Pagi ini terasa ada yang berbeda. Endra tidak mencium aroma masakan yang biasanya selalu menguar hingga ke setiap penjuru rumah. Ia juga tidak mendengar adanya pergerakan atau tanda-tanda seseorang sedang memasak di dapur. Pun, meja makan yang biasanya sudah terisi kini masih dalam keadaan kosong. Aneh, tapi Endra tidak ingin ambil pusing dan memutuskan untuk segera pergi ke kantor.
“Heh, calon pengantin ngapain di sini pagi-pagi buta begini?”
Daffa yang memang sudah menunggu Endra di dalam lobi langsung berdiri dan menepuk bahu Endra dengan sedikit keras. “Gue butuh bantuan lo.”
***
“Lo yakin dia yang bawa kabur uangnya?”
“Iya, dia. Gue udah lapor polisi tapi belum juga ada perkembangan apa-apa.” Daffa mengacak-acak rambutnya dengan jengah. “Gue baru tahu dari lo kalau ternyata dia tunangannya Safira.”
“Siapa namanya?”
“Apa?”
“Manusia ini. Siapa namanya?”
“Andika.”
Mungkin, Endra harus memberitahu Safira perihal ini. Bagaimana pun, jika terjadi sesuatu pada Andika, nama Safira akan ikut terseret dan jelas itu akan berdampak buruk untuk perempuan itu.
Tapi kini urusan Safira bukan lagi urusannya. Ia tidak memiliki hak apa-apa lagi pada perempuan yang pernah menjadi kekasihnya itu selama satu tahun lamanya.
“Nggak ada cara lain. Lo harus tanya Safira.”
“Kalau gue berhasil temuin dia, gue nggak akan ada di sini sekarang, Ndra.” Perempuan itu sudah berkali-kali Daffa lacak keberadaannya, sayangnya semuanya seperti menghilang. Sepasang tunangan itu tiba-tiba menghilang tanpa jejak.
Namun, Daffa tiba-tiba teringat suatu hal.
“Eh, bukannya kemarin-kemarin lo pernah kerjasama sama perusahaan tempat Safira kerja?”
Endra mengangguk. “Iya, tapi gue tolak karena demi Tuhan, proposal mereka sama sekali nggak berbobot.”
“Pantesan. Gue baru ingat, proyek mereka yang di Malang nggak dilanjut karena katanya kontraktor yang handle proyek itu udah nyerah sama keinginan mereka yang bertele-tele dan nggak jelas. Akhirnya, ya, terbengkalai.”
“Terus apa hubungannya sama kasus ini?”
“Nggak ada, sih.”
Pukulan yang lumayan keras itu mendarat di bahu Daffa dengan tiba-tiba. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Endra?
“Lo udah cari Safira ke kantornya?” tanya Endra lagi.
“Jelas. Semua orang gue tanyain satu-satu. Tapi ya gitu, sebagian dari mereka bilang Safira udah resign, dan sebagian lagi bahkan bilang nggak tahu siapa Safira.” Lagi-lagi Daffa mengacak rambutnya karena frustasi. “Gila, bor. Duit perusahaan yang dibawa jumlahnya sampai ratusan. Bokap gue sampai hampir struk kalau nggak buru-buru di bawa ke rumah sakit. Mana itu pabrik tekstil udah turun temurun dari zaman buyut gue lagi. Masa iya bakal bangkrut?”
Endra tampak berpikir sebentar. Kemudian ia menyeringai dan melirik Daffa dengan yakin.
“Gue ada ide.”
***
Hari sudah cukup larut. Dan Endra baru saja menginjakan kakinya di rumah setelah seharian bekerja dan membantu Daffa mengurusi permasalahannya.
Namun ketika memasuki rumah, ruangan yang biasanya terang benderang dan dihiasi dengan pemandangan seseorang yang menunggunya di sofa ruang tamu kini terlihat berbeda. Ruangan itu gelap, pun sosok perempuan itu tidak Endra temukan keberadaannya.
Endra tidak mau ambil pusing. Ia melangkahkan kakinya ke arah dapur untuk mengambil minum dan mencuci tangan. Sayangnya, pemandangan meja makan yang kosong tanpa makanan di atasnya membuat Endra lagi-lagi keheranan. Ia yakin, seabai apapun ia, Gina tidak pernah tidak menyiapkan makanan untuknya meski ia tidak pernah memakannya sekalipun.
Lantas, ada apa dengan perempuan itu?
Secara refleks, Endra langsung bergegas menuju kamar Gina. Namun pintunya tertutup. Jadi ia memutuskan untuk mengetuknya beberapa kali meski sebenarnya ia sendiri bingung, untuk apa ia melakukannya?
