Share

Hujan

Tiga jam berlalu. Hujan tak kunjung reda. Gigi gadis manis saling bergemeletuk, kakinya gemetar tidak bisa diam. Tangan mungil gadis itu coba merapatkan blazer basah kuat-kuat pada tubuh. Cherry mencoba hangatkan diri disela-sela kekuatan tersisa dengan wajah telah pucat pasi serta bibir bergetar nyaris membiru.

"Ya Tuhan, dingin sekali," cicit Cherry merasakan tubuhnya hampir membeku, uap dingin pun menyembur dari celah bibir.

Angin kencang, hujan serta suara petir mewarnai langit. Punggung Cherry bersandar, "Kapan hujan ini akan reda?" suara gadis manis putus-putus, bermonolog sendiri. Menyorot pada area jalan sekitar terlihat beberapa mobil melintas.

Sadar sesuatu Cherry merogoh kantong blazer keluarkan telepon genggam. "Yah, hmm ...," lirih gadis manis menemukan layar ponsel tampak berembun dan mati. Ibu jari Cherry menekan-nekan tombol power. Berharap ponsel miliknya masih bisa diselamatkan.

"Hah,"

Helaan uap putus asa keluar dari celah bibir. Menatap pias pada ponsel di tangan, nasib sial Cherry seolah masih terus mengikuti. Mata bening Cherry mulai berkaca-kaca, setetes air turun ikut serta mengiringi rasa sedih.

"Ayah," suaranya lemah memanggil sosok orang tersayang.  Sesak, menarik udara sebanyak-banyaknya sampai Cherry tak tahu lagi cara bernapas dengan benar bersama tangis yang tidak bisa lagi dicegah.

Benda pipih dalam genggaman Cherry taruh di samping tubuh. Satu tangan lainnya Cherry gunakan untuk merapatkan blazer. Menangis adalah satu-satunya cara menenangkan diri, tanpa histeris atau meraung, tangis si Gadis tetap terdengar pilu menyayat hati.

Suara tangis Cherry berbaur samar bersama suara gemuruh dari langit. Seolah semesta ikut bersedih atas nasib naas yang kini sedang menimpa.

Kedua tangan Cherry beranjak naik menutupi wajah. Terisak kecil lalu melengking, tangis Cherry belum bisa reda. Merasakan kehadiran seseorang tangan Cherry turun ke atas pangkuan, menyibak rambut ke belakang. Mata cantik merah itu berkedip kala menemukan sepasang sepatu sneaker putih di hadapan. Kepala Cherry menengadah mendapati presensi wajah marah sang Adik serta manik mata Leon yang kini berbalut iba. 

"Bodoh," baritone si Adik mengumpat.

Maju satu langkah lagi lantas menarik tubuh sang Kakak sampai berdiri. Leon memeluk erat tubuh lemah Cherry.

Detik berikutnya Cherry tidak lagi dapat menahan sesak, menangis keras dan semakin terisak dalam pelukkan sang Adik. "Bodoh, kakakku yang bodoh," ujarnya terus memaki Cherry yang tidak menjawab panggilan teleponnya.

Cherry melepas pelukan, menghapus jejak sedih pada wajah. "Dari mana kamu tahu aku di sini?" suara si gadis putus-putus.

"Tidak penting, tubuh kakak gemetar lebih baik kita langsung ke apartemenku," melepas dekapan Leon bergegas meraih barang-barang sang Kakak. Cherry hanya pasrah saat ditarik paksa masuk ke dalam mobil.

"Mobil kamu jadi basah," kalimat konyol Cherry tidak dianggap oleh Leon.

Leon melirik sekilas. "Aku tidak peduli. Sekarang diam biarkan aku fokus mengemudi," suara Leon masih terdengar kesal. Cherry menurut, duduk manis menatap arah luar jendela.

Flashback on

Selepas minum air mineral setengah botol, Leon meraih handuk putih kecil menyeka peluh pada wajah, leher ataupun lengan. Leon pemuda tampan itu selalu melatih membentuk otot tubuh kurang lebih dua sampai tiga kali dalam satu minggu, dengan catatan jika sedang senggang. Leon menghabiskan waktu di dalam sana sekitar dua jam.

Leon keluar dari tempat latihan, bergegas naik ke lantai dua, masuk kamar guna membersihkan diri dari sisa-sisa keringat menempel. Selesai mandi adik tampan Cherry turun, mengatakan pada maid kalau dirinya ingin sarapan, dengan gesit maid menyiapkan sarapan untuk si Tuan muda.

Dapat dua suap sendok masuk mulut, tangan Leon melambai memanggil salah satu maid yang sedang merapikan pajangan sekitar ruang makan.

"Tolong panggil kak Cherry kemari untuk menemaniku sarapan."

Leon menegur maid dengan kata sopan.

