Share

bab 5

Bab 5

🍁 Pov. Samsul

Aku yang baru saja keluar dari kamar setelah mengganti sarung melihat Mamak menampar Rindu. Aku pun bergegas menghampiri mereka.

"Ma, apa yang mamak lakukan pada istriku? Kenapa mamak menamparnya?" tanyaku pada Mamak yang terlihat sangat emosi, napasnya pun tampak menggebu dengan punggung yang naik turun.

"Istrimu ini memang lantas ditampar, Samsul! Gara-gara dia kamu menjadi anak durhaka pada orang tua. Ajaran sesat apa yang sudah dia ajarkan padamu, hah?!" bentak Mamak dengan kilatan amarah yang terpancar dari kedua mata tuanya. Aku sampai bergidik melihatnya.

"Rindu tidak pernah mengajari hal buruk apapun padaku, Ma. Justru dia yang selalu mengingatkan aku agar tak menaruh dendam pada kalian atas perlakuan kalian selama ini. Jangan lupa, Ma, Rindu lah orang yang telah berhasil membujukku untuk pulang ke desa ini setelah dua tahun aku menjauhkan diri dari kalian karena sikap kalian terlalu membuatku sakit hati. Mama pasti tidak lupa bukan, bagaimana mama memohon pada Rindu agar aku kembali pulang dan meminta kami untuk tinggal di sini," sentakku yang terlanjur terpancing emosi.

"Oh, bagus kamu sekarang ya, Samsul. Kamu bela terus istri tidak berguna dan mandulmu ini. Jangan kamu juga lupa, Sam. Dia itu hanya orang lain yang secara kebetulan kamu nikahi, kalau orang tua dan saudara itu akan selama tetap menjadi keluarga. Karena di dalam darahmu juga mengalir darah kami. Camkan itu!"

Setelah mengatakan itu, mamak pergi begitu saja tanpa permisi. Rupanya ia datang bersama Aulia yang aku lihat hanya duduk di atas motor sambil menonton pertengkaran kami, sempat aku lihat ia tersenyum mengejek ke arahku. Benar-benar adik ipar tak tahu diri.

"Dek, kamu nggak papa?" tanyaku pada Rindu yang sejak tadi terus memegangi pipi kanannya.

"Aku nggak papa, Mas. Kamu yang sabar, ya. Mungkin mama hanya sedang emosi atas kejadian di rumahnya tadi sore," ujar Rindu menenangkan aku, padahal seharusnya aku lah yang melakukan itu padanya.

Aku melepas tangan Rindu dari pipinya, aku benar-benar kaget dibuatnya karena tenyata di pipinya tergambar cap lima jari yang artinya mamaku menamparnya dengan sangat keras.

"Astaghfirullah, Dek! Pipimu merah sekali, ini pasti sakit 'kan. Kamu duduk dulu, biar mas ambilkan es batu dan juga kain untuk mengompres pipimu itu," ujarku yang langsung berlari ke dapur tanpa menunggu jawaban dari istriku.

Setelah mendapatkan apa yang aku butuhkan, dengan secepat kilat aku kembali ke ruang tamu. Dengan perlahan aku mulai mengompres pipi istriku, terdengar desisan lirih yang keluar dari bibir tipisnya. Pasti ia sedang menahan sakit saat ini.

"Kenapa kamu tadi nggak berusaha menghindar saja sih, Dek waktu mamak mau nampar kamu?" tanyaku penasaran.

"Nggak sempat, Mas. Kejadiannya sangat tiba-tiba, aku juga nggak nyangka kalau mama bakalan nampar aku. Kalau tahu, sudah pasti aku akan menghindarinya lebih dulu," jawabnya sambil sesekali meringis kesakitan.

"Maafin mamak ya, Dek. Mamak memang sudah benar-benar keterlaluan!" ucapku kembali hendak terpancing emosi.

"Nggak papa, Mas. Toh orangnya juga sekarang sudah pulang 'kan, jadi nggak usah dibahas terus. Nanti yang ada kamu malah tambah emosi lagi."

Masya Allah, lihatlah betapa lembut hati istriku ini. Bagaimana aku tidak akan jatuh cinta berkali-kali padanya kalau hatinya selembut sutra dan seputih susu.

Aku jadi tiba-tiba teringat akan kisah masa kecilku sendiri. Bagaimana aku sering mendapat pukulan oleh bapak dan juga mamak, bahkan hal kecil sekali pun mampu membuat amarah mereka meledak-ledak hingga berakhir dengan gagang sapu yang patah karena dipakai untuk memukul punggungku saat itu

Dulu, saat aku masih kecilku. Adikku baru satu yaitu Joko, setiap hari aku harus selalu mengalah untuknya dalam segala hal. Baik itu makanan, mainan, uang jajan, pendidikan, pakaian, terutama kasih sayang.

