Share

Perubahan Kania

Author: AgilRizkiani
last update Last Updated: 2025-06-26 21:15:59

Kania baru saja keluar dari kamar mandi. Embun hangat masih menempel di kulitnya yang lembab, handuk putih menggantung longgar di bahunya. Ruangan itu, kamar yang selama ini menjadi tempat ternyaman baginya, masih sama—seolah waktu tak pernah bergerak sejak dua bulan lalu ia meninggalkannya. Tak ada debu, tak ada kekacauan. Kania memang mencintai keteraturan, bahkan di tengah kekacauan batin yang pernah ia alami.

Tangannya mengusap pelan helaian rambut basah, lalu duduk di depan meja rias. Wajahnya menatap balik dari cermin—sorot mata yang dulu penuh harap kini hanya menyisakan kebekuan. Tujuh tahun. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar untuk dibodohi. Untuk menjadi boneka. Untuk menjalani hidup dengan topeng.

Lalu terdengar suara langkah. Pintu kamar yang sedikit terbuka kini benar-benar terbuka. Rafasya berdiri di sana. Diam. Tak bersuara.

Tak ada senyuman. Tak ada kata sapaan. Hanya tatapan mata yang penuh gelisah dari lelaki itu, sementara Kania tetap di tempatnya—diam, membisu, dan dingin seperti marmer.

"Kania, aku bisa jelaskan—"

"Tidak perlu dijelaskan, Rafa." Suaranya datar, nyaris tanpa emosi. "Aku tidak memerlukan penjelasan apapun."

"Tidak, Kania. Kamu harus dengar dulu. Kamu harus tahu yang sebenarnya—"

Kania mengangkat satu alis. Gerakannya lambat, nyaris angkuh. Ia berdiri pelan, menghampiri Rafasya yang masih berdiri kikuk di ambang pintu. Saat hanya berjarak satu langkah darinya, ia menatap lelaki itu dalam-dalam. Tatapannya tajam seperti belati.

"Aneh, ya. Bukannya dulu kamu yang bilang, 'Untuk apa penjelasan? Aku-aku, kamu-kamu.' Ingat itu?"

Rafasya terdiam. Tenggorokannya bergerak, menelan ludah yang terasa seperti batu. Kania masih menatapnya.

"Sekarang kenapa? Takut? Atau karena semua topengmu mulai jatuh satu-satu?"

"Kania tolong, aku cuma ingin—"

"—ingin apa? Memperbaiki?" Kania menyela cepat. Suaranya tetap tenang, tapi nadanya tajam. "Luka ini sudah terlalu dalam, Rafa. Kamu bisa bilang sesal, bisa bilang cinta, bisa bilang apa pun tapi kamu datang terlambat."

Rafasya mendekat, tapi Kania mundur satu langkah. Jarak itu menjadi tembok tak kasat mata yang jelas tak bisa ditembus.

"Aku bukan perempuan bodoh yang akan menangis di bahumu, Rafa. Kamu salah datang ke masa lalu."

Sejenak hening. Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar menusuk.

"Pergilah," ujar Kania pelan namun pasti, "sebelum aku benar-benar kehilangan sisa rasa hormatku padamu."

Kania meletakkan handuk di gantungan, lalu merapikan penampilannya sejenak. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah keluar kamar, meninggalkan Rafasya yang masih membeku di ambang pintu. Tatapan lelaki itu kosong, seakan kata-kata Kania tadi telah memotong sesuatu dalam dirinya yang selama ini ia kira masih utuh.

Langkah Kania menuju dapur terdengar tenang, namun membawa jejak ketegasan. Ia tidak tergesa, namun pasti. Dapur itu masih seperti dua bulan lalu. Sunyi. Dingin. Tak banyak berubah, bahkan aroma sabun cuci piring pun masih sama—tapi tidak dengan dirinya.