Tidak adanya sahutan dan pergerakan dari dalam membuat Endra lagi-lagi tidak berpikir panjang. Ia membuka pintu itu, dan seketika pemandangan seorang perempuan dengan rambut panjang bergelombang yang digerai tengah duduk termenung di sisian tempat tidur. Tampaknya ia belum menyadari kehadiran Endra. Sebab ketika Endra berdeham, perempuan itu sedikit terlonjak karena terkejut. “Eh, M-mas?”
Endra tidak menjawab. Ia masih bingung kenapa juga ia harus melakukan ini?
Sementara itu, Gina berdiri dari posisi duduknya dan kembali bertanya dengan sesekali menatap wajah sang suami. “Emm… A-ada yang mas perlukan?”
Untuk saat ini, Endra benar-benar tidak bisa menangkap emosi yang sedang Gina rasakan. Wajahnya tersenyum dan terkesan ramah seperti biasa. Namun matanya tampak sedikit menghitam dan membengkak. Endra tidak bodoh. Ia tahu Gina menghabiskan banyak waktu untuk menangis. Namun seperti biasa, Endra enggan peduli pada setiap hal yang menyangkut sang istri.
Sayangnya, ia tidak memiliki alasan lain untuk saat ini.
“Aku lapar,” ucap Endra dengan singkat dan jelas. Ia juga langsung keluar dari kamar Gina tanpa ingin tahu bagaimana ekspresi sang istri sekarang.
Sedangkan Gina, senyumnya perlahan memudar. Ia sadar bahwa ia tidak menyiapkan apapun untuk Endra kali ini. Gina terlalu takut bahwa ia akan melakukan kesalahan lain dan membuat Endra kembali marah serta mengamuk padanya seperti malam terakhir. Bagaimana pun, emosi orang yang sedang marah itu seringkali sulit dikendalikan. Dan Gina tidak ingin mengambil risiko karena kini ada nyawa lain yang harus ia jaga.
Namun jika dipikir-pikir, ini kali pertama Endra memintanya memasakkan sesuatu untuk lelaki itu, meskipun tidak secara langsung. Raut wajah Gina kembali cerah dan ia segera membenahi penampilannya untuk bergegas memasak.
“Mas sedang ingin makan apa?” tanya Gina dengan antusias.
“Apa saja.” Endra yang sedang duduk di meja makan dan sibuk dengan ponselnya sama sekali tidak menatap Gina.
Meskipun begitu, Gina tetap melakukan tugasnya dengan baik. Bahkan saking senangnya, ia tidak menyadari bahwa Endra diam-diam menatapnya yang sedang memasak. Lelaki itu bahkan menyapu pandangannya pada Gina; dari atas hingga bawah. Tubuh Gina memang terbilang kecil untuk seseorang yang sedang berbadan dua.
“Maaf lama, ya, Mas. Ini, silakan dimakan. Maaf kalau kurang enak.”
Sepiring nasi dengan lauk ikan goreng dan sayuran itu terhidang di depan Endra. Kemudian, segelas air putih menyusul setelahnya.
Melihat Endra yang tak kunjung memakan makanannya membuat Gina sadar, bahwa bisa saja lelaki itu tidak nyaman atas kehadirannya. Jadi ia berinisiatif untuk pergi sebelum diusir.
“A-aku balik ke kamar. Kalau mas butuh sesuatu lagi, panggil aku aja.”
Sementara itu Endra masih juga belum menyantap makanannya, bahkan setelah Gina pergi 2 menit lalu. Ia memang lapar, tapi ketika mengingat wajah Gina saat di kamar perempuan itu tadi, tiba-tiba ia jadi tak berselera.
“AHH!”
Suara jeritan yang dibarengi suara sesuatu yang pecah itu mengalihkan perhatian Endra. Ia segera berlari dengan tergesa-gesa menuju sumber suara.
