwara seperti biasa, kini menjadi sedikit canggung dan sulit mengontrol diri. Pasalnya Safira masih duduk tak jauh darinya, sembari memilah berkas yang tadi dipegang oleh Endra.

“Oh, em, i-iya mas nggak apa-apa. I-ini aku bawa makanannya ke sini biar kita bisa makan sama-sama.”

“Wah, kalau gini sih ngerepotin.”

“Nggak kok, mas.”

“Makasih, ya, sayangku.”

Mata Gina sudah memerah ketika Endra yang duduk di sampingnya tiba-tiba mengecup keningnya dengan lembut. Disaksikan oleh Irma dan Safira, ini adalah kecupan pertamanya dari Endra.

“Setelah ini, kalau mau ada pertemuan pagi-pagi ya bangunnya harus lebih pagi juga. Mag kamu kan sudah parah, kalau sampai asam lambungnya naik pas lagi ketemu client gimana?”

Tabiat seorang ibu memang sering mengomeli anaknya, namun Endra sendiri adalah tipe anak yang justru menikmati omelan tersebut.

“Iya, Ma. Aku lupa bilang ke Gina semalam. Lagipula aku juga nggak tega harus buat dia bangun lebih pagi lagi.”

Andai apa yang dikatakan oleh Endra adalah kenyataan, mungkin Gina akan merasakan perasaan senang luar biasa. Lagipula, ia sudah terbiasa bangun pagi untuk menunaikan sholat subuhnya dan juga beberapa kali terbangun lebih pagi lagi karena rasa mual efek kehamilan yang beberapa kali masih sering ia rasakan.

“Permisi, Pak. Berkasnya sudah selesai dipilah. Ini berkas yang akan menjadi bahan pertimbangan perusahaan untuk selanjutnya, dan yang ini akan saya bawa kembali untuk direvisi bersama pak Adrian.”

Endra yang masih mengunyah makanannya langsung menenggak air dan segera mengambil berkas itu dari tangan Safira. “Oh, iya, terima kasih, ya.”

“Sama-sama, Pak. Kalau begitu saya permisi. Bu Irma dan Bu Gina, saya permisi juga. selamat pagi.”

Raut wajah Safira masih sama seperti tadi, cenderung biasa saja dan menjurus ke ramah. Mungkin Gina harus lebih menormalkan perasaannya agar nanti jika Endra dan Safira kembali bersama ia tidak akan terkejut.

“Si dedek gimana? Baik, kan? Nggak bikin kamu repot?”

Endra yang juga tiba-tiba mengusap perutnya dengan lembut membuat Gina sangat ingin meneteskan air mata. Demi Tuhan, meskipun awalnya perasaannya cukup tidak tenang karena kehadiran Safira, tapi kini hal itu sudah terganti oleh rasa bahagia akibat kejutan-kejutan kecil yang didapatnya. Tidak banyak, hanya kecupan di dahi dan usapan lembut di perut. Anaknya pasti sangat senang di dalam sana.

Melihat tatapan Gina yang begitu menyimpan banyak makna, Endra lagi-lagi merasa tidak tenang. Tapi di satu sisi juga merasa beruntung karena secara tidak langsung takdir telah memberinya kesempatan untuk mewujudkan apa yang diinginkan istrinya tanpa harus membuang harga dirinya lebih dulu. Entah perasaan bersalah atau apa, yang jelas Endra sedikit merasa senang karenanya.

“Ndra, Gin, barusan Anna kirim pesan. Katanya dia ada keperluan mendadak, sementara di rumah lagi ada tukang yang benerin tembok kamar mandi dan nggak bisa ditinggal. Gina, mau ikut mama atau di sini saja?”

Jika sudah seperti ini, Gina menjadi bingung sendiri. Kalau ia ikut, maka akan lebih banyak kesempatan Irma untuk bertanya macam-macam padanya. Tapi jika tidak, maka ia harus diam di kantor Endra, setidaknya sampai Irma benar-benar pergi dari sana dan ia bisa kembali pulang ke rumah.

