Beranda / Rumah Tangga / Istana Yang Ternoda / Terbelenggu Kepalsuan

Share

Istana Yang Ternoda
Istana Yang Ternoda
Penulis: AgilRizkiani

Terbelenggu Kepalsuan

Penulis: AgilRizkiani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-27 15:32:15

Kania duduk di sudut kamar, memandangi bayangan dirinya di cermin. Wajah yang dulu penuh harapan kini tampak lelah. Matanya yang dulu berbinar, kini hanya menyimpan kehampaan. Tujuh tahun menikah dengan Rafasya, ia telah melewati berbagai fase—dari bahagia, ragu, hingga tenggelam dalam ketidakpastian.

Rafasya bukanlah suami yang kasar secara fisik, tetapi sikap dinginnya jauh lebih menyiksa. Sejak awal, pernikahan mereka diatur oleh keluarga. Kania menerima keputusan itu dengan harapan cinta bisa tumbuh seiring waktu. Namun, semakin lama, ia merasa seperti tamu di rumahnya sendiri.

Dan kini, perasaannya semakin terkoyak. Kecurigaannya selama ini semakin menguat. Setiap kali ia mencoba berbicara, Rafasya selalu menghindar, sementara kakaknya, Siska, semakin sering berada di sisi suaminya dengan alasan yang sulit diterima.

"Kania, jangan terlalu banyak berpikir buruk. Rafasya itu suamimu, dan Siska adalah kakakmu. Kamu harus percaya pada mereka," ujar ibunya suatu hari ketika Kania mencoba mengutarakan keresahannya.

"Tapi, Bu ... aku merasa ada yang tidak beres. Sikap mereka terlalu dekat, terlalu akrab untuk ukuran saudara ipar."

"Jangan memalukan keluarga!" bentak ibunya tajam. "Rumah tangga itu harus dijaga, jangan sembarangan menuduh tanpa bukti!"

Air mata Kania jatuh, bukan hanya karena ketidakpercayaan ibunya, tetapi juga karena rasa sakit yang semakin menyesakkan dada. Ia tidak memiliki bukti kuat, tetapi nalurinya berteriak bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.

Malam itu, Kania tidak bisa tidur. Ia menatap ranjang sebelah biasanya suaminya Rafasya yang tidur membelakanginya, seperti biasa. Sejak awal pernikahan mereka. Keheningan kamar mereka terasa lebih menusuk daripada kata-kata kasar. Ia merasa sendirian dalam pernikahan ini.

Di luar kamar, suara lirih percakapan terdengar samar. Kania bangkit perlahan, membuka pintu tanpa suara.

Kania menahan napas, tubuhnya bergetar saat melihat Siska berdiri di depan pintu. Suara mereka terlalu pelan untuk bisa ditangkap jelas, tetapi kedekatan itu sudah cukup membuat hatinya mencelos.

Ia tak berani melangkah lebih jauh. Kakinya terasa lemas, seakan sadar bahwa kebenaran yang akan ia hadapi jauh lebih menyakitkan dari dugaan awal. Dengan hati yang penuh keraguan, ia kembali ke  merebahkan diri di tempat tidur, tetapi pikirannya terus berputar.

Apakah ia hanya salah paham? Atau ini adalah bukti nyata dari semua kecurigaannya selama ini?

  ***

Pagi harinya, Kania duduk di meja makan seperti biasa. Siska duduk di samping Rafasya, menyuguhkan teh dengan senyum yang terlalu lembut. Seolah tak ada yang salah, seolah dunia Kania belum hancur semalam.

"Rafa, nanti malam ikut ya ke rumah Mama," suara Siska terdengar manja.

"Kalau sempat," jawab Rafasya dingin.

Kania mengepalkan tangannya di bawah meja. Tetapi sebelum ia sempat bicara, mertuanya menyambar:

“Kania, jangan cemberut begitu. Laki-laki bisa bosan kalau istrinya terlalu sensitif.”

Hatinya terasa ditampar. Selama ini, ia selalu diam demi menjaga keharmonisan semu. Tapi kini, luka-luka itu menuntut untuk didengar.

Kania terdiam. Ia sudah terbiasa dipersalahkan dalam banyak hal, tetapi kali ini, tuduhan itu terasa lebih menyakitkan.

Di sore hari, Kania memberanikan diri untuk mencari jawaban. Ia memutuskan untuk mengecek ponsel Rafasya. Biasanya, pria itu sangat berhati-hati, tetapi sore itu, ponselnya tergeletak di meja tanpa pengamanan.