Pernah waktu itu mamak membelikan kami nasi pecel. Aku yang memang sudah sangat kelaparan karena sejak pulang sekolah belum makan apa-apa malah diperintahkan mencari kayu bakar di hutan. Pulang-pulang aku hendak menyantap makanan yang merupakan menu favoritku itu. Namun, baru saja aku membuka bungkusan pecal itu dan langsung direbut oleh Joko. Mamak pun memberikanku lagi satu bungkus lainnya, jadi masing-masing kami makan satu bungkus.

Baru juga dua suap yang masuk ke mulutku, tiba-tiba Joko menaburkan kasir ke atas makananku itu yang mana itu merupakan makanan kami satu-satunya karena sudah tidak ada lagi. Joko sama sekali tidak merasa bersalah malah justru bertepuk tangan kesenangan melihatku. Jelas saja aku marah, posisi perut sangat lapar, baru makan sudah diperlakukan seperti itu.

"Joko! Kamu jangan kurang ajar begitu, dong! Ini itu makanan, lho aku masih lapar dan masih ingin memakannya!" bentakku secara reflek padanya.

Joko langsung menangis kencang dan mengadu yang tidak-tidak pada bapak. Bapak pun murka dan langsung memukuli aku menggunakan gagang sapu hingga patah menjadi dua. Mamak yang melihat kejadian itu hanya diam tak berusaha mencegah apalagi menolongku.

Aku menangis sambil menahan sakit dan meminta ampun. Namun, telinga bapak seakan tuli, ia rupanya masih tidak puas dan malah berganti menendangi punggungku. Aku yang meringkuk di atas lantai berusaha melindungi kepalaku dengan nenggunakan dua tangan kecilku. Setelah melihat aku tidak berdaya, barulah bapak meninggalkan aku dan pergi sambil menggendong Joko dan mengelusnya penuh kasih. Aku sungguh iri melihatnya.

Mamak datang menghampiri tubuhku yang sudah babak belur. Aku pikir ia akan menolongku tapi nyatanya dia hanya menyuruhku untuk pindah ke kamar, katanya gak enak kalau ada orang yang datang untuk mengurut. Selain sebagai petani, bapakku juga membuka jasa urut pijat capek dan pegal.

"Cepat sana kamu masuk ke kamar, Sam! Nggak enak dilihat kalau nanti ada pasien bapakmu yang mau datang mengurut badan!" titah Mamakku tanpa perasaan.

Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menuruti perintahnya. Dengan terseok-seok aku berjalan masuk ke ruangan sempit yang kami sebut kamar. Di sana aku kembali menangis sejadi-jadinya sampai aku kelelahan dan tertidur.

Keesokan harinya, tubuhku demam tinggi dan sekujur badan rasanya remuk. Bapak seakan tak peduli dan malah membangunkan aku dengan menyiramkan segayung air dingin. Tentu saja aku langsung gelagapan dan bangun seketika.

Tak ada air hangat untukku mandi, berbeda dengan adikku Joko. Padahal, udara di kampung ini begitu dingin menusuk tulang. Aku memaksakan mandi menggunakan air dingin. Tubuh kecilku menggigil kedinginan, aku berganti pakaian menggunakan seragam merah putih. Kulihat mamak tengah menyuapi Joko menggunakan telur dadar, air liurku hampir menetes kala melihatnya.

"Cepat makan dan jangan manja, Sam. Nasimu sudah mamak taruh di atas meja, ambil dan habiskan!" titahnya.

Dengan sedikit bersemangat aku berjalan menuju meja makan usang yang berada di dapur di samping tungku. Begitu aku buka tudung saji, hanya ada nasi putih dan minyak jelantah bekas menggoreng ikan asin. Mataku seketika menyendu. Aku bawa sepiring nasi yang sudah aku beri jelantah ikan asin itu mendekati mamak.

"Mak, apa nggak ada telur dadar juga untukku?" tanyaku sedikit takut.

"Makan saja apa yang ada, Sam. Kamu haru ngalah sama adikmu, dia 'kan masih kecil. Jangan lupa, setelah makan kamu jual dulu gula merah ke warung Mbok Jum untuk uang saku kalian. Sisanya mau mamak belikan kaus kaki Joko!" ucapnya memberi perintah.

Aku pun makan dalam diam sambil membayangkan jika saat ini aku tengah makan berlaukkan telur dadar sama seperti Joko.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status