Perutnya belum terisi apa pun sejak tadi pagi. Dengan cekatan, ia mengambil beberapa bahan seadanya dari kulkas dan mulai memasak sesuatu yang sederhana. Gerakannya teratur, tidak terburu-buru. Seolah hidupnya tidak pernah berantakan.

Lalu suara langkah mendekat.

Dari ujung dapur, berdirilah seseorang yang sejak dulu tak pernah menyukai kehadirannya: ibu Rafasya.

Perempuan paruh baya itu menyandarkan diri pada ambang pintu, menatap Kania tanpa basa-basi. Sorot matanya penuh penilaian. Dingin, licin, dan tanpa empati—seperti biasanya.

"Kamu," ucapnya sambil melipat tangan di dada. “Menghilang tanpa kabar, lalu datang begitu saja. Saya kira kamu sudah mati."

Kania tidak segera menoleh. Ia masih membalik telur di atas wajan, lalu mengambil piring dan menyajikannya dengan rapi. Baru setelah semuanya selesai, ia menatap perempuan itu dengan tenang. Sorot matanya tajam, tapi tenang. Bukan lagi tatapan istri yang takut, atau menantu yang ingin disukai.

"Sayangnya, saya masih hidup, Bu," ujarnya datar. "Dan saya tidak punya niat untuk mati hanya karena kalian berharap begitu."

Ibunya Rafasya terdiam, kaget dengan respons yang dingin dan penuh keberanian itu. Kania menggeser kursi dan duduk, lalu menyuap makanannya perlahan—seolah kehadiran wanita itu tak lebih dari bayangan di balik tirai.

"Kalau Ibu ingin mengatur, silakan atur hidup sendiri. Tapi saya sudah selesai diatur," lanjut Kania tanpa menatapnya lagi.

Suasana berubah senyap. Hanya terdengar bunyi sendok menyentuh piring.

Ibu Rafasya membuka mulut, tetapi tak ada kata yang keluar. Ini bukan Kania yang dulu—bukan gadis yang bisa didiamkan dengan bentakan atau tatapan sinis. Yang duduk di meja itu adalah Kania yang baru yang tak lagi takut kehilangan siapa pun.

Setelah membersihkan diri—meskipun tubuhnya belum sempat beristirahat sejak semalam—Rafasya merasa sedikit tenang. Setidaknya kini ia bisa melihat Kania lagi. Namun, meski dekat, Kania terasa begitu jauh. Dingin. Tak tersentuh. Seperti sosok asing yang mengenakan wajah yang pernah ia cintai.

Rafasya terdiam. Tujuh tahun. Selama itu Kania selalu menyiapkan makanan untuknya, bahkan ketika ia sendiri tak pernah benar-benar menyentuhnya. Kini, pemandangan di hadapannya begitu kontras. Kania menyajikan makanannya sendiri. Diam. Mandiri. Tanpa menoleh sedikit pun padanya.

Tiba-tiba, ponsel Kania berdering. Suara dari rumah sakit.

"Sudah cukup lama aku absen. Aku akan mulai praktik hari ini. Tolong buatkan jadwalnya, ya," ucapnya di telepon, datar dan profesional.

Selesai menelepon, Rafasya mencoba menyelipkan perhatian. "Kamu tidak istirahat dulu?"

Kania berhenti sejenak, lalu menatap Rafasya seperti menatap sesuatu yang aneh—atau asing.

"Kamu bertanya itu ... kepadaku?" Ia menunjuk dirinya sendiri, seolah memastikan bahwa pertanyaan itu bukan bagian dari khayalannya.

"Siapa lagi, Kania?" Rafasya membalas pelan.

"Oh," sahut Kania sambil tersenyum tipis, "aku kira kamu sedang nelpon." Ucapannya seperti sarkasme yang dibalut kepahitan. Ia menyesap air dari gelas, lalu bangkit dan mengangkat piring kotornya.

