Share

Dipersalahkan

Penulis: AgilRizkiani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-21 00:28:06

Langit pagi masih kelabu saat Kania membuka matanya perlahan. Aroma antiseptik, bunyi pelan mesin infus, dan dinginnya udara kamar rumah sakit menyambutnya seperti tamparan realita.

Namun rasa nyeri di tubuhnya tidak ada apa-apanya dibandingkan luka yang menganga di dadanya.

Tubuhnya belum bisa banyak bergerak, tapi telinganya tajam menangkap suara-suara dari balik pintu. Ia tak sengaja menjadi saksi dari gunjingan yang selama ini mungkin hanya dibisikkan di belakangnya—dan kini diucapkan tanpa malu, di luar kamar tempat ia terbaring kehilangan.

“Sudah tahu kandungan lemah, masih saja keras kepala. Gagal jaga anak sendiri. Pantes saja Rafa makin malas pulang.”

Suara mertuanya, dingin dan tanpa empati. Setiap kata seolah mengiris kulit Kania pelan-pelan.

“Dari awal aku udah bilang, Kania itu emosinya nggak stabil. Terlalu banyak drama. Mana bisa dia jadi ibu?”

Ibunya. Suara yang dulu ia kenal sebagai pelindung, kini hanya jadi silet yang membelah dadanya.

“Kalau nggak sanggup, mending kasih aja ke Siska. Percuma dipertahankan kalau hasilnya cuma aib begini.”

Kakak perempuannya menambahkan, lalu terdengar suara cekikikan kecil—luka yang ditertawakan.

“Rafa masih muda, masih bisa cari yang lebih layak. Kania itu beban. Anak pun nggak bisa dijaga, apalagi hati suami.”

“Untung belum sempat lahiran. Kalau nggak, anaknya pun mungkin nggak bahagia punya ibu kayak dia.”

Kania menahan napas. Matanya panas. Tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tapi karena kepedihan yang sudah tak bisa ditahan lagi. Ia merasa seperti mayat hidup, dihina saat masih bernapas, dikutuk sebelum sempat membela diri.

Pintu kamar berderit. Rafasya masuk dengan langkah santai, mengenakan kemeja hitam tanpa ekspresi seperti biasa.

Ia menatap Kania sejenak.

“Gimana perasaanmu?” tanyanya singkat, datar, seolah yang terjadi hanyalah demam biasa.

Kania menatap pria itu dalam-dalam. Perih di matanya tak lagi bisa ia sembunyikan. Hancur. Terluka. Terbuang.

“Aku mau cerai, Rafa.”

Rafasya terdiam. Hanya diam. Matanya tetap kosong. Tak ada kejutan. Tak ada penolakan.

“Aku serius,” kata Kania lagi, lebih pelan tapi tegas. “Aku nggak bisa hidup kayak gini lagi.”

Ia menunggu. Berharap sedikit saja reaksi. Kata “jangan”. Kata “kenapa”. Namun, yang ia dapatkan hanya ....

“Kamu baru sadar dari pingsan. Jangan ngomong yang aneh-aneh.”

Satu kalimat. Dingin. Mati rasa.

Lalu ia duduk sebentar, menunduk, sebelum pergi lagi. Tidak satu pun kata meminta maaf. Tidak satu pun tatapan peduli.

Setelah pintu menutup kembali, Kania menatap langit-langit kamar. Pandangannya kabur oleh air mata yang tak sanggup ia bendung.

Dengan tangan gemetar, ia mengambil ponsel.

“Nad, aku butuh bantuan. Tolong bikinin surat cerai. Hari ini juga.”

Tak sampai satu jam, Nadira datang. Matanya merah, menggenggam amplop berisi dokumen dengan tangan gemetar. Ia ingin bicara, tapi Kania hanya menggeleng pelan.

“Jangan bilang siapa-siapa. Aku cuma pengen tenang.”

Malam itu, Kania meninggalkan segalanya … demi menjaga sisa harga dirinya.

Udara malam menampar kulitnya saat Kania berjalan tertatih keluar dari pintu belakang rumah sakit, mengenakan jaket gelap dan masker medis. Rasa sakit di perutnya masih terasa, tubuhnya belum benar-benar pulih. Tapi hatinya lebih sakit daripada luka fisik manapun. Ia tak sanggup lagi tinggal sedetik pun di tempat yang membuatnya merasa lebih seperti pasien jiwa daripada pasien medis.