Dengan tangan gemetar, Kania membukanya. Jantungnya berdegup kencang saat melihat riwayat pesan di aplikasi chat.

  Siska: Aku rindu .…

  Rafasya: Sabar, jangan terlalu mencolok. Aku akan cari waktu.

Dunia Kania seketika runtuh. Tangannya bergetar, pandangannya mengabur oleh air mata. Ia ingin meyakinkan dirinya bahwa ini hanya salah paham, tetapi kata-kata dalam pesan itu terlalu jelas.

Saat itulah, ia menyadari satu hal, ia tidak bisa terus bertahan dalam kebohongan ini. Ia harus melakukan sesuatu—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk harga dirinya yang telah diinjak-injak.

Namun, pertanyaannya sekarang adalah apakah ia cukup kuat untuk menghadapi semuanya?

Kania menutup ponsel Rafasya dengan tangan gemetar. Dadanya sesak, seperti ada sesuatu yang menghimpit hingga sulit bernapas. Kata-kata di layar tadi terus terngiang di kepalanya, mencabik-cabik harapan terakhir yang berusaha ia pertahankan.

 Ia ingin marah. Ingin berteriak. Ingin mengonfrontasi mereka saat itu juga. Tetapi saat ia melangkah keluar kamar, suara ibunya terdengar dari ruang tamu, memaksanya menghentikan langkah.

  "Apa pun yang terjadi, Kania harus tetap bertahan. Jangan sampai rumah tangganya hancur hanya karena perasaan," suara ibunya terdengar pelan, tetapi tajam.

  Kania mengintip dari balik pintu. Ibunya duduk di sofa, berbicara dengan mertuanya.

 "Anak saya terlalu banyak mengeluh," lanjut ibunya. "Dia harus lebih sabar. Suami itu pasti punya alasan kalau bersikap dingin. Perempuan harus tahu tempatnya."

 Kania merasa kepalanya berputar. Di saat ia mengira tak ada hal yang lebih menyakitkan dari pengkhianatan suaminya, ternyata ibunya sendiri justru berpihak pada Rafasya.

  "Jangan khawatir, Bu," suara mertuanya menyusul. "Kania itu istri yang baik. Saya yakin dia tidak akan macam-macam. Lagi pula, kita tidak ingin aib keluarga tersebar, bukan?"

  Aib keluarga?

Jadi, bagi mereka, kehancuran hatinya bukanlah masalah. Yang lebih penting adalah menjaga citra keluarga.

Kania menahan napas, matanya panas oleh air mata yang belum sempat jatuh. Selama ini, ia berpikir bahwa ibunya adalah satu-satunya tempat ia bersandar. Tetapi sekarang, ia menyadari bahwa ia benar-benar sendirian.

Malam itu, Kania duduk di sisi ranjang, menunggu Rafasya pulang. Tidak seperti biasanya, kali ini ia tidak ingin menghindar. Ia ingin mendengar langsung dari mulut pria itu.

Pintu kamar terbuka. Rafasya masuk dengan wajah lelah, seolah-olah hari itu bukanlah hari di mana ia telah menusuk hati istrinya dengan pengkhianatan.

"Kita perlu bicara," suara Kania bergetar, tetapi matanya tetap tajam.

Rafasya mengerutkan kening. "Nanti saja. Aku capek."

"Ini penting," Kania menahan dirinya agar tidak menangis. "Apa hubunganmu dengan kak Siska?"

Sejenak, keheningan memenuhi ruangan. Lalu, Rafasya menghela napas panjang.

"Kania, jangan mulai lagi."

"Aku tidak sedang menuduh tanpa alasan." Kania meraih ponsel di tangannya dan memperlihatkan layar yang masih menampilkan percakapan mereka. "Jelaskan ini padaku."

Ekspresi Rafasya berubah. Sekilas, ada keterkejutan di matanya, tetapi dengan cepat ia mengembalikan wajah tanpa ekspresinya.

"Kamu membaca pesanku?"

"Itu saja yang bisa kamu katakan?" suara Kania meninggi. "Setelah semua yang kulihat, setelah semua yang kurasakan selama ini ... kamu masih mau berbohong?"

Rafasya mengusap wajahnya dengan kasar. "Kania, kamu tidak mengerti. Ini bukan sesuatu yang bisa dijelaskan begitu saja."

