Setelah perbincangan yang membakar luka-luka lama, Kania hanya menghela napas. Dalam.
Ia membuka laci kecil dekat meja, mengeluarkan kunci rumah, lalu meletakkannya di telapak tangan Rafasya. Langit desa masih berkabut ketika ia keluar dari rumah, mengenakan jaket tipis dan menenteng tas kecil berisi beberapa dokumen dan pakaian. Di pelataran rumah, mobil Rafasya sudah menunggu. Ia membuka pintu belakang, hendak masuk, tapi tatapannya tiba-tiba jatuh pada satu benda di dalam mobil. Sebuah tas kecil. Penuh debu. Tapi ia tahu betul apa isinya. Dengan perlahan, ia duduk di jok, mengambilnya. Tangannya gemetar saat membuka resleting dan menemukan baju bayi mungil itu kembali. Warna putih dengan motif awan kecil. Masih wangi sabun. Dan di bawahnya terselip foto USG terakhir—yang dulu ia sembunyikan dari Rafasya karena kecewa, karena lelah berharap. Rafasya yang melihat dari samping tak sanggup membuka suara. Kania menatap barang-barang itu lama. Wajahnya datar. Hampa. Lalu ia memanggil seorang ibu tua dari teras rumah. “Bu, bisa bantu simpan ini?” katanya sambil menyodorkan pakaian bayi. “Berikan saja pada siapa pun yang butuh.” Perempuan tua itu mengangguk, menerimanya hati-hati. Namun yang membuat Rafasya terdiam adalah saat Kania memandangi lembar USG di tangannya—lalu, tanpa berkata apa-apa, ia merobeknya perlahan. Krek. Krek. Foto itu terbelah jadi dua, lalu empat, sebelum ia buang ke tong sampah kecil di sisi pintu mobil. “Kania .…” Rafasya hanya mampu berbisik. “Kenapa?” Kania menoleh, datar. “Hanya selembar kertas. Untuk apa disimpan kalau yang ada di dalamnya sudah tiada?” Ia lalu masuk ke dalam mobil. Duduk di kursi penumpang tanpa sepatah kata lagi. Rafasya masuk dari sisi lain. Mesin dinyalakan. Mobil mulai berjalan melewati jalanan desa yang masih berkabut tipis. Selama perjalanan, Kania hanya menatap ke luar jendela. Diam. Tak satu pun cerita keluar dari mulutnya. Tak satu pun pertanyaan tentang apa yang akan mereka hadapi. Sementara Rafasya mencoba menggenggam tangannya, mencoba menguji sisa koneksi di antara mereka. Tapi Kania pelan-pelan menarik tangannya. Menghindar. Bukan karena benci. Tapi karena luka itu masih terlalu dalam untuk disentuh. Bahkan oleh tangan yang pernah ia cintai sepenuh hati. Rafasya menarik tangannya kembali. Mengerti. Ia tahu perjalanan mereka belum benar-benar dimulai. Dan ia juga tahu—cinta, kali ini, tidak bisa dibuktikan hanya dengan kata-kata. Ia harus membangun kembali kepercayaan dari hati yang sudah hancur berkeping-keping. Dan Kania? Ia masih duduk di sana, diam—tapi matanya menyimpan tanya, Apakah luka sebesar ini masih bisa pulih? Setelah perjalanan panjang yang penuh diam dan perih, mobil itu akhirnya berhenti di halaman rumah Rafasya. Kania turun lebih dulu. Wajahnya datar—tapi matanya menyimpan badai yang belum reda. Langkahnya mantap, meskipun jiwanya terasa seperti puing-puing yang dipaksa tetap berdiri. Hari ini bukan tentang pulang. Hari ini adalah tentang menghadapi. Tentang luka yang harus dibuka, meski perih. Tentang kebenaran yang tak lagi bisa dipendam. Di depan rumah, sudah berdiri para saksi dari babak paling kelam