Dua bulan telah berlalu. Dan selama itu pula, Rafasya hidup seperti bayangan—bergerak, bernapas, tetapi tanpa jiwa.
Siang ia gunakan untuk bekerja, membenamkan diri dalam kesibukan yang tak lagi terasa berarti. Sedangkan malam ia habiskan untuk mencari. Menelusuri lorong-lorong kenangan yang ditinggalkan Kania. Mencari ke mana pun jejak itu mungkin tertinggal. Ia menghubungi semua teman Kania, menelusuri rumah sakit, toko langganannya, bahkan tempat-tempat yang paling sepele yang dulu sempat mereka datangi. Tapi hasilnya nihil. Ponsel Kania tetap mati. Tak ada jejak transaksi. Tak ada sinyal keberadaan. Seolah Kania benar-benar menghapus dirinya dari dunia Rafasya. Berulang kali ia mendatangi Nadira—sahabat Kania satu-satunya yang ia tahu bisa menjadi kunci. Tapi, Nadira tetap bungkam, atau tepatnya—terlalu marah untuk membuka suara. “Kalau kamu datang buat minta bantuan, kamu telat, Rafasya. Terlalu telat.” Dan yang paling menyakitkan adalah saat kembali ke rumah, ibunya—yang dari dulu tak pernah menyukai Kania—masih saja menyiramkan minyak ke api luka. “Kania itu benar-benar wanita egois. Kalau ini sampai tersebar ke publik, bisa jadi aib besar buat keluarga kita!” Dulu, kalimat seperti itu akan ia anggap angin lalu. Tapi kali ini, ia merasakannya menampar langsung ke ulu hati. “Bu … sudahlah. Kania sudah nggak ada. Kenapa masih menyalahkannya?” Ibunya menatap tajam, seperti tak percaya. “Kenapa? Sekarang Ibu lihat kamu seperti seorang suami yang membela istrinya, ya?” Rafasya hanya menarik napas. Dalam. Lelah. Lalu beranjak, meninggalkan ibunya yang masih terperangkap dalam benci yang ia bangun sendiri. Ia masuk ke kamar. Ruang yang dulunya terasa hangat karena tawa dan celoteh Kania kini berubah dingin dan kosong. Biasanya, saat ia pulang, Kania akan menyambut. Entah dengan rengekan manja karena kaki pegal, atau cerita lucu tentang pasiennya hari itu. Sekaran hanya sepi. Sunyi yang menggigit tulang. Ia duduk di kasur. Menatap bantal Kania yang masih tertata di sisi kanan. “Kamu sebenarnya di mana, Kania? Kenapa selama ini nggak pulang-pulang?” Baru saja ia tenggelam dalam keheningan, ponselnya berdering. Anak buahnya menelepon, suara di seberang tergesa. “Pak, kami temukan seorang wanita dengan ciri-ciri mirip Bu Kania. Tinggal di desa kecil, jauh dari pusat kota. Shareloknya sudah kami kirim.” Jantung Rafasya berdegup kencang. Ia berdiri, berjalan cepat ke arah lemari untuk mengambil jaket. Tapi saat menarik pintu lemari, sebuah paper bag terjatuh begitu saja dari rak atas. Ia menunduk, meraihnya, dan saat dibuka—ia membeku. Di dalamnya, pakaian bayi mungil. Lembut. Bersih. Dan beberapa lembar foto USG. Nama pasien: Kania Ardelia. Kehamilan: trimester kedua. Tangannya gemetar saat menyentuhnya. Matanya memanas. Lalu satu kalimat dari masa lalu terngiang kembali. "Sayang, anak kita udah mulai nendang." Dulu, ia mengabaikannya. Bahkan sempat berpikir kehamilan itu adalah cara Kania menyembunyikan rasa curiganya terhadap hubungannya dengan Siska. Ia pikir Kania terlalu berlebihan. Terlalu manja. Terlalu ingin diperhatikan, padahal ia sendiri bukan tipe lelaki yang suka memberi perhatian. Dan kini, saat semuanya telah terlambat, ia bertanya pada dirinya sendiri. “Kenapa sekarang justru aku yang ingin mengulang semua momen itu kembali?” Ia menggenggam pakaian bayi itu erat-erat. Rasa bersalah membakar