Mag-log in"Enak. Aku ke kamar dulu. Jangan begadang, ya."
Lalita tak pernah menolak apapun yang diberikan Aldo sebelumnya.
Jadi, ia terpaksa meneguknya agar Aldo tak curiga.
Ia berharap obat yang sudah diresepkan untuknya–manjur dan mengurangi efek racun ini.
Namun begitu pintu kamar tertutup, tubuh Lalita ambruk di balik daun pintu.
Ia menangis dalam diam karena sadar bahwa mereka sudah pasti akan menggunakan dalih pekerjaan untuk menghabiskan waktu bersama.
Sungguh, dia menyesal tidak memperbaiki cctv apartemennya yang entah bagaimana bisa mendadak rusak.
Seharusnya, dia curiga….
Tapi, penyesalan tidak membawa hasil apapun.
Dia harus menunggu waktu yang tepat.
Jadi, Lalita pun memaksanya diri untuk meminum obat anti racun itu dan tertidur.Sayangnya, dini hari, Lalita merasa perutnya diremas-remas dari dalam. Belum lagi, kepalanya berdenyut kencang. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
"Arrghhh…." jeritnya.
Apakah ini pengaruh racun? Mungkinkah dosisnya lebih besar dari perkiraan.
Terdengar suara langkah terburu-buru. Aldo tampak panik menghampirinya. "Lita? Kamu kenapa?"
"Pe...rut... sa...kit... Mu..al..." jawab Lalita tersengal dan seketika muntah.
Citra yang baru bangun memekik panik. "Ya ampun kak, kenapa?!"
Lalita hampir pingsan.
Aldo langsung menggendongnya dan mereka bertiga meluncur ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, dokter langsung memeriksa Lalita.
"Sepertinya keracunan makanan. Tapi kami perlu observasi dulu," ucap dokter menyampaikan hasil diagnosanya.
"Dok, bisa bawa kakak saya langsung ke ruang VIP? Orang tua kami mungkin segera datang," pinta Citra.
Segalanya berjalan cepat. Tak lama kemudian, Hadi dan Wita tiba dengan wajah panik.
"Lita, kamu nggak apa-apa, kan?"
Wita membelai rambut dan wajah Lalita pelan.
Benar-benar terlihat seperti seorang ibu yang sedang mengkhawatirkan anaknya.
Pantas saja, Hadi ataupun dirinya tak curiga….
"Aku gapapa. Mungkin cuma salah makan," balas Lalita lembut.
"Kamu tuh ya... Jangan jajan sembarangan."
"Dokter bilang dia akan observasi dulu. Dikasih infus dan obat diare. Kalau nggak ada perkembangan, dia harus nginap," jelas Aldo pada Hadi dan Wita.
“Makasih ya, Aldo,” ucap Hadi pada calon menantunya itu.
"Kamu istirahat, ya," ujar Hadi.
Lalita hanya mengangguk. Untuk sesaat, ia merasa aman di bawah tatapan ayahnya.
Tapi, ternyata tidak.
Ayahnya pergi begitu saja bersama Aldo.
Lalita berusaha memejamkan mata.
Anehnya, Wita dan Citra justru mendekat–seolah memastikan dirinya tertidur?
"Kalian apain dia?" Suara Wita begitu pelan.
"Gak ngapa-ngapain, ma. Dia emang lemah kali, sembarangan makan," sahut Citra ringan.
"Ingat, Citra. Jangan sampai dia mati mendadak. Kalau dia mati, kamu bisa jadi tersangka."
"Iya ma, aku nggak akan bunuh dia. Biar itu urusan Aldo aja..."
"Bagus. Kamu jangan kotorin tangan kamu sendiri."
Mendengar itu, tangan Lalita terkepal sangat kencang dari balik selimut.
Untungnya, pembicaraan keduanya tak terlalu lama.
Mereka pun akhirnya pergi dari ruangan Lalita.
“Kurang ajar,” desis Lalita. Wanita itu pun mengambil ponsel dari saku celana pelan-pelan.
[Aku setuju, ayo kita menikah. Detilnya kita bahas setelah aku keluar dari rumah sakit.]
Dikirimnya pesan itu pada Brian.
***
Brian yang baru membaca pesan Lalita di pagi hari itu langsung meneleponnya.
[Halo..]
[Kamu kenapa? Kamu dirawat di rumah sakit mana?]
Pria itu terdengar khawatir.
[Di rumah sakit kemaren, rumah sakit keluarga kamu.]
[Aku kesana sekarang.]
[Okeee.]
"Kamu kenapa? Kamu gapapa kan?" tanya Brian begitu sampai ke ruang rawat Lalita.
Brian terlihat berantakan. Ia datang dengan baju kaos dan celana pendek, rambutnya pun sepertinya belum disisir.
"Kamu berantakan banget, hahaha.." Lalita terlihat puas sekali menertawakan Brian.
