مشاركة

Rencana Mereka

مؤلف: AgilRizkiani
last update آخر تحديث: 2025-04-21 01:16:56

Sudah tiga hari sejak Kania menghilang dari rumah sakit—tanpa suara, tanpa jejak, hanya meninggalkan secarik kertas kecil dengan tinta hitam yang mencabik diam, surat cerai.

Tiga hari pula sejak Rafasya menemukannya di atas ranjang yang dingin dan kosong seperti hatinya. Kosong yang tak pernah ia sadari bisa terasa begitu menyiksa.

Surat itu tak lebih dari selembar kertas tipis. Tapi saat Rafasya membacanya, rasanya seperti ada pisau yang perlahan-lahan mengiris dari dalam—bukan darah yang keluar, tapi penyesalan yang datangnya selalu terlambat.

Dan selama tiga hari itu, Kania benar-benar lenyap.

Tak ada pesan. Tak ada telepon. Tak ada kabar.

Yang tersisa hanyalah bekas lekuk di bantal yang tak lagi hangat, dan aroma samar parfumnya yang mulai memudar di baju-baju yang masih tergantung seperti jiwanya yang sudah lama digantung dalam ketidakpedulian.

Seperti biasa, Rafasya memakai topengnya. Ia tetap bekerja. Tetap menghadiri rapat. Tetap makan malam bersama ibunya yang terus berceloteh soal kehormatan keluarga—seakan tidak ada seorang pun yang baru saja menghilang dari hidupnya.

Bahkan ketika Siska bertanya, “Kania ke mana?”

Ia hanya menjawab singkat, “Dia butuh waktu.”

Padahal diam-diam, ia mulai kehabisan waktu untuk percaya pada dirinya sendiri.

Sebab biasanya, meski Kania marah, kecewa, atau bahkan merasa tak berarti—ia selalu kembali. Selalu memberi tanda. Selalu, berusaha tetap tinggal.

Tapi kali ini berbeda.

Tidak ada notifikasi. Tidak ada nada dering. Tidak ada satu pun kata. Hanya hening yang menggantung di udara. Dan dari semua hal yang pernah ia abaikan dalam hidupnya, keheningan Kania adalah yang paling mematikan.

Malam ketiga, Rafasya terbangun dalam gelap.

Bukan karena mimpi buruk—tapi karena dadanya terasa seperti dipelintir dari dalam. Ia menoleh. Sisi ranjang kosong. Datar. Tak berbekas.

Bantal Kania masih di sana. Tapi dingin.

Begitu dingin … seperti tatapan terakhir perempuan itu padanya.

Tangannya menyentuh bantal itu, perlahan. Seolah berharap ada sisa kehangatan. Tapi tak ada. Dan untuk pertama kalinya, Rafasya takut.

Bukan takut karena kehilangan istri. Tapi karena

untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia kehilangan seseorang yang benar-benar hadir, tapi tak pernah ia anggap ada.

Sementara itu.

Di sebuah desa sunyi, di pinggir dunia yang tak ditandai peta, Kania duduk di beranda rumah kayu tua. Wajahnya masih pucat. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Tapi matanya sudah tak sama.

Tak ada lagi perempuan yang menunggu. Tak ada lagi istri yang memohon. Yang tersisa hanyalah seorang perempuan yang pernah runtuh, tapi menolak hancur. Yang memilih pergi, bukan karena lemah, tapi karena ingin hidup.

Setiap pagi, ia menyiram tanaman di halaman. Menyapu daun-daun kering yang berserakan.

Bukan karena ingin memulai dari awal—tapi karena ia perlu memastikan: ia masih punya kendali atas hidupnya sendiri.

Ponselnya? Masih mati.

Bukan karena takut ditemukan. Tapi karena suara Rafasya bukan lagi sesuatu yang ingin ia dengar.

Untuk pertama kalinya … Kania memilih mendengarkan dirinya sendiri.

