LOGIN
"Nak... ayo cepetan, katanya mau bareng."
"He em, iya Yah. Tunggu bentar, sedikit lagi nih." "Heh... pelan-pelan makannya, Sayang. Belepotan tuh." Sebuah keluarga tampak sedang sarapan di pagi yang cerah. Ayam masih terdengar berkokok, dan aktivitas warga pun belum ramai. Beberapa burung camar terlihat terbang rendah lalu memercikkan air pantai, tempat keluarga ini tinggal. "Udah selesai nih, Yah. Yuk, berangkat!" seru sang anak yang sudah siap. "Udah? Yaudah, sana pamitan dulu sama Ibumu," sahut ayahnya sambil tetap membaca koran. Si anak lalu menghampiri ibunya untuk bersalaman. Beberapa saat kemudian, mereka keluar dari dapur. Di depan rumah, sang ayah sudah memanasi motor. Ibu dan anak itu segera menyusul. "Aku berangkat ya, Bu?" ucap sang anak berpamitan. "Iya... hati-hati, ya," jawab ibunya lembut. Anak itu mengangguk, lalu berjalan ke arah ayahnya. Namun, saat ia hendak menyentuh motor, Bumi tiba-tiba berguncang hebat. Gempa dengan skala hampir 8 mengguncang daerah itu. Semua orang panik berlarian menyelamatkan diri, termasuk keluarga tadi. Mereka berkumpul di halaman depan rumah, sebuah area terbuka yang cukup aman. Getaran itu berlangsung cukup lama, membuat semua orang ketakutan. Bangunan-bangunan roboh. Beberapa orang tertimpa reruntuhan karena tak sempat keluar rumah. Tiga menit berlalu, getaran akhirnya berhenti. Warga yang selamat bersyukur, namun tak sedikit pula yang bersedih karena kehilangan rumah, harta, atau bahkan anggota keluarga. "Kamu gak apa-apa, Nak?" tanya si Ibu, memeluk anaknya yang masih terdiam, shock. "Bu? Rumah kita, Bu..." ujar sang Ayah, terpaku melihat rumah mereka yang kini rata dengan tanah. "Gak apa-apa, Yah. Yang penting kita semua selamat," balas sang Ibu, berusaha tenang. "Yaudah, Bu. Kita gabung sama warga lain dulu, biar cepat dapat bantuan," usul Ayah. "Ayah... Ibu... tadi itu apa?" tanya sang anak yang akhirnya dapat berbicara, suaranya gemetar. "Itu gempa, Nak. Tapi kamu gak apa-apa, kan? Ayo, kita cari tempat aman dulu," jawab Ibunya. Ayah pun kembali menyalakan motor. Mereka bertiga pergi menuju balai desa, tempat berkumpulnya para korban. Di sepanjang jalan, tampak rumah-rumah porak-poranda. Warga memenuhi jalanan, semua menuju arah yang sama. Sesampainya di balai desa, suasana sudah ramai. Tim SAR, polisi, dan tenaga medis sibuk menangani korban. Warga berebut bantuan, suara tangis dan teriakan bercampur jadi satu. "Banyak orang, Yah. Gimana ini?" si anak menggenggam lengan ayahnya. "Tenang aja, Nak. Kita ikutin arahan petugas aja," jawab ayahnya, mencoba tetap tenang. Tiba-tiba, TIIIT... TIIIT... TIIIT... sirine peringatan tsunami berbunyi keras dari arah pantai. Kepanikan pun pecah. Semua orang langsung bergegas keluar, berdesakan hingga suasana makin kacau. Bahkan petugas berwajib sudah menginfokan tsunami baru akan datang dalam 10 menit, tapi itu tak mampu menenangkan warga. "Aduuuh aku khawatir, Yah..." ujar ibu, memeluk suaminya dari belakang motor. "Tenang, Bu... Kita pasti selamat. Kita harus cepat keluar dari sini!" sahut sang suami panik. "Iya, Yah. Tapi sabar, jangan dorong-dorong orang, ya," balas sang