Share

Pilihan Rafasya

Penulis: AgilRizkiani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-21 13:34:56

Setelah perbincangan yang membakar luka-luka lama, Kania hanya menghela napas. Dalam.

Ia membuka laci kecil dekat meja, mengeluarkan kunci rumah, lalu meletakkannya di telapak tangan Rafasya.

Langit desa masih berkabut ketika ia keluar dari rumah, mengenakan jaket tipis dan menenteng tas kecil berisi beberapa dokumen dan pakaian.

Di pelataran rumah, mobil Rafasya sudah menunggu.

Ia membuka pintu belakang, hendak masuk, tapi tatapannya tiba-tiba jatuh pada satu benda di dalam mobil.

Sebuah tas kecil. Penuh debu. Tapi ia tahu betul apa isinya.

Dengan perlahan, ia duduk di jok, mengambilnya. Tangannya gemetar saat membuka resleting dan menemukan baju bayi mungil itu kembali.

Warna putih dengan motif awan kecil. Masih wangi sabun.

Dan di bawahnya terselip foto USG terakhir—yang dulu ia sembunyikan dari Rafasya karena kecewa, karena lelah berharap.

Rafasya yang melihat dari samping tak sanggup membuka suara.

Kania menatap barang-barang itu lama. Wajahnya datar. Hampa.

Lalu ia memanggil seorang ibu tua dari teras rumah.

“Bu, bisa bantu simpan ini?” katanya sambil menyodorkan pakaian bayi.

“Berikan saja pada siapa pun yang butuh.”

Perempuan tua itu mengangguk, menerimanya hati-hati.

Namun yang membuat Rafasya terdiam adalah saat Kania memandangi lembar USG di tangannya—lalu, tanpa berkata apa-apa, ia merobeknya perlahan.

Krek.

Krek.

Foto itu terbelah jadi dua, lalu empat, sebelum ia buang ke tong sampah kecil di sisi pintu mobil.

“Kania .…” Rafasya hanya mampu berbisik.

“Kenapa?”

Kania menoleh, datar.

“Hanya selembar kertas. Untuk apa disimpan kalau yang ada di dalamnya sudah tiada?”

Ia lalu masuk ke dalam mobil. Duduk di kursi penumpang tanpa sepatah kata lagi.

Rafasya masuk dari sisi lain.

Mesin dinyalakan. Mobil mulai berjalan melewati jalanan desa yang masih berkabut tipis.

Selama perjalanan, Kania hanya menatap ke luar jendela. Diam.

Tak satu pun cerita keluar dari mulutnya. Tak satu pun pertanyaan tentang apa yang akan mereka hadapi.

Sementara Rafasya mencoba menggenggam tangannya, mencoba menguji sisa koneksi di antara mereka.

Tapi Kania pelan-pelan menarik tangannya. Menghindar.

Bukan karena benci. Tapi karena luka itu masih terlalu dalam untuk disentuh. Bahkan oleh tangan yang pernah ia cintai sepenuh hati.

Rafasya menarik tangannya kembali. Mengerti.

Ia tahu perjalanan mereka belum benar-benar dimulai. Dan ia juga tahu—cinta, kali ini, tidak bisa dibuktikan hanya dengan kata-kata.

Ia harus membangun kembali kepercayaan dari hati yang sudah hancur berkeping-keping.

Dan Kania?

Ia masih duduk di sana, diam—tapi matanya menyimpan tanya,

Apakah luka sebesar ini masih bisa pulih?

Setelah perjalanan panjang yang penuh diam dan perih, mobil itu akhirnya berhenti di halaman rumah Rafasya.

Kania turun lebih dulu. Wajahnya datar—tapi matanya menyimpan badai yang belum reda. Langkahnya mantap, meskipun jiwanya terasa seperti puing-puing yang dipaksa tetap berdiri.

Hari ini bukan tentang pulang.

Hari ini adalah tentang menghadapi.

Tentang luka yang harus dibuka, meski perih. Tentang kebenaran yang tak lagi bisa dipendam.

Di depan rumah, sudah berdiri para saksi dari babak paling kelam hidupnya.