***
Di kamarnya, tubuh Gina mendadak lemas dan ia jatuh terduduk di atas tempat tidurnya. Tak lama kemudian Endra datang dengan tergesa-gesa, wajahnya terlihat sedikit panik cenderung penasaran.“Kenapa?”Kata itu keluar begitu saja dari mulut Endra ketika ia melihat pecahan gelas di bawah kaki Gina.Sementara yang ditanyai hanya menatap Endra dengan heran, kemudian dengan polos berkata, “tadi ada cicak di dekat nakas. Aku kaget, jadi gelasnya nggak sengaja kesenggol.”Andai kloset di kamar mandi bisa menghanyutkan manusia, mungkin Endra akan bergegas ke kamar mandi dan menghanyutkan tubuhnya sendiri di sana. Sekarang, di mana ia harus menyembunyikan wajahnya?“Kamu… kenapa, Mas?”Pertanyaan itu tidak Endra hiraukan. Ia melihat pecahan kaca yang sedikit tergenangi air, lalu kembali menatap Gina dengan wajah yang kembali dingin. “Kamu bisa bereskan?”Gina melihat pecahan itu sekilas kemudian mengangguk. “Bisa, Mas.”Akhirnya tanpa menunggu lama lagi Endra keluar dari kamar itu, kembali ber
Keterdiaman Endra membuat Gina yakin bahwa sang suami amat sangat membencinya. Mungkin hal itu pula yang menyebabkan Endra tidak pernah bersikap seperti suami kebanyakan pada umumnya.“Nggak apa, Mas, nggak usah-““Kamu cinta aku?”Diberi pertanyaan seperti itu Gina mengangguk dengan antusias. Tak terhitung lagi seberapa besar ia mencintai dan menyayangi Endra, bahkan semenjak mereka baru beberapa kali bertemu.Namun perkataan Endra selanjutnya membuat Gina terhempas dari awan yang membawanya terbang, membuatnya terjatuh dengan keras menuju dasar jurang yang curam nan dalam.“Kalau begitu, seharusnya dulu kamu ikhlaskan aku untuk bersama dengan pilihanku. Bukan malah memohon kepada kedua orang tuaku dengan mengungkit perbuatan baik yang sudah orang tua mu lakukan terhadap keluargaku. Aku tahu, kamu hanya sendiri tanpa sanak saudara setelah kehilangan orang tua dan kakakmu, tapi bukan berarti kamu bisa bersikap seenaknya tanpa memikirkan orang lain.” Endra melepaskan tangan Gina yang s
“Kalau saja wajah kamu setenang ini setiap natap aku, Mas, pastinya rasa bersalah di hatiku sedikit berkurang.”Gina sudah duduk di sana selama 5 menit; di sisian tempat tidurnya sembari memandangi wajah sang suami yang terlihat begitu lelap dalam mimpinya.Namun tiba-tiba pandangannya beralih pada tangan Endra yang terkulai di sisi tubuh lelaki itu, membuat Gina memiliki pemikiran lain yang ia rasa hanya ini kesempatan satu-satunya untuk merealisasikannya dengan cepat. Jadi dengan pelan ia sentuh tangan besar itu, ia angkat perlahan dan ia bawa ke atas perut besarnya yang sudah mengeras. Rasa hangat perlahan singgah di sana, di atas baju tipis yang langsung terhubung ke permukaan kulitnya.Perlahan, ia gerakan tangan itu dengan gerakan mengusap, mencoba senatural mungkin seolah Endra yang dengan sukarela melakukannya.“Gimana, Nak? Hangat, kan, tangan Ayah?” gumamnya sambil terkekeh pelan.Di lain sisi, Endra yang hanya berpura-pura tertidur mencoba untuk menahan matanya agar tidak b
“Apa itu salah?”Endra malah menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan lain yang membuat hati Gina semakin berdenyut sakit.Seharusnya, ia sudah terbiasa dengan itu. Safira adalah cinta pertama Endra yang masih memegang tahta tertinggi di hati lelaki itu hingga detik ini. Mustahil jika Endra akan membiarkan Safira mengalami sesuatu yang buruk di luar sana.Lain halnya dengan Gina. Mungkin jika ia mati pun, Endra hanya akan menemani jenazahnya sebagai bentuk tanggung jawab saja, bukan kehilangan.“S-semoga, Safira selalu berada dalam lindungan Tuhan,” ujarnya dengan senyum tipis yang menyimpan banyak arti. “Kamu istirahat saja di sini. Kalau ada apa-apa, aku ada di ruang tengah.”Tanpa menunggu respon dari Endra, Gina segera membereskan alat makan tadi untuk segera dicucinya. Ia juga harus menumpahkan air mata yang terlanjur menggenang di pelupuk matanya.Setelah kepergian Gina, Endra kembali mengeluarkan kedua foto tadi dari saku celananya; pas foto kecil Gina ketika menjadi mahasiswa,