"AKU ISTRIMU!" Kania akhirnya meledak. "Tujuh tahun aku diam. Aku sabar. Tapi hari ini, aku butuh jawaban. Aku butuh kejujuran. Aku sedang mengandung anakmu, Rafa!"

Ia memegang perutnya, berharap itu bisa mengetuk hati Rafasya.

Namun, pria itu hanya diam. Menatapnya sebentar, lalu berbalik dan keluar kamar—meninggalkan Kania berdiri dalam keterpurukan.

"Rafa!"

Ia mencoba mengejar. Tapi tiba-tiba rasa nyeri menjalar hebat dari perutnya.

"Aw!" Ia jatuh terduduk, tangannya mencengkeram perut. Pandangannya buram. Dunia di sekelilingnya mulai memudar.

Kania sempat melihat pantulan dirinya di cermin—seorang perempuan yang selama ini berjuang sendirian.

Dan kemudian … semuanya menjadi gelap.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Annie ibunya Naflah-nuzi
simpen dulu kalau dah tamat baru baca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Istana Yang Ternoda   Epilog

    Sore itu, langit berwarna keemasan. Di taman belakang rumah, keluarga Kania berkumpul di bawah pohon besar yang rindang. Meja panjang dipenuhi makanan kesukaan keluarga, dan di tengahnya ada dua kue kecil dengan lilin berbentuk angka 22.Kania menyalakan lilin itu dengan senyum lembut. "Selamat ulang tahun, Nayyara, Nazeera," ucapnya pelan, suaranya bergetar namun penuh kehangatan.Narendra dan Nayaka duduk di samping ibunya, masing-masing memegang bingkai foto si kembar. Rafasya merangkul Kania, menatapnya dengan pandangan yang menguatkan.Mereka tidak menangis kali ini. Mereka hanya tersenyum, mengenang tawa, cerita, dan doa yang tak pernah putus. Angin sore bertiup lembut, seolah membawa pesan dari kejauhan.Kania menatap lilin yang menyala itu. "Mama, Papa, dan kakak-kakakmu di sini bahagia jadi kalian juga harus bahagia di sana, ya."Mereka meniup lilin bersama-sama. Dan di langit, dua bintang mulai muncul lebih cepat dari biasanya, berkilau di antara warna senja.Bagi keluarga i

  • Istana Yang Ternoda   Keikhlasan Seorang Ibu

    Lima tahun telah berlalu sejak tanah longsor itu merenggut semua harapan. Hari-hari penuh pencarian sudah lama berakhir, dan kabar resmi dari pihak berwenang hanya menyisakan satu kenyataan pahit: Nayara dan Nazeera dinyatakan meninggal dunia. Namun, di hati Kania, cinta kepada putri kembarnya tak pernah terkubur bersama waktu.Setiap tahun, di tanggal ulang tahun si kembar, ia selalu menyiapkan dua kue sederhana dengan lilin di atasnya. Di ruang tamu yang temaram, Kania duduk sendirian menatap nyala lilin itu, seolah dua cahaya kecil itu adalah Nayara dan Nazeera yang pulang sebentar untuk menemuinya.“Selamat ulang tahun, kedua putriku,” ucapnya pelan, suaranya bergetar, “Pasti sekarang kalian sudah tumbuh menjadi remaja cantik. Maaf, Nak. Mama belum bisa menemani kalian untuk saat ini. Tapi asal kalian tahu, cinta Mama tidak akan pernah mati.”Air matanya jatuh satu per satu, membasahi meja. Tangannya mengusap permukaan kue, seperti membelai rambut anak-anaknya.Nayaka, yang kini s

  • Istana Yang Ternoda   Pencarian

    Langit di pegunungan itu diselimuti kabut tebal, hujan belum berhenti sejak tanah longsor pertama kali menghantam villa peninggalan orang tua Tante Vita. Bau lumpur basah bercampur kayu lapuk memenuhi udara.Rafasya berdiri di tepi jurang longsor bersama Nayaka dan Narendra. Wajahnya pucat, tapi sorot matanya penuh tekad.“Kita tidak bisa menunggu. Setiap detik yang lewat bisa jadi perbedaan antara hidup dan mati,” katanya pada tim Basarnas.Seorang komandan tim Basarnas menatapnya serius. “Medan ini berbahaya. Longsor susulan bisa terjadi kapan saja. Tapi kalau kalian tetap mau turun gunakan ini.”Mereka memberikan tali pengaman, helm khusus, serta alat pendeteksi panas tubuh.Narendra memeriksa peta jalur longsor. “Pa, kalau dari arah sini kita bisa tembus ke sisa pondasi belakang villa. Mungkin mereka sempat mencari perlindungan di situ.”“Baik. Kita coba.” Rafasya mengangguk, suaranya tegas tapi hatinya digelayuti rasa takut.***Sementara itu, di rumah sakit, Kania duduk di ranja

