Share

Semakin Menjadi

Penulis: AgilRizkiani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-21 13:04:46

Dua bulan telah berlalu. Dan selama itu pula, Rafasya hidup seperti bayangan—bergerak, bernapas, tetapi tanpa jiwa.

Siang ia gunakan untuk bekerja, membenamkan diri dalam kesibukan yang tak lagi terasa berarti.

Sedangkan malam ia habiskan untuk mencari. Menelusuri lorong-lorong kenangan yang ditinggalkan Kania. Mencari ke mana pun jejak itu mungkin tertinggal.

Ia menghubungi semua teman Kania, menelusuri rumah sakit, toko langganannya, bahkan tempat-tempat yang paling sepele yang dulu sempat mereka datangi. Tapi hasilnya nihil.

Ponsel Kania tetap mati. Tak ada jejak transaksi. Tak ada sinyal keberadaan.

Seolah Kania benar-benar menghapus dirinya dari dunia Rafasya.

Berulang kali ia mendatangi Nadira—sahabat Kania satu-satunya yang ia tahu bisa menjadi kunci. Tapi, Nadira tetap bungkam, atau tepatnya—terlalu marah untuk membuka suara.

“Kalau kamu datang buat minta bantuan, kamu telat, Rafasya. Terlalu telat.”

Dan yang paling menyakitkan adalah saat kembali ke rumah, ibunya—yang dari dulu tak pernah menyukai Kania—masih saja menyiramkan minyak ke api luka.

“Kania itu benar-benar wanita egois. Kalau ini sampai tersebar ke publik, bisa jadi aib besar buat keluarga kita!”

Dulu, kalimat seperti itu akan ia anggap angin lalu. Tapi kali ini, ia merasakannya menampar langsung ke ulu hati.

“Bu … sudahlah. Kania sudah nggak ada. Kenapa masih menyalahkannya?”

Ibunya menatap tajam, seperti tak percaya.

“Kenapa? Sekarang Ibu lihat kamu seperti seorang suami yang membela istrinya, ya?”

Rafasya hanya menarik napas. Dalam. Lelah. Lalu beranjak, meninggalkan ibunya yang masih terperangkap dalam benci yang ia bangun sendiri.

Ia masuk ke kamar. Ruang yang dulunya terasa hangat karena tawa dan celoteh Kania kini berubah dingin dan kosong.

Biasanya, saat ia pulang, Kania akan menyambut. Entah dengan rengekan manja karena kaki pegal, atau cerita lucu tentang pasiennya hari itu.

Sekaran hanya sepi. Sunyi yang menggigit tulang.

Ia duduk di kasur. Menatap bantal Kania yang masih tertata di sisi kanan.

“Kamu sebenarnya di mana, Kania? Kenapa selama ini nggak pulang-pulang?”

Baru saja ia tenggelam dalam keheningan, ponselnya berdering.

Anak buahnya menelepon, suara di seberang tergesa.

“Pak, kami temukan seorang wanita dengan ciri-ciri mirip Bu Kania. Tinggal di desa kecil, jauh dari pusat kota. Shareloknya sudah kami kirim.”

Jantung Rafasya berdegup kencang.

Ia berdiri, berjalan cepat ke arah lemari untuk mengambil jaket. Tapi saat menarik pintu lemari, sebuah paper bag terjatuh begitu saja dari rak atas.

Ia menunduk, meraihnya, dan saat dibuka—ia membeku.

Di dalamnya, pakaian bayi mungil.

Lembut. Bersih. Dan beberapa lembar foto USG. Nama pasien: Kania Ardelia. Kehamilan: trimester kedua.

Tangannya gemetar saat menyentuhnya. Matanya memanas.

Lalu satu kalimat dari masa lalu terngiang kembali.

"Sayang, anak kita udah mulai nendang."

Dulu, ia mengabaikannya. Bahkan sempat berpikir kehamilan itu adalah cara Kania menyembunyikan rasa curiganya terhadap hubungannya dengan Siska. Ia pikir Kania terlalu berlebihan. Terlalu manja. Terlalu ingin diperhatikan, padahal ia sendiri bukan tipe lelaki yang suka memberi perhatian.

Dan kini, saat semuanya telah terlambat, ia bertanya pada dirinya sendiri.

“Kenapa sekarang justru aku yang ingin mengulang semua momen itu kembali?”