istri, masih berusaha menenangkan. "Bu... ini kenapa, sih? Kok semua orang panik?" tanya si anak kebingungan. "Itu... peringatan tsunami barusan, Nak. Tapi... belum tentu bener, kok," ujar Ibu, walau nada suaranya tak setenang biasanya. Mereka pun bergerak ke arah perbukitan, tempat yang lebih tinggi. Jalan penuh sesak, semua orang ingin menyelamatkan diri. Sepertinya peringatan tsunami menyala di sepanjang pesisir provinsi. Sementara itu, di tepi pantai air laut mulai naik. Tak lagi sekadar pasang, tapi meluap deras menghantam pesisir. Suaranya menggelegar, menghancurkan apa pun yang dilaluinya. Warga yang masih di bawah berteriak histeris, sementara yang di atas berusaha naik lebih cepat, bahkan meninggalkan kendaraan mereka. Untunglah keluarga itu sudah sampai setengah perjalanan menuju puncak. Namun... gelombang raksasa mulai terlihat. Air laut yang seperti murka itu menyapu daratan tanpa ampun. Ayah tancap gas. Jalan menanjak semakin sempit, kendaraan padat, tapi ia terus memaksa maju. Sampai akhirnya... gelombang berhenti. Mereka selamat, meski napas masih terengah dan jantung berdegup kencang. Namun ketenangan itu hanya sebentar. Dari tengah laut... muncul sesosok monster. Seekor makhluk setengah harimau namun memiliki semacam insang di pipinya dan berekor pari muncul kepermukaan. Monster itu naik ke daratan. Orang-orang hanya bisa terpaku melihatnya. Monster itu menengok ke kanan dan kiri, lalu mengangkat kakinya memunculkan cakar tajam. "GRAAAAAGH!!!" Jeritan mengerikan itu mengguncang nyali semua orang. Monster itu langsung menyerang. Menerjang siapa saja yang ada di dekatnya. Orang-orang berhamburan menyelamatkan diri, tapi monster itu terus mengejar. Keluarga tadi ikut panik. Mereka meninggalkan motor dan mencari rumah kosong untuk bersembunyi. Untungnya mereka menemukan satu rumah yang kosong dan aman... untuk saat ini. Keluarga itu lalu bersembunyi di bawah ranjang. Mereka menahan napas, membiarkan semua terjadi di luar sana sambil mendengarkan dengan cermat. Awalnya, hanya terdengar suara langkah tergesa dan teriakan panik, tapi lama-lama berganti menjadi jeritan memilukan… dan suara monster yang mengaum buas. Monster itu telah mencapai lingkungan mereka. Dan sekarang, ia sedang membantai siapa pun yang terlihat. Perlahan, semua menjadi senyap. Tak ada suara manusia. Tak ada langkah kaki. Hanya keheningan yang mencekam. Orang-orang di luar sana… sepertinya sudah habis. Monster itu mungkin telah pergi mencari mangsa lain. “Shh... Biar Ayah periksa dulu,” bisik sang ayah sambil menahan napas. “Kalian tetap di sini. Jangan bersuara.” Ia perlahan merangkak keluar, mendekat ke jendela dan mengintip. “Kayaknya aman. Kalian bisa keluar seka—” BRAK! Sebuah cakar raksasa menembus jendela dan menancap tepat di perutnya. Monster itu ternyata masih ada. Ia menunggu dan mengintai hendak menjebak siapa pun yang berani keluar. Dan kini, ia berhasil. “AYA—hmmp!” Anak laki-lakinya hendak berteriak, tapi ibunya cepat-cepat membungkam mulutnya dengan gemetar. “Diam, Nak… diam dulu…” bisik sang ibu sambil menahan tangis dan ketakutan. Cakar itu ditarik kembali. Sang ayah ambruk ke lantai, tubuhnya berlumuran darah, perutnya berlubang besar. Nafasnya terhenti seketika. Monster itu menatap sekeliling dengan mata penuh kebencian, lalu berlari pergi mengejar korban lainnya. Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, ibu dan anak itu keluar perlahan dari persembunyian. “...A-Ayah?” Anak itu memanggil lirih, menggoyang-goyang tubuh ayahnya. “Ayah…?” Tak ada jawaban. Tak ada gerakan. “Bu… ayah kenapa…?” tanyanya dengan suara lirih, penuh harap. Sang ibu tak menjawab. Ia hanya menutup wajah dengan kedua tangannya, menangis dalam diam. Anak itu menggigit bibirnya. Air matanya jatuh, tapi ia tetap mengguncang tubuh ayahnya yang telah dingin. “AYAH!! Bangun...!" "AYAH!!!” ___ "Hah! Hah-hah-hah!" Seorang pemuda terbangun dari tidurnya dengan nafas terengah. ‘Nit-nit-nit-nit-nit...’ “Huhh… ternyata cuma mimpi.” Alarm membangunkannya. Ia mengusap wajahnya, menatap langit-langit kamar dengan dada berdebar. Mimpi itu lagi. Ingatan yang tak pernah pergi.Riyan melesat. Rintangan pertama: tangga V. Anak tangganya miring dan renggang. Riyan melompat ke kiri dan kanan sambil berpegangan erat. Sedikit kesulitan, tapi ia berhasil melewatinya. Berikutnya: lorong laser. Riyan meluncur masuk, lalu merayap cepat saat cahaya laser muncul mengejarnya. Sempat hampir tertangkap, tapi ia tiarap tepat waktu. Laser lewat di atasnya tanpa menyentuh. Ia lanjut merayap, menghindari satu laser lagi sebelum berhasil keluar. Rintangan ketiga: lintasan sensor tangan. Sensor akan mengayun dan menangkap siapa pun yang tersentuh. Riyan berlari sambil menghindar, gesit ke kiri dan kanan. Namun, di tengah lintasan, sebuah tangan memanjang dan menyentuhnya—kabel muncul dan membelit tubuhnya. "Akh, sial..." Setelah 30 detik, kabel lepas. Riyan berpikir cepat. Kali ini, ia mengesot saat tangan menyambar, lalu bangkit, lalu mengesot lagi. Strategi itu berhasil sampai ia lolos
"Luna?!" seru Riyan, kaget. Luna berdiri di depan mereka tanpa ekspresi, seolah sedang melawan dua boneka latihan. Tekanan auranya meningkat. Ia menguatkan dorongan, membuat Riyan terhempas ke belakang dan terguling. "Kenapa, Luna?" tanya Riyan sambil bangkit, wajahnya penuh ketidakpercayaan. Tanpa menjawab, Luna langsung melesat. Pertarungan kembali terjadi. Suara dentingan senjata terdengar bertubi-tubi saat pedang mereka saling bertabrakan. Luna mengayunkan pedangnya ke kepala Riyan—ayunan cepat dan tepat. Riyan menahannya sekuat tenaga, tubuhnya bergetar karena tekanan. Dari sisi lain, Anton menyerang Luna dari samping. Luna menyadari, lalu melompat mundur, menjauhi keduanya. Sekarang situasinya jelas: seperti game fighting mode tim. Senior satu melawan dua junior. Luna akhirnya bicara. Suara Luna yang pertama kali mereka dengar. "Harus barengan, ya? Gak berani
