Share

bab 4

Bab 4

🍁 Panas Membara

"Diam!! Selama ini aku sudah cukup diam dengan perlakuan kalian yang selalu saja bersikap semena-mena terhadap istriku. Tapi itu bukan berarti kalian bisa semakin berbuat kurang ajar pada Rindu. Dia istriku, kakak ipar kalian. Apa tidak bisa kalian sedikit saja menghargai dan menghormatinya?" bentak Mas Samsul sudah sangat emosi.

Baru kali ini aku melihatnya semarah itu. Kilatan matanya sarat akan kebencian dan juga amarah. Semua orang mendadak diam, begitu juga dengan kedua mertuaku.

"Emak, Bapak. Selama ini aku sudah selalu mangalah pada kalian, apa masih kurang? Sikap pilih kasih kalian padaku, selalu aku terima dengan lapang dada. Kalian memperlakukan istriku dengan semena-mena pun aku masih mencoba untuk diam. Rindu selalu mengajarkan aku untuk sabar menghadapi kalian, itu karena istriku percaya jika suatu saat kalian pasti akan berubah. Tapi nyatanya, kelakuan kalian malah semakin menjadi."

Kini Mas Samsul beralih menatap ke arah kedua orang tuanya. Aku tak kuasa menahan air mata yang tiba-tiba saja menetes, aku terharu Mas Samsul membelaku sampai seperti itu. Bahkan, aku lihat sekarang pun pelupuk matanya sudah menggenang air mata. Hanya butuh satu kedipan saja untuk air mata itu jatuh membasahi wajah hitamnya.

"Nggak ingatkah kalian, saat kalian kesusahan. Siapa yang selalu ada, mengulurkan tangan untuk menolong kalian. Tak ingatkah, fitnah keji yang kalian sebarkan tentang istriku hingga dia dibenci seluruh warga di sini bahkan hingga sampai ke desa-desa tetangga. Bahkan, orang-orang yang tidak mengenal istriku pun turut menbencinya itu karena mulut busuk kalian.

"Apa masih kurang kalian menghancurkan nama baiknya? Mau kalian hancurkan seperti apa lagi dia?Soal warisan aku sama sekali tak butuh, berikan saja pada mereka yang lebih membutuhkan dari pada aku. Biar mereka puas!" ucap suamiku panjang lebar dengan berderai air mata.

"Mas ...."

Aku bisa merasakan betapa sakit perasaannya, hatinya, dan juga harga dirinya. Aku berjalan mendekatinya, mengelus punggungnya dan menggenggam tangan kekarnya. Tangan yang selama ini digunakan untuk mencari nafkah. Tangan yang selama ini digunakan untuk mengasihi dan menolong mereka dikala susah.

Mas Samsul menarikku keluar dari rumah orang tuanya, kami pun langsung pulang menggunakan motor butut yang sudah empat tahun menemani hari-hari kami.

Sepanjang jalan aku dan Mas Samsul sama-sama terdiam, air mata ini semakin deras mengalir. Entah sudah berapa banyak luka yang kami rasakan selama ini. Setiap kali luka itu hendak kering, pasti selalu saja mereka kembali menorehkan luka yang baru. Seakan-akan tak pernah bisa membiarkan hidupku dan Mas Samsul tenang dan bahagia.

***

Sesampainya di rumah, Mas Samsul masih diam membisu. Ia memilih duduk nenyendiri di pojokan teras rumah kami. Aku lihat ia terus merenung dengan tatapan menerawang memandang ke arah langit yang sudah mulai menggelap. Sengaja aku biarkan untuk sejenak, karena aku tahu ia butuh waktu sendiri dulu.

Tak lama, suara adzan maghrib pun berkumandang. Aku lihat ia kembali masuk ke rumah dan langsung berjalan menuju kamar mandi. Setelah itu, ia mengambil sajadah dan jug peci, lalu menghamparkannya menghadap arah kiblat.

Dulu aku mengenal Mas Samsul bukanlah orang yang suka beribadah. Bahkan, bacaan-bacaan shalat pun ia tak tahu, hanya bismillah, takbir dan alfatihah saja. Selebihnya, ia mengaku tidak bisa. Shalat jum'at pun tidak jarang ia lakukan, alasannya malu karena tidak hafal doanya. Padahal, ia shalat pasti berjama'ah, ia pun sama sekali tidak bisa membaca al-Qur'an.