Ia menggenggam pakaian bayi itu erat-erat. Rasa bersalah membakar dadanya.

“Apa aku pembunuh darah dagingku sendiri?"

Tanpa menunggu lebih lama, ia membereskan barang-barang itu dan segera keluar. Mobilnya melaju cepat di tengah malam, menembus jalanan menuju lokasi yang dikirim anak buahnya.

Jalan menuju desa itu tak mulus. Aspalnya rusak, penuh lubang dan kerikil. Tapi Rafasya tak peduli. Ia hanya ingin segera sampai.

Sesekali ia menatap hasil USG yang ia letakkan di jok sebelah.

Wajah kecil di layar hitam putih itu kini menjadi pusat semua penyesalannya.

Tiba di desa, ia turun dan bertanya pada beberapa penduduk.

Seseorang menunjuk rumah kayu sederhana di balik ladang kecil.

“Oh, Bu Dokter cantik itu ya?"

Kalimat itu menghantam.

Rafasya menunduk. Langkahnya goyah. Tapi ia tetap berjalan.

Dan di depan rumah itu—di halaman kecil yang ditumbuhi bunga liar—berdiri seorang perempuan.

Rambutnya terikat sederhana. Wajahnya pucat. Tapi tatapannya tegas.

Kania.

Perempuan yang selama ini ia abaikan, kini berdiri di sana seperti luka yang belum sembuh.

Rafasya berhenti beberapa meter darinya. “Kania .…” suaranya serak, nyaris tak keluar.

Kania menoleh. Pandangannya kosong. Tak kaget. Tak terkejut. Hanya dingin.

Rafasya langsung menarik Kania ke dalam pelukannya. Erat. Penuh rindu dan gemetar. Tubuhnya menggigil seperti menahan hujan badai yang datang dari dalam.

Namun di pelukannya, Kania hanya terdiam. Tak ada balasan. Tak ada pelukan balik. Hanya dingin dan kaku—seolah tubuhnya sudah lama tidak mengenali kehangatan Rafasya.

Setelah beberapa saat, suara Kania pecah di telinga Rafasya, pelan tapi jelas.

"Bagaimana dengan perceraian kita? Apa ... suratnya sudah keluar?"

Rafasya tidak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam, menahan segala yang ingin meledak.

Tapi Rafasya lebih dulu bicara, menggenggam bahunya.

“Aku nggak mau kita cerai.”

“Aku nggak bisa.”

Kania tertawa kecil—bukan karena lucu, tapi karena getir. Ia menepis tangan Rafasya perlahan, lalu memandang ke sekeliling. Beberapa tetangga terlihat memperhatikan dari kejauhan. Ia tahu desa ini bukan tempat untuk memamerkan luka.

“Masuk. Aku nggak mau tetangga menyaksikan babak baru drama hidup kita.”

Mereka pun masuk ke rumah kayu itu. Hening menyelimuti selama beberapa detik.

Di dalam, Kania langsung menatap Rafasya. Mata itu—mata yang dulu selalu lembut saat memandangnya—kini tajam, bahkan lebih menusuk dari kemarahan.

“Kalau kamu mencintai Siska, ceraikan aku. Nikahi dia. Aku bukan boneka yang bisa kamu gantung seenaknya. Aku bukan alat pelindung reputasimu atau perisai dari aib keluargamu!”

Rafasya menggeleng, keras. Langkahnya maju satu dua.

“Aku nggak cinta Siska. Aku salah. Tapi itu ... bukan cinta. Itu kelam.

Aku mencintaimu, Kania."

Kania tersenyum—pahit.

“Cinta? Setelah semua yang kamu lakukan? Setelah aku berdarah sendirian kehilangan anak kita? Kamu pikir aku masih bisa mendengar kata cinta itu tanpa mual?”

“Aku tahu aku terlambat,” suara Rafasya nyaris berbisik.

“Terlambat untuk jadi suami. Terlambat jadi ayah. Tapi tolong, jangan bilang semua ini sudah habis.”

Kania berdiri. Bahunya bergetar. Suaranya pelan, tapi menusuk:

“Apalagi yang harus kita pertahankan, Rafasya? Nama baik keluargamu? Melindungi Siska dari amukan suaminya? Anak? Anak kita sudah mati! Mati … karena aku terlalu stres. Karena kamu terlalu dingin. Karena aku sendiri.”

Kalimat itu menghantam seperti palu godam ke dada Rafasya.