Ia berjalan ke wastafel, punggungnya membelakangi Rafasya. Tak ada lagi kelembutan, tak ada lagi kebiasaan memanjakannya. Hanya keheningan dan bunyi dentingan piring yang menyentuh bak cuci.

"Kania ...." Rafasya akhirnya memanggil, suaranya pelan namun penuh keraguan.

Kania tidak menoleh. Tangannya sibuk membilas piring, lalu menjawab pelan namun tegas, "Jangan biasakan aku kembali ke masa lalu, Rafasya. Aku tidak punya waktu untuk itu."

Perkataan itu seperti pukulan yang lembut tapi mematikan.

"Aku hanya ingin tahu kabarmu," lirih Rafasya.

Kania menutup keran air, menyeka tangannya dengan handuk kecil. Ia menoleh, tatapannya datar namun tajam.

"Aku baik, Rafasya. Justru sekarang, untuk pertama kalinya aku benar-benar baik."

Kemudian ia melangkah pergi meninggalkan dapur, meninggalkan Rafasya yang kini membisu—seolah kata-katanya tadi mengukir jurang baru di antara mereka yang pernah begitu dekat.

Ibu Rafasya yang sejak tadi duduk di seberang meja mendengar ucapan Kania dengan mata membelalak. Amarahnya naik ke ubun-ubun.

"Apa kamu tidak punya sopan santun kepada anakku, Kania? Dia itu suamimu!" serunya tajam, suaranya menggema di ruang makan yang seketika menjadi dingin.

Kania tidak langsung menanggapi. Ia hanya berdiri diam, lalu perlahan menoleh, sorot matanya tenang tapi menyimpan luka yang dalam.

"Suami?" ujarnya pelan, namun penuh tekanan. "Apakah selama tujuh tahun ini dia menganggapku sebagai istri atau hanya sebagai alat pencitraan demi menutupi semua kebusukan dan kepura-puraan yang dia bangun di luar sana?"

Perkataan itu seperti cambuk. Ibunya Rafasya langsung berdiri dari kursinya, napasnya memburu, wajahnya merah karena menahan amarah.

"Kania!" bentaknya. "Kau sudah terlalu keterlaluan! Wanita seperti kamu harus diberi pelajaran, supaya tidak semena-mena bicara pada orang tua dan suamimu!"

Rafasya buru-buru bangkit, menengahi sebelum semuanya meledak.

"Bu, cukup!" suaranya tegas. "Ini urusan rumah tanggaku tolong jangan ikut campur."

Sang ibu menatap putranya, nyaris tak percaya. "Rafa, kamu—"

Namun sebelum ia sempat melanjutkan, suara berat namun tenang terdengar dari arah ruang tengah.

"Cukup, semua duduk." Ayah Rafasya akhirnya angkat bicara, berdiri dengan wibawa yang membuat seisi ruangan ikut terdiam.

"Apa yang dikatakan Rafa itu benar. Kamu, sebagai ibu, tidak perlu ikut campur terlalu jauh. Ini rumah tangga mereka. Kalau kamu ingin Kania menghormati anakmu, maka biarkan juga dia mendapat ruang untuk dihormati."

Ibu Rafasya hendak membantah, tapi mulutnya hanya bergerak tanpa suara. Ia akhirnya duduk kembali dengan geram, sementara Kania menatap ayah Rafasya sekilas—sorot matanya menghargai, meski tetap penuh waspada.

Kania menghela napas panjang. "Aku pergi kerja sekarang. Dan tolong, jangan ciptakan drama lain saat aku pulang nanti."

Tanpa menunggu jawaban, ia mengambil tas, mengenakan jas dokternya, dan melangkah pergi. Pintu tertutup pelan, menyisakan keheningan yang menyesakkan.