Nadira, sahabatnya sekaligus dokter di rumah sakit itu, sudah menunggu di area parkir belakang. Di dalam bagasi mobilnya, tersimpan koper kecil berisi pakaian, dompet, dan dokumen yang tadi diminta Kania—termasuk surat cerai yang sudah rapi bertandatangan.

"Nad maafin aku. Aku tahu ini bisa bikin kamu kena masalah, tapi aku nggak punya siapa-siapa lagi,” suara Kania lirih, nyaris tak terdengar, tapi Nadira hanya mengangguk—mata sahabat itu berkaca-kaca.

“Jaga dirimu, ya. Kamu jauh lebih kuat dari yang kamu kira,” bisik Nadira sebelum memeluknya cepat, lalu membiarkan Kania masuk ke mobil.

Begitu pintu tertutup, Kania duduk diam. Tangannya gemetar saat menggenggam kemudi. Ia menatap ke depan—kosong. Lalu, pecah sudah pertahanannya.

Tangisnya meluap dalam hening. Dada yang sesak seolah pecah. Ia menunduk, wajah tertutup kedua tangan, tubuhnya bergetar menahan isak. Semua luka yang selama ini ditumpuknya rapi akhirnya meledak.

Ia merasa seperti pecundang. Ia merasa gagal. Tapi yang paling menyakitkan adalah menyadari bahwa tak ada satu pun dari mereka—ibu, suami, keluarga besar—yang benar-benar peduli apakah ia hidup atau mati.

Perjodohan ini bukan pernikahan. Ini adalah transaksi dingin antara dua keluarga yang menjual anak mereka demi status sosial.

"Aku bodoh," bisiknya. "Bodoh karena percaya cinta bisa tumbuh dari paksaan. Bodoh karena tetap bertahan meski terus disakiti. Bodoh karena berharap."

Malam makin larut. Jalanan kota semakin lengang. Kania menyetir tanpa arah, air mata masih membasahi wajahnya. Lampu-lampu jalan menyala sayu, seperti ikut berduka atas luka yang ia bawa.

Entah berapa lama ia berkendara, hingga akhirnya ia berhenti di satu tempat yang selama ini menjadi pelariannya pemakaman ayahnya.

Ia turun dari mobil dengan langkah pelan. Angin malam menyapu wajahnya, dingin menembus hingga ke tulang. Tapi justru tempat ini yang membuatnya merasa hangat.

Di antara barisan batu nisan, Kania berjalan menuju satu nama yang tak pernah ia lupakan. Nisan ayahnya. Satu-satunya orang yang dulu selalu menggenggam tangannya saat dunia mulai melepaskan.

Ia berlutut. Tangannya menyentuh nisan dingin itu, lama. Lalu ia mulai berbicara dalam isak yang nyaris tak terdengar.

"Ayah kenapa aku selalu salah di mata mereka? Bahkan saat aku terluka mereka tetap menyalahkanku. Katanya aku tak bisa jaga kandungan. Katanya aku bikin malu keluarga. Padahal aku cuma berusaha bertahan, Yah."

Air mata mengalir tanpa henti. Lelah. Hancur. Kosong.

"Ibu ... Ibu lebih percaya kak Siska. Seolah aku ini cuma bayangan di rumah itu. Bahkan saat aku berdarah, mereka sibuk bicara aib. Bukan aku. Bukan bayiku. Tapi nama baik keluarga. Apa aku segitu tak berharganya?"

Ia memeluk lutut, membenamkan wajah di sana. Hujan mulai turun, rintik tipis yang menambah dingin malam.

Ia bangkit perlahan, menatap nisan ayahnya dengan mata sembab tapi bersinar oleh tekad yang baru.

Malam itu, Kania tidak hanya kabur dari rumah sakit.

Ia kabur dari kehidupan yang nyaris membunuh jiwanya. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia melangkah bukan karena disuruh. Tapi karena ia memilih untuk hidup.

***

Sinar matahari masuk melalui tirai yang sedikit terbuka.

