Brian terdiam. Ruang tamu yang tadinya hanya dipenuhi suara napas mereka kini terasa jauh lebih sunyi dan berat.
Pria itu mendadak tersadar—kata-katanya barusan benar-benar keterlaluan.
"Jawab gue, Brian! Menurut lo gue, yang satu badan penuh lebam ini, baik-baik aja? Iya?!" bentak Lalita dengan suara yang naik satu oktaf, diseret emosi yang meledak-ledak.
Mata Brian terpejam, suaranya lirih dan tersendat. "E... Enggak gitu maksud aku, Lit..."
Sebelum Lalita bisa membalas lagi, terdengar suara lembut dari sofa.
"Yan... Kamu udah pulang?" Ternyata Diana terbangun. Rambutnya kusut, dan suaranya masih berat karena baru bangun tidur.
Brian menoleh, wajahnya memancarkan frustasi. Tapi ketika bicara pada Diana, nadanya berubah menjadi lembut.
"Iya, Di. Aku udah pulang. Kamu pindah tidur di kamar aja ya, jangan di sini. Nanti masuk angin..." katanya sambil mencoba tersenyum.
"Gak mau... Aku mau ngobrol sama kamu," gumam Diana se
“Bisnis orang tua kan…” ucap Nancy dengan nada bercanda, tapi Fauza hanya mencibir ringan.Saat obrolan ringan mereka berlanjut, wajah Fauza tiba-tiba berubah kesal. Ia baru saja melihat sesuatu di ponselnya.Matanya menyipit, rahangnya menegang sebentar.“Lo kenapa?” tanya Vivi sambil meliriknya dengan penasaran.“Gak, gak penting.” Fauza cepat-cepat memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berusaha menormalkan wajahnya. “Yuk, lanjut main.”Permainan kembali dimulai.Smash satu dari Vivi—tajam dan cepat.Smash dua—masih dari Vivi, kini diarahkan ke Fauza.Smash ketiga datang dari Fauza sendiri—dengan kekuatan penuh, hampir membuat shuttlecock mental ke dinding.Vivi dan Fauza benar-benar mendominasi lapangan.Gerakan mereka lincah, penuh semangat. Nancy pun tak kalah gesit, selalu bisa mengembalikan smash dengan presisi yang membuat La
Brian terdiam. Ruang tamu yang tadinya hanya dipenuhi suara napas mereka kini terasa jauh lebih sunyi dan berat.Pria itu mendadak tersadar—kata-katanya barusan benar-benar keterlaluan."Jawab gue, Brian! Menurut lo gue, yang satu badan penuh lebam ini, baik-baik aja? Iya?!" bentak Lalita dengan suara yang naik satu oktaf, diseret emosi yang meledak-ledak.Mata Brian terpejam, suaranya lirih dan tersendat. "E... Enggak gitu maksud aku, Lit..."Sebelum Lalita bisa membalas lagi, terdengar suara lembut dari sofa."Yan... Kamu udah pulang?" Ternyata Diana terbangun. Rambutnya kusut, dan suaranya masih berat karena baru bangun tidur.Brian menoleh, wajahnya memancarkan frustasi. Tapi ketika bicara pada Diana, nadanya berubah menjadi lembut."Iya, Di. Aku udah pulang. Kamu pindah tidur di kamar aja ya, jangan di sini. Nanti masuk angin..." katanya sambil mencoba tersenyum."Gak mau... Aku mau ngobrol sama kamu," gumam Diana se
"Aku sempet kira yang nyanyi tadi... beneran Taylor Swift," ucap David, matanya masih tak lepas dari Lalita yang baru saja duduk kembali.Fauza tertawa terbahak, menyikut David ringan."Sayangnya dia gak mau ikut Indonesian Idol."…It's cool," that's what I tell 'emNo rules in breakable heaven...But ooh, whoa-oh...It's a cruel summer with you (yeah, yeah)...Lagu terus mengalun, dan David lagi-lagi dibuat terpana. Entah sudah berapa kali rasa takjub muncul sejak mereka masuk ke ruang karaoke ini."Wow!" serunya lagi, nyaris refleks."Yeeaaayyy! Bagus banget emang suara temen gue!" Fauza bersorak sambil bertepuk tangan. "Ikut Indonesian Idol sono!"Lalita tertawa kecil, kemudian menjawab setengah bercanda, "Gak mau... nanti gue terkenal.""Okeee, kalau gitu giliran gue yang nyanyi..." sahut Fauza sambil merebut mikrofon, wajahnya cerah seperti anak ke