Air matanya jatuh. Tapi Kania tetap berdiri. Tegak. Seolah sudah kehabisan tempat untuk menangis.

“Kamu tahu apa yang paling menyakitkan? Aku kehilangan anak kita, dan aku bahkan harus menyangga tubuhku sendirian.

Saat aku berdarah, saat dokter bilang denyut jantung itu hilang. Kamu bahkan nggak tahu aku ada di mana.”

Rafasya jatuh terduduk. Tangan menutupi wajah. Tangisnya pecah.

Kania menatapnya dalam-dalam.

Ada luka. Ada cinta. Tapi juga ada kebencian yang tak bisa dihapus hanya dengan pelukan atau maaf.

“Aku bukan minta kamu berubah. Aku cuma minta kamu berhenti menganggap aku milikmu, padahal kamu bahkan nggak tahu rasanya kehilangan diriku.”

Rafasya terdiam, lalu berkata. "Berikan aku kesempatan kedua."

Kania menatapnya tanpa arti lalu memberikan sebuah jawaban.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istana Yang Ternoda   Cemburu?

    Rafasya mengejar Kania sampai ke pintu depan. Napasnya sedikit memburu, tapi ia tetap memaksa suaranya terdengar tegas."Aku antar, Kania!"Tangannya dengan cepat menggenggam tangan Kania, tapi hanya sekejap sebelum wanita itu melepaskannya dengan gerakan tegas.Kania tersenyum, getir. Senyum yang bukan lagi manis seperti dulu, tapi penuh luka dan ketegaran."Selama tujuh tahun, Rafa .…" suaranya nyaris berbisik, tapi cukup jelas untuk memukul hati lelaki itu, "Kamu bahkan tidak pernah mau mengantarku, bahkan ketika aku memohon. Jadi sekarang kenapa? Untuk menarik simpatiku? Untuk menebus semuanya dalam satu pagi?"Rafasya terdiam. Kalimat Kania seperti pisau tumpul yang dipaksakan masuk ke dadanya, perlahan, menyakitkan."Tidak perlu, Rafa. Bukankah kamu sendiri yang bilang, jadi perempuan itu harus mandiri dan independen? Tidak perlu merepotkan suami?"Sekali lagi, Rafasya dipaksa menelan ludahnya sendiri—kalimat yang dulu ia ucapkan dengan sombong kini kembali padanya sebagai hanta

  • Istana Yang Ternoda   Perubahan Kania

    Kania baru saja keluar dari kamar mandi. Embun hangat masih menempel di kulitnya yang lembab, handuk putih menggantung longgar di bahunya. Ruangan itu, kamar yang selama ini menjadi tempat ternyaman baginya, masih sama—seolah waktu tak pernah bergerak sejak dua bulan lalu ia meninggalkannya. Tak ada debu, tak ada kekacauan. Kania memang mencintai keteraturan, bahkan di tengah kekacauan batin yang pernah ia alami.Tangannya mengusap pelan helaian rambut basah, lalu duduk di depan meja rias. Wajahnya menatap balik dari cermin—sorot mata yang dulu penuh harap kini hanya menyisakan kebekuan. Tujuh tahun. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar untuk dibodohi. Untuk menjadi boneka. Untuk menjalani hidup dengan topeng.Lalu terdengar suara langkah. Pintu kamar yang sedikit terbuka kini benar-benar terbuka. Rafasya berdiri di sana. Diam. Tak bersuara.Tak ada senyuman. Tak ada kata sapaan. Hanya tatapan mata yang penuh gelisah dari lelaki itu, sementara Kania tetap di tempatnya—diam, membisu,

  • Istana Yang Ternoda   Pilihan Rafasya

    Setelah perbincangan yang membakar luka-luka lama, Kania hanya menghela napas. Dalam. Ia membuka laci kecil dekat meja, mengeluarkan kunci rumah, lalu meletakkannya di telapak tangan Rafasya. Langit desa masih berkabut ketika ia keluar dari rumah, mengenakan jaket tipis dan menenteng tas kecil berisi beberapa dokumen dan pakaian. Di pelataran rumah, mobil Rafasya sudah menunggu. Ia membuka pintu belakang, hendak masuk, tapi tatapannya tiba-tiba jatuh pada satu benda di dalam mobil. Sebuah tas kecil. Penuh debu. Tapi ia tahu betul apa isinya. Dengan perlahan, ia duduk di jok, mengambilnya. Tangannya gemetar saat membuka resleting dan menemukan baju bayi mungil itu kembali. Warna putih dengan motif awan kecil. Masih wangi sabun. Dan di bawahnya terselip foto USG terakhir—yang dulu ia sembunyikan dari Rafasya karena kecewa, karena lelah berharap. Rafasya yang melihat dari samping tak sanggup membuka suara. Kania menatap barang-barang itu lama. Wajahnya datar. Hampa. Lalu ia mem

