Bu Ria, Bu Susi, dan Tante Vita benar-benar merasa sangat bahagia mendengar kabar bahwa Kania kembali mengandung. Berbeda dengan kehamilan sebelumnya, kali ini mereka semua terlihat lebih kalem dan bijak. Tidak ada yang berlebihan dalam menyambut berita itu, tapi justru itulah yang membuat suasana terasa hangat dan dewasa. Mereka tahu betul betapa pentingnya menjaga emosi dan suasana hati Kania, terutama karena ia masih menyimpan trauma kehilangan sebelumnya.Beberapa minggu berlalu, kehamilan Kania berjalan lancar. Tidak ada mual berlebihan, tidak juga ngidam aneh-aneh seperti dulu saat mengandung Nayaka. Tapi suatu hari, saat Kania dan Rafasya hendak menjemput Narendra dan Nayaka dari sekolah, keinginan aneh itu datang juga."Sayang, aku mau makan di kondangan," ucap Kania tiba-tiba saat mereka berhenti di lampu merah.Rafasya mengernyitkan dahi, menoleh heran. “Kondangan? Emangnya kita ada undangan hari ini?”Kania menggeleng polos. “Nggak ada, sih. Tapi aku pengin aja makan nasi k
Malam itu, Nadira pulang ke rumah dengan langkah pelan. Pikirannya masih dipenuhi obrolan dengan Kania. Perasaan haru dan bahagia bercampur dengan getir yang selama ini berusaha ia pendam. Setelah meletakkan tas dan mengganti pakaian, ia berjalan ke ruang tengah, menemukan Adrian sedang membaca di sofa sambil mengenakan kacamata tipisnya.Adrian menoleh dan tersenyum lembut, “Sudah pulang? Tumben larut.”Nadira berjalan mendekat, duduk di samping suaminya dan menyandarkan kepala di bahunya. “Aku tadi habis dari rumah Kania.”Adrian mengusap lembut rambut istrinya. Ia tahu, Kania adalah pelabuhan emosi Nadira, sahabat yang selalu menjadi tempat pulang bagi hati yang lelah.Beberapa menit terdiam, Nadira akhirnya berkata dengan suara pelan, “Na hamil lagi dan kembar.”Adrian diam sejenak. “Kamu baik-baik aja?” tanyanya hati-hati.Nadira mengangguk, meski matanya mulai berkaca-kaca. “Aku senang, serius. Tapi aku juga capek, Yan Capek pura-pura nggak apa-apa. Capek berusaha dan gagal teru
Hari demi hari berlalu dalam kehangatan keluarga kecil itu. Kania menikmati waktu bersama anak-anaknya, membagi tawa dan kasih sayang, sementara Rafasya, meski sibuk, selalu menyempatkan diri pulang lebih awal saat bisa. Segalanya terasa tenang hingga suatu hari, kabar tak terduga datang menghentak.Pagi itu, Rafasya tengah rapat dengan salah satu mitra bisnisnya ketika ponselnya berdering. Wajahnya langsung berubah tegang saat melihat nama rumah sakit tertera di layar."Pak Rafasya, mohon maaf mengganggu. Ibu Kania tadi mendadak pingsan saat sedang istirahat di ruang dokter. Saat ini beliau sudah dalam penanganan."Tanpa pikir panjang, Rafasya langsung meninggalkan ruang rapat, melesat ke mobil, dan menyetir dengan perasaan campur aduk. Khawatir. Panik. Cemas. Ia bahkan hampir tidak bisa bernapas dengan tenang sepanjang perjalanan.Setibanya di rumah sakit, Rafasya langsung menuju ruang observasi. Begitu melihat Kania sudah sadar, tubuhnya seperti kehilangan beban berat. Ia mendekat,
Malam mulai merambat pelan saat Kania keluar dari pintu utama rumah sakit. Langit sudah menggelap, tapi jalanan masih ramai oleh orang-orang yang baru pulang kerja, sama seperti dirinya. Dengan langkah pelan namun mantap, ia menuju mobil yang dikendarai oleh supir pribadi keluarga. Di dalam mobil, Kania hanya diam sambil memandang keluar jendela-lelah terasa, tapi rindunya jauh lebih kuat.Begitu sampai di rumah, lampu teras sudah menyala hangat. Pintu depan terbuka perlahan, dan suara riuh kecil terdengar dari dalam. Begitu Kania melangkah masuk, pemandangan yang membuat dadanya menghangat langsung menyambut."MAAA!" teriak Nayaka, berlari kecil dan langsung memeluk kaki ibunya sambil membawa mainan robot di tangan. "Aku tadi makan dua kali, nggak nangis, terus belajar sama Kakak!" celotehnya cepat, wajahnya penuh semangat.Tak jauh dari Nayaka, Narendra berdiri lebih tenang, lalu berjalan mendekat dan mengecup tangan ibunya. "Selamat datang, Bu Dokter. Kamu capek?" tanyanya dengan n
Setelah Nadira dan Adrian resmi menikah, mereka memutuskan untuk menetap di luar kota. Bukan hanya karena keinginan pribadi, tetapi juga karena mereka mendapat penempatan kerja sebagai dokter spesialis di rumah sakit besar di kota tersebut. Kehidupan mereka berjalan baik, namun satu hal yang belum hadir dalam pernikahan mereka adalah kehadiran seorang anak.Mereka telah menempuh berbagai usaha-dari terapi kesuburan hingga program bayi tabung-namun takdir belum berpihak. Hasilnya selalu mengecewakan. Kania, sebagai sahabat terdekat Nadira sejak masa kuliah, sangat memahami perjuangan dan luka batin yang kerap tak terlihat itu. Ia memilih menjadi garda terdepan, melindungi Nadira dari ucapan-ucapan menyakitkan yang kadang muncul dari lingkungan sekitar."Kalau ada yang berani menyindirmu soal anak, cukup sebut namaku. Aku yang akan maju duluan," ucap Kania sambil menggenggam tangan sahabatnya.Nadira tersenyum pilu, mata beningnya tampak berkaca-kaca."Kamu selalu tahu caranya membuat a
Rafasya mengumpulkan semua anggota keluarga di ruang tengah. Wajahnya tegas namun mata masih tampak sembab. Ia berdiri di depan mereka, memandangi satu per satu, lalu dengan suara berat tapi jelas ia berkata.“Mulai hari ini tidak ada satu pun dari kita yang membicarakan tentang keguguran Kania. Tidak ada pertanyaan, tidak ada utas percakapan tentang kehamilan, tidak juga komentar yang memancing air matanya keluar lagi.”Semua diam. Ketiga nenek yang biasanya riuh kini hanya mengangguk pelan dengan mata berkaca-kaca. Tak lama setelah itu, Rafasya pun duduk di ruang kerjanya, membuka ponselnya, dan mulai menghubungi satu per satu kontak Kania—teman-teman arisan, rekan sejawat, bahkan sahabat lamanya.“Jangan tanya soal kehamilan Kania. Dia sedang dalam masa pemulihan batin, aku mohon jangan membuatnya semakin hancur.”Pesan itu dikirimkan ke semua orang. Ia tidak ingin satu kata pun dari luar menghancurkan ketenangan yang sedang mereka usahakan untuk dibangun kembali.Sementara itu, di