Home / Rumah Tangga / Istri Bayangan Tuan Arogan / Bab 2 Rumah Tanpa Kehangatan

Share

Bab 2 Rumah Tanpa Kehangatan

Author: Miss han
last update Huling Na-update: 2025-03-08 12:06:31

Pagi menjelang dengan cahaya matahari yang malu-malu menyusup melalui celah tirai di kamar mereka. Rania terbangun meski semalam tidurnya hanya sebatas memejamkan mata, tidak benar-benar bisa tidur. Bayang-bayang pernikahan yang tanpa cinta masih bergelayut di benaknya. Malam pertama yang seharusnya menjadi awal baru bagi pasangan suami istri, justru diisi dengan kehampaan. Aidan pergi begitu saja, meninggalkannya sendirian dalam kamar yang terasa lebih dingin.

Dengan langkah malas, Rania melangkah ke dapur. Kebiasaannya selama ini di rumah bibinya adalah menyiapkan sarapan, dan ia tetap melakukan meski tak yakin apakah Aidan akan menyentuh masakannya. Ia menata meja makan dengan rapi, menyajikan nasi goreng sederhana, telur dadar yang matang sempurna, serta dua cangkir kopi. Setidaknya, jika Aidan pulang, ada sesuatu yang bisa ia santap.

Saat ia sibuk menata piring, suara pintu utama yang terbuka membuatnya menoleh. Aidan muncul di ambang pintu dengan wajah lesu. Rambutnya berantakan, kemeja yang ia kenakan saat pergi sudah hilang entah ke mana menyisakan kaos singlet putih. Wajahnya penuh kelelahan, tetapi tatapannya tetap tajam saat matanya bertemu dengan Rania.

Sejenak, hanya keheningan yang menyelimuti ruangan itu. Rania menelan ludah, mencoba menepis berbagai pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya. Ia ingin tahu ke mana Aidan pergi, dengan siapa, dan apa yang membuat suaminya pulang dalam keadaan seperti ini. Namun, ia sadar posisi, menanyakan hal itu hanya akan memperburuk keadaan.

"Kamu sudah sarapan?" Rania bertanya pelan, suaranya terdengar begitu hati-hati.

Aidan menghela napas, lalu berjalan melewati Rania begitu saja tanpa menjawab. Ia duduk di kursi meja makan, menatap piring di depannya seolah tak bernafsu untuk menyentuhnya.

"Aku sudah menyiapkan sarapan," lanjut Rania, mencoba bersikap wajar. "Makanlah sedikit, kamu kelihatan lelah."

Aidan mengangkat wajahnya, menatap Rania dengan ekspresi datar. Kemudian, tanpa diduga, ia tertawa kecil. Tawa yang terdengar dingin dan menyakitkan.

"Kamu ingin berperan sebagai istri yang baik?" Suaranya sarat dengan ejekan.

Rania menggigit bibirnya, menahan kata-kata yang ingin ia lontarkan. Namun, ia tak ingin memperkeruh keadaan.

"Aku hanya ingin melakukan tugasku sebagai istri," jawab Rania akhirnya.

Aidan menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Rania dengan mata yang sulit ditebak. "Dengar!" katanya kemudian, suaranya lebih serius. "Pernikahan ini hanyalah formalitas. Aku tidak pernah menginginkannya, dan aku yakin kamu juga tidak."

Kata-kata itu menghantam dada Rania seperti gelombang air bah. Meski sudah menebak arah pembicaraan ini, tetap saja hatinya masih terasa sakit mendengarnya langsung dari mulut Aidan.

"Aku paham," jawabnya lirih.

Aidan mendengus. "Bagus. Jadi jangan pernah berharap lebih. Aku tidak akan memberimu pernikahan seperti yang kamu bayangkan."

Rania menunduk, menekan gejolak di hatinya. Ia ingin bertanya, apakah Aidan benar-benar tidak bisa mencoba? Apakah semuanya sudah tertutup sejak awal? Namun, ia tahu, pertanyaan semacam itu hanya akan semakin membuatnya terlihat menyedihkan.

"Aku mengerti, Aidan," ujarnya pelan.

Aidan berdiri, mengambil jasnya yang ia letakkan di sandaran kursi. Sebelum pergi, ia menoleh sekali lagi.

"Satu hal lagi! Jangan pernah mencoba mencampuri urusanku. Jangan menanyakan aku pergi ke mana, dengan siapa, atau apa yang kulakukan. Aku pun tidak akan mencampuri urusanmu." Suaranya terdengar lebih dingin dari udara pagi yang menusuk. "Kamu hanya istriku di atas kertas. Tidak lebih!"