Hari Keempat

Rafasya terduduk di ruang kerja, memandangi layar ponsel. Pesan-pesan lama dari Kania satu per satu ia buka—pesan yang dulu hanya ia lihat sekilas kini menamparnya tanpa ampun.

"Aku tahu kamu sibuk, tapi bisakah sekali saja kamu dengar aku bicara?"

"Rafa, sebentar lagi kita menjadi orang tua apa kamu akan tetap bersikap dingin seperti ini?"

"Aku capek jadi istri yang tak pernah dianggap ada. Kalau aku cuma pajangan, setidaknya beri aku kaca biar aku bisa lihat diriku sendiri."

"Kalau suatu hari aku pergi, bukan karena aku ingin menyerah. Tapi karena aku ingin berhenti merasa tak punya harga diri."

Tangannya gemetar. Layar ponsel buram karena air mata yang mulai tumpah. Air mata yang dulu tak pernah ia beri pada Kania—karena ia terlalu sibuk membangun tembok antara dirinya dan cinta.

Biasanya Kania wanita yang paling antusias bercerita mengenai masa depan. Ia seorang dokter paru, selalu bercerita tentang pasien-pasiennya. Walaupun tidak pernah ia dengarkan. Ternyata kebisingan yang dulu ia anggap sebagai polusi suara, ternyata sekarang suara itulah yang benar-benar ia rindukan.

Ia berdiri. Mengambil kunci. Keluar rumah.

Bukan ke kantor. Tapi untuk mencari sesuatu yang tak bisa dibeli, tak bisa ditukar—dan nyaris tak bisa dikembalikan.

Di Rumah Nadira.

Rafasya mengetuk pintu Nadira dengan napas memburu. Bajunya kusut. Matanya merah.

Pintu dibuka. Nadira berdiri dengan tangan menyilang. Tatapannya menusuk.

“Di mana Kania?” suaranya pecah—bukan karena marah, tapi panik.

Nadira tidak menjawab. Hanya menatap Rafasya seperti menatap pria yang dulu punya segalanya, tapi memilih tidak punya hati.

“Kamu masih berani nanya?” Nadanya pelan, tapi mengandung belati.

“Aku cuma mau bicara.”

“Bicara? Sekarang? Setelah semua yang kamu diamkan saat dia berteriak minta didengar? Kamu datang setelah dia pergi dan kamu berharap dia masih mau duduk mendengarkan?”

Rafasya menunduk. Tak ada yang bisa ia katakan.

Ia tak sedang mencari jawaban. Ia sedang menelan kenyataan: bahwa seseorang bisa pergi tanpa dendam—karena rasa sakitnya sudah tak bisa dibalaskan lagi.

“Aku, aku ngerasa kosong,” lirihnya akhirnya.

“Rumah ini hidup ini kayak bangunan besar yang tiba-tiba ambruk dan ninggalin debu di dada.”

Nadira menatapnya dalam. Ada iba, tapi juga amarah yang belum lunas.

“Kamu tahu kenapa kamu ngerasa kosong? Karena selama ini Kania lah yang diam-diam mengisi semuanya. Kamu cuma duduk di atas kursi tinggi, menunggu dia cinta terus sampai hatinya habis tanpa kamu sadari.”

Lalu Nadira menutup pintu setengah, dan berkata dengan suara nyaris tak terdengar—tapi menghantam tepat ke dada:

“Kalau kamu benar-benar mau cari dia cari dengan hati. Bukan dengan egomu. Karena kalau tidak lebih baik kamu ikhlaskan. Karena kali ini, Kania bukan lagi perempuan yang akan kembali.”

Dan pintu tertutup.

Meninggalkan Rafasya sendiri, berdiri di depan rumah … dengan dada berlubang oleh dua hal yang sama-sama tajam penyesalan dan kehilangan.

استمر في قراءة هذا الكتاب مجانا
امسح الكود لتنزيل التطبيق

أحدث فصل

  • Istana Yang Ternoda   Cemburu?