Rafasya masuk, membawa kantong plastik berisi buah. Wajahnya masih datar, seolah tidak ada badai yang semalam menerjang.

Ia memanggil pelan, “Kania?”

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan.

Langkahnya mendekat ke ranjang—kosong. Dan di sanalah, ia melihatnya.

Sepotong kertas. Surat cerai. Sudah ditandatangani. Ditulis dengan tangan yang barangkali masih gemetar karena sakit dan amarah.

Rafasya menatapnya lama. Lama sekali.

Tak ada emosi yang tampak di wajahnya.

Namun, jemarinya meremas surat itu sedikit lebih kuat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istana Yang Ternoda   Cemburu?

    Rafasya mengejar Kania sampai ke pintu depan. Napasnya sedikit memburu, tapi ia tetap memaksa suaranya terdengar tegas."Aku antar, Kania!"Tangannya dengan cepat menggenggam tangan Kania, tapi hanya sekejap sebelum wanita itu melepaskannya dengan gerakan tegas.Kania tersenyum, getir. Senyum yang bukan lagi manis seperti dulu, tapi penuh luka dan ketegaran."Selama tujuh tahun, Rafa .…" suaranya nyaris berbisik, tapi cukup jelas untuk memukul hati lelaki itu, "Kamu bahkan tidak pernah mau mengantarku, bahkan ketika aku memohon. Jadi sekarang kenapa? Untuk menarik simpatiku? Untuk menebus semuanya dalam satu pagi?"Rafasya terdiam. Kalimat Kania seperti pisau tumpul yang dipaksakan masuk ke dadanya, perlahan, menyakitkan."Tidak perlu, Rafa. Bukankah kamu sendiri yang bilang, jadi perempuan itu harus mandiri dan independen? Tidak perlu merepotkan suami?"Sekali lagi, Rafasya dipaksa menelan ludahnya sendiri—kalimat yang dulu ia ucapkan dengan sombong kini kembali padanya sebagai hanta

  • Istana Yang Ternoda   Perubahan Kania

    Kania baru saja keluar dari kamar mandi. Embun hangat masih menempel di kulitnya yang lembab, handuk putih menggantung longgar di bahunya. Ruangan itu, kamar yang selama ini menjadi tempat ternyaman baginya, masih sama—seolah waktu tak pernah bergerak sejak dua bulan lalu ia meninggalkannya. Tak ada debu, tak ada kekacauan. Kania memang mencintai keteraturan, bahkan di tengah kekacauan batin yang pernah ia alami.Tangannya mengusap pelan helaian rambut basah, lalu duduk di depan meja rias. Wajahnya menatap balik dari cermin—sorot mata yang dulu penuh harap kini hanya menyisakan kebekuan. Tujuh tahun. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar untuk dibodohi. Untuk menjadi boneka. Untuk menjalani hidup dengan topeng.Lalu terdengar suara langkah. Pintu kamar yang sedikit terbuka kini benar-benar terbuka. Rafasya berdiri di sana. Diam. Tak bersuara.Tak ada senyuman. Tak ada kata sapaan. Hanya tatapan mata yang penuh gelisah dari lelaki itu, sementara Kania tetap di tempatnya—diam, membisu,

  • Istana Yang Ternoda   Pilihan Rafasya

    Setelah perbincangan yang membakar luka-luka lama, Kania hanya menghela napas. Dalam. Ia membuka laci kecil dekat meja, mengeluarkan kunci rumah, lalu meletakkannya di telapak tangan Rafasya. Langit desa masih berkabut ketika ia keluar dari rumah, mengenakan jaket tipis dan menenteng tas kecil berisi beberapa dokumen dan pakaian. Di pelataran rumah, mobil Rafasya sudah menunggu. Ia membuka pintu belakang, hendak masuk, tapi tatapannya tiba-tiba jatuh pada satu benda di dalam mobil. Sebuah tas kecil. Penuh debu. Tapi ia tahu betul apa isinya. Dengan perlahan, ia duduk di jok, mengambilnya. Tangannya gemetar saat membuka resleting dan menemukan baju bayi mungil itu kembali. Warna putih dengan motif awan kecil. Masih wangi sabun. Dan di bawahnya terselip foto USG terakhir—yang dulu ia sembunyikan dari Rafasya karena kecewa, karena lelah berharap. Rafasya yang melihat dari samping tak sanggup membuka suara. Kania menatap barang-barang itu lama. Wajahnya datar. Hampa. Lalu ia mem

