"Assalamualaikum..."
Semua yang berada di rumah nampak terkejut melihat kedatangan Aina. Terlebih Novan dan ibu tirinya.
"Darimana saja kamu menghilang? Kamu pulang setelah meninggalkan rumah berhari-hari, apakah kamu pergi dengan lelaki yang kamu bawa ke rumah malam itu?" Ibu tirinya langsung menyambut dengan omelan panjang.
"Biarkan dia duduk..." Ayah Aina menatap dengan tatapan yang marah.
"Ayah, Aina bisa menjelaskan..." Kata Aina.
"Benarkan om, dia pergi dengan lelaki itu... Pacarnya..." Novan memotong pembicaraan dan mengucapkan tuduhannya.
"Ayah, Demi Allah! Aina tidak punya pacar... Malam itu dia...." ketika Aina mulai menunjuk Novan, ibu tirinya malah memojokkannya.
"Apa-apaan kamu menuduh ponakanku yang tidak-tidak, kamu tahu kan Novan itu pendidikannya tinggi. Dia kuliah S2 di luar negeri dan sudah lama bekerja di sana." Katanya.
"Lagipula, lihat dirimu, kamu ini pernah mondok di pesantren kan sebelum kuliah? apa jadinya? Cuma kedok saja pakai kerudung tapi masih juga bermain-main dengan pacar sendiri..." Dia kembali menambahi caci-maki.
"Tante, kuliah tinggi tidak menjamin kelakuannya juga akan sama tinggi-nya..." Aina tidak terima dituduh sebagai wanita murahan.
"Kalau saja malam itu aku tidak datang ke sini, Aina pasti sudah dinodai oleh pacarnya, Om!" Novan kembali menabur benih-benih fitnah.
"Astaga, apa yang kamu lakukan saat kami tidak ada di rumah Aina??" Ibu tirinya pura-pura kaget.
"Demi Allah! Aku tidak membawa siapapun ke rumah. Kenapa kalian tidak percaya padaku?" Air mata Aina mulai menetes.
"Sudah, diam!" Ayah mendobrak meja yang membuat suasana hening seketika.
Ayah menatap Aina dengan tajam. Seumur hidup Aina belum pernah mendapatkan tatapan yang sangat menakutkan seperti ini.
"Sebaiknya kamu jangan kembali lagi ke sini. Bagiku, anak perempuanku satu-satunya sudah meninggal dunia." Kalimat itu membuat Aina seperti disambar petir di siang hari.
Tetesan air mata jatuh sudah tak terbendung lagi, setelah mendengar kutukan Ayahnya sendiri.
"Nah, kamu sudah dengar kan? Ayah kandungmu saja sudah tak percaya lagi padamu. Lebih baik kamu pergi!" Ibu tirinya terlihat bangga dengan keberhasilannya mengusir Aina dari rumah. "Novan, bawa dia pergi dari sini!"
"Baik Tante.." Novan ikut menyunggingkan senyum kemenangan.
Aina seperti patung. Menurut saja pada Novan yang menggiringku ke dalam mobil. Aku akan meninggalkan rumah ini entah sampai kapan.
Ciiittt..
Tiba-tiba Novan mengerem mobil secara mendadak saat di perjalanan.
"Aina..."
Aina pura-pura tidak mendengar. Tatapan matanya lurus ke depan melihat jalan yang akan mereka lalui.
"Aina dengarkan aku, masih ada kesempatan untukmu..." Kata Novan. "Aina, kamu tetap bisa hidup dalam kemewahan jika kamu mau menjadi kekasihku..."
Aina tak menggubrisnya.
"Kamu tahu, hanya dengan melayaniku dan memuaskanku, kamu bisa mendapatkan apa yang kamu dapatkan dari ayahmu. Ingatlah, sekarang kamu sudah tidak punya apa-apa lagi..." Novan membisikkan kalimat itu di sebelah kanan telinganya.
Tanpa ragu, tangan kanan Aina langsung menampar Novan. "Aku lebih memilih mati daripada menjadi wanita jalang seperti itu..."