    Rafasya mengejar Kania sampai ke pintu depan. Napasnya sedikit memburu, tapi ia tetap memaksa suaranya terdengar tegas."Aku antar, Kania!"Tangannya dengan cepat menggenggam tangan Kania, tapi hanya sekejap sebelum wanita itu melepaskannya dengan gerakan tegas.Kania tersenyum, getir. Senyum yang bukan lagi manis seperti dulu, tapi penuh luka dan ketegaran."Selama tujuh tahun, Rafa .…" suaranya nyaris berbisik, tapi cukup jelas untuk memukul hati lelaki itu, "Kamu bahkan tidak pernah mau mengantarku, bahkan ketika aku memohon. Jadi sekarang kenapa? Untuk menarik simpatiku? Untuk menebus semuanya dalam satu pagi?"Rafasya terdiam. Kalimat Kania seperti pisau tumpul yang dipaksakan masuk ke dadanya, perlahan, menyakitkan."Tidak perlu, Rafa. Bukankah kamu sendiri yang bilang, jadi perempuan itu harus mandiri dan independen? Tidak perlu merepotkan suami?"Sekali lagi, Rafasya dipaksa menelan ludahnya sendiri—kalimat yang dulu ia ucapkan dengan sombong kini kembali padanya sebagai hanta

  • Istana Yang Ternoda   Perubahan Kania

    Kania baru saja keluar dari kamar mandi. Embun hangat masih menempel di kulitnya yang lembab, handuk putih menggantung longgar di bahunya. Ruangan itu, kamar yang selama ini menjadi tempat ternyaman baginya, masih sama—seolah waktu tak pernah bergerak sejak dua bulan lalu ia meninggalkannya. Tak ada debu, tak ada kekacauan. Kania memang mencintai keteraturan, bahkan di tengah kekacauan batin yang pernah ia alami.Tangannya mengusap pelan helaian rambut basah, lalu duduk di depan meja rias. Wajahnya menatap balik dari cermin—sorot mata yang dulu penuh harap kini hanya menyisakan kebekuan. Tujuh tahun. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar untuk dibodohi. Untuk menjadi boneka. Untuk menjalani hidup dengan topeng.Lalu terdengar suara langkah. Pintu kamar yang sedikit terbuka kini benar-benar terbuka. Rafasya berdiri di sana. Diam. Tak bersuara.Tak ada senyuman. Tak ada kata sapaan. Hanya tatapan mata yang penuh gelisah dari lelaki itu, sementara Kania tetap di tempatnya—diam, membisu,

  • Istana Yang Ternoda   Pilihan Rafasya

    Setelah perbincangan yang membakar luka-luka lama, Kania hanya menghela napas. Dalam. Ia membuka laci kecil dekat meja, mengeluarkan kunci rumah, lalu meletakkannya di telapak tangan Rafasya. Langit desa masih berkabut ketika ia keluar dari rumah, mengenakan jaket tipis dan menenteng tas kecil berisi beberapa dokumen dan pakaian. Di pelataran rumah, mobil Rafasya sudah menunggu. Ia membuka pintu belakang, hendak masuk, tapi tatapannya tiba-tiba jatuh pada satu benda di dalam mobil. Sebuah tas kecil. Penuh debu. Tapi ia tahu betul apa isinya. Dengan perlahan, ia duduk di jok, mengambilnya. Tangannya gemetar saat membuka resleting dan menemukan baju bayi mungil itu kembali. Warna putih dengan motif awan kecil. Masih wangi sabun. Dan di bawahnya terselip foto USG terakhir—yang dulu ia sembunyikan dari Rafasya karena kecewa, karena lelah berharap. Rafasya yang melihat dari samping tak sanggup membuka suara. Kania menatap barang-barang itu lama. Wajahnya datar. Hampa. Lalu ia mem