Brian memandang Ivan dengan dahi sedikit berkerut. Ia heran sekaligus geli mendengar komentar Ivan."Lo kayaknya kebanyakan nemenin istri lo nonton drama deh," ucap Brian sambil menyeringai.Tawa Fina dan Olivia meledak. Mereka memang sudah terbiasa dengan imajinasi Ivan yang kadang liar.Ivan sendiri hanya bisa menggelengkan kepala."Gue hidup di dunia nyata, bukan fiksiii. Jelas lah Lita tahu gue siapa. Kecuali bokap gue gak pernah masuk berita, baru bisa tuh disembunyiin. Masalahnya bokap gue tuh... terkenal. Jadi susah lah. Selama ini gak ketahuan di media aja udah ajaib banget,” ujar Brian.Mata Ivan menyipit, menatap Brian dengan penuh selidik."Pasti lo bayar mahal, kan? Biar informasi lo gak bocor ke mana-mana?"Brian mengangguk ringan, seolah hal itu sudah jadi rutinitas biasa."Banget. Dan kalau masih ada yang nekat nyebar, ya gue tuntut. Biar kapok."Seketika ruangan terasa hening sejenak. Ivan, Fina, dan Olivia saling berpandangan.Ada semacam jarak tak kasat mata yang mun
Setelah Aldo pergi, semua mata kini tertuju ke Brian. Termasuk ketiga anak buahnya yang tampak penasaran.Melihat Brian membalas tatapan mereka dingin, semua langsung kembali ke meja masing-masing.Ivan sendiri tersenyum jahil, seperti biasa, lalu berjalan santai menghampiri Brian sambil menepuk pundaknya.“Yuk makan! Udah waktunya makan siang kan?” godanya ringan.“Aku ikuttt!” Olivia langsung berseru, menarik tangan Fina tanpa banyak berpikir.Brian hanya melirik mereka bertiga bergantian. Di wajahnya tersirat pasrah bercampur geli.“Baiklah... baiklah... Ayo kita makan…”“Kita ke luar agak jauh aja kali ini,” ucap Brian sambil merapikan jaketnya.Mereka bertiga hanya saling pandang lalu mengangguk patuh.Tak lama kemudian, mereka berempat berjalan keluar kantor menuju mobil.Jalanan siang itu sedikit padat, udara panas menyengat, tapi tidak menghentikan semangat mereka untuk makan gratis dan mendengar ungkapan fakta yang tertunda.***Restoran yang cukup jauh dari kantor itu cukup
Seperti yang sudah Brian duga, temuan Aaron ternyata identik dengan temuan Mike. Ia hanya menanggapinya dengan senyum tipis."Aku tidak yakin informasi ini bisa memberimu jawaban pasti," ujar Aaron, suaranya cukup tenang. "Terkait kesaksianmu soal Lalita memukul Citra… sejauh penyelidikanku, aku belum menemukan bukti itu. Aku tak pernah melihat langsung kejadian yang kamu sebut. Tapi ada satu hal lain—anak tirimu, Citra, tampaknya memiliki kecenderungan... masokis."Hadi mengangkat sebelah alisnya, bingung. "Apa maksudmu?"Aaron menarik napas sejenak sebelum menjawab. “Dia sering berkencan, dan beberapa kali hubungan itu berakhir... dengan ranjang dan luka. Memar. Berdasarkan data terakhir, luka yang didapat Citra muncul sehari sebelum kau mendengar percakapan mereka."Brian menyipitkan mata, mencoba mencerna maksudnya. “Maksudmu, bisa saja Citra memfitnah Lalita?”Aaron mengangguk perlahan. “Kemungkinannya ada. Tapi ini baru spekulasi—karena waktunya berdekatan. Jika suatu hari kalia