"Ini kontraknya, kamu beneran udah sehat?" tanya Brian sambil memberikan kontrak pada Lalita.
"Yeah, I'm good now."
Lalita membaca kontraknya sambil meminum es kopi. Mereka memilih cafe area Senopati yang terletak tidak jauh dari lokasi meeting Brian.
Lalita yang tengah membaca kontrak merasa terusik karena Brian terus menatapnya, "Why?"
"Ada yang aneh gitu dari penampilan aku?" Lalita mengambil ponsel dan menyalakan kamera untuk melihat wajahnya.
"Gak kenapa-kenapa," sahut Brian ringan. Sebelumnya, mereka berdua sudah mendiskusikan poin-poin apa saja yang akan dimasukkan ke dalam kontrak melalui w******p. Lalita seharusnya hanya perlu membaca dan review sekilas saja sebelum tanda tangan.
"Brian Wiguna akan membantu Lalita untuk mendapatkan hak waris atas perusahaan..."
"Lalita Ivana Adibyo akan melaksanakan kewajiban sebagai istri dan tidak ada hubungan badan..."
"Pernikahan akan berakhir dalam kurun waktu dua tahun..."
"Tidak akan mengganggu privasi masing-masing..."
"Apabila Lalita Ivana Adibyo tidak berhasil mendapatkan hak waris perusahaan saat perceraian mereka tiba, maka Brian Wiguna akan memberikan 15% dari total kekayaan bersih yang ia miliki sebagai harta gono gini..."
Tunggu... Poin apa ini? Lalita tidak ingat pernah menyebutkan poin ini sebelumnya.
"Hmmm, ini poin tambahan dari kamu?" tanya Lalita mengernyitkan dahi.
"Iya."
"Why? Ngapain Brian? Gak usah laahhh, aku gak berharap apapun dari kamu. Dapetin perusahaan tuh lebih dari cukup, dan aku yakin banget bisaa."
Lalita kesal. Fort Consulting, perusahaan milik Hadi memang sudah sewajarnya diwarisi oleh Lalita dan ia yakin akan mendapatkannya.
"Aku gak suka sama poin ini. Aku... ngerasa kayak cewe matre yang manfaatin kamu. Coret ini."
"Lita..."
"Apa? Apa? Kamu bantuin aku dapet hak waris, aku pura-pura jadi istri kamu. Udah barter segitu aja cukup, selesai. Gak usah ada tambahan-tambahan aneh begitu."
Brian langsung mendekatkan es kopi ke Lalita untuk menyuruhnya minum.
"Tenang dulu, Lit. Dengerin aku dulu..."
Lalita tak menjawab. Ia fokus menatap Brian. Tatapannya benar-benar seperti singa yang siap menerkam mangsa.
"Anggap aja kamu kerja part time dan itu bayarannya."
Mendengar itu, Lalita sudah siap mengamuk.
Brian seketika langsung defensif, "Wow... woww... tenang dulu ya... tenang dulu... Aku belum selesai. Dengerin dulu sampe akhir. Kalau aku udah bilang selesai baru kamu boleh komentar, oke?"
Lalita mendegus sebal. Ia memilih untuk diam mendengarkan Brian.
"Sekarang kamu masih pakai uang dan fasilitas dan om Hadi kan?" tanya Brian hati-hati.
Lalita mengangguk.
"Aku cuma berpikir kalau seandainya kamu gagal gimana? Bagus kalau kamu berhasil, tapi kalau kamu gagal? Gimana kamu akan hidup setelahnya? Aku pun gak yakin om Hadi akan gaji kamu karena kamu nikah sama aku. Bisa aja dia beranggapan untuk apa gaji kamu, kamu gak butuh itu karena suami kamu kaya. Kalau dapet sih malah bagus. Aku cuma berusaha pikir kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi aja. Terus, memangnya kamu punya pemasukan lain?"
Wajah Lalita memerah karena malu. Semua yang Brian katakan cukup masuk akal. Rasanya ia ingin menutup wajah dan berlari menjauh dari Brian saking malunya.
"Gara-gara kamu ngomong gini, aku jadi sadar hidupku berantakan banget. Aku gak punya pemasukan lain. Aku memang cuma habisin uang papa untuk kursus, tinggal di apartemen papa, mobil juga dapet dari papa."
Lalita menunduk, air matanya tertahan. Ia menyadari apa yang Hadi katakan benar adanya, dia hanya tahu cara menghamburkan uang.