Maid tersebut menunduk tidak berani menatap wajah Tuan muda.

"Kenapa diam saja?" Leon angkat dua alis menyimak raut sedih maid di sana.

"Tuan muda, nona Cherry sudah pergi," jawab maid tetap menunduk sedikit takut.

Leon manggut-manggut, mengira Cherry pergi mencari kerja.

Tapi tunggu dulu, ini hari sabtu.

"Ini hari sabtu, tumben sekali dia pergi," gumam itu masih bisa terdengar maid.

Ragu-ragu maid menatap Tuan muda lantas kembali membuka suara. "Tuan muda, nona Cherry pergi membawa koper besar."

Sendok berisi lauk pauk hampir masuk ke dalam mulut terhenti di udara. Manik tegas Leon menyorot maid menuntut penjelasan.

"Apa maksudmu?" baritone Leon menggeram marah.

Maid tersebut meneguk liur kering, takut Nyonya besar marah padanya tapi juga khawatir pada nona Cherry. Bunyi sendok jatuh, menyentak keras pada piring membuat maid sedang berdiri di sana terlonjak kaget.

Leon segera berlari naik ke lantai atas masuk ke dalam kamar Cherry. Membuka lemari pakaian ia tidak menemukan satu helai benang tertinggal. Leon keluar kamar Cherry berlari masuk ke kamar pribadinya meraih kunci mobil juga dompet.

Sampai bawah melewati ruang utama Leon melihat sang Ibu dan Early sedang asyik menyantap buah segar telah dipotong kecil-kecil.

"Leon sayang ...,"

Tanpa peduli Leon tetap melangkah menuju garasi. Ia tahu lambat laun hal ini pasti terjadi dan Leon yakin pasti bisa menemukan Cherry.

Adik tampan Cherry layaknya remaja pada umumnya. Senang bermain juga sering hang out bersama beberapa teman pada saat weekend. Kepribadian adik tampan berubah dua bulan setelah sang Ayah meninggal. Jarang main atau kumpul dengan para sahabat hanya sesekali jika ia ingin.

Yah, Leon dituntut sang Ibu untuk belajar mengenai perusahaan sang Ayah. Diusia yang sangat muda dan Leon sempat frustrasi karena harus belajar dari nol. Leon jadi lebih sering datang ke kamar Cherry menumpahkan segala keluh kesah. Cherry selalu membuka lebar-lebar pintu kamar untuk sang Adik, tak hanya itu Cherry juga selalu menjadi pendengar terbaik.

Semenjak akrab Leon selalu memprioritaskan Cherry, dirinya pun tidak bodoh. Leon sadar atas sikap sang Ibu jauh berbeda jika menyangkut Cherry dan Early. Yah, Leon bisa melihat perbedaan itu. Sebelum sang Ayah meninggal, Leon diminta untuk menjaga Cherry. Saat ini sebagai anak laki-laki dirinya akan menjalankan tugas bukan karena terpaksa, melainkan Leon tahu Cherry mempunyai sifat lembut serta tulus, memberi kasih sayang tulus, sangat perhatian. Hal tersebut, tidak pernah Leon dapatkan dari saudara kembarnya Early.

Flashback off.

✨✨✨

Ares gelisah menatap langit di atas berubah gelap. Meraih ponsel ia menghubungi sang Ibu kemudian menempelkan benda pipih mahal pada daun telinga, kakinya mondar-mandir gelisah.

"Ibu di mana?" langsung to the point saat mendengar suara Prime di seberang sana.

"Maafkan ibu, lupa memberitahu kamu. Mobil ibu sedang di bengkel, tiba-tiba mogok tadi," jawab Terry tenang.

Ares memijat kepala. "Sekarang ibu di mana? Biar aku jemput."

"Morning cafe, Prime sedang bermain bersama Rira."

"Baiklah, tunggu aku di sana."

Mobil hitam Ares segera meluncur. Jarak dari rumah ke morning cafe cukup jauh. Jari telunjuk panjang papa tampan menekan tombol audio nyalakan musik. Jenuh dan sepi dalam mobil hilang, sesekali Ares ikut bernyanyi saat ia hapal dengan lirik lagu tersebut.

Hujan turun semakin deras, Ares mendesah menyibak rambut ke belakang dan tetap fokus mengemudi. Musik rock n roll terus menemani. Kepala Ares tak luput ikut manggut-manggut bergerak seirama. Sampai depan cafe hujan tak juga reda. Mobil Ares telah parkir rapi, papa tampan sedikit berlari masuk ke dalam cafe sampai dalam manik hitam papa tampan mengedar mencari sosok sang Ibu.

Satu tangan cantik terangkat menyapa dari meja tak jauh di depannya. Ares kembali melangkah mendekat, "Mana putraku?" tanya papa tampan begitu sampai depan sang ibu.