  • Istana Yang Ternoda   Semakin Menjadi

    Dua bulan telah berlalu. Dan selama itu pula, Rafasya hidup seperti bayangan—bergerak, bernapas, tetapi tanpa jiwa. Siang ia gunakan untuk bekerja, membenamkan diri dalam kesibukan yang tak lagi terasa berarti. Sedangkan malam ia habiskan untuk mencari. Menelusuri lorong-lorong kenangan yang ditinggalkan Kania. Mencari ke mana pun jejak itu mungkin tertinggal. Ia menghubungi semua teman Kania, menelusuri rumah sakit, toko langganannya, bahkan tempat-tempat yang paling sepele yang dulu sempat mereka datangi. Tapi hasilnya nihil. Ponsel Kania tetap mati. Tak ada jejak transaksi. Tak ada sinyal keberadaan. Seolah Kania benar-benar menghapus dirinya dari dunia Rafasya. Berulang kali ia mendatangi Nadira—sahabat Kania satu-satunya yang ia tahu bisa menjadi kunci. Tapi, Nadira tetap bungkam, atau tepatnya—terlalu marah untuk membuka suara. “Kalau kamu datang buat minta bantuan, kamu telat, Rafasya. Terlalu telat.” Dan yang paling menyakitkan adalah saat kembali ke rumah, ibunya—yang

  • Istana Yang Ternoda   Rencana Mereka

    Sudah tiga hari sejak Kania menghilang dari rumah sakit—tanpa suara, tanpa jejak, hanya meninggalkan secarik kertas kecil dengan tinta hitam yang mencabik diam, surat cerai. Tiga hari pula sejak Rafasya menemukannya di atas ranjang yang dingin dan kosong seperti hatinya. Kosong yang tak pernah ia sadari bisa terasa begitu menyiksa. Surat itu tak lebih dari selembar kertas tipis. Tapi saat Rafasya membacanya, rasanya seperti ada pisau yang perlahan-lahan mengiris dari dalam—bukan darah yang keluar, tapi penyesalan yang datangnya selalu terlambat. Dan selama tiga hari itu, Kania benar-benar lenyap. Tak ada pesan. Tak ada telepon. Tak ada kabar. Yang tersisa hanyalah bekas lekuk di bantal yang tak lagi hangat, dan aroma samar parfumnya yang mulai memudar di baju-baju yang masih tergantung seperti jiwanya yang sudah lama digantung dalam ketidakpedulian. Seperti biasa, Rafasya memakai topengnya. Ia tetap bekerja. Tetap menghadiri rapat. Tetap makan malam bersama ibunya yang terus berc

  • Istana Yang Ternoda   Dipersalahkan

    Langit pagi masih kelabu saat Kania membuka matanya perlahan. Aroma antiseptik, bunyi pelan mesin infus, dan dinginnya udara kamar rumah sakit menyambutnya seperti tamparan realita. Namun rasa nyeri di tubuhnya tidak ada apa-apanya dibandingkan luka yang menganga di dadanya. Tubuhnya belum bisa banyak bergerak, tapi telinganya tajam menangkap suara-suara dari balik pintu. Ia tak sengaja menjadi saksi dari gunjingan yang selama ini mungkin hanya dibisikkan di belakangnya—dan kini diucapkan tanpa malu, di luar kamar tempat ia terbaring kehilangan. “Sudah tahu kandungan lemah, masih saja keras kepala. Gagal jaga anak sendiri. Pantes saja Rafa makin malas pulang.” Suara mertuanya, dingin dan tanpa empati. Setiap kata seolah mengiris kulit Kania pelan-pelan. “Dari awal aku udah bilang, Kania itu emosinya nggak stabil. Terlalu banyak drama. Mana bisa dia jadi ibu?” Ibunya. Suara yang dulu ia kenal sebagai pelindung, kini hanya jadi silet yang membelah dadanya. “Kalau nggak sanggup, me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status