Share

Chapter 7 - Sedikit Khawatir

Pagi ini terasa ada yang berbeda. Endra tidak mencium aroma masakan yang biasanya selalu menguar hingga ke setiap penjuru rumah. Ia juga tidak mendengar adanya pergerakan atau tanda-tanda seseorang sedang memasak di dapur. Pun, meja makan yang biasanya sudah terisi kini masih dalam keadaan kosong. Aneh, tapi Endra tidak ingin ambil pusing dan memutuskan untuk segera pergi ke kantor.

“Heh, calon pengantin ngapain di sini pagi-pagi buta begini?”

Daffa yang memang sudah menunggu Endra di dalam lobi langsung berdiri dan menepuk bahu Endra dengan sedikit keras. “Gue butuh bantuan lo.”

***

“Lo yakin dia yang bawa kabur uangnya?”

“Iya, dia. Gue udah lapor polisi tapi belum juga ada perkembangan apa-apa.” Daffa mengacak-acak rambutnya dengan jengah. “Gue baru tahu dari lo kalau ternyata dia tunangannya Safira.”

“Siapa namanya?”

“Apa?”

“Manusia ini. Siapa namanya?”

“Andika.”

Mungkin, Endra harus memberitahu Safira perihal ini. Bagaimana pun, jika terjadi sesuatu pada Andika, nama Safira akan ikut terseret dan jelas itu akan berdampak buruk untuk perempuan itu.

Tapi kini urusan Safira bukan lagi urusannya. Ia tidak memiliki hak apa-apa lagi pada perempuan yang pernah menjadi kekasihnya itu selama satu tahun lamanya.

“Nggak ada cara lain. Lo harus tanya Safira.”

“Kalau gue berhasil temuin dia, gue nggak akan ada di sini sekarang, Ndra.” Perempuan itu sudah berkali-kali Daffa lacak keberadaannya, sayangnya semuanya seperti menghilang. Sepasang tunangan itu tiba-tiba menghilang tanpa jejak.

Namun, Daffa tiba-tiba teringat suatu hal.

“Eh, bukannya kemarin-kemarin lo pernah kerjasama sama perusahaan tempat Safira kerja?”

Endra mengangguk. “Iya, tapi gue tolak karena demi Tuhan, proposal mereka sama sekali nggak berbobot.”

“Pantesan. Gue baru ingat, proyek mereka yang di Malang nggak dilanjut karena katanya kontraktor yang handle proyek itu udah nyerah sama keinginan mereka yang bertele-tele dan nggak jelas. Akhirnya, ya, terbengkalai.”

“Terus apa hubungannya sama kasus ini?”

“Nggak ada, sih.”

Pukulan yang lumayan keras itu mendarat di bahu Daffa dengan tiba-tiba. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Endra?

“Lo udah cari Safira ke kantornya?” tanya Endra lagi.

“Jelas. Semua orang gue tanyain satu-satu. Tapi ya gitu, sebagian dari mereka bilang Safira udah resign, dan sebagian lagi bahkan bilang nggak tahu siapa Safira.” Lagi-lagi Daffa mengacak rambutnya karena frustasi. “Gila, bor. Duit perusahaan yang dibawa jumlahnya sampai ratusan. Bokap gue sampai hampir struk kalau nggak buru-buru di bawa ke rumah sakit. Mana itu pabrik tekstil udah turun temurun dari zaman buyut gue lagi. Masa iya bakal bangkrut?”

Endra tampak berpikir sebentar. Kemudian ia menyeringai dan melirik Daffa dengan yakin.

“Gue ada ide.”

***

Hari sudah cukup larut. Dan Endra baru saja menginjakan kakinya di rumah setelah seharian bekerja dan membantu Daffa mengurusi permasalahannya.

Namun ketika memasuki rumah, ruangan yang biasanya terang benderang dan dihiasi dengan pemandangan seseorang yang menunggunya di sofa ruang tamu kini terlihat berbeda. Ruangan itu gelap, pun sosok perempuan itu tidak Endra temukan keberadaannya.

Endra tidak mau ambil pusing. Ia melangkahkan kakinya ke arah dapur untuk mengambil minum dan mencuci tangan. Sayangnya, pemandangan meja makan yang kosong tanpa makanan di atasnya membuat Endra lagi-lagi keheranan. Ia yakin, seabai apapun ia, Gina tidak pernah tidak menyiapkan makanan untuknya meski ia tidak pernah memakannya sekalipun. 