"Di atas sedang main," jawab Terry santai.

Menggeser satu bangku untuk sang Putra duduk. "Mau kopi atau sesuatu?"

"Espresso," jawab Ares singkat.

Terry memanggil waiters memesan keinginan sang putra serta sandwich. "Ganjal perutmu, jika tidak ingin masuk angin."

Manik hitam wanita paruh baya itu memperhatikan kondisi sang Putra, baju basah pada pundak serta ujung celana.

Pesanan Ares datang, wangi harum cairan pekat menggoda tangan Ares segera meraih kuping cangkir. Papa tampan menyesap kopi panas dengan mata terpejam.

"Ah," desah nikmat meluncur saat Ares membuka mata. Manik hitam Ares menatap jendela luar cafe. Tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti.

"Ibu sudah beritahu supir ibu kalau aku jemput?" seketika sang Ibu menutup mulut.

Wanita paruh baya itu lupa. Meraih ponsel di atas meja, jari lentik Terry mengetik lincah di sana. Menekan tombol send, menaruh lagi ponsel di atas meja.

"Kalau ibu tidak salah lihat, kamu tampak sumringah. Ada sesuatu?" Terry menelisik wajah sang Putra, tampak lain dari biasanya.

"Apa sangat terlihat?" Papa muda bertanya balik. 

Kepala Terry terangguk sekali, salah satu tangan kurusnya menopang dagu di atas meja. "Kamu menang tender lagi?" tebak Terry, maniknya tak lepas dari wajah tampan sang Putra.

Ares menggeleng samar. "Kali ini beda. Aku sangat tertarik," kalimat ambigu Ares membuat dahi sang Ibu mengernyit tak mengerti.

Manik mereka bertemu tiga detik berikutnya Ares mengirim sinyal menggelitik pada Terry. Kepala pria penuh kharisma itu tertunduk, mengulum senyum malu-malu.

Oh, menggemaskan.

Terry mendengus kecil, menikmati cairan teh sudah dingin lalu bersandar pada kursi.

"Siapa dia?"

Ares menyesap lagi sedikit kopi hangatnya. "Tidak tahu," angkat bahu acuh

Kenyataannya memang seperti itu dirinya belum sempat menanyakan nama gadis itu pada Scott saat menghubungi kemarin.

Jawaban polos sang Putra membuat Terry terkekeh ringan. Perut wanita paruh baya itu dibuat geli oleh pengakuan bodoh Ares. Ya Tuhan, mungkinkah Ares menyukai hal berbau halusinasi. Terry menggeleng samar lalu menghela napas santai. Lupakan sejenak pikiran konyol tentang putra bontotnya. Namun ia masih tak bisa berhenti tertawa dan hal tersebut membuat Ares memasang wajah muram, sangat sebal.

"Berhenti mengejek."

Kalimat peringatan pelan dari Ares tak langsung ditanggapi Terry.

Terry melipat bibir, menutup dengan tiga jari kurus menempelpada bibir sendiri. "Baiklah," kata wanita paruh baya itu lalu berdeham.

"Jadi?" satu kata dari Terry merujuk pada kepastian.

Papa tampan menatap sang Ibu penuh arti. "Tunggu saja kabar baik dariku."

Jari tangan Ares mengetuk-ngetuk meja kayu. Memperhatikan ruang cafe tidak banyak berubah, hanya sedikit tambahan ada dua pot besar di dalam ruangan serta pajangan menempel pada dinding pemanis suasana.

Selebihnya tak ada yang bicara. Rira turun dengan Prime merengek gelisah ingin tidur. Si Tampan kecil beralih ke dalam pelukan Ares kemudian memberi usapan lembut juga menepuk ringan pada punggung anak laki-lakinya, Ares coba menenangkan. Tak berhasil, Prime semakin merengek juga menangis kencang.

"Sayang," suara sang nenek memanggil. Prime langsung mengulurkan tangan pada Terry.

Rira sang Baby sitter membuat susu. Beruntung air panas dalam termos mini masih ada.

"Berikan padaku," Terry meminta Prime dari dekapan Ares. "Ssstttt ... tenang sayang tunggu ya!" bisik sang Nenek pelan.

Papa tampan melihatnya, kasih sayang serta perlakuan lembut seorang ibu memang sangat berbeda. Manik hitam Ares terus memperhatikan. Bagaimana cara ampuh Terry menenangkan buah hati. Yah, hati Ares mulai terusik. Membenarkan pernyataan sang Ibu kala dulu memintanya untuk segera menikah. Jikalau dihitung mungkin sudah ada puluhan gadis dari rekan dekat Terry dikenalkan pada Ares.