"Setelah nikah, aku akan transfer uang ke kamu untuk kamu tabung. Anggap aja itu gaji part time. Kalau nanti kamu dapet gaji pas kerja di Fort, aku stop transfer. Kalau kamu berhasil dapetin hak waris Fort, aku gak akan kasih 15% itu. Makanya, kalau kamu gak mau 15% hartaku, kamu harus mati-matian berjuang dapetin Fort."
Brian belum selesai dengan apa yang ingin ia katakan. Namun sepertinya ia takut untuk menyampaikannya.
"Apa? Ngomong aja?" ucap Lalita usai melihat Brian yang diam cukup lama.
"Kalau kamu gak dapet hak waris Fort, berarti om Hadi bisa aja musuhin kamu. Kamu... tetep harus siap-siap untuk itu kan?"
Lalita terdiam.
"Sek... Sekian dari aku," ucap Brian menutup penjelasannya.
Lalita menghembuskan nafas kasar. Tapi, rasanya ia mendapat ketenangan di saat bersamaan.
"Aku mendadak ngerasa punya kerja sampingan jadi aktris teater. Perannya jadi istri kamu, dan dapet duit. Pfftt... Hahahaha..."
Lalita yang tiba-tiba tertawa itu membuat Brian ikut tertawa. Ketegangan di antara mereka berdua sudah mencair.
"Berasa pertaruhan harga diri, sebel..."
Brian hanya menaikkan kedua bahunya sambil tersenyum.
"Hubungan kita transaksional kan? Dan aku rasa poin yang aku ajukan bukan hal yang buruk."
Lalita kemudian menandatangani kontrak di depan matanya itu.
"Ya, semoga kita bisa bekerja sama dengan baik dua tahun ke depan."
***
[Om Hadi hari ini beneran sendiri?]
[Iya, tante Wita pergi kayak biasa sampe malem. Dua sejoli itu tadi juga bilang mau pergi sampe malem.]
Lalita tidak menerima pesan balasan lagi dari Brian. Hanya saja, ia merasa aneh mengapa Brian bertanya beberapa kali untuk memastikan apakah Hadi benar sedang sendiri di rumah.
[Aku depan rumah kamu sekarang, aku mau izin nikahin kamu ke om Hadi.]
Lalita yang sedang berbaring di kamarnya itu langsung terperanjat dan berlari ke depan rumah.
Benar saja Brian sudah berdiri dengan pakaian rapi di depan rumahnya.
“Kurang lebih Vivi ngerti banget posisi lo sekarang,” ucap Fauza pelan.Tatapannya tertuju pada Lalita yang kini tampak lebih tenang meski raut wajahnya masih menyimpan luka.“Dan karena itu juga kita gak pergi ke reuni,” tambah Nancy sambil menyeruput minumannya.Lalita mengerutkan dahi. Baru sekarang ia sadar bahwa Vivi dan Nancy itu memang tak tampak saat reuni kemarin.“Gue juga sebenernya males dateng,” celetuk Fauza ringan. “Cuma karena Lita bilang mau pergi aja makanya gue dateng. Kalo enggak ya udah, ogah banget ketemu orang-orang itu.”Nancy mengangguk sambil memutar gelas. “Dan hasilnya ya itu kan… yang kemarin lo ceritain. Lita dibikin malu di depan temen-temen. Memang bener gak usah dateng…”“Iya… males banget liatnya,” sahut Fauza getir.“Seinget gue Diana juga pernah godain suami lo kan ya?” tanya Fauza pada Nancy.