Rafasya hanya berdiri menatap pintu yang kini tertutup rapat, seolah jarak yang makin nyata antara dirinya dan Kania bukan lagi hanya soal ruang tapi waktu, hati, dan luka yang tak pernah ia sadari telah tumbuh begitu dalam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istana Yang Ternoda   Epilog

    Sore itu, langit berwarna keemasan. Di taman belakang rumah, keluarga Kania berkumpul di bawah pohon besar yang rindang. Meja panjang dipenuhi makanan kesukaan keluarga, dan di tengahnya ada dua kue kecil dengan lilin berbentuk angka 22.Kania menyalakan lilin itu dengan senyum lembut. "Selamat ulang tahun, Nayyara, Nazeera," ucapnya pelan, suaranya bergetar namun penuh kehangatan.Narendra dan Nayaka duduk di samping ibunya, masing-masing memegang bingkai foto si kembar. Rafasya merangkul Kania, menatapnya dengan pandangan yang menguatkan.Mereka tidak menangis kali ini. Mereka hanya tersenyum, mengenang tawa, cerita, dan doa yang tak pernah putus. Angin sore bertiup lembut, seolah membawa pesan dari kejauhan.Kania menatap lilin yang menyala itu. "Mama, Papa, dan kakak-kakakmu di sini bahagia jadi kalian juga harus bahagia di sana, ya."Mereka meniup lilin bersama-sama. Dan di langit, dua bintang mulai muncul lebih cepat dari biasanya, berkilau di antara warna senja.Bagi keluarga i

  • Istana Yang Ternoda   Keikhlasan Seorang Ibu

    Lima tahun telah berlalu sejak tanah longsor itu merenggut semua harapan. Hari-hari penuh pencarian sudah lama berakhir, dan kabar resmi dari pihak berwenang hanya menyisakan satu kenyataan pahit: Nayara dan Nazeera dinyatakan meninggal dunia. Namun, di hati Kania, cinta kepada putri kembarnya tak pernah terkubur bersama waktu.Setiap tahun, di tanggal ulang tahun si kembar, ia selalu menyiapkan dua kue sederhana dengan lilin di atasnya. Di ruang tamu yang temaram, Kania duduk sendirian menatap nyala lilin itu, seolah dua cahaya kecil itu adalah Nayara dan Nazeera yang pulang sebentar untuk menemuinya.“Selamat ulang tahun, kedua putriku,” ucapnya pelan, suaranya bergetar, “Pasti sekarang kalian sudah tumbuh menjadi remaja cantik. Maaf, Nak. Mama belum bisa menemani kalian untuk saat ini. Tapi asal kalian tahu, cinta Mama tidak akan pernah mati.”Air matanya jatuh satu per satu, membasahi meja. Tangannya mengusap permukaan kue, seperti membelai rambut anak-anaknya.Nayaka, yang kini s

  • Istana Yang Ternoda   Pencarian

    Langit di pegunungan itu diselimuti kabut tebal, hujan belum berhenti sejak tanah longsor pertama kali menghantam villa peninggalan orang tua Tante Vita. Bau lumpur basah bercampur kayu lapuk memenuhi udara.Rafasya berdiri di tepi jurang longsor bersama Nayaka dan Narendra. Wajahnya pucat, tapi sorot matanya penuh tekad.“Kita tidak bisa menunggu. Setiap detik yang lewat bisa jadi perbedaan antara hidup dan mati,” katanya pada tim Basarnas.Seorang komandan tim Basarnas menatapnya serius. “Medan ini berbahaya. Longsor susulan bisa terjadi kapan saja. Tapi kalau kalian tetap mau turun gunakan ini.”Mereka memberikan tali pengaman, helm khusus, serta alat pendeteksi panas tubuh.Narendra memeriksa peta jalur longsor. “Pa, kalau dari arah sini kita bisa tembus ke sisa pondasi belakang villa. Mungkin mereka sempat mencari perlindungan di situ.”“Baik. Kita coba.” Rafasya mengangguk, suaranya tegas tapi hatinya digelayuti rasa takut.***Sementara itu, di rumah sakit, Kania duduk di ranja

