Share

Chapter 2

Harusnya sabtu ini menjadi waktu di mana Clarisa bermanjaan dengan sang suami. Sayangnya Adit justru malah mengundang ibunya datang ke rumah. Seperti hubungan menantu, dan mertua pada umumnya, yang baik jika di depan, entah apa yang sebenarnya terjadi tentang penilaian mereka masing-masing. Pagi ini Clarisa sengaja tak membereskan rumah, selain karena sedikit terpengaruh ucapan Sabrina, mood rajinnya lenyap kala lengan kokoh Adit masih setia melingkar di perut buncitnya selepas sarapan.

"Emang harus banget ya ibu datang sekarang? Biasanya `kan hari minggunya," celetuk Clarisa pelan. Tak mau terlihat buruk karena enggan menyambut sang mertua.

Adit menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi pipi chubby sang istri. "Entah kenapa aku kangen banget sama ibu. Kamu nggak keberatan, kan?"

"Jelas lah aku keberatan, ibu kamu itu kalau datang kerjaannya cuma jadi cctv rumah," batin Clarisa sebal. Bibir tipisnya terkatup berharap sang suami peka, dan meminta sang ibu untuk datang besok.

Ting tong

Bel rumah membuat Adit abai akan rajukan Clarisa. Dengan lembut dia singkirkan rengkuhan pada tubuh gembul istrinya  demi menyambut sang tamu.

"Sebentar!"

Ceklek

Panjang umur untuk Tamara, perempuan berusia 45 tahun itu menyambut wajah tampan sang anak dengan sumringah. Tubuhnya sontak ambruk ke dalam dekapan hangat yang sudah satu pekan ini tak dia rasakan. "Kamu sehat-sehat aja, kan?"

"Seperti yang Ibu lihat, aku baik."

Obrolan singkat dari kedua manusia berbeda gender itu terdengar sampai ke telinga Clarisa dari ruang televisi. Hafal akan sifat Tamara yang menjunjung tinggi tata krama membuatnya mau tak mau harus menyambut ke ruang depan juga.

"Selamat datang, Bu." Bibirnya tersenyum simpul bersama kedua tangannya yang meraih tangan Tamara untuk dia cium.

Sang mertua membalas perlakuan manis Clarisa dengan tak kalah ramah. Tangannya mengusap kepala sang menantu penuh kelembutan. Meski sebenarnya dalam hati dia dongkol. "Apa kamu itu lupa ya, Clar? Sudah berapa kali Ibu bilang kalau pagi hari itu waktunya beberes."

Adit turut mengikuti arah pandang Tamara yang sejak tadi merasa risih dengan keadaan rumah. Memang tak begitu kotor, barang-barang yang berada di ruang tamu itupun tak berserakan. Namun, Tamara adalah Tamara yang sangat teliti akan banyak hal.

"Clarisa capek, Bu. Sekali-kali nggak beresin rumah nggak papa dong," bela Adit mengelus lengan sang istri.

Tamara berjalan memasuki ruang makan. Tangannya mengelap debu tipis yang tertempel di sudut kiri meja itu. "Dulu waktu Adit belum nikah, rumah ini selalu aku yang bersihin. Sebagai istri yang nempatin setiap hari  harusnya kamu nggak banyak males-malesan dong, Clar."

Sejak tadi Clarisa hanya diam membisu. Lain hal dengan jeritan hatinya yang meronta-ronta ingin ke luar. Menatap sengit sang mertua yang anggun, namun  mematikan. Baik, tetapi mengandung kadar kecerewetan yang luar biasa.

Adit menundukkan wajahnya demi melihat raut sang istri, seperti perkiraannya kalau perempuan itu berusaha menahan kesal. "Maafin Ibu ya?"

Anggukan tak berselera Clarisa beri, memangnya maaf bisa membuat Tamara berubah? Selalu Adit yang meminta maaf, dan perempuan parubaya itu kian meneliti lebih banyak lagi.

"Jam segini kok kamar belum diberesin?" tanya Tamara membalikkan badan di depan pintu kamar.

"Iya, Bu. Karena bawaan bayi aku jadi nggak semangat beres-beres."