Dengan kasar ia banting pintu mobil Novan sambil berlalu. Aina tak peduli jika aku harus hidup sebatang kara. Yang jelas sekarang Aina harus pergi dari mereka dan berjuang seorang diri.
**
Tidaklah mudah menjalani kehidupan tanpa keluarga. Beberapa kali Aina berpindah tempat tinggal sewaan. Bahkan ia hampir saja kembali dinodai oleh lelaki yang mengantarkannya mencari tempat menginap.
Baru ia sadari betapa kejamnya dunia yang sesungguhnya. Sahabat yang dulunya selalu ada, setelah mengetahui keadaannya, tak seorangpun sudi membantu.
"Ibuuu.. aku rindu , Ibu!" Aku berjalan tanpa arah sambil menangis sesugukan. Uang belanja daging hampir habis untuk menginap harian.
Kakinya tiba-tiba menyandung batu dan berdarah.
"Neng, ayo saya antar ke puskesmas terdekat." Seorang pengemudi becak menawarinya bantuan.
"Tidak usah, Pak." Aina menolaknya, "..saya bisa sendiri..."
"Sepertinya Neng bukan orang sini ya?" Si tukang becak terus mengejarnya.
"Rumah saya ada di ujung gang Pak..." Aina terpaksa harus berkata bohong demi keamanannya.
"Jangan bohong neng, Bapak asli orang sini..."
Makin lama si tukang becak makin berani. Ia mencolek tangan Aina dengan santai.
"Kalau tidak punya rumah, bisa ke Bapak saja. Gratis... asalkan...." Si tukang becak berhenti bicara. "Ehm, Neng mau mijitin malam-malam."
"Hahahaa... Samiin, sudahlah itu gadis buat aku saja..." Sahut tukang becak yang lain.
"Halah, palingan dikasih lima puluh ribu sudah diam saja gadis macam itu." Kata yang lainnya.
Merasa direndahkan harga dirinya, Aina berusaha melawan. "Kalian semua memang laki-laki tak tau diri! Bertobatlah pada Allah! Kalau tidak, kalian akan mendapatkan laknat yang menyakitkan!"
Seakan berkotbah pada manusia tuli, tak ada seorangpun yang mendengar.
"Taksi!" Sebuah taksi biru lewat di depan Aina dan segera ia stop untuk naik.
"Mau kemana, Mbak?" Sopir itu bertanya pada Aina. Dia sempat melihat Aina yang berurai air mata.
"Ke terminal saja, Pak..." Jawabku asal.
"Kalau begitu saya akan putar balik Mbak..."
Baru semenit kemudian aku berubah pikiran. "Ke rumah nenek saya pak, di puncak!"
"Yang mana yang benar?" Pak supir taksi hanya tersenyum.
Aina masih ragu dan bimbang. Ia bingung dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Coba dipikir dulu masak-masak kira-kira mau kemana tujuan Mbak nanti. Sayang kalau cuma bolak-balik ganti tujuan karena argonya akan terus berjalan, Mbak.. Mahal ongkosnya..."
"Anu, antarkan saya ke Istana Putih di puncak gunung itu pak..." Aina teringat pada istana putih milik Teddy.
"Apakah Mbak sudah yakin?" Kembali supir taksi itu meyakinkannya yang masih ragu di matanya.
"Iya Pak, saya mau kesana saja..." Aina mengangguk yakin.
Taksi warna biru itu kembali melaju dengan kecepatan tinggi. Aina melirik argonya sudah cukup lumayan mahal.
"Pak, nanti kalau argonya sudah tiga ratus ribu saya berhenti ya?" Pintanya.
Mendengar kalimat itu, sang supir taksi balik bertanya. "Kenapa memangnya Mbak?"
"Tidak apa-apa Pak. Saya berani sendiri..."
"Mbak, jalannya masih jauh lho.. Memangnya ada apa?"
"Uang saya tinggal tiga ratus ribu Pak, kalau sampai Istana Putih mungkin akan menghabiskan sekitar tiga ratus ribu lebih..." Aina berkata jujur padanya.