dadanya. “Apa aku pembunuh darah dagingku sendiri?" Tanpa menunggu lebih lama, ia membereskan barang-barang itu dan segera keluar. Mobilnya melaju cepat di tengah malam, menembus jalanan menuju lokasi yang dikirim anak buahnya. Jalan menuju desa itu tak mulus. Aspalnya rusak, penuh lubang dan kerikil. Tapi Rafasya tak peduli. Ia hanya ingin segera sampai. Sesekali ia menatap hasil USG yang ia letakkan di jok sebelah. Wajah kecil di layar hitam putih itu kini menjadi pusat semua penyesalannya. Tiba di desa, ia turun dan bertanya pada beberapa penduduk. Seseorang menunjuk rumah kayu sederhana di balik ladang kecil. “Oh, Bu Dokter cantik itu ya?" Kalimat itu menghantam. Rafasya menunduk. Langkahnya goyah. Tapi ia tetap berjalan. Dan di depan rumah itu—di halaman kecil yang ditumbuhi bunga liar—berdiri seorang perempuan. Rambutnya terikat sederhana. Wajahnya pucat. Tapi tatapannya tegas. Kania. Perempuan yang selama ini ia abaikan, kini berdiri di sana seperti luka yang belum sembuh. Rafasya berhenti beberapa meter darinya. “Kania .…” suaranya serak, nyaris tak keluar. Kania menoleh. Pandangannya kosong. Tak kaget. Tak terkejut. Hanya dingin. Rafasya langsung menarik Kania ke dalam pelukannya. Erat. Penuh rindu dan gemetar. Tubuhnya menggigil seperti menahan hujan badai yang datang dari dalam. Namun di pelukannya, Kania hanya terdiam. Tak ada balasan. Tak ada pelukan balik. Hanya dingin dan kaku—seolah tubuhnya sudah lama tidak mengenali kehangatan Rafasya. Setelah beberapa saat, suara Kania pecah di telinga Rafasya, pelan tapi jelas. "Bagaimana dengan perceraian kita? Apa ... suratnya sudah keluar?" Rafasya tidak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam, menahan segala yang ingin meledak. Tapi Rafasya lebih dulu bicara, menggenggam bahunya. “Aku nggak mau kita cerai.” “Aku nggak bisa.” Kania tertawa kecil—bukan karena lucu, tapi karena getir. Ia menepis tangan Rafasya perlahan, lalu memandang ke sekeliling. Beberapa tetangga terlihat memperhatikan dari kejauhan. Ia tahu desa ini bukan tempat untuk memamerkan luka. “Masuk. Aku nggak mau tetangga menyaksikan babak baru drama hidup kita.” Mereka pun masuk ke rumah kayu itu. Hening menyelimuti selama beberapa detik. Di dalam, Kania langsung menatap Rafasya. Mata itu—mata yang dulu selalu lembut saat memandangnya—kini tajam, bahkan lebih menusuk dari kemarahan. “Kalau kamu mencintai Siska, ceraikan aku. Nikahi dia. Aku bukan boneka yang bisa kamu gantung seenaknya. Aku bukan alat pelindung reputasimu atau perisai dari aib keluargamu!” Rafasya menggeleng, keras. Langkahnya maju satu dua. “Aku nggak cinta Siska. Aku salah. Tapi itu ... bukan cinta. Itu kelam. Aku mencintaimu, Kania." Kania tersenyum—pahit. “Cinta? Setelah semua yang kamu lakukan? Setelah aku berdarah sendirian kehilangan anak kita? Kamu pikir aku masih bisa mendengar kata cinta itu tanpa mual?” “Aku tahu aku terlambat,” suara Rafasya nyaris berbisik. “Terlambat untuk jadi suami. Terlambat jadi ayah. Tapi tolong, jangan bilang semua ini sudah habis.” Kania berdiri. Bahunya bergetar. Suaranya pelan, tapi menusuk: “Apalagi yang harus kita pertahankan, Rafasya? Nama baik keluargamu? Melindungi Siska dari amukan suaminya? Anak? Anak kita sudah mati! Mati … karena aku terlalu stres. Karena kamu terlalu dingin. Karena aku sendiri.” Kalimat itu menghantam seperti palu godam ke dada Rafasya. Air