“Bisnis orang tua kan…” ucap Nancy dengan nada bercanda, tapi Fauza hanya mencibir ringan.Saat obrolan ringan mereka berlanjut, wajah Fauza tiba-tiba berubah kesal. Ia baru saja melihat sesuatu di ponselnya.Matanya menyipit, rahangnya menegang sebentar.“Lo kenapa?” tanya Vivi sambil meliriknya dengan penasaran.“Gak, gak penting.” Fauza cepat-cepat memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berusaha menormalkan wajahnya. “Yuk, lanjut main.”Permainan kembali dimulai.Smash satu dari Vivi—tajam dan cepat.Smash dua—masih dari Vivi, kini diarahkan ke Fauza.Smash ketiga datang dari Fauza sendiri—dengan kekuatan penuh, hampir membuat shuttlecock mental ke dinding.Vivi dan Fauza benar-benar mendominasi lapangan.Gerakan mereka lincah, penuh semangat. Nancy pun tak kalah gesit, selalu bisa mengembalikan smash dengan presisi yang membuat La
Brian terdiam. Ruang tamu yang tadinya hanya dipenuhi suara napas mereka kini terasa jauh lebih sunyi dan berat.Pria itu mendadak tersadar—kata-katanya barusan benar-benar keterlaluan."Jawab gue, Brian! Menurut lo gue, yang satu badan penuh lebam ini, baik-baik aja? Iya?!" bentak Lalita dengan suara yang naik satu oktaf, diseret emosi yang meledak-ledak.Mata Brian terpejam, suaranya lirih dan tersendat. "E... Enggak gitu maksud aku, Lit..."Sebelum Lalita bisa membalas lagi, terdengar suara lembut dari sofa."Yan... Kamu udah pulang?" Ternyata Diana terbangun. Rambutnya kusut, dan suaranya masih berat karena baru bangun tidur.Brian menoleh, wajahnya memancarkan frustasi. Tapi ketika bicara pada Diana, nadanya berubah menjadi lembut."Iya, Di. Aku udah pulang. Kamu pindah tidur di kamar aja ya, jangan di sini. Nanti masuk angin..." katanya sambil mencoba tersenyum."Gak mau... Aku mau ngobrol sama kamu," gumam Diana se
"Aku sempet kira yang nyanyi tadi... beneran Taylor Swift," ucap David, matanya masih tak lepas dari Lalita yang baru saja duduk kembali.Fauza tertawa terbahak, menyikut David ringan."Sayangnya dia gak mau ikut Indonesian Idol."…It's cool," that's what I tell 'emNo rules in breakable heaven...But ooh, whoa-oh...It's a cruel summer with you (yeah, yeah)...Lagu terus mengalun, dan David lagi-lagi dibuat terpana. Entah sudah berapa kali rasa takjub muncul sejak mereka masuk ke ruang karaoke ini."Wow!" serunya lagi, nyaris refleks."Yeeaaayyy! Bagus banget emang suara temen gue!" Fauza bersorak sambil bertepuk tangan. "Ikut Indonesian Idol sono!"Lalita tertawa kecil, kemudian menjawab setengah bercanda, "Gak mau... nanti gue terkenal.""Okeee, kalau gitu giliran gue yang nyanyi..." sahut Fauza sambil merebut mikrofon, wajahnya cerah seperti anak ke
Brian memandang Ivan dengan dahi sedikit berkerut. Ia heran sekaligus geli mendengar komentar Ivan."Lo kayaknya kebanyakan nemenin istri lo nonton drama deh," ucap Brian sambil menyeringai.Tawa Fina dan Olivia meledak. Mereka memang sudah terbiasa dengan imajinasi Ivan yang kadang liar.Ivan sendiri hanya bisa menggelengkan kepala."Gue hidup di dunia nyata, bukan fiksiii. Jelas lah Lita tahu gue siapa. Kecuali bokap gue gak pernah masuk berita, baru bisa tuh disembunyiin. Masalahnya bokap gue tuh... terkenal. Jadi susah lah. Selama ini gak ketahuan di media aja udah ajaib banget,” ujar Brian.Mata Ivan menyipit, menatap Brian dengan penuh selidik."Pasti lo bayar mahal, kan? Biar informasi lo gak bocor ke mana-mana?"Brian mengangguk ringan, seolah hal itu sudah jadi rutinitas biasa."Banget. Dan kalau masih ada yang nekat nyebar, ya gue tuntut. Biar kapok."Seketika ruangan terasa hening sejenak. Ivan, Fina, dan Olivia saling berpandangan.Ada semacam jarak tak kasat mata yang mun
Setelah Aldo pergi, semua mata kini tertuju ke Brian. Termasuk ketiga anak buahnya yang tampak penasaran.Melihat Brian membalas tatapan mereka dingin, semua langsung kembali ke meja masing-masing.Ivan sendiri tersenyum jahil, seperti biasa, lalu berjalan santai menghampiri Brian sambil menepuk pundaknya.“Yuk makan! Udah waktunya makan siang kan?” godanya ringan.“Aku ikuttt!” Olivia langsung berseru, menarik tangan Fina tanpa banyak berpikir.Brian hanya melirik mereka bertiga bergantian. Di wajahnya tersirat pasrah bercampur geli.“Baiklah... baiklah... Ayo kita makan…”“Kita ke luar agak jauh aja kali ini,” ucap Brian sambil merapikan jaketnya.Mereka bertiga hanya saling pandang lalu mengangguk patuh.Tak lama kemudian, mereka berempat berjalan keluar kantor menuju mobil.Jalanan siang itu sedikit padat, udara panas menyengat, tapi tidak menghentikan semangat mereka untuk makan gratis dan mendengar ungkapan fakta yang tertunda.***Restoran yang cukup jauh dari kantor itu cukup