Setelah mengatakan itu, Aidan melangkah pergi, meninggalkan Rania yang masih berdiri di dekat meja makan dengan hati yang semakin lebur.

Langkah kaki Aidan menghilang di balik pintu, meninggalkan keheningan yang menyakitkan. Rania masih berdiri di tempatnya, kedua tangan menggenggam erat pinggiran meja makan seolah itu satu-satunya yang bisa menahan agar tak jatuh.

Kata-kata Aidan masih menggema dalam benaknya.

"Jangan pernah berharap lebih."

"Kau hanya istriku di atas kertas. Tidak lebih."

Rania mengatup bibirnya rapat. Sakit, tentu, tapi bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak.

Ini bukan pertama kalinya ia menghadapi penolakan. Seumur hidupnya, ia telah terbiasa menjadi seseorang yang tidak diinginkan. Sejak kecil, ia tahu arti kesepian. Ia tahu bagaimana rasanya berjuang sendiri, tanpa ada yang benar-benar peduli apakah ia akan bertahan atau tidak.

Jadi, sikap Aidan tidak seharusnya mengejutkannya. Namun, tetap saja .…

Ia menutup mata, menarik napas dalam-dalam. Ia tidak punya siapa-siapa lagi dan tidak ada tempat untuk kembali.

Jika Aidan menginginkan jarak, maka ia harus belajar untuk berdiri di tengah kehampaan ini. Rania akan menerima takdirnya sebagai istri yang tidak diinginkan.

___

Aidan menutup pintu kamar dengan kasar, melempar jasnya ke atas ranjang tanpa peduli sekitar. Ia berjalan menuju kamar mandi, merasakan kepalanya berat.

Larissa .…

Semalaman ia bersama wanita itu. Wanita itu masih seperti dulu—anggun, manis, dan memiliki senyum yang selalu berhasil melembutkan hatinya. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Kedekatannya terasa aneh. Entah mungkin karena status Larissa yang kini menjanda atau karena kehadiran Rania. Entahlah.

“Larissa …” gumamnya pelan.

Kenyataan bahwa Larissa yang sendiri belum bisa ia miliki lagi terasa lebih menyakitkan dari yang ia kira.

Aidan meraup wajahnya di bawah pancuran air. Ia ingin menghapus segala beban di kepalanya, ingin menghilangkan perasaan mengganjal yang terus menghantuinya sejak ia mengucapkan ijab kabul.

Pernikahan ini tidak pernah ia inginkan. Pernikahan ini hanya bentuk kepatuhan terhadap keluarganya. Tidak lebih.

Setelah beberapa saat, ia keluar dari kamar mandi, mengusap rambutnya yang basah dengan handuk. Matanya tiba-tiba menangkap sesuatu di atas ranjang. Pakaian kerja sudah tersusun rapi. Dilipat dengan sangat hati-hati. Untuk sesaat, Aidan hanya berdiri memandanginya. Ia tidak ingat pernah memintanya.

Ia tahu siapa yang melakukannya. Gadis itu. Rania. Aidan merasakan rahangnya mengatup kuat. Ia tidak tahu kenapa, tetapi sesuatu dalam dirinya merasa terganggu.

Tidak seharusnya wanita itu berusaha menjadi ‘istri’ baginya. Tidak seharusnya Rania peduli.

“Percuma kamu melakukan hal ini, aku tidak akan pernah luluh!”

Aidan tidak menyentuh pakaian itu. Ia hanya menatapnya sebentar, lalu berjalan menuju lemari, mengambil kaus hitam dan celana santai. Ia tidak butuh pakaian kerja hari ini. Ia sedang cuti, dan tidak akan membuang-buang energinya untuk hal yang tidak penting. Seperti istrinya.

Perlahan, ia mengenakan kausnya, kemudian melangkah keluar dari kamar. Rumah itu sunyi. Tidak ada suara televisi, tidak ada suara obrolan ringan, tidak ada kehidupan. Dingin, seperti yang ia inginkan.

Begitu ia sampai di ruang tengah, matanya menangkap sosok Rania yang sedang merapikan meja makan. Sarapan yang tadi sempat ia abaikan sudah hampir disingkirkan.

Aidan berjalan mendekat. Langkahnya lambat, tetapi penuh tekanan. Rania mengangkat kepala. Sejenak, tatapan mereka bertemu.

Aidan bisa melihat sorot mata wanita itu. Tenang di permukaan, tetapi ada sesuatu yang berusaha ia sembunyikan. Terluka?

Tidak.

Ia tidak peduli.

"Jangan lakukan itu lagi," suara Aidan rendah, nyaris berbisik.