matanya jatuh. Tapi Kania tetap berdiri. Tegak. Seolah sudah kehabisan tempat untuk menangis. “Kamu tahu apa yang paling menyakitkan? Aku kehilangan anak kita, dan aku bahkan harus menyangga tubuhku sendirian. Saat aku berdarah, saat dokter bilang denyut jantung itu hilang. Kamu bahkan nggak tahu aku ada di mana.” Rafasya jatuh terduduk. Tangan menutupi wajah. Tangisnya pecah. Kania menatapnya dalam-dalam. Ada luka. Ada cinta. Tapi juga ada kebencian yang tak bisa dihapus hanya dengan pelukan atau maaf. “Aku bukan minta kamu berubah. Aku cuma minta kamu berhenti menganggap aku milikmu, padahal kamu bahkan nggak tahu rasanya kehilangan diriku.” Rafasya terdiam, lalu berkata. "Berikan aku kesempatan kedua." Kania menatapnya tanpa arti lalu memberikan sebuah jawaban.Sore itu, langit berwarna keemasan. Di taman belakang rumah, keluarga Kania berkumpul di bawah pohon besar yang rindang. Meja panjang dipenuhi makanan kesukaan keluarga, dan di tengahnya ada dua kue kecil dengan lilin berbentuk angka 22.Kania menyalakan lilin itu dengan senyum lembut. "Selamat ulang tahun, Nayyara, Nazeera," ucapnya pelan, suaranya bergetar namun penuh kehangatan.Narendra dan Nayaka duduk di samping ibunya, masing-masing memegang bingkai foto si kembar. Rafasya merangkul Kania, menatapnya dengan pandangan yang menguatkan.Mereka tidak menangis kali ini. Mereka hanya tersenyum, mengenang tawa, cerita, dan doa yang tak pernah putus. Angin sore bertiup lembut, seolah membawa pesan dari kejauhan.Kania menatap lilin yang menyala itu. "Mama, Papa, dan kakak-kakakmu di sini bahagia jadi kalian juga harus bahagia di sana, ya."Mereka meniup lilin bersama-sama. Dan di langit, dua bintang mulai muncul lebih cepat dari biasanya, berkilau di antara warna senja.Bagi keluarga i
Lima tahun telah berlalu sejak tanah longsor itu merenggut semua harapan. Hari-hari penuh pencarian sudah lama berakhir, dan kabar resmi dari pihak berwenang hanya menyisakan satu kenyataan pahit: Nayara dan Nazeera dinyatakan meninggal dunia. Namun, di hati Kania, cinta kepada putri kembarnya tak pernah terkubur bersama waktu.Setiap tahun, di tanggal ulang tahun si kembar, ia selalu menyiapkan dua kue sederhana dengan lilin di atasnya. Di ruang tamu yang temaram, Kania duduk sendirian menatap nyala lilin itu, seolah dua cahaya kecil itu adalah Nayara dan Nazeera yang pulang sebentar untuk menemuinya.“Selamat ulang tahun, kedua putriku,” ucapnya pelan, suaranya bergetar, “Pasti sekarang kalian sudah tumbuh menjadi remaja cantik. Maaf, Nak. Mama belum bisa menemani kalian untuk saat ini. Tapi asal kalian tahu, cinta Mama tidak akan pernah mati.”Air matanya jatuh satu per satu, membasahi meja. Tangannya mengusap permukaan kue, seperti membelai rambut anak-anaknya.Nayaka, yang kini s
Langit di pegunungan itu diselimuti kabut tebal, hujan belum berhenti sejak tanah longsor pertama kali menghantam villa peninggalan orang tua Tante Vita. Bau lumpur basah bercampur kayu lapuk memenuhi udara.Rafasya berdiri di tepi jurang longsor bersama Nayaka dan Narendra. Wajahnya pucat, tapi sorot matanya penuh tekad.“Kita tidak bisa menunggu. Setiap detik yang lewat bisa jadi perbedaan antara hidup dan mati,” katanya pada tim Basarnas.Seorang komandan tim Basarnas menatapnya serius. “Medan ini berbahaya. Longsor susulan bisa terjadi kapan saja. Tapi kalau kalian tetap mau turun gunakan ini.”Mereka memberikan tali pengaman, helm khusus, serta alat pendeteksi panas tubuh.Narendra memeriksa peta jalur longsor. “Pa, kalau dari arah sini kita bisa tembus ke sisa pondasi belakang villa. Mungkin mereka sempat mencari perlindungan di situ.”“Baik. Kita coba.” Rafasya mengangguk, suaranya tegas tapi hatinya digelayuti rasa takut.***Sementara itu, di rumah sakit, Kania duduk di ranja