"Menurut aku si gimana cara ngejalaninnya aja. Kalau nurut sama hal-hal yang berbau males jadi kamu sendiri yang repot nanti. Rumah kalau nggak dibersihin setiap hari akan terasa lebih berat lagi nanti," jelas Tamara panjang lebar.

Adit menarik pergelangan tangan Clarisa menuju halaman belakang. Khawatir karena ucapan Tamara bisa membuat sang ibu hamil stress. "Kamu di sini aja dulu, biar aku yang jelasin sama ibu."

Tanpa menunggu persetujuannya lebih dulu, Adit langsung melesat masuk kembali. Meninggalkan Clarisa yang melotot kala melihat baju yang pagi tadi dia cuci lupa tak terjemur. "Kenapa semuanya jadi nggak beres si?"

Untuk hari-hari biasanya hal kecil semacam itu tak menjadi masalah, hanya saja Clarisa sudah muak mendengar celotehan mertuanya yang kini tengah mengacungkan jemari telunjuknya menuju wastafel dapur. Ruat mukanya terlihat masam sebelum menghadiahi Adit dengan cubitan di lengan.

"Panggil Clarisa ke sini!"

Sang pria mengaduh lirih bersama kakinya yang menuruti permintaan Tamara. "Sayang, kayanya aku gagal bujuk ibu deh kali ini. Dia marah besar."

Clarisa menatap Adit kecut. "Emang aku yang nggak pernah benar di mata ibu kamu."

Kalimat nestapa itu untuk pertama kalinya masuk ke dalam gentang telinga Adit. Mata sipitnya menatap wajah chubby Clarisa penuh rasa bersalah. "Aku minta maaf."

"Maaf terus," timpal Clarisa sebal. "Aku nggak mau nemuin ibu kamu dulu." Kaki yang bengkak akibat kehamilannya itu melangkah menjauhi halaman belakang.

Adit tahu ke mana arah tujuan sang istri sekarang. Tempat nongkrong baru, rumah tetangga sebelah. Jujur tak terlalu Adit pusingkan, yang dia percaya istrinya berteman baik dengan Sabrina. Kesenangan baru itu sebenarnya sedikit membuatnya lega karena tak menjumpai kata bosan lagi dari bibir Clarisa.

"Loh di mana Clarisa?" Tamara muncul dari balik pintu. Kepalanya celingukan mencari sang menantu yang sudah tak berada di tempat.

"Dia keluar cari angin segar," jawab Adit polos.

Tak tahu saja kalau Tamara kian menambah ocehan yang sudah disusun rapi. "Mertuanya datang kok malah pergi."

Adit menggaruk secara sungkan kepalanya yang terhias rambut hitam pekat itu. "Lagian Ibu datang langsung ngomelin dia. Ibu hamil bukannya sensitif ya?"

Tamara mungkin lupa akan fakta itu, dulunya dia juga begitu saat mengandung Adit. Begitu sensitif, dan hobi bermalas-malasan. Apa dirinya kali ini terlalu berlebihan sebagai seorang mertua? Ah, kepalanya menggeleng cepat saat sebagian kecil hatinya merasa iba. Dia hanya menginginkan yang terbaik untuk Adit. Sebagaimana pria itu harus terurus dengan baik. Kerja kerasnya layak dibayar dengan kenyamanan.

"Jangan terlalu manjain istri kamu!"

Keduanya memasuki rumah dengan runtun. Adit masih setia memasang telinganya barangkali Tamara perlu berbicara lagi.

"Kamu masih ingat `kan syarat aku merestui hubungan kalian?" tanya Tamara setengah memicing.

Adit tentu tak lupa akan hal itu, keposesifan Tamara sebagai ibu sempat hampir membuat hubungannya dengan Clarisa kandas. Perempuan parubaya itu mematok banyak hal agar sang anak terus merasa bahagia sepanjang perjalanan hidupnya.

"Kalau kamu memang nggak lupa, ajari dia buat jadi istri yang lebih baik lagi."

Entah seperti apa pandangan lebih baik di mata Tamara, padahal baginya Clarisa merupakan seorang istri yang lebih dari kata baik. Istri yang tak pernah meminta banyak hal. Dan keputusannya membela Clarisa adalah murni dari relung hatinya yang juga tak mau menuntut banyak hal. Kenyamanan adalah kunci utama dari pernikahan yang dia bangun saat ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status