Pak Roger tengah berbicara lewat panggilan video di layar komputernya. "Apa kau yakin dengan rencanamu?" tanya sosok di seberang. "Yakin dong. Aku kan bosnya," jawab Pak Roger santai. "Hhhh... kamu mah kebiasaan. Ya udah, aku coba omongin ke pusat," ujar orang itu sebelum memutus sambungan. Layar komputer berganti menampilkan sebuah dokumen berjudul “Kasus Beast dalam di Internet.” TOK TOK TOK! "Masuk." Albert masuk bersama Riyan dan Anton. "Ohh... ternyata kalian. Gimana? Sudah selesai?" tanya Pak Roger sambil menyandarkan tubuh. "Udah, makanya kita ke sini," jawab Albert. "Mereka juga udah setuju buat latihan. Iya, kan?" Riyan dan Anton mengangguk mantap. "Sip." Pak Roger berdiri dan menghampiri mereka. "Kalau gitu, kita ke Forge Room dulu buat pemanasan
"Aku pulang!" Seorang pria membuka pintu rumah. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul setengah empat, jadi seharusnya ibunya sudah pulang. Benar saja beberapa saat kemudian seorang wanita muncul menyambutnya. "Ehh... udah pulang Yan. Gimana lulus kan?" tanya Bu Cantika menantikan kabar bagus dari anaknya. "Lulus kok bu, makasih doanya ya." jawab Riyan dengan ceria. "Emmhhh..." nada sang ibu terdengar senang. "Sama-sama, pasti dong kamu lulus, kan sering olahraga juga." ucapnya sambil mengelus-elus pipi anaknya. "Eh, kamu pasti laper? Tapi mandi dulu ya, masakan ibu belum mateng soalnya." "Hah? masih sore loh bu, masa makan sih?" Balas Riyan mengikuti ibunya masuk kedalam. "Gapapa, kan kamu habis kerja berat. Kamu mandi dulu sana, sekalian istirahat. Habis itu baru ke dapur." Ucap sang ibu. "Iya bu." Mereka lantas berpisah, Riyan ke kamarnya sedangkan
Riyan dan Anton berjalan di belakang Pak Roger, menuju markas tim khusus Chaser. Dari ruangan luas tempat mereka bertarung melawan beast tadi, mereka kembali ke bagian depan gedung dan masuk ke dalam lift. Pak Roger menekan tombol lantai 4—lantai tempat para anggota tim khusus biasa berkumpul. Lift bergerak naik, membawa mereka ke tujuan. Belum sampai di atas, sang jenderal membuka percakapan. “Oh iya, di tim khusus ada satu cewek yang pendiam. Tapi santai aja, dia tetap hormat kok...” ucap Pak Roger sambil tersenyum kecil. “Eh? Siapa itu, Pak?” tanya Riyan penasaran. Tepat saat itu, lift tiba di lantai 4 dan pintunya terbuka. “Rahasia. Yang penting santai aja ya.” katanya sambil keluar terlebih dahulu, diikuti Riyan dan Anton. Di depan mereka terbentang lorong yang menghubungkan antar ruangan. Merekapun sampai di ruangan dengan pintu bertuliskan 'Ruang Komando'. Pak Roger lalu membukanya.
"A-ada monster lagi?" ucap salah satu peserta di arena. "ROAAARR!!!" Harimau berkepala hiu itu mengaum lantang. Suaranya menggema di seluruh arena. Semua peserta panik dan kebingungan. "Hehe, beast tes kami tambah satu lagi, atas kemauan saya sendiri. Yaa... saya sih maunya nggak ada yang bisa bunuh beast dulu. Kan ini tes pertama. Jadi saya kasih beast level 2 untuk tambahan. Kalau bisa dibunuh, syukur. Kalau kalian yang dibunuh..." Beast itu langsung berlari ke arah peserta bersamaan dengan kalimat terakhir sang Jenderal. "Ya syukur. Semangat!" tambahnya santai. *Sebagai tambahan informasi, level beast di sini menunjukkan seberapa berbahaya beast tersebut. Semakin kecil angkanya, maka semakin berbahaya. Ada lima tingkatan, dengan level 1 sebagai yang paling berbahaya. Penjelasan lengkap tiap tipe akan disampaikan di kesempatan lain. Para peserta langsung terpencar, mencoba membingungkan beast itu. Tapi beas