Di ruang ICU rumah sakit, suasana mencekam. Detak monitor jantung Pak Hengky terdengar semakin lemah, dan setiap bunyinya membuat semua orang menahan napas. Rafasya berdiri di sisi ranjang, memegang tangan ayahnya yang dingin. Kania duduk di kursi, air matanya terus mengalir.Semua berharap keajaiban, tapi justru sebaliknya—kondisi Pak Hengky memburuk. Dengan napas tersengal-sengal, ia membuka matanya sebentar, menatap Rafasya dan Kania. Bibirnya bergetar, dan hanya satu kata yang berhasil keluar:“Maaf,”Air mata Rafasya pecah seketika. Kania menutup mulutnya, menahan isak. Tapi tak sampai hitungan detik, monitor itu mengeluarkan bunyi panjang yang menusuk telinga. Garis di layar menjadi lurus.Pak Hengky telah pergi… untuk selamanya.Tangis pecah di ruangan itu—bukan hanya karena kehilangan, tapi karena mereka baru saja kehilangan satu-satunya orang yang mungkin mengetahui keberadaan Nayara dan Nazeera. Harapan seakan runtuh dalam sekejap.Prosesi pemakaman berlangsung dalam kehenin
Perlahan, kelopak mata Risa dan Rosa mulai terbuka. Cahaya matahari yang menyusup lewat sela tirai tipis mengusik pandangan mereka. Kamar ini, asing. Langit-langitnya bukan yang biasa mereka lihat. Aroma udara pun berbeda. Begitu pula seprei dan selimut yang membalut tubuh mereka.Risa menggeliat pelan, lalu menoleh ke arah Rosa yang juga baru membuka mata.“Rosa … kita di mana?” bisik Risa pelan.Rosa mengernyit. “Aku, nggak tahu. Ini bukan kamar kita.”Keduanya bangkit pelan dari tempat tidur, tubuh terasa lemas seperti habis sakit berhari-hari. Mereka melangkah dengan kaki gemetar menuju jendela, menyingkap tirai—yang terlihat adalah kebun bunga luas, dipenuhi warna-warni mawar dan anggrek yang tertata rapi.Tepat di tengah pemandangan itu, duduk seorang wanita di kursi rotan. Ia sedang menyeruput teh, tampak tenang menatap taman seolah tak terjadi apa-apa. Wanita itu adalah bunda mereka—Tante Vita.Melihat si kembar muncul di ambang pintu kaca, Tante Vita bangkit berdiri dengan se
Langit mendung menyambut helikopter yang mendarat perlahan di atas tanah lapang pulau terpencil itu. Angin laut menerpa wajah Nayaka dan Rafasya begitu mereka turun. Detak jantung keduanya tak karuan, langkah kaki terburu-buru menuju titik koordinat yang dikirimkan oleh akun anonim itu.Sebelum keberangkatan, Rafasya sempat menitipkan Kania yang masih dirawat di ruang VVIP rumah sakit kepada orang-orang terdekat: Nadira, Bu Susi, Bu Ria, serta dua sahabat lamanya, Pak Burhan dan Pak Haikal. Kepada mereka, ia hanya mengatakan ini adalah urusan pekerjaan mendesak—sementara Nayaka akan ikut untuk “belajar”. Tak seorang pun mencurigai lebih.Sesampainya di lokasi, mereka berdiri terpaku di depan sebuah rumah kayu bergaya kolonial yang tampak tua namun masih terawat. Yang membuat bulu kuduk berdiri adalah kenyataan bahwa pintu rumah itu tidak dikunci.Rafasya dan Nayaka saling pandang, lalu masuk perlahan.Begitu mereka melewati ruang tamu yang lengang, pandangan Rafasya langsung tertumbuk