"Ya gimana gak buru-buru, baru kemaren kamu cerita kalau kamu diracun eehhh malah sekarang udah masuk rumah sakiitt," bisik Brian.
"Aku gapapa, cuma keracunan makanan. Kayaknya Aldo kasih aku teh, tapi seduhnya pake air keran."
Mata Brian membelalak, "Apa? Yang bener kamu?"
"Tebakan aku aja sih ya. Soalnya sebelum tidur kemaren, aku cuma minum teh dari dia."
Brian menatap Lalita kesal, "Udah kubilang kan tinggal di apartemen aku aja? Lihat keadaan kamu sekarang! Litaaaa, kenapa sih kamu tuh ngantar nyawa banget ke dia? Nyawa kamu tuh cuma satuuuu, gak ada cadangannyaaaaaaa..."
"Sssstttt, isshhh.."
Lalita langsung mencubit lengan Brian, "Jangan berisik, diem ahhh! Nanti kalo ada yang denger gimanaaaa?"
"Ya biarin ajaaaa..."
Lalita kembali mencubit lengan Brian, dengan kekuatan dua kali lipat. Ia menoleh ke arah pintu, untunglah tidak ada siapapun di depan.
"Belum saatnya mereka tahu kalau aku tahu, Brian," bisik Lalita.
Brian hanya menghembuskan nafas kesal. Ia khawatir temannya itu benar-benar bisa mati kapan saja jika mereka tidak segera menikah.
"Pulang dari sini, aku akan langsung bilang ke om Hadi."
"A... Apa?" tanya Lalita memastikan.
"Pulang dari sini, aku akan langsung bilang ke om Hadi. Aku akan langsung lamar kamu ke dia."
Seketika wajah Lalita memanas, jantungnya berdegup dengan cepat. Ia berharap suaranya tidak terdengar oleh Brian.
"Tapi..."
"Gak ada tapi-tapi..."
Brian yang langsung mengoceh begitu masuk ruang rawat baru menyadari sesuatu. Ruangan ini kosong sehingga ia bisa bebas mengomeli Lalita.
"Om Hadi mana?" tanya Brian.
Lalita tersenyum getir. Papa dan semua orang keluar cari sarapan.
"Kamu sendiri udah sarapan?"
Lalita menggeleng, "Belum..."
Mata Brian terbelalak, "Bisa-bisanya kamu belum makan habis banyak cairan tubuh yang kebuang?"
"Aku gapapa, mending kamu pergi sekaraannggg..."
Lalita melotot sembari melihat jam di ponselnya. Sebentar lagi seharusnya Hadi, Wita dan dua sejoli itu kembali.
"Aku masih mau di sini. Kenapa sih?" ucap Brian kesal.
"Belum saatnya mereka tahu tentang kita."
Air wajah Brian mengeras sesaat sebelum akhirnya melunak.
"Okee, aku akan turutin permintaan calon istriku..."
“Iya… dia influencernya.”Olivia mengangguk kecil. “Kalau denger cerita-cerita gemes kayak gitu, takdir tuh kerasa nyata sih. Kayak… apa pun yang memang ditakdirkan buat kamu, pasti bakal datang ke kamu, sekeras apa pun keadaannya. Tapi…”“Tapi apa?” tanya Fina menyipitkan mata.“Takdir juga bisa diubah, menurutku. Sama usaha dan doa. Misalnya kita jatuh cinta sama si A, terus kita berdoa supaya dijodohkan sama A. Menurutku itu bisa aja kejadian.”“Eiisshhh…” Fina menggeleng pelan. “Banyak juga yang nggak bisa.”“Bener sih,” Olivia terkekeh. “Tapi mana tahu kan? Bisa jadi kalau nggak berjodoh sama dia, ternyata orangnya jahat. Atau baik, tapi nggak cocok aja karakternya. Artinya, jodoh yang Allah kasih, itu memang sesuai sama yang kita butuhkan.”“Emang ada ya orang baik tapi nggak cocok?” Fina mengernyit. &ld
Darren langsung memerintahkan bodyguard untuk membawa Brian kembali ke Rumah Sakit Harapan.Jantungnya berdegup tak beraturan sepanjang perjalanan.“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Darren begitu mereka tiba di Rumah Sakit. “Kenapa Brian bisa tiba-tiba pingsan lagi?”Salah satu bodyguard menjelaskan dengan wajah cemas. Tak lama setelah mereka sampai di apartemen, Diana datang berkunjung. Kebetulan hari itu adalah bodyguard pengganti—bodyguard tetap Brian sedang cuti.Karena mengira tak ada masalah, mereka mengizinkan Diana masuk.Tak lama kemudian, terdengar cekcok kecil dari dalam. Nada suara meninggi, suasana menegang. Tak lama, Diana keluar dengan raut wajah kesal dan langkah yang dipercepat.Dan setelah itu—Brian jatuh pingsan.Darren dan Roy refleks memijat pelipis masing-masing.Mereka lupa satu hal.Sumber stres Brian bukan hanya Sabrina. Ada Diana juga. Mereka lupa briefing bodyguard pengganti ini.“Tapi… dari mana Diana tahu Brian ada di apartemen?” gumam Darren lirih.Roy
Diam lagi.Lebih lama. Hadi memberi sedikit ruang untuk putrinya merenung sambil berbaring di sofa.Lalita meraih bantal sofa dan mendekapnya erat, seolah benda itu bisa menahan rasa yang berkecamuk di dadanya.Dan benar saja, prediksi ayahnya terbukti.Tak lama kemudian, suara mesin mobil terdengar dari luar. Lalita melirik ke arah jendela—mobil David terlihat berhenti sebentar di depan gerbang, lalu berbalik arah setelah berbincang singkat dengan satpam.“Lihat itu,” ujar Hadi pelan. “Ada cowok yang lagi mati-matian ngejar kamu.”Lalita menghembuskan nafas kasar. Lelah.“Percuma, pa. Aku-nya gak mau.”“Kenapa?”“Hm… aku gak cinta.”Hadi menoleh, menatap putrinya lebih lama dari biasanya. “Udah berusaha coba kasih dia kesempatan?”“Udah pa. Tapi tetap aja gak bisa.”“Sesuka itu sama Brian?”