Siska berdiri di teras, gugup tapi mencoba tetap tenang.

Di sampingnya, ibu Rafasya dengan sorot mata yang masih menolak keberadaan Kania.

Lalu—ibu kandung Kania, yang selama ini diam, dan… pria yang menjadi pemicu semuanya: suami Siska.

Tatapan pria itu tajam, nyaris membakar. Ia melangkah maju. Suaranya rendah, tapi cukup mengguncang udara.

“Sekarang, Siska. Kau pilih—suami adikmu, atau aku, suamimu?”

Semua membeku. Bahkan angin pun seperti berhenti.

Kania refleks menoleh, tidak percaya bahwa semuanya terungkap secepat ini. Ia menatap Siska—kakaknya sendiri—yang kini terlihat gemetar. Tapi Siska tetap mencoba mempertahankan wajah angkuhnya.

“Aku pilih suamiku!” serunya, nyaring. “Mana mungkin aku mau dengan Rafasya? Aku bahkan nggak sudi!”

Ucapan itu menampar Rafasya telak.

Ia menunduk. Dada sesak. Tapi ia tahu—itu harga dari pengkhianatannya.

Lalu ibunda Kania—yang sejak awal selalu menyalahkannya—melangkah maju dengan nada tinggi.

“Kamu puas sekarang, Kania? Pulang-pulang malah bawa aib! Memalukan! Semua keluarga jadi bahan gunjingan!”

Kata-kata itu menancap dalam. Tapi kali ini, Kania tidak memilih diam.

Ia menatap ibunya—perempuan yang seharusnya menjadi tempatnya berpulang—dengan mata berair tapi tajam seperti belati.

“Aib? Aku yang membawa aib, Bu?” suaranya meninggi, penuh amarah.

“Aku yang berdarah saat kehilangan anakku, aku yang ditinggalkan saat hamil, aku yang diinjak harga dirinya oleh suaminya sendiri, aku yang dipermalukan oleh kakaknya sendiri … dan aku yang Ibu bilang membawa aib?”

Ia bergetar. Tapi tidak runtuh. Tak ada Kania yang sabar, tabah dan patuh lagi.

Kania kemudian menoleh ke arah ibu mertuanya. Wanita yang sejak awal hanya melihatnya sebagai penghalang reputasi.

“Dan Ibu terima kasih. Terima kasih sudah memastikan aku tidak pernah merasa pantas. Terima kasih sudah selalu membela Siska, bahkan ketika dia menusuk dari belakang.”

“Aku yang merawat rumah ini. Aku yang menemani Rafasya saat tak ada yang peduli. Tapi semua itu tak pernah cukup, kan? Karena aku tak pernah benar di mata kalian.”

Air matanya jatuh. Tapi bukan air mata lemah—melainkan luka yang akhirnya dikeluarkan setelah lama dikunci.

Ia menatap Rafasya. Pria yang pernah jadi tempat berpijaknya.

“Dan kamu, Rafasya, aku tidak minta kamu jadi lelaki sempurna. Tapi setidaknya jadilah manusia.”

“Aku cuma minta dihargai. Dihargai sebagai perempuan, sebagai istri, sebagai ibu dari anak yang bahkan tak sempat aku peluk!”

Rafasya menangis. Tapi Kania tidak berhenti.

Langkahnya naik satu-satu ke tangga. Ia berdiri di atas, seperti hakim yang memutus nasib akhir cerita.

“Hari ini aku buka semua. Karena aku lelah menjadi boneka kalian. Aku bukan milik siapa-siapa. Dan aku bukan lagi perempuan yang akan memohon untuk dipertahankan.”

Ia menatap seluruh orang di bawahnya.

“Mulai hari ini, aku tidak butuh pengakuan. Aku tidak butuh diterima. Karena semestaku tidak lagi berpusat pada kalian.”

Ia menghela napas panjang, lalu melangkah masuk. Pintu ditutup perlahan.

Bukan dengan kemarahan, tapi dengan ketegasan.