“Gina di sini saja, Ma. Nanti kalau dia bosan atau capek biar aku yang antarkan pulang.”

“Aduh, Mama jadi nggak enak. Padahal tadi sudah janji mau ajak jalan-jalan.”

“Bisa lain kali, Ma.”

Jawaban Endra akhirnya membuat Irma mengangguk dan segera membenahi penampilannya. Ia berpamitan kepada keduanya dan segera pergi karena Anna terus meneleponnya tanpa henti.

“A-aku tunggu mama sampai benar-benar pergi dulu.”

Endra tidak menjawab, ia kembali melanjutkan makannya dan sesekali melirik pada Gina yang hanya diam sembari memainkan ujung cardigan-nya. Andai saja Endra tahu, bahwa perempuan itu tengah bersorak dalam hatinya karena meski ibu mertuanya telah pergi, Endra masih mau menyantap masakannya.

“Kenapa mama datang?” tanya Endra tiba-tiba.

Ujung mata Gina sedikit melirik pada wajah Endra. “Aku nggak tahu. Mama tiba-tiba sudah ada di rumah waktu aku lagi di kamar.”

“Kamu nggak bilang apa-apa ke mama?”

“Nggak. Mama juga nggak tanya macam-macam.”

Beberapa saat kemudian Endra telah menyelesaikan sarapan telatnya.

“Mama sudah pergi lumayan lama.”

Gina tahu bahwa itu adalah kode dari Endra yang menyuruhnya untuk segera pergi dari ruangannya. Maka setelah mendengar kalimat itu, Gina segera membereskan bekas makan Endra dan bersiap-siap untuk segera pergi dari sana.

“Kalau begitu aku pergi sekarang.”

Sebenarnya Gina tidak tahu, ada apa gerangan yang membuat hari itu menjadi hari yang penuh kejutan untuknya. Apa karena ia sedang berulang tahun dan Endra berusaha memberinya kado berupa perlakuan-perlakuan yang lebih baik dari biasanya?

Sebab, bagaimana Gina tidak menyimpulkan demikian, jika tiba-tiba Endra ikut berdiri untuk mengambil jas dan kunci mobil lalu melangkah keluar ruangannya. Bahkan Gina sempat terdiam untuk beberapa saat sembari menatap punggung lebar sang suami. 

“Jangan sampai orang-orang tahu hubungan kita yang sebenarnya. Jadi cepat, pekerjaanku sedang banyak.”

Tanpa banyak bertanya lagi Gina langsung mengikuti langkah Endra. Selama berjalan menuju tempat parkir, ia menjawab banyak sapaan dari para karyawan Endra yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Dan tidak lupa, lengan Endra yang merangkul mesra pinggangnya menjadi satu poin plus atas berita yang beredar mengenai betapa harmonisnya pasangan yang sebentar lagi akan menjadi ibu dan ayah itu.

Namun saat sampai di basement parkir, Endra langsung melepaskan rangkulan itu dan berjalan tanpa menghiraukan Gina yang kesulitan mengikuti langkah-langkah besarnya.

“Mas-“

“Sudah kubilang cepat. Aku nggak punya banyak waktu buat keleletan kamu.”

Jadi Gina hanya menurut. Padahal ia sendiri takut akan mencelakakan anaknya jika harus berjalan terlalu cepat.

Begitu Gina masuk ke dalam mobil dan duduk di samping kemudi, Endra segera menginjak pedal gas dan pergi dari sana. Sepanjang perjalanan pun mereka berdua hanya banyak diam. Terlebih Gina, ia rasa tidak ada yang perlu disampaikan meski sebenarnya ia ingin. Lagipula, Endra biasanya hanya akan mengantarkanya sampai seperempat jalan, dan ia akan melanjutkan perjalanan pulangnya dengan taxi.

Namun ketika Endra terus melaju tanpa menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, Gina tidak tahan untuk tidak bertanya, “Mas, belokannya terlewat. Kalau di tempat lain takutnya nggak bakalan ada taxi kosong yang lewat.”

Tidak ada jawaban. Sampai akhirnya mobil itu berhenti di depan rumah mereka dengan selamat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status