Brian memandang Ivan dengan dahi sedikit berkerut. Ia heran sekaligus geli mendengar komentar Ivan."Lo kayaknya kebanyakan nemenin istri lo nonton drama deh," ucap Brian sambil menyeringai.Tawa Fina dan Olivia meledak. Mereka memang sudah terbiasa dengan imajinasi Ivan yang kadang liar.Ivan sendiri hanya bisa menggelengkan kepala."Gue hidup di dunia nyata, bukan fiksiii. Jelas lah Lita tahu gue siapa. Kecuali bokap gue gak pernah masuk berita, baru bisa tuh disembunyiin. Masalahnya bokap gue tuh... terkenal. Jadi susah lah. Selama ini gak ketahuan di media aja udah ajaib banget,” ujar Brian.Mata Ivan menyipit, menatap Brian dengan penuh selidik."Pasti lo bayar mahal, kan? Biar informasi lo gak bocor ke mana-mana?"Brian mengangguk ringan, seolah hal itu sudah jadi rutinitas biasa."Banget. Dan kalau masih ada yang nekat nyebar, ya gue tuntut. Biar kapok."Seketika ruangan terasa hening sejenak. Ivan, Fina, dan Olivia saling berpandangan.Ada semacam jarak tak kasat mata yang mun
Setelah Aldo pergi, semua mata kini tertuju ke Brian. Termasuk ketiga anak buahnya yang tampak penasaran.Melihat Brian membalas tatapan mereka dingin, semua langsung kembali ke meja masing-masing.Ivan sendiri tersenyum jahil, seperti biasa, lalu berjalan santai menghampiri Brian sambil menepuk pundaknya.“Yuk makan! Udah waktunya makan siang kan?” godanya ringan.“Aku ikuttt!” Olivia langsung berseru, menarik tangan Fina tanpa banyak berpikir.Brian hanya melirik mereka bertiga bergantian. Di wajahnya tersirat pasrah bercampur geli.“Baiklah... baiklah... Ayo kita makan…”“Kita ke luar agak jauh aja kali ini,” ucap Brian sambil merapikan jaketnya.Mereka bertiga hanya saling pandang lalu mengangguk patuh.Tak lama kemudian, mereka berempat berjalan keluar kantor menuju mobil.Jalanan siang itu sedikit padat, udara panas menyengat, tapi tidak menghentikan semangat mereka untuk makan gratis dan mendengar ungkapan fakta yang tertunda.***Restoran yang cukup jauh dari kantor itu cukup
Seperti yang sudah Brian duga, temuan Aaron ternyata identik dengan temuan Mike. Ia hanya menanggapinya dengan senyum tipis."Aku tidak yakin informasi ini bisa memberimu jawaban pasti," ujar Aaron, suaranya cukup tenang. "Terkait kesaksianmu soal Lalita memukul Citra… sejauh penyelidikanku, aku belum menemukan bukti itu. Aku tak pernah melihat langsung kejadian yang kamu sebut. Tapi ada satu hal lain—anak tirimu, Citra, tampaknya memiliki kecenderungan... masokis."Hadi mengangkat sebelah alisnya, bingung. "Apa maksudmu?"Aaron menarik napas sejenak sebelum menjawab. “Dia sering berkencan, dan beberapa kali hubungan itu berakhir... dengan ranjang dan luka. Memar. Berdasarkan data terakhir, luka yang didapat Citra muncul sehari sebelum kau mendengar percakapan mereka."Brian menyipitkan mata, mencoba mencerna maksudnya. “Maksudmu, bisa saja Citra memfitnah Lalita?”Aaron mengangguk perlahan. “Kemungkinannya ada. Tapi ini baru spekulasi—karena waktunya berdekatan. Jika suatu hari kalia
"Kenapa sih dia itu gatel banget? Kayak nggak punya harga diri, mepet-mepet Brian sampai segitunya!" suara Fauza melengking penuh emosi, kedua alisnya menekuk tajam. "Toh kalian juga bakalan cerai. Nggak bisa gitu ya, sabar dikit?"Matanya menyala-nyala. Nafasnya mulai memburu, tangan mengepal di atas meja café yang dingin."Cewek itu… bener-bener ya, kayak gak sekolah aja kelakuannya. Orang yang gak sekolah tinggi aja kayaknya gak akan sehina dia deh kelakuannya," lanjut Fauza, semakin naik nada suaranya."Magister, anj*r! Tapi pelakor. Kayak lo sekolah tinggi-tinggi cuma buat godain suami orang?!"Suasana café yang semula tenang mendadak terasa panas oleh lontaran kalimat tajam itu. Beberapa pengunjung mulai menoleh.Lalita hanya tersenyum kecil, geli melihat sahabatnya begitu berapi-api membelanya."Dan lo masih bisa ketawa?!" seru Fauza, memelototi Lalita. Nada kesalnya semakin menggelegak.Di saat yang kurang
Dibanding menakutkan, raut wajah David kini justru dipenuhi kekhawatiran. Alisnya mengernyit, matanya menelusuri wajah Lalita seolah mencari jawaban yang tak terucap.Lalita, yang sejak tadi terlihat enggan, akhirnya pasrah dan masuk ke dalam mobil David.“Buka maskernya…” ucap David dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan.Lalita menggeleng, perlahan. Kepalanya tertunduk, enggan memperlihatkan luka yang tak hanya ada di wajah, tapi juga mengiris hati.“Buka maskernya, Lit…” ulang David, lebih lembut.Lalita menahan napas. Dengan tangan gemetar, ia membuka maskernya. Perlahan. David menyalakan lampu dalam mobil, dan cahaya hangat menyinari wajah Lalita yang tampak lebam di pipi kiri.“Siapa? Ini ulah suami kamu?” suara David sedikit meninggi, tapi lebih karena terkejut daripada marah.Lalita cepat-cepat menggeleng. “Bukan kok…”“Jadi siapa?” desaknya, nada suaranya bergetar.Namun Lalita hanya diam. Matanya kosong, menatap lurus ke dashboard, seolah tak sanggup menjawab.“Aku akan
Diana tersenyum kecil, lalu melangkah ringan menghampiri Lalita. Senyumnya tampak manis, namun ada sesuatu yang dingin di balik tatapannya."Mulai sekarang, aku lah nyonya rumahnya," bisik Diana pelan, hampir tak terdengar—namun cukup tajam untuk menusuk.Sebelum Lalita sempat membalas, suara langkah kaki terdengar mendekat. Brian muncul dari arah kamar mandi, rambutnya masih basah, meneteskan air ke kaos oblong yang melekat di tubuhnya.Kaos tipis itu memperlihatkan lekuk ototnya yang jelas, membuatnya tampak seperti model majalah kebugaran pagi hari."Ada apa nih? Lagi ngobrol apa? Kok kayaknya seru?" tanya Brian, menyapu pandang ke arah keduanya sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Lalita sempat menahan nafas—hanya sekejap.Ada debar tak terduga di dadanya. Namun detik berikutnya, pemandangan Diana yang langsung melompat memeluk Brian seperti anak kucing manja membuat debar itu menguap jadi udara pahit.Merek