hidupnya. Siska berdiri di teras, gugup tapi mencoba tetap tenang. Di sampingnya, ibu Rafasya dengan sorot mata yang masih menolak keberadaan Kania. Lalu—ibu kandung Kania, yang selama ini diam, dan… pria yang menjadi pemicu semuanya: suami Siska. Tatapan pria itu tajam, nyaris membakar. Ia melangkah maju. Suaranya rendah, tapi cukup mengguncang udara. “Sekarang, Siska. Kau pilih—suami adikmu, atau aku, suamimu?” Semua membeku. Bahkan angin pun seperti berhenti. Kania refleks menoleh, tidak percaya bahwa semuanya terungkap secepat ini. Ia menatap Siska—kakaknya sendiri—yang kini terlihat gemetar. Tapi Siska tetap mencoba mempertahankan wajah angkuhnya. “Aku pilih suamiku!” serunya, nyaring. “Mana mungkin aku mau dengan Rafasya? Aku bahkan nggak sudi!” Ucapan itu menampar Rafasya telak. Ia menunduk. Dada sesak. Tapi ia tahu—itu harga dari pengkhianatannya. Lalu ibunda Kania—yang sejak awal selalu menyalahkannya—melangkah maju dengan nada tinggi. “Kamu puas sekarang, Kania? Pulang-pulang malah bawa aib! Memalukan! Semua keluarga jadi bahan gunjingan!” Kata-kata itu menancap dalam. Tapi kali ini, Kania tidak memilih diam. Ia menatap ibunya—perempuan yang seharusnya menjadi tempatnya berpulang—dengan mata berair tapi tajam seperti belati. “Aib? Aku yang membawa aib, Bu?” suaranya meninggi, penuh amarah. “Aku yang berdarah saat kehilangan anakku, aku yang ditinggalkan saat hamil, aku yang diinjak harga dirinya oleh suaminya sendiri, aku yang dipermalukan oleh kakaknya sendiri … dan aku yang Ibu bilang membawa aib?” Ia bergetar. Tapi tidak runtuh. Tak ada Kania yang sabar, tabah dan patuh lagi. Kania kemudian menoleh ke arah ibu mertuanya. Wanita yang sejak awal hanya melihatnya sebagai penghalang reputasi. “Dan Ibu terima kasih. Terima kasih sudah memastikan aku tidak pernah merasa pantas. Terima kasih sudah selalu membela Siska, bahkan ketika dia menusuk dari belakang.” “Aku yang merawat rumah ini. Aku yang menemani Rafasya saat tak ada yang peduli. Tapi semua itu tak pernah cukup, kan? Karena aku tak pernah benar di mata kalian.” Air matanya jatuh. Tapi bukan air mata lemah—melainkan luka yang akhirnya dikeluarkan setelah lama dikunci. Ia menatap Rafasya. Pria yang pernah jadi tempat berpijaknya. “Dan kamu, Rafasya, aku tidak minta kamu jadi lelaki sempurna. Tapi setidaknya jadilah manusia.” “Aku cuma minta dihargai. Dihargai sebagai perempuan, sebagai istri, sebagai ibu dari anak yang bahkan tak sempat aku peluk!” Rafasya menangis. Tapi Kania tidak berhenti. Langkahnya naik satu-satu ke tangga. Ia berdiri di atas, seperti hakim yang memutus nasib akhir cerita. “Hari ini aku buka semua. Karena aku lelah menjadi boneka kalian. Aku bukan milik siapa-siapa. Dan aku bukan lagi perempuan yang akan memohon untuk dipertahankan.” Ia menatap seluruh orang di bawahnya. “Mulai hari ini, aku tidak butuh pengakuan. Aku tidak butuh diterima. Karena semestaku tidak lagi berpusat pada kalian.” Ia menghela napas panjang, lalu melangkah masuk. Pintu ditutup perlahan. Bukan dengan kemarahan, tapi dengan ketegasan. Dan di balik pintu yang tertutup itu, Kania akhirnya berdiri sebagai dirinya sendiri. Perempuan