Rania berkedip. "Lakukan apa?"

Mata Aidan melirik sekilas ke meja makan. "Berpura-pura menjadi istri yang baik."

Jemari Rania menegang di atas sendok yang sedang ia angkat.

Aidan menahan napas, menunggu responsnya. Tapi Rania tidak mengatakan apa pun. Ia hanya melanjutkan pekerjaannya, merapikan sisa sarapan seolah kata-kata Aidan tidak berarti.

Itu … mengganggunya.

Aidan tidak tahu kenapa, tetapi sikap Rania membuatnya merasa tidak nyaman. Ia lebih memilih jika wanita itu membela diri, menatapnya dengan marah, atau menangis karena tersinggung.

Bukan sikap diam seperti ini. Bukan sikap yang seolah tidak mengharapkan apa-apa darinya.

Aidan melangkah mundur, membiarkan Rania menyelesaikan pekerjaannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan menuju ruang kerjanya.

Rania tetap berada di dapur atau di kamar, sementara Aidan menghabiskan waktu di ruang kerjanya. Tidak ada percakapan, tidak ada interaksi. Hanya kesunyian. Seperti dua orang asing yang terjebak dalam satu rumah. Namun, semakin lama, atmosfer di rumah itu semakin mencekam.

Mereka tahu keberadaan satu sama lain, tetapi mereka memilih untuk mengabaikan. Rania tidak keluar dari kamar kecuali untuk makan atau membersihkan rumah. Aidan tidak pernah berusaha mencari keberadaannya, tetapi entah kenapa, ia sedikit merasa terganggu bahwa wanita itu ada di sana.

Malam beranjak naik dan kesunyian di rumah semakin terasa.Hingga akhirnya, suara benda jatuh terdengar dari dalam kamar Rania.

Aidan, yang tengah duduk di sofa ruang tamu dengan laptop di pangkuannya, mengangkat kepala. Dahinya berkerut. Ada keheningan selama beberapa detik, lalu, terdengar suara rintihan yang tertahan.

Aidan menyadari sesuatu.

Ia tidak tahu penyebabnya, tetapi perasaannya mendadak tidak tenang. Ada sesuatu di balik pintu kamar itu. Sesuatu yang membuatnya tidak bisa mengabaikannya begitu saja.

Ia berdiri dan melangkah menuju kamar mereka. Kamar yang belum ia bagi.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 45 Kakutan Kalina

    Rania yang telah tidur tiba-tiba terbangun karena mimpi buruk. Rania duduk di ujung ranjang dengan pandangan kosong. Tangannya gemetar, dan untuk sesaat ia merasa seperti kembali menjadi gadis remaja yang hanya bisa menahan air mata di pojok kamar, saat Kalina kembali memanggilnya “anak titipan,” “si yatim,” atau “anak pengganti” yang katanya telah mencuri kasih sayang tantenya.Aidan yang belum tidur segera bangkit dan memberikan segelas air pada istrinya. “Yang … are you okey?”Rania mengangguk pelan, tetapi air matanya mulai jatuh tanpa bisa dicegah. “Dulu aku pikir semua itu udah selesai, Mas. Tapi ternyata … dia masih marah. Padahal itu bukan mauku.”“Hey, kamu kenapa?” Aidan mendekat dan memeluk bahunya, membiarkannya menangis sejenak.“Akiu mimpi Kalian, Mas.”“Okey, itu hanya mimpi, Yang. Ada yang mau kamu ceritain biar lega?”Rania terdiam sejenak, ia mencoba mengatur napasnya dan bersandar pada dada Aidan.“Ak

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 44 Gosip

    Hubungan Aidan dan Rania terus membaik, bahkan keduanya sekarang lebih sering menghabiskan waktu berdua. Meskipun terkadang Aidan tampak melamun, tetapi kehadirannya dan pengakuan Aidan yang mulai mencintai Rania, membuat gadis itu berbunga-bunga. Keduanya mulai bisa menerima satu sama lain.Seperti hari ini, suasana ruang tamu rumah Aidan dan Rania pagi itu cukup tenang. Rania menata bunga di vas kaca kecil di meja, sementara Aidan duduk di sofa membaca laporan kerja dari tablet.“Mas, bisa enggak kalau lagi libur itu enggak usah sambil kerja?” tanya Rania saat melihat Aidan yang terlalu fokus pada benda tipis di pangkuannya. “Sedikit lagi, Yang,” ucap Aidan lembut.Namun, ketenangan itu buyar saat suara bel rumah terdengar dipencet berulang kali.Rania bergegas membuka pintu. Betapa terkejutnