Mag-log inLangkahnya meninggalkan ruang tamu terasa lebih ringan, seolah-olah beban yang selama ini dipikulnya telah berubah menjadi baju zirah yang justru memberinya kekuatan. Di atas tangga, dia hampir bertabrakan dengan Bea, wajahnya penuh dengan kecemasan yang tertahan.
"Flick? Apa yang terjadi? Aku mendengar... kereta Blackwood pergi," gumam Bea, matanya menyelidik setiap inci ekspresi Felicity, mencari tanda-tanda kehancuran atau keputusasaan. Alih-alih menemukan yang dicarinya, Bea justru melihat sesuatu yang lain. Ada cahaya yang berbeda di mata Felicity yang biasanya lesu. Ada garis teguh di sekitar mulutnya yang biasanya mencibir karena lelah. "Bea, kau tau," ucap Felicity, dan suaranya terdengar berbeda—lebih dalam, lebih mantap, "aku baru saja menerima tawaran kemitraan." Bea mengerutkan kening. "Kemitraan? Dengan dia? Flick, pria itu—" "Seorang negosiator yang brilian dan haus kekuasaan. Aku tahu," sela FeLysander mendekapnya lebih erat, bingung tapi berusaha menenangkan. "Siapa, Flick? Siapa yang ada di sini?" tanyanya lembut sambil menatap sekeliling ruangan yang kosong."Dia... pria itu... dengan setelan abu-abu..." ucap Felicity tergagap, masih gemetar. "Selama ini... dia menghantuiku..."Sekarang Lysander memahami. Ini bukan sekadar kelelahan atau stres, ada sesuatu yang lebih dalam yang terjadi pada Felicity. Sesuatu yang membuatnya melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat orang lain.Pelukan Lysander bagai menjadi dinding kokoh yang menahan semua sisa-sisa badai emosi dalam diri Felicity. Setelah amukannya yang meledak-ledak, setelah tangis histeris yang menguras habis tenaga terakhirnya, tubuhnya yang kelelahan akhirnya menyerah. Getaran di pundaknya perlahan mereda, napasnya yang tersengal-sengal berubah menjadi teratur dan dalam. Di dalam dekapan hangat Lysander, di antara rasa aman yang lama tidak dia rasakan, Felicity akhirnya tertidur lelap. Tid
Dia menyandarkan tubuhnya yang gemetar pada sandaran kursi, kepalanya terasa ringan, tapi matanya membara dengan kombinasi ngeri dan kejengkelan yang mendidih. "Kau sudah mengambil tidurku. Kau sudah mengambil ketenanganku. Apa lagi? Apa lagi yang harus kau ambil sampai kau puas?"The Grey Gentleman berbalik sepenuhnya kini. Senyum tipisnya tidak berubah, tetapi matanya yang abu-abu itu seakan menyipit sedikit, seperti seorang ilmuwan yang mengamati reaksi menarik dari subjek eksperimennya. Dingin dan penuh perhitungan."Menghantui?" ujarnya perlahan, seolah mengeja kata itu dengan rasa penasaran. "Kau menyebutnya 'menghantui', Felicity? Itu adalah istilah yang... dramatis." Dia mengambil satu langkah mendekat, dan aroma besi tua serta debu perpustakaan seolah tergantikan oleh hawa dingin yang dibawanya."Aku hadir dalam mimpimu karena itu adalah bahasa yang paling mudah untuk jiwa yang sedang kebingungan seperti dirimu. Tapi kau, dengan keras kepalamu yan
Malam-malam itu adalah siksaan yang tiada henti. Beatrice tidak pernah meninggalkan sisi ranjang Felicity. Dia menyaksikan bagaimana wanita muda yang biasanya begitu tangguh itu terpelintir dalam selimut keringat dingin, matanya terpejam rapat namun bola matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopak, mengejar sesuatu yang tidak bisa Bea lihat.Felicity tidak lagi berteriak. Tenaganya habis. Yang tersisa adalah tangisan yang nyaris tanpa suara. Desisan napas tersendat dan tetesan air mata yang membasahi bantal. Tubuhnya gemetar, tetapi jeritannya tertahan di dalam, seolah bahkan suara pun telah dikhianati oleh pikirannya sendiri. Tidur terlama yang berhasil diraihnya tidak lebih dari tiga jam, dan itu pun dipenuhi oleh kegelisahan yang membuatnya bangun lebih lelah daripada ketika ia memejamkan mata."Sudah, Flick, sudah... aku di sini," bisik Beatrice berulang kali, menepuk punggung Felicity dengan gerakan lembut dan stabil, sebuah jangkar di tengah badai yang tak
- DI RUANG KERJA PUTRA MAHKOTA -Lysander memegang erat laporan yang baru saja diterimanya, jari-jemarinya hampir membuat kertas itu kusut. "Chamomile Kaisar milik Lady Felicity mengalami kelayuan tanpa sebab yang jelas," ucapnya keras-keras. Suaranya rendah, mengandung rasa rindu dan kekhawatiran yang dalam. "Oh, Flick..."Dia berjalan ke jendela dan memandang taman pribadinya, seolah mencari jawaban di antara hamparan bunga. "Chamomile Kaisar... bunga yang kupilih khusus untuknya. Karena kelopaknya yang putih dan sederhana, tapi memiliki ketahanan dan kekuatan penyembuh yang luar biasa. Persis seperti dia."Seorang ajudan yang setia berdiri di dekat pintu, memberanikan diri bertanya, "Apakah Yang Mulia sedang mengenang sesuatu?"Wajah Lysander berbinar dengan kenangan manis yang sekaligus terasa pedih. "Ya. Aku masih ingat betul ekspresinya saat pertama kali kuberikan benih itu. Dia tertawa ringan, lalu berkata, 'Lysander, kau tahu aku tidak pan
Bea dengan sabar menuntun Felicity berjalan-jalan di taman, berharap udara pagi yang segar bisa sedikit menyegarkan pikiran gadis itu. Felicity berjalan dengan langkah lambat, matanya masih redup, tapi setidaknya dia mau mengikuti ajakan Bea."Lihat, Flick," ucap Bea sambil menunjuk ke arah bunga mawar yang baru mekar, "Bunga-bunga mulai bermekaran. Musim semi benar-benar tiba."Felicity hanya mengangguk lemah, tidak merespons lebih dari itu. Namun, saat mereka melewati sudut taman di mana Rowan sedang bekerja, sesuatu menarik perhatian Felicity."Rowan, apa yang kau lakukan?" tanya Bea, memperhatikan Rowan yang sedang berlutut dengan wajah khawatir.Rowan mengangkat kepalanya, wajahnya tampak frustrasi. "Aku mencoba menyelamatkan tanaman chamomile Kaisar dari Yang Mulia Putra Mahkota, tapi lihat..." Dia menunjuk tanaman yang mulai layu. "Mereka semakin lemah tanpa alasan yang jelas. Padahal aku sudah merawatnya dengan sangat hati-hati."
Bea telah menyiapkan segala sesuatu dengan penuh perhatian. Teh chamomile yang diseduh dengan madu, bantal-bantal disusun nyaman, minyak lavender diteteskan di setiap sudut ruangan, bahkan dia telah mengganti seprai dengan yang terbaru dan terlembut. Ruangan yang biasanya dipenuhi sketsa mesin dan diagram teknik kini berubah menjadi semacam kapsul pelindung, sebuah benteng melawan teror malam."Minum ini dulu," ucap Bea sambil menyuapi Felicity teh hangat seperti menyuapi anak kecil. Tangannya yang gemetar membuat sendok sedikit bergetar.Felicity patuh membuka mulutnya, menyeruput teh dengan gerakan mekanis. Matanya yang biasanya berbinar penuh kecerdasan kini bagai kolam yang keruh, memantulkan bayangan ketakutan yang tak terucapkan.Setelah memastikan Felicity sudah mengenakan gaun tidur yang nyaman, Bea dengan hati-hati membimbingnya ke tempat tidur. Prosesi ini terasa seperti ritual suci, setiap gerakan penuh dengan makna dan doa."Kau lihat