yang bangkit dari reruntuhan—bukan untuk mencintai lagi, tapi untuk mencintai dirinya sendiri. Tak ada tangisan lagi, Kania tersenyum. Air matanya sekarang terlalu berharga. Ia akan membuat mereka menuai apa yang ditanam. "Ini hanya awalnya saja." Kania membuka tirai kamarnya dengan sebuah senyum misteri.Sore itu, langit berwarna keemasan. Di taman belakang rumah, keluarga Kania berkumpul di bawah pohon besar yang rindang. Meja panjang dipenuhi makanan kesukaan keluarga, dan di tengahnya ada dua kue kecil dengan lilin berbentuk angka 22.Kania menyalakan lilin itu dengan senyum lembut. "Selamat ulang tahun, Nayyara, Nazeera," ucapnya pelan, suaranya bergetar namun penuh kehangatan.Narendra dan Nayaka duduk di samping ibunya, masing-masing memegang bingkai foto si kembar. Rafasya merangkul Kania, menatapnya dengan pandangan yang menguatkan.Mereka tidak menangis kali ini. Mereka hanya tersenyum, mengenang tawa, cerita, dan doa yang tak pernah putus. Angin sore bertiup lembut, seolah membawa pesan dari kejauhan.Kania menatap lilin yang menyala itu. "Mama, Papa, dan kakak-kakakmu di sini bahagia jadi kalian juga harus bahagia di sana, ya."Mereka meniup lilin bersama-sama. Dan di langit, dua bintang mulai muncul lebih cepat dari biasanya, berkilau di antara warna senja.Bagi keluarga i
Lima tahun telah berlalu sejak tanah longsor itu merenggut semua harapan. Hari-hari penuh pencarian sudah lama berakhir, dan kabar resmi dari pihak berwenang hanya menyisakan satu kenyataan pahit: Nayara dan Nazeera dinyatakan meninggal dunia. Namun, di hati Kania, cinta kepada putri kembarnya tak pernah terkubur bersama waktu.Setiap tahun, di tanggal ulang tahun si kembar, ia selalu menyiapkan dua kue sederhana dengan lilin di atasnya. Di ruang tamu yang temaram, Kania duduk sendirian menatap nyala lilin itu, seolah dua cahaya kecil itu adalah Nayara dan Nazeera yang pulang sebentar untuk menemuinya.“Selamat ulang tahun, kedua putriku,” ucapnya pelan, suaranya bergetar, “Pasti sekarang kalian sudah tumbuh menjadi remaja cantik. Maaf, Nak. Mama belum bisa menemani kalian untuk saat ini. Tapi asal kalian tahu, cinta Mama tidak akan pernah mati.”Air matanya jatuh satu per satu, membasahi meja. Tangannya mengusap permukaan kue, seperti membelai rambut anak-anaknya.Nayaka, yang kini s
Langit di pegunungan itu diselimuti kabut tebal, hujan belum berhenti sejak tanah longsor pertama kali menghantam villa peninggalan orang tua Tante Vita. Bau lumpur basah bercampur kayu lapuk memenuhi udara.Rafasya berdiri di tepi jurang longsor bersama Nayaka dan Narendra. Wajahnya pucat, tapi sorot matanya penuh tekad.“Kita tidak bisa menunggu. Setiap detik yang lewat bisa jadi perbedaan antara hidup dan mati,” katanya pada tim Basarnas.Seorang komandan tim Basarnas menatapnya serius. “Medan ini berbahaya. Longsor susulan bisa terjadi kapan saja. Tapi kalau kalian tetap mau turun gunakan ini.”Mereka memberikan tali pengaman, helm khusus, serta alat pendeteksi panas tubuh.Narendra memeriksa peta jalur longsor. “Pa, kalau dari arah sini kita bisa tembus ke sisa pondasi belakang villa. Mungkin mereka sempat mencari perlindungan di situ.”“Baik. Kita coba.” Rafasya mengangguk, suaranya tegas tapi hatinya digelayuti rasa takut.***Sementara itu, di rumah sakit, Kania duduk di ranja