Dan di balik pintu yang tertutup itu, Kania akhirnya berdiri sebagai dirinya sendiri. Perempuan yang bangkit dari reruntuhan—bukan untuk mencintai lagi, tapi untuk mencintai dirinya sendiri.

Tak ada tangisan lagi, Kania tersenyum. Air matanya sekarang terlalu berharga. Ia akan membuat mereka menuai apa yang ditanam.

"Ini hanya awalnya saja."

Kania membuka tirai kamarnya dengan sebuah senyum misteri.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istana Yang Ternoda   Cemburu?

    Rafasya mengejar Kania sampai ke pintu depan. Napasnya sedikit memburu, tapi ia tetap memaksa suaranya terdengar tegas."Aku antar, Kania!"Tangannya dengan cepat menggenggam tangan Kania, tapi hanya sekejap sebelum wanita itu melepaskannya dengan gerakan tegas.Kania tersenyum, getir. Senyum yang bukan lagi manis seperti dulu, tapi penuh luka dan ketegaran."Selama tujuh tahun, Rafa .…" suaranya nyaris berbisik, tapi cukup jelas untuk memukul hati lelaki itu, "Kamu bahkan tidak pernah mau mengantarku, bahkan ketika aku memohon. Jadi sekarang kenapa? Untuk menarik simpatiku? Untuk menebus semuanya dalam satu pagi?"Rafasya terdiam. Kalimat Kania seperti pisau tumpul yang dipaksakan masuk ke dadanya, perlahan, menyakitkan."Tidak perlu, Rafa. Bukankah kamu sendiri yang bilang, jadi perempuan itu harus mandiri dan independen? Tidak perlu merepotkan suami?"Sekali lagi, Rafasya dipaksa menelan ludahnya sendiri—kalimat yang dulu ia ucapkan dengan sombong kini kembali padanya sebagai hanta

  • Istana Yang Ternoda   Perubahan Kania

    Kania baru saja keluar dari kamar mandi. Embun hangat masih menempel di kulitnya yang lembab, handuk putih menggantung longgar di bahunya. Ruangan itu, kamar yang selama ini menjadi tempat ternyaman baginya, masih sama—seolah waktu tak pernah bergerak sejak dua bulan lalu ia meninggalkannya. Tak ada debu, tak ada kekacauan. Kania memang mencintai keteraturan, bahkan di tengah kekacauan batin yang pernah ia alami.Tangannya mengusap pelan helaian rambut basah, lalu duduk di depan meja rias. Wajahnya menatap balik dari cermin—sorot mata yang dulu penuh harap kini hanya menyisakan kebekuan. Tujuh tahun. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar untuk dibodohi. Untuk menjadi boneka. Untuk menjalani hidup dengan topeng.Lalu terdengar suara langkah. Pintu kamar yang sedikit terbuka kini benar-benar terbuka. Rafasya berdiri di sana. Diam. Tak bersuara.Tak ada senyuman. Tak ada kata sapaan. Hanya tatapan mata yang penuh gelisah dari lelaki itu, sementara Kania tetap di tempatnya—diam, membisu,

  • Istana Yang Ternoda   Pilihan Rafasya

    Setelah perbincangan yang membakar luka-luka lama, Kania hanya menghela napas. Dalam. Ia membuka laci kecil dekat meja, mengeluarkan kunci rumah, lalu meletakkannya di telapak tangan Rafasya. Langit desa masih berkabut ketika ia keluar dari rumah, mengenakan jaket tipis dan menenteng tas kecil berisi beberapa dokumen dan pakaian. Di pelataran rumah, mobil Rafasya sudah menunggu. Ia membuka pintu belakang, hendak masuk, tapi tatapannya tiba-tiba jatuh pada satu benda di dalam mobil. Sebuah tas kecil. Penuh debu. Tapi ia tahu betul apa isinya. Dengan perlahan, ia duduk di jok, mengambilnya. Tangannya gemetar saat membuka resleting dan menemukan baju bayi mungil itu kembali. Warna putih dengan motif awan kecil. Masih wangi sabun. Dan di bawahnya terselip foto USG terakhir—yang dulu ia sembunyikan dari Rafasya karena kecewa, karena lelah berharap. Rafasya yang melihat dari samping tak sanggup membuka suara. Kania menatap barang-barang itu lama. Wajahnya datar. Hampa. Lalu ia mem