"Tidak apa-apa Mbak, hitung-hitung saya membantu Mbak. Kebetulan saya juga punya anak perempuan Mbak, sekarang masih kuliah semester enam. Siapa tahu dengan saya menolong Mbak, anak saya juga dibantu orang ketika sedang dalam kesusahan..."
Jawaban sang supir taksih membuat Aina meleleh seketika. Aina teringat sosok ayahnya yang selalu melindungi dan mendukung segala keputusan yang ia buat. Aina yakin bahwa suatu saat ayah akan menerimanya kembali.
"Kita sudah sampai Mbak..."
Setelah menyerahkan uang tiga ratus ribu, Aina keluar dari taksi. Sambil menghela nafas panjang karena ia sebentar lagi akan masuk ke rumah yang seharusnya ia jauhi.
"Selamat datang kembali," Penjaga keamanan depan menyapaku. "Tuan ET sudah mencari-carimu, Nona..."
Jantung Aina seperti berhenti berdetak seketika saat mendengar nama itu disebut. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
***
"Bik Asih, kau??" Teddy memandang wajah pembantu paruh bayanya. Tak diduga Bik Asih memegang senjata api dan menembak ke dada Johan. Sementara Novan sudah terlanjur terkapar tidak bisa terselamatkan. "Kenapa kamu melakukannya? Aku kira kamu....." Teddy terdiam. Bik Asih dengan sebilah pisau melepaskan ikatan tali yang kuat di tangan Teddy dan Aina. Tanpa banyak bicara, Bik Asih membebaskan keduanya. "Mereka berdua pantas mendapatkannya!" Senjata api yang masih terselip di pinggang Bik Asih menjadi saksi, betapa Teddy sangat tidak menyangka jika Bik Asih memiliki kemampuan untuk menembak jarak jauh. "Bik Asih, bagaimana bisa Bibik melakukannya?" Aina masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat baru saja. "Ayo kita pergi dulu.." Dengan tertatih-tatih Aina berjalan keluar dari gudang belakang. Jarak gudang dengan rumah memang cukup jauh. Beberapa kali Aina jatuh tak berdaya. Tangan Teddy dengan sigap
"Johan?? Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?" Teddy menutupi tubuh Aina dengan tubuhnya yang lebih kekar. Tanpa mengeluarkan jawaban, Johan terus berjalan mendekati ke arah ranjang Teddy. Ia memperhatikan Teddy dan keluarga kecilnya berkumpul menjadi satu di satu ranjang. Senyum sinis Johan seolah memperlihatkan wajah Johan yang lain pada sang majikan. Dengan jelas Teddy bisa melihat Johan membawa sebuah senjata api yang ia genggam erat di tangan kanannya. Seolah Johan malam ini adalah jelmaan monster yang menyeramkan. "Apa maumu?" Teddy bertanya lagi. Masih belum mengeluarkan suara, Johan tetap berjalan perlahan mendekati Teddy yang sudah duduk bersiap mengapit senjata api di balik selimutnya. "Apa yang mau kamu lakukan pada kami Johan?" Kini Aina berganti unjuk suara untuk membuka mulut Johan yang masih terdiam tanpa jawaban. "Kamu mabuk??" Aina berteriak lagi. Braaakk,,, Segerombolan pria berbaju hitam tiba-tiba masuk ke dalam kamar Teddy melalui balkoni. Lengkap d
Setelah melalui proses persidangan panjang, pada akhirnya kebenaran berpihak pada kemenangan. Teddy dinyatakan bebas oleh hakim ketua. Tangis Teddy pecah, Ia bersujud syukur atas bebasnya tuduhan yang berat yang ditujukan padanya. Pada hari yang mendebarkan itu, Aina sengaja tidak diperbolehkan masuk oleh Pak Gunawan. Ia tidak ingin putrinya mengalami syok atau kaget jika sewaktu-waktu keputusan majelis hakim tidak berpihak kepadanya. Seketika setelah diumumkan, Pak Gunawan berlari dengan tertatih-tatih mendekati Teddy yang sudah berurai dengan penuh air mata. "Selamat Teddy.." Pak Gunawan memberikan sebuah pelukan yang erat untuk keponakannya yang bebas dari penjara. "Terima kasih Om.." Teddy menangis, ia memeluk erat Pak Gunawan.Ia sungguh tidak menyangka bisa keluar dari kasus gelap yang sebenarnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya."Papaa..." Davian yang menunggu di parkiran berlari ke arah Teddy.Sambil terisak tangis, Teddy memeluk anak sulungnya yang su