“Mama? Papa? Lihat, aku sama siapa?”Gina muncul dari balik pintu dan langsung tersenyum lebar ke arah kedua mertuanya yang tampak terkejut dengan kehadirannya.“Ya ampun… Ini menantu Mama kok nggak bilang-bilang mau datang? Jadinya Mama belum siapkan apa-apa.”Irma menghampiri Gina dan langsung memeluknya dengan erat. Jangan salah, rasa sayang yang ia berikan pada Gina sama besarnya dengan yang ia berikan pada Endra maupun Anna.Pelukan itu Irma lepaskan dan Gina beralih pada Papa mertuanya yang juga sangat baik. Ia menyalami Ardi dan memeluknya sekilas.“Maaf ya, Ma, Pa, Gina baru bisa datang sekarang.”“Nggak perlu minta maaf. Ayo sini masuk, kamu mau makan? Atau mau apa? Mama ambilkan.”“Nggak usah, Ma, nanti kalau mau Gina bisa ambil sendiri.”Irma menuntun Gina untuk duduk di sofa, diikuti oleh Anna yang duduk di sebelahnya.“Gimana cucu Papa? Sehat? Dia nggak rewel?” Ardi bertanya dengan senyuman yang masih terpatri di bibirnya. Jika dipikir-pikir, senyuman Endra sangat mirip d
“Kak Gina…”Itu suara Anna yang menggumamkan namanya tepat ketika ia akan menaiki mobil Endra untuk pulang.Gina tahu Anna sedang mengkhawatirkannya, jadi ia hanya tersenyum, berusaha menyakinkan gadis itu bahwa ia akan baik-baik saja.Akhirnya mobil itu melesat membelah jalanan ibukota. Endra fokus menyetir, sementara Gina memilih untuk melihat pemandangan di luar melalui jendela di sampingnya. Bias cahaya sore menjadi salah satu hal indah yang ia lihat di antara padatnya jalanan yang cukup ramai.Diam-diam Endra melirik Gina yang masih sibuk dengan hal tadi. Ia tidak berniat membuka obrolan, apalagi meminta maaf atas kejadian yang terjadi di rumahnya tadi pagi. Benar ia terlampau emosi, tapi ia rasa itu wajar karena ini memang kecerobohan sang istri.Begitu sampai di rumah, Gina bergegas masuk ke dalam sementara Endra memasukkan mobilnya terlebih dahulu ke garasi. Gina harus segera membersihkan kekacauan tadi pagi karena Endra tidak boleh melihat darahnya untuk yang kedua kali. Ia t
Kali ini Gina benar-benar menangis di hadapan Endra. Air mata yang sedari tadi ditahannya kini jatuh tanpa bisa dihalangi lagi. “Kenapa kamu bicara seolah-olah aku selalu punya niatan buruk untukmu dan keluargamu?”Isakan pedih itu Gina keluarkan tanpa pengahalang, ia lampiaskan semuanya di depan Endra. “Aku nggak pernah menuntut kamu buat perlakukan aku sebagai seorang istri. Aku nggak pernah minta kamu buat turuti semua keinginanku segaimana suami lain berlaku seperti itu ke istrinya. Satu-satunya yang kuminta tanpa izin darimu adalah kehangatan keluargamu. Maaf kalau aku lancang dan kamu kurang berkenan dengan itu, Mas.”Gina semakin terisak karenanya. Ia menunduk, sekali lagi tak berani menatap sang suami.“Setelah ini, aku janji nggak akan kunjungi mereka selama itu bukan darurat. Aku janji akan sedikit menghindar dari Mama, Papa dan juga Anna kalau itu yang kamu mau. Setelah ini, aku harap nggak ada lagi hal-hal negatif yang kamu pikirkan tentang aku yang dekat dengan keluargamu
“Maaf…”Tampaknya keterdiam Gina membuat Darren tidak nyaman, jadi ia mengucapkan kata maaf itu dengan harapan Gina akan memaklumi perkataannya.“Bagaimana pun, alasan kita berpisah dulu bukan karena udah nggak saling cinta. Maaf, karena harus tinggalkan kamu dan nggak bisa temani kamu saat kamu sedang berduka.”Iya, Darren adalah mantan pacar Gina 4 tahun lalu, tepatnya ketika ia masih mengenyam pendidikan sarjana. Mereka terpaksa berpisah karena Darren mendapatkan beasiswa magisternya ke luar negeri, sementara Gina sendiri tidak bisa berada dalam hubungan jarak jauh.Komunikasi masih sering mereka lakukan. Namun ketika kedua orang tua dan kakak Gina meninggal, Gina menghilang bak ditelan bumi. Darren sama sekali tidak bisa menghubungi Gina meski ia sudah bertanya hampir pada semua orang yang Gina kenal.“Itu sudah lama, Kak. Sekarang, aku baik-baik aja. Nggak perlu minta maaf,” tutur Gina. Ia tidak ingin menggali luka lama yang sudah ia kubur dalam-dalam. Lagipula, sekarang sudah ad