Lantas, ada apa dengan perempuan itu?

Secara refleks, Endra langsung bergegas menuju kamar Gina. Namun pintunya tertutup. Jadi ia memutuskan untuk mengetuknya beberapa kali meski sebenarnya ia sendiri bingung, untuk apa ia melakukannya?

Tidak adanya sahutan dan pergerakan dari dalam membuat Endra lagi-lagi tidak berpikir panjang.  Ia membuka pintu itu, dan seketika pemandangan seorang perempuan dengan rambut panjang bergelombang yang digerai tengah duduk termenung di sisian tempat tidur. Tampaknya ia belum menyadari kehadiran Endra. Sebab ketika Endra berdeham, perempuan itu sedikit terlonjak karena terkejut. “Eh, M-mas?”

Endra tidak menjawab. Ia masih bingung kenapa juga ia harus melakukan ini?

Sementara itu, Gina berdiri dari posisi duduknya dan kembali bertanya dengan sesekali menatap wajah sang suami. “Emm… A-ada yang mas perlukan?”

Untuk saat ini, Endra benar-benar tidak bisa menangkap emosi yang sedang Gina rasakan. Wajahnya tersenyum dan terkesan ramah seperti biasa. Namun matanya tampak sedikit menghitam dan membengkak. Endra tidak bodoh. Ia tahu Gina menghabiskan banyak waktu untuk menangis. Namun seperti biasa, Endra enggan peduli pada setiap hal yang menyangkut sang istri.

Sayangnya, ia tidak memiliki alasan lain untuk saat ini.

“Aku lapar,” ucap Endra dengan singkat dan jelas. Ia juga langsung keluar dari kamar Gina tanpa ingin tahu bagaimana ekspresi sang istri sekarang.

Sedangkan Gina, senyumnya perlahan memudar. Ia sadar bahwa ia tidak menyiapkan apapun untuk Endra kali ini. Gina terlalu takut bahwa ia akan melakukan kesalahan lain dan membuat Endra kembali marah serta mengamuk padanya seperti malam terakhir. Bagaimana pun, emosi orang yang sedang marah itu seringkali sulit dikendalikan. Dan Gina tidak ingin mengambil risiko karena kini ada nyawa lain yang harus ia jaga.

Namun jika dipikir-pikir, ini kali pertama Endra memintanya memasakkan sesuatu untuk lelaki itu, meskipun tidak secara langsung. Raut wajah Gina kembali cerah dan ia segera membenahi penampilannya untuk bergegas memasak.

“Mas sedang ingin makan apa?” tanya Gina dengan antusias.

“Apa saja.” Endra yang sedang duduk di meja makan dan sibuk dengan ponselnya sama sekali tidak menatap Gina.

Meskipun begitu, Gina tetap melakukan tugasnya dengan baik. Bahkan saking senangnya, ia tidak menyadari bahwa Endra diam-diam menatapnya yang sedang memasak. Lelaki itu bahkan menyapu pandangannya pada Gina; dari atas hingga bawah. Tubuh Gina memang terbilang kecil untuk seseorang yang sedang berbadan dua.

“Maaf lama, ya, Mas. Ini, silakan dimakan. Maaf kalau kurang enak.”

Sepiring nasi dengan lauk ikan goreng dan sayuran itu terhidang di depan Endra. Kemudian, segelas air putih menyusul setelahnya.

Melihat Endra yang tak kunjung memakan makanannya membuat Gina sadar, bahwa bisa saja lelaki itu tidak nyaman atas kehadirannya. Jadi ia berinisiatif untuk pergi sebelum diusir.

“A-aku balik ke kamar. Kalau mas butuh sesuatu lagi, panggil aku aja.”

Sementara itu Endra masih juga belum menyantap makanannya, bahkan setelah Gina pergi 2 menit lalu. Ia memang lapar, tapi ketika mengingat wajah Gina saat di kamar perempuan itu tadi, tiba-tiba ia jadi tak berselera.

AHH!

Suara jeritan yang dibarengi suara sesuatu yang pecah itu mengalihkan perhatian Endra. Ia segera berlari dengan tergesa-gesa menuju sumber suara.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status