Ares merasa terlalu jengah memikirkan ataupun berdekatan hal berbau cinta.  Malas. Tidak minat. Jauh-jauh. Selepas Ares dan sang Ibu pulang dari suatu tempat, baik pesta maupun acara khusus makan malam. Papa tampan harus menyumpal telinga dari pertanyaan yang sama berkali-kali. Semisal: Bagaimana kamu tertarik? Atau Dia cantik kamu tampan, kalian cocok.

Ares sama sekali tidak menanggapi yang perlu ia lakukan saat itu terjadi adalah fokus mengemudi, mengantar Terry sampai rumah, kemudian bergegas pulang masuk kamar dan tidur. Hal tersebut cukup membuat sang Ibu berang, kelakuan putra kesayangan sangat menyebalkan.

Tapi semenjak kejadian di depan kamar mandi malam itu. Sekarang semua keadaan berbalik, bahkan Ares sendiri mencari langsung informasi tentang si Gadis. Ares sempat merasa bingung pada diri sendiri. Apa ini yang disebut ketertarikan atau hanya sekadar penasaran dan akan segera berlalu?! Entahlah ia sendiri bingung dengan hatinya.

Setiap detik jam berjalan papa tampan terbilang tidak sabar menanti pergantian hari. Terlebih saat kemarin malam Ares mendapat kabar baik dari sahabat dekatnya. Secara tiba-tiba Ares menyungging senyum menawan membuat sang Ibu yang sedang menggendong dan memberi susu pada Prime menatap aneh.

"Kau sehat?"

Lontaran kalimat jenaka sang Ibu membuat Ares tersadar dari lamunan panjang. Papa tampan berdeham, angkat bahu acuh.

"Lebih baik kita pulang anakku terlihat lelah," tutur Ares melirik pada Prime hampir tertidur pada pangkuan sang Ibu.

Terry setuju. Angkat bokong dari sana dengan hati-hati. Takut membangunkan sang Cucu. Rira bertugas merapikan bawaan mereka. Yah, seperti itu repotnya menjadi orang tua saat berpergian bersama bayi, keperluan mereka memang lebih banyak.

Ares memanggil waiters meminta bill tagihan. Selesai urusan administrasi, ia menyuruh sang Ibu dan baby sitter menunggu. Ares ingat sepertinya dalam mobil ada payung, ambil benda tersebut lalu menjemput sang ibu dan Rira secara bergantian. Papa tampan tidak pernah sombong ataupun egois terhadap para pegawainya. Ares justru menjaga hubungan baik dengan mereka, terkecuali pada mereka yang melewati batas dan Ares tidak segan untuk bertindak tegas.

Hitam sexy meluncur menerobos hujan deras. Ares dituntut fokus tiga kali lipat, mengingat jarak arah pandang tampak samar akibat embun pada kaca serta air hujan.

"Dia langsung pulas," Ares melirik Prime.

Tangan papa muda terulur menyentuh tombol AC mengurangi frekuensi dingin dalam mobil.

"Sepertinya hujan ini akan lama," ujar Terry mengintip langit dari dalam mobil.

Mulut Ares hampir terbuka menjawab sang Ibu. Manik papa tampan melihat siluet seorang gadis duduk sendiri depan toko tertutup sedang menutup wajah mengganggu konsentrasi miliknya.

Mobil Ares berhenti. Menepi jalan irisnya terus menyorot ke arah gadis di seberang sana ingin memastikan. Belum juga mendapat jawaban dari rasa penasarannya satu mobil sport berhenti. Seorang lelaki keluar, terlihat seperti marah besar berjalan mendekat pada gadis di sana.

"Ares," panggilan sang Ibu diabaikan begitu saja.

"Kamu kenal kenal gadis itu?"

Hati Ares berdebar kencang. Saat si gadis membuka telapak tangan dari wajah lalu angkat kepala menatap lelaki berdiri di depannya. Walau samar Ares masih bisa mengenali. Yah, dia gadis malam itu.

Detik berikutnya rahang Ares dibuat mengetat, lelaki itu menarik si Gadis dalam dekapan. Tak sampai di sana, ruang dada Ares tiba-tiba panas melihat lelaki tersebut menarik koper dan tangan gadis itu lantas membawanya masuk ke dalam mobil kemudian berlalu dari sana.

"Ares,"

Pegangan Ares pada kemudi menguat. Manik hitam Ares terus mengikuti arah mobil itu menghilang.

"Shit," maki Ares membuat Terry mengelus dada lalu beralih menatap pada cucu kesayangan.

"Kamu gila mengumpat keras depan anakmu!"

Sesaat Terry menyembur kesal, tapi juga sangat penasaran. "Kamu kenal gadis itu?"

"Hn," balasan singkat padat Ares sebelum masukan gigi, meluncur dari sana.

Jawaban ambigu itu membuat Terry mendesis sebal. Ini pertama kali dirinya melihat Ares dibuat marah karena seorang gadis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status