  • Istana Yang Ternoda   Semakin Menjadi

    Dua bulan telah berlalu. Dan selama itu pula, Rafasya hidup seperti bayangan—bergerak, bernapas, tetapi tanpa jiwa. Siang ia gunakan untuk bekerja, membenamkan diri dalam kesibukan yang tak lagi terasa berarti. Sedangkan malam ia habiskan untuk mencari. Menelusuri lorong-lorong kenangan yang ditinggalkan Kania. Mencari ke mana pun jejak itu mungkin tertinggal. Ia menghubungi semua teman Kania, menelusuri rumah sakit, toko langganannya, bahkan tempat-tempat yang paling sepele yang dulu sempat mereka datangi. Tapi hasilnya nihil. Ponsel Kania tetap mati. Tak ada jejak transaksi. Tak ada sinyal keberadaan. Seolah Kania benar-benar menghapus dirinya dari dunia Rafasya. Berulang kali ia mendatangi Nadira—sahabat Kania satu-satunya yang ia tahu bisa menjadi kunci. Tapi, Nadira tetap bungkam, atau tepatnya—terlalu marah untuk membuka suara. “Kalau kamu datang buat minta bantuan, kamu telat, Rafasya. Terlalu telat.” Dan yang paling menyakitkan adalah saat kembali ke rumah, ibunya—yang

  • Istana Yang Ternoda   Rencana Mereka

    Sudah tiga hari sejak Kania menghilang dari rumah sakit—tanpa suara, tanpa jejak, hanya meninggalkan secarik kertas kecil dengan tinta hitam yang mencabik diam, surat cerai. Tiga hari pula sejak Rafasya menemukannya di atas ranjang yang dingin dan kosong seperti hatinya. Kosong yang tak pernah ia sadari bisa terasa begitu menyiksa. Surat itu tak lebih dari selembar kertas tipis. Tapi saat Rafasya membacanya, rasanya seperti ada pisau yang perlahan-lahan mengiris dari dalam—bukan darah yang keluar, tapi penyesalan yang datangnya selalu terlambat. Dan selama tiga hari itu, Kania benar-benar lenyap. Tak ada pesan. Tak ada telepon. Tak ada kabar. Yang tersisa hanyalah bekas lekuk di bantal yang tak lagi hangat, dan aroma samar parfumnya yang mulai memudar di baju-baju yang masih tergantung seperti jiwanya yang sudah lama digantung dalam ketidakpedulian. Seperti biasa, Rafasya memakai topengnya. Ia tetap bekerja. Tetap menghadiri rapat. Tetap makan malam bersama ibunya yang terus berc

  • Istana Yang Ternoda   Dipersalahkan

    Langit pagi masih kelabu saat Kania membuka matanya perlahan. Aroma antiseptik, bunyi pelan mesin infus, dan dinginnya udara kamar rumah sakit menyambutnya seperti tamparan realita. Namun rasa nyeri di tubuhnya tidak ada apa-apanya dibandingkan luka yang menganga di dadanya. Tubuhnya belum bisa banyak bergerak, tapi telinganya tajam menangkap suara-suara dari balik pintu. Ia tak sengaja menjadi saksi dari gunjingan yang selama ini mungkin hanya dibisikkan di belakangnya—dan kini diucapkan tanpa malu, di luar kamar tempat ia terbaring kehilangan. “Sudah tahu kandungan lemah, masih saja keras kepala. Gagal jaga anak sendiri. Pantes saja Rafa makin malas pulang.” Suara mertuanya, dingin dan tanpa empati. Setiap kata seolah mengiris kulit Kania pelan-pelan. “Dari awal aku udah bilang, Kania itu emosinya nggak stabil. Terlalu banyak drama. Mana bisa dia jadi ibu?” Ibunya. Suara yang dulu ia kenal sebagai pelindung, kini hanya jadi silet yang membelah dadanya. “Kalau nggak sanggup, me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status