  • Istana Yang Ternoda   Semakin Menjadi

    Dua bulan telah berlalu. Dan selama itu pula, Rafasya hidup seperti bayangan—bergerak, bernapas, tetapi tanpa jiwa. Siang ia gunakan untuk bekerja, membenamkan diri dalam kesibukan yang tak lagi terasa berarti. Sedangkan malam ia habiskan untuk mencari. Menelusuri lorong-lorong kenangan yang ditinggalkan Kania. Mencari ke mana pun jejak itu mungkin tertinggal. Ia menghubungi semua teman Kania, menelusuri rumah sakit, toko langganannya, bahkan tempat-tempat yang paling sepele yang dulu sempat mereka datangi. Tapi hasilnya nihil. Ponsel Kania tetap mati. Tak ada jejak transaksi. Tak ada sinyal keberadaan. Seolah Kania benar-benar menghapus dirinya dari dunia Rafasya. Berulang kali ia mendatangi Nadira—sahabat Kania satu-satunya yang ia tahu bisa menjadi kunci. Tapi, Nadira tetap bungkam, atau tepatnya—terlalu marah untuk membuka suara. “Kalau kamu datang buat minta bantuan, kamu telat, Rafasya. Terlalu telat.” Dan yang paling menyakitkan adalah saat kembali ke rumah, ibunya—yang

  • Istana Yang Ternoda   Rencana Mereka

    Sudah tiga hari sejak Kania menghilang dari rumah sakit—tanpa suara, tanpa jejak, hanya meninggalkan secarik kertas kecil dengan tinta hitam yang mencabik diam, surat cerai. Tiga hari pula sejak Rafasya menemukannya di atas ranjang yang dingin dan kosong seperti hatinya. Kosong yang tak pernah ia sadari bisa terasa begitu menyiksa. Surat itu tak lebih dari selembar kertas tipis. Tapi saat Rafasya membacanya, rasanya seperti ada pisau yang perlahan-lahan mengiris dari dalam—bukan darah yang keluar, tapi penyesalan yang datangnya selalu terlambat. Dan selama tiga hari itu, Kania benar-benar lenyap. Tak ada pesan. Tak ada telepon. Tak ada kabar. Yang tersisa hanyalah bekas lekuk di bantal yang tak lagi hangat, dan aroma samar parfumnya yang mulai memudar di baju-baju yang masih tergantung seperti jiwanya yang sudah lama digantung dalam ketidakpedulian. Seperti biasa, Rafasya memakai topengnya. Ia tetap bekerja. Tetap menghadiri rapat. Tetap makan malam bersama ibunya yang terus berc

  • Istana Yang Ternoda   Dipersalahkan

    Langit pagi masih kelabu saat Kania membuka matanya perlahan. Aroma antiseptik, bunyi pelan mesin infus, dan dinginnya udara kamar rumah sakit menyambutnya seperti tamparan realita. Namun rasa nyeri di tubuhnya tidak ada apa-apanya dibandingkan luka yang menganga di dadanya. Tubuhnya belum bisa banyak bergerak, tapi telinganya tajam menangkap suara-suara dari balik pintu. Ia tak sengaja menjadi saksi dari gunjingan yang selama ini mungkin hanya dibisikkan di belakangnya—dan kini diucapkan tanpa malu, di luar kamar tempat ia terbaring kehilangan. “Sudah tahu kandungan lemah, masih saja keras kepala. Gagal jaga anak sendiri. Pantes saja Rafa makin malas pulang.” Suara mertuanya, dingin dan tanpa empati. Setiap kata seolah mengiris kulit Kania pelan-pelan. “Dari awal aku udah bilang, Kania itu emosinya nggak stabil. Terlalu banyak drama. Mana bisa dia jadi ibu?” Ibunya. Suara yang dulu ia kenal sebagai pelindung, kini hanya jadi silet yang membelah dadanya. “Kalau nggak sanggup, me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status