Alda yang mengejang membuat Ardian yang berdiri di belakang Meira langsung mendekat. Wajahnya pucat pasi. "Alda kenapa?!" tanyanya panik. "Tunggu di sini, aku panggil dokter!" Jantung Meira berdetak dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Tanpa menjawab tanya Ardian, ia segera berlari keluar ruangan, berteriak seperti orang kesetanan meminta tolong pada dokter. Sementara itu, di dalam ruangan Alda, Ardian meraih tangan gadis itu. Tapi, tak satu pun kata yang meluncur dari bibirnya. Melihat kondisi istrinya membuat hatinya seperti disayat. Hingga tak lama kemudian, dokter akhirnya datang dan menangani Alda. Ardian dan Meira diminta keluar ruangan terlebih dahulu. 'Tolong jangan buat aku takut, sayang,' bisik Ardian lirih. Sejak tadi ia tidak henti-hentinya mondar-mandir di depan pintu ruang ICU. Setiap kali melirik melalui kaca transparan, dadanya terasa sesak. Di dalam sana, Alda terbaring tak berdaya, tubuhnya tersambung dengan berbagai alat medis. Terlihat jelas bagaimana gadis
Sudah seminggu lamanya, namun Alda belum juga membuka mata. Gadis itu masih berjuang untuk hidup dengan bantuan alat-alat medis yang menempel di tubuhnya. Meski begitu, kedua orang tuanya tetap abai. Saat Ardian mengabarkan bahwa Alda kritis, mereka bahkan tidak tergerak untuk menjenguk. Fokus mereka hanya pada Queen, si anak kesayangan yang selalu dibanggakan. Ardian hampa. Komanya Alda membuat hari-harinya suram. Sejak itu pula, ia tak pernah lagi mengurus resto. Semua pekerjaannya diambil alih oleh orang suruhan ayahnya. Waktunya hanya dihabiskan di rumah sakit, menanti gadis itu bangun. “Kamu tega banget, semua orang nangis karena kamu kayak gini,” bisik Ardian lirih. Ia genggam tangan Alda erat. Harapannya untuk melihat gadis itu terbangun dari komanya masih sangat besar. “Selama kamu koma, Ella suka ngurung diri di kamar. Dia nggak mau ke sekolah dan nggak mau ngomong sama siapa pun. Aku dan semua orang di rumah selalu nunggu kamu pulang.” Napas Ardian terasa berat. “Kamu n
“Aku bukan orang sekuat kamu, Alda. Tolong, jangan bikin aku takut...”“Aku udah berkali-kali kehilangan. Tolong jangan buat aku kembali kehilangan kamu,” mohonnya dengan nada lirih. Isak laki-laki itu terdengar memilukan.“Alda, kamu yang bikin aku kembali merasakan bagaimana rasanya dicintai dengan tulus. Kamu yang bikin aku bangkit lagi.” Ardian menarik napas dalam-dalam. Ada sesak yang kini menggerogoti rongga dadanya.“Saat hari itu kita benar-benar terpuruk, di mana hanya ada kita yang saling percaya, kamu yakinkan aku kalau semua akan baik-baik aja. Tapi, kalau kamu begini, siapa yang akan meyakinkan aku?” Ardian menunduk dalam. Hatinya sakit melihat kondisi Alda.“Tanpa kamu, nggak ada lagi yang akan siap menopang di saat aku nggak punya tumpuan.” Air mata pemuda itu kembali jatuh. Pertahanan yang ia bangun bukanlah pertahanan sekuat Alda.'Kondisi Alda benar-benar memprihatinkan.''Karena benturan keras di kepalanya dia kehilangan banyak darah.'Semua kalimat menakutkan itu
Saat ini, Alda masih ditangani dokter. Sebelumnya, Ardian sudah menelepon kedua orang tuanya dan juga orang tua gadis itu. Meski mertuanya tak peduli lagi dengan sang istri, ia masih berharap mereka mau menengok putri mereka ke rumah sakit. Pemuda itu duduk di kursi rumah sakit sendirian. Wajahnya muram. Kilatan kenangan demi kenangan bersama Alda muncul di benaknya pelan-pelan. Tapi kali ini ketakutan dan kekhawatiran membuat semua kenangan itu berubah seperti sebilah belati yang kini merajam hatinya. “Ngomong-ngomong, aku udah sediain satu kejutan buat Kakak.” Ardian menghela panjang. Bahkan Alda masih mengatakan kalimat ini sebelum kecelakaan. “Apa tuh?” “Namanya juga kejutan. Rahasia lah!” “Jadi, ini kejutan yang kamu maksud?” tanyanya pilu. Mungkin memang harusnya satu kejutan itu membahagiakan Ardian. Malam ini, Alda datang sebagai sosok yang berbeda. Sebuah kejutan besar untuknya. Sama seperti pintanya pada gadis itu beberapa waktu lalu. “Alda, nanti kalo udah siap
“Permisi, Mas. Saya mau liat korbannya.” Ardian tiba di depan petugas ambulance dengan harap-harap cemas. Ia harap, ini hanya sekedar firasat buruk saja. Namun, lidahnya mendadak kelu ketika ia melihat korbannya dengan mata kepala sendiri. Bahkan, rasanya ia seperti tidak tahu caranya bernapas dengan benar ketika ia lanjut bertutur dengan terbata-bata, “I-ini is-tri saya.” Suaranya pecah, nyaris tak terdengar. Tangannya gemetar saat mencoba meraih tangan Alda yang dingin. Gadis itu sudah bersimbah darah. Kondisinya benar-benar memprihatinkan. Petugas ambulance memberi isyarat cepat, “Pak, kita harus segera berangkat.” Ardian ikut masuk ke dalam ambulance. Tubuhnya gemetar ketika ia memeluk Alda pelan-pelan. Begitu saja air matanya jatuh. "Kenapa kamu jadi begini, sayang?" Supir ambulance sudah berada di kursi kemudi dan menyalakan mesin. Namun, mesin tiba-tiba tersendat dan mati. Beberapa kali percobaan menyalakan ulang tetap gagal. “Ada apa, Pak?” tanya Ardian panik dari
“Eh, kenapa nih?” Alda yang tengah duduk di bangku taman belakang rumah dibuat terkejut saat Ardian tiba-tiba menutup matanya dengan sebuah kain hitam. “Diem dulu. Tutup matanya jangan dibuka.” “Oke.” Sementara itu, Ardian mulai sibuk memasangkan kalung ke leher Alda. Tak sampai dua menit, ia kembali membuka penutup mata gadis itu. “Penutup matanya boleh dibuka.” Tak hanya itu, ketika pertama kali membuka mata, Alda dapat melihat Ardian yang tengah berdiri di hadapannya sembari menyodorkan satu buket mawar putih. “Cantik banget bunganya. Kalungnya juga. Makasih ya, Mas Suami.” Senyumannya mengembang sempurna. Begitu saja ia memeluk Ardian erat. Pemuda itu tersenyum. Ia mengusap lembut punggung Alda. “Syukurlah kalo kamu suka.” “Jadi, ini hadiah anniv kita yang ke satu tahun?” Ardian menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali. “Ya, kira-kira gitu, sih. Maaf ya, hadiahnya nggak seberapa. Nanti malam, kita rayain hari anniversary kita di resto kesukaan kamu, gimana?” Alda