  • Istana Yang Ternoda   Bencana Alam

    Di ruang ICU rumah sakit, suasana mencekam. Detak monitor jantung Pak Hengky terdengar semakin lemah, dan setiap bunyinya membuat semua orang menahan napas. Rafasya berdiri di sisi ranjang, memegang tangan ayahnya yang dingin. Kania duduk di kursi, air matanya terus mengalir.Semua berharap keajaiban, tapi justru sebaliknya—kondisi Pak Hengky memburuk. Dengan napas tersengal-sengal, ia membuka matanya sebentar, menatap Rafasya dan Kania. Bibirnya bergetar, dan hanya satu kata yang berhasil keluar:“Maaf,”Air mata Rafasya pecah seketika. Kania menutup mulutnya, menahan isak. Tapi tak sampai hitungan detik, monitor itu mengeluarkan bunyi panjang yang menusuk telinga. Garis di layar menjadi lurus.Pak Hengky telah pergi… untuk selamanya.Tangis pecah di ruangan itu—bukan hanya karena kehilangan, tapi karena mereka baru saja kehilangan satu-satunya orang yang mungkin mengetahui keberadaan Nayara dan Nazeera. Harapan seakan runtuh dalam sekejap.Prosesi pemakaman berlangsung dalam kehenin

  • Istana Yang Ternoda   Dendam

    Perlahan, kelopak mata Risa dan Rosa mulai terbuka. Cahaya matahari yang menyusup lewat sela tirai tipis mengusik pandangan mereka. Kamar ini, asing. Langit-langitnya bukan yang biasa mereka lihat. Aroma udara pun berbeda. Begitu pula seprei dan selimut yang membalut tubuh mereka.Risa menggeliat pelan, lalu menoleh ke arah Rosa yang juga baru membuka mata.“Rosa … kita di mana?” bisik Risa pelan.Rosa mengernyit. “Aku, nggak tahu. Ini bukan kamar kita.”Keduanya bangkit pelan dari tempat tidur, tubuh terasa lemas seperti habis sakit berhari-hari. Mereka melangkah dengan kaki gemetar menuju jendela, menyingkap tirai—yang terlihat adalah kebun bunga luas, dipenuhi warna-warni mawar dan anggrek yang tertata rapi.Tepat di tengah pemandangan itu, duduk seorang wanita di kursi rotan. Ia sedang menyeruput teh, tampak tenang menatap taman seolah tak terjadi apa-apa. Wanita itu adalah bunda mereka—Tante Vita.Melihat si kembar muncul di ambang pintu kaca, Tante Vita bangkit berdiri dengan se

  • Istana Yang Ternoda   Kehilangan

    Langit mendung menyambut helikopter yang mendarat perlahan di atas tanah lapang pulau terpencil itu. Angin laut menerpa wajah Nayaka dan Rafasya begitu mereka turun. Detak jantung keduanya tak karuan, langkah kaki terburu-buru menuju titik koordinat yang dikirimkan oleh akun anonim itu.Sebelum keberangkatan, Rafasya sempat menitipkan Kania yang masih dirawat di ruang VVIP rumah sakit kepada orang-orang terdekat: Nadira, Bu Susi, Bu Ria, serta dua sahabat lamanya, Pak Burhan dan Pak Haikal. Kepada mereka, ia hanya mengatakan ini adalah urusan pekerjaan mendesak—sementara Nayaka akan ikut untuk “belajar”. Tak seorang pun mencurigai lebih.Sesampainya di lokasi, mereka berdiri terpaku di depan sebuah rumah kayu bergaya kolonial yang tampak tua namun masih terawat. Yang membuat bulu kuduk berdiri adalah kenyataan bahwa pintu rumah itu tidak dikunci.Rafasya dan Nayaka saling pandang, lalu masuk perlahan.Begitu mereka melewati ruang tamu yang lengang, pandangan Rafasya langsung tertumbuk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status