"Benarkah?" Aina terkejut saat mengetahui kasus sebenarnya yang menimpa Teddy. Jika saja ia tahu-menahu tentang kasus itu sejak awal, tentu masalah itu tidak akan berlarut-larut seperti ini. "Iya, dan hingga saat ini kami buntu!" Pak Gunawan mendesah. Nafas panjangnya membuat wajahnya berubah dalam kesedihan. "Lalu?" Aina memegang pundak Pak Gunawan yang lesu. Kedua mata Pak Gunawan hanya bisa memandang sesuatu yang jauh. Tak ada sama sekali titik terang dari kasus Teddy. Dan jika dibiarkan, Teddy bisa saja dihukum seumur hidup di dalam penjara. Pak Gunawan menyeka kedua matanya yang menitikkan air mata. Ia tak kuasa menahan kesedihan. Tentu ia juga memikirkan bagaimana nasib anak perempuan dan cucu-cucunya. "Papa.. Aina akan bicara sesuatu pada papa.." tatapan kedua mata Aina menggambarkan keseriusan dalam setiap perkataannya. "Ada apa Aina?" Hati Pak Gunawan tiba-tiba berdesir. Apakah ada sesuatu yang sangat penting sekali? "Pa, tapi papa harus berjanji pada Aina. Jangan ka
Hidup Aina memang sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak ujian yang menimpanya dalam waktu yang hampir bersamaan. Belum selesai kasus Teddy yang sedang dijebloskan ke penjara, dengan tiba-tiba Novan yang sebelumnya masuk sel tahanan malah tiba-tiba keluar begitu saja. Ada yang tidak jelas. Siapa sebenarnya dalang dari semua ini? Apakah hanya Steven? Atau ada yang lain? Aina pening memikirkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia hanya memandang langit-langit kamarnya yang kini nampak terang benderang. Di samping Aina, Devian, bayi kecil yang baru berusia belum genap satu bulan, tertidur lelap. Aina memandang bayi kecil yang sangat mirip dengan kakaknya, Davian. Siapa yang mengira jika pernikahan kali keduanya dengan Teddy akan dikaruniai lagi momongan yang sangat mirip dengan anak pertama mereka? "Kamu begitu mirip dengan kakakmu Nak!" Aina memandangi wajah Devian yang memerah. "Mamaaa..." Davian tiba-tiba masuk dengan berlari. Segera Aina mengingatkan agar Davian berj
"Bagaimana bisa kalian tidak menemukan barang bukti sama sekali??" Teddy emosi melihat hasil kerja anak buahnya yang berhenti di tempat. "Bukankah aku ada di Istana Putih saat hari pembunuhan itu?" Teddy mendobrak meja. Ia lupa jika ia adalah seorang tahanan saat ini. "Bos. kita sudah melapor pada pihak yang berwajib. Tapi tetap saja..." Johan mengeluh. Kali ini kasus yang dihadapi oleh Teddy bukanlah kasus biasa, melainkan kasus berat. Ia bisa saja dihukum seumur hidup atau hukuman berat lainnya. Terlebih lagi, pada kasus ini semua bukti malah mengarah kepada Teddy. Ya, Teddy menjadi tersangka satu-satunya. "Kami akan coba lagi bos. Masalahnya adalah pada saat itu bos juga keluar kan? Jadi tidak banyak yang tahu jika bos juga berada di luar rumah menjelang siang hari.." "Tapi, pada jam pembunuhan, aku masih berada pada kemacetan jalan. Tidak mungkin aku keluar dari mobil dan menghilang ke lokasi kejadian.." Semua kemungkinan yang dipikirkan oleh Teddy dan anak buahnya sudah d