Di ruang ICU rumah sakit, suasana mencekam. Detak monitor jantung Pak Hengky terdengar semakin lemah, dan setiap bunyinya membuat semua orang menahan napas. Rafasya berdiri di sisi ranjang, memegang tangan ayahnya yang dingin. Kania duduk di kursi, air matanya terus mengalir.Semua berharap keajaiban, tapi justru sebaliknya—kondisi Pak Hengky memburuk. Dengan napas tersengal-sengal, ia membuka matanya sebentar, menatap Rafasya dan Kania. Bibirnya bergetar, dan hanya satu kata yang berhasil keluar:“Maaf,”Air mata Rafasya pecah seketika. Kania menutup mulutnya, menahan isak. Tapi tak sampai hitungan detik, monitor itu mengeluarkan bunyi panjang yang menusuk telinga. Garis di layar menjadi lurus.Pak Hengky telah pergi… untuk selamanya.Tangis pecah di ruangan itu—bukan hanya karena kehilangan, tapi karena mereka baru saja kehilangan satu-satunya orang yang mungkin mengetahui keberadaan Nayara dan Nazeera. Harapan seakan runtuh dalam sekejap.Prosesi pemakaman berlangsung dalam kehenin
Perlahan, kelopak mata Risa dan Rosa mulai terbuka. Cahaya matahari yang menyusup lewat sela tirai tipis mengusik pandangan mereka. Kamar ini, asing. Langit-langitnya bukan yang biasa mereka lihat. Aroma udara pun berbeda. Begitu pula seprei dan selimut yang membalut tubuh mereka.Risa menggeliat pelan, lalu menoleh ke arah Rosa yang juga baru membuka mata.“Rosa … kita di mana?” bisik Risa pelan.Rosa mengernyit. “Aku, nggak tahu. Ini bukan kamar kita.”Keduanya bangkit pelan dari tempat tidur, tubuh terasa lemas seperti habis sakit berhari-hari. Mereka melangkah dengan kaki gemetar menuju jendela, menyingkap tirai—yang terlihat adalah kebun bunga luas, dipenuhi warna-warni mawar dan anggrek yang tertata rapi.Tepat di tengah pemandangan itu, duduk seorang wanita di kursi rotan. Ia sedang menyeruput teh, tampak tenang menatap taman seolah tak terjadi apa-apa. Wanita itu adalah bunda mereka—Tante Vita.Melihat si kembar muncul di ambang pintu kaca, Tante Vita bangkit berdiri dengan se
Langit mendung menyambut helikopter yang mendarat perlahan di atas tanah lapang pulau terpencil itu. Angin laut menerpa wajah Nayaka dan Rafasya begitu mereka turun. Detak jantung keduanya tak karuan, langkah kaki terburu-buru menuju titik koordinat yang dikirimkan oleh akun anonim itu.Sebelum keberangkatan, Rafasya sempat menitipkan Kania yang masih dirawat di ruang VVIP rumah sakit kepada orang-orang terdekat: Nadira, Bu Susi, Bu Ria, serta dua sahabat lamanya, Pak Burhan dan Pak Haikal. Kepada mereka, ia hanya mengatakan ini adalah urusan pekerjaan mendesak—sementara Nayaka akan ikut untuk “belajar”. Tak seorang pun mencurigai lebih.Sesampainya di lokasi, mereka berdiri terpaku di depan sebuah rumah kayu bergaya kolonial yang tampak tua namun masih terawat. Yang membuat bulu kuduk berdiri adalah kenyataan bahwa pintu rumah itu tidak dikunci.Rafasya dan Nayaka saling pandang, lalu masuk perlahan.Begitu mereka melewati ruang tamu yang lengang, pandangan Rafasya langsung tertumbuk