  • Istana Yang Ternoda   Semakin Menjadi

    Dua bulan telah berlalu. Dan selama itu pula, Rafasya hidup seperti bayangan—bergerak, bernapas, tetapi tanpa jiwa. Siang ia gunakan untuk bekerja, membenamkan diri dalam kesibukan yang tak lagi terasa berarti. Sedangkan malam ia habiskan untuk mencari. Menelusuri lorong-lorong kenangan yang ditinggalkan Kania. Mencari ke mana pun jejak itu mungkin tertinggal. Ia menghubungi semua teman Kania, menelusuri rumah sakit, toko langganannya, bahkan tempat-tempat yang paling sepele yang dulu sempat mereka datangi. Tapi hasilnya nihil. Ponsel Kania tetap mati. Tak ada jejak transaksi. Tak ada sinyal keberadaan. Seolah Kania benar-benar menghapus dirinya dari dunia Rafasya. Berulang kali ia mendatangi Nadira—sahabat Kania satu-satunya yang ia tahu bisa menjadi kunci. Tapi, Nadira tetap bungkam, atau tepatnya—terlalu marah untuk membuka suara. “Kalau kamu datang buat minta bantuan, kamu telat, Rafasya. Terlalu telat.” Dan yang paling menyakitkan adalah saat kembali ke rumah, ibunya—yang

  • Istana Yang Ternoda   Rencana Mereka

    Sudah tiga hari sejak Kania menghilang dari rumah sakit—tanpa suara, tanpa jejak, hanya meninggalkan secarik kertas kecil dengan tinta hitam yang mencabik diam, surat cerai. Tiga hari pula sejak Rafasya menemukannya di atas ranjang yang dingin dan kosong seperti hatinya. Kosong yang tak pernah ia sadari bisa terasa begitu menyiksa. Surat itu tak lebih dari selembar kertas tipis. Tapi saat Rafasya membacanya, rasanya seperti ada pisau yang perlahan-lahan mengiris dari dalam—bukan darah yang keluar, tapi penyesalan yang datangnya selalu terlambat. Dan selama tiga hari itu, Kania benar-benar lenyap. Tak ada pesan. Tak ada telepon. Tak ada kabar. Yang tersisa hanyalah bekas lekuk di bantal yang tak lagi hangat, dan aroma samar parfumnya yang mulai memudar di baju-baju yang masih tergantung seperti jiwanya yang sudah lama digantung dalam ketidakpedulian. Seperti biasa, Rafasya memakai topengnya. Ia tetap bekerja. Tetap menghadiri rapat. Tetap makan malam bersama ibunya yang terus berc

  • Istana Yang Ternoda   Dipersalahkan

    Langit pagi masih kelabu saat Kania membuka matanya perlahan. Aroma antiseptik, bunyi pelan mesin infus, dan dinginnya udara kamar rumah sakit menyambutnya seperti tamparan realita. Namun rasa nyeri di tubuhnya tidak ada apa-apanya dibandingkan luka yang menganga di dadanya. Tubuhnya belum bisa banyak bergerak, tapi telinganya tajam menangkap suara-suara dari balik pintu. Ia tak sengaja menjadi saksi dari gunjingan yang selama ini mungkin hanya dibisikkan di belakangnya—dan kini diucapkan tanpa malu, di luar kamar tempat ia terbaring kehilangan. “Sudah tahu kandungan lemah, masih saja keras kepala. Gagal jaga anak sendiri. Pantes saja Rafa makin malas pulang.” Suara mertuanya, dingin dan tanpa empati. Setiap kata seolah mengiris kulit Kania pelan-pelan. “Dari awal aku udah bilang, Kania itu emosinya nggak stabil. Terlalu banyak drama. Mana bisa dia jadi ibu?” Ibunya. Suara yang dulu ia kenal sebagai pelindung, kini hanya jadi silet yang membelah dadanya. “Kalau nggak sanggup, me

فصول أخرى
استكشاف وقراءة روايات جيدة مجانية
الوصول المجاني إلى عدد كبير من الروايات الجيدة على تطبيق GoodNovel. تنزيل الكتب التي تحبها وقراءتها كلما وأينما أردت
اقرأ الكتب مجانا في التطبيق
امسح الكود للقراءة على التطبيق
DMCA.com Protection Status