“Ahhh! Memang kecintaan banget ni anak!”Serempak—meski tak satu pun terucap—kalimat itu menggema di kepala semua orang yang ada di ruang rawat ini.Mereka sengaja membiarkan Brian memandangi Lalita. Berpura-pura tak sadar. Pura-pura asik sendiri. Pura-pura ribut. Padahal, sudut mata semua orang tak lepas dari mereka berdua.“Nih makanannya,” ucap Lalita sambil membawa cheesecake yang sudah dipotong rapi ke semua orang.Tangan-tangan terulur, suara pujian pun mulai berhamburan.“Gila ini enak banget,” ucap Fauza. Dia belum pernah memakan kue dari toko kue ini sebelumnya.“Rekomendasi gue emang gak pernah salah sih,” ucap Dexter. Tentu saja, ia tahu cake itu dari pujaan hatinya.Lalita hanya tersenyum kecil melihat teman-temannya yang ceria.Setelah itu, ia melangkah mendekati Brian yang duduk bersandar di ranjang rumah sakit.“Aku bawain na
Ponsel Lalita terlepas dari genggaman dan menghantam wajahnya sendiri. Bunyi duk terdengar pelan—namun rasa sakitnya sama sekali tidak ia rasakan.Dadanya sudah terasa nyeri lebih dulu.Dengan tangan gemetar, Lalita segera meraih kembali ponsel itu. Jantungnya berdegup kencang saat ia membaca ulang pesan dari Dexter.[Lita… ini Dexter. Semoga aja lo masih simpen nomor gue. Gue tahu nomor lu belum berubah dari dulu, nomor gue juga belum. Gue cuma mau ngabarin… Brian sakit. Dirawat di Rumah Sakit Harapan, ruang VIP. Di sini ada gue, Nico, Rio, plus dua saudara Brian.]Pandangan Lalita terasa buram. Tenggorokannya tercekat.Belum sempat ia menarik nafas dengan benar, notifikasi baru kembali masuk.[Sebelum masuk, lo kayaknya ngobrol dulu sama kak Darren atau kak Roy. Dan kalo bisa, ajak satu temen aja, si Fauza mungkin, biar lo gak canggung.]Rasa khawatir langsung m
“Diana…” panggil Roy, memecah lamunan wanita itu.“A—ah… iya, Kak. Sorry, sorry. Sampai mana tadi?” ucap Diana terkesiap.Wanita itu pun tersenyum malu-malu, sesekali menggigit bibir empuknya pelan.Roy yang semakin kesal tetap memaksakan senyumnya—senyum yang biasa ia gunakan di ruang sidang.“Kak Roy minta maaf, tapi kayaknya sekarang kamu pulang dulu ya. Datangnya nanti lagi aja pas Brian udah sembuh.”Wajah Diana langsung berubah masam. Ia tidak ingin menyerah begitu saja.Dengan senyum tempur di wajahnya, ia siap berperang.“Tapi, Kak… kalau ada aku, bukannya proses penyembuhan Brian bisa lebih cepat?” ujarnya lancar. “Orang yang dicintai itu ibarat booster, kan? Brian pasti akan lebih kuat kalau semua ini dilewatin bareng aku.”Kebanyakan nonton short drama Cina nggak sih dia ini? batin Roy.Secara teori, Diana tidak sepenuhnya salah. Dalam banyak kasus, kehadiran orang yang dicintai memang bisa menjadi jangkar emosi—penahan agar pasien tidak tenggelam lebih dalam.Masalahnya ha