  • Istana Yang Ternoda   Bencana Alam

    Di ruang ICU rumah sakit, suasana mencekam. Detak monitor jantung Pak Hengky terdengar semakin lemah, dan setiap bunyinya membuat semua orang menahan napas. Rafasya berdiri di sisi ranjang, memegang tangan ayahnya yang dingin. Kania duduk di kursi, air matanya terus mengalir.Semua berharap keajaiban, tapi justru sebaliknya—kondisi Pak Hengky memburuk. Dengan napas tersengal-sengal, ia membuka matanya sebentar, menatap Rafasya dan Kania. Bibirnya bergetar, dan hanya satu kata yang berhasil keluar:“Maaf,”Air mata Rafasya pecah seketika. Kania menutup mulutnya, menahan isak. Tapi tak sampai hitungan detik, monitor itu mengeluarkan bunyi panjang yang menusuk telinga. Garis di layar menjadi lurus.Pak Hengky telah pergi… untuk selamanya.Tangis pecah di ruangan itu—bukan hanya karena kehilangan, tapi karena mereka baru saja kehilangan satu-satunya orang yang mungkin mengetahui keberadaan Nayara dan Nazeera. Harapan seakan runtuh dalam sekejap.Prosesi pemakaman berlangsung dalam kehenin

  • Istana Yang Ternoda   Dendam

    Perlahan, kelopak mata Risa dan Rosa mulai terbuka. Cahaya matahari yang menyusup lewat sela tirai tipis mengusik pandangan mereka. Kamar ini, asing. Langit-langitnya bukan yang biasa mereka lihat. Aroma udara pun berbeda. Begitu pula seprei dan selimut yang membalut tubuh mereka.Risa menggeliat pelan, lalu menoleh ke arah Rosa yang juga baru membuka mata.“Rosa … kita di mana?” bisik Risa pelan.Rosa mengernyit. “Aku, nggak tahu. Ini bukan kamar kita.”Keduanya bangkit pelan dari tempat tidur, tubuh terasa lemas seperti habis sakit berhari-hari. Mereka melangkah dengan kaki gemetar menuju jendela, menyingkap tirai—yang terlihat adalah kebun bunga luas, dipenuhi warna-warni mawar dan anggrek yang tertata rapi.Tepat di tengah pemandangan itu, duduk seorang wanita di kursi rotan. Ia sedang menyeruput teh, tampak tenang menatap taman seolah tak terjadi apa-apa. Wanita itu adalah bunda mereka—Tante Vita.Melihat si kembar muncul di ambang pintu kaca, Tante Vita bangkit berdiri dengan se

  • Istana Yang Ternoda   Kehilangan

    Langit mendung menyambut helikopter yang mendarat perlahan di atas tanah lapang pulau terpencil itu. Angin laut menerpa wajah Nayaka dan Rafasya begitu mereka turun. Detak jantung keduanya tak karuan, langkah kaki terburu-buru menuju titik koordinat yang dikirimkan oleh akun anonim itu.Sebelum keberangkatan, Rafasya sempat menitipkan Kania yang masih dirawat di ruang VVIP rumah sakit kepada orang-orang terdekat: Nadira, Bu Susi, Bu Ria, serta dua sahabat lamanya, Pak Burhan dan Pak Haikal. Kepada mereka, ia hanya mengatakan ini adalah urusan pekerjaan mendesak—sementara Nayaka akan ikut untuk “belajar”. Tak seorang pun mencurigai lebih.Sesampainya di lokasi, mereka berdiri terpaku di depan sebuah rumah kayu bergaya kolonial yang tampak tua namun masih terawat. Yang membuat bulu kuduk berdiri adalah kenyataan bahwa pintu rumah itu tidak dikunci.Rafasya dan Nayaka saling pandang, lalu masuk perlahan.Begitu mereka melewati ruang tamu yang lengang, pandangan Rafasya langsung tertumbuk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status