Namun, seiring waktu berjalan, aku menyuruhnya untuk belajar dari nol. Ia benar-benar menurutinya secara bertahap, awal-awal ia diperkenalkan dengan huruf hijaiyah, lalu lanjut iqro, juz amma, dan lalu naik lagi ke al-Qur'an. Alhamdulilah lama kelamaan akhirnya ia bisa juga.

Khusus hari ini kami melaksanakan shalat masing-masing.

Selesai aku menunaikan shalat maghrib, aku berniat untuk menyiapkan makan malam untuk kami berdua. Namun, sampai aku selesai pun Mas Samsul belum juga menyusulku ke ruang makan. Aku pun memutuskan untuk menyusulnya ke ruang shalat. Ternyata ia masih ada di sana, terlihat kedua telapak tangannya menengadah ke atas, punggungnya juga tampak bergetar.

'Apa suamiku kembali menangis?' tanyaku dalam hati.

Konon katanya dari yang pernah aku dengar, jika seorang laki-laki sampai mengeluarkan air mata bahkan sampai sesenggukan. Itu artinya hati dan perasaannya terluka sangat dalam. Lantas, sedalam apakah luka batin yang tengah dirasakan oleh suamiku itu. Kenapa suara isakannya hingga sepilu itu, aku yang mendengarnya saja dapat merasakan terbawa suasana melow.

"Ya Allah, hamba tau semua yang terjadi dalam hidup hamba sudah menjadi ketetapanmu. Tapi apakah harus sampai sesakit ini? Sejak kecil, orang tuaku selalu memukuli aku. Namun aku tidak pernah dendam padanya. Segala perlakuan buruk mereka padaku selalu aku balas dengan kasih sayang. Lantas, mengapa mereka tak juga kunjung berubah. Demi Allah ini bukanlah perkara harta warisan yang mereka berikan sangat tidak adil, hanya saja perlakuan yang selalu memperlakukan istri hamba dengan semena-mena membuat hamba tidak tahan lagi. Maafkan hamba, bukan hamba bermaksud untuk durhaka pada mereka, tetapi hati hamba sudah terlalu sakit," ucap Mas Samsul di sela-sela isak tangisnya.

"Mas ...." panggilku yang langsung menghambur memeluknya. Kami pun menangis bersama.

"Dek, maafkan orang tuaku, ya. Atas nama mereka mas meminta maaf yang sebesar-besarnya," ujar Mas Samsul sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. Aku jadi semakin terisak melihat betapa hancurnya dia saat ini.

"Mas ... Jangan bicara seperti itu. Orang tuamu adalah orang tuaku juga, jangan biarkan rasa dendam tumbuh di hati kamu. Aku harap kita bisa selalu sabar dalam menghadapi mereka. Bagaimana pun juga, tanpa mereka kamu tidak akan pernah ada di dunia ini."

"Terima kasih banyak, Dek. Mas sungguh malu padamu, hatimu begitu tulus tapi entah kenapa mereka tidak bisa melihat ketulusanmu dan selalu saja berbuat tidak baik padamu."

Aku menggenggam tangannya erat, sangat erat untuk memberikan kekuatan dan juga dukungan padanya. Aku tidak mau kalau sampai ia semakin terpuruk dan terus-terusan merasa bersalah padaku.

Tok! Tok! Tok!

Terdengar suara pintu depan rumah kami diketuk, aku dan Mas Samsul pun buru-buru menyeka air mata kami masing-masing. Tak enak rasanya bila ada orang lain tahu kami habis menangis bersama, nanti dikira habis ribut.

"Mas, aku buka pintu dulu sebentar, ya. Mas Samsul langsung ke meja makan saja, nanti aku nyusul," ucapku.

"Baiklah, Dek. Mas mau ganti sarung dulu sebentar," ujarnya yang langsung diangguki olehku.

Aku melangkah sedikit tergesa menuju pintu ruang tamu, takut sang tamu menunggu terlalu lama.

Ceklek!

Begitu pintu berhasil kubuka, tampaklah wajah seseorang yang sungguh aku sedang tidak ingin melihatnya. Terlihat guratan amarah di wajahnya, sorot matanya begitu bengis menatap ke arahku seakan-akan siap untuk m3ngul1tiku.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat mulus di pipi kananku, rasanya sungguh panas dan perih. Aku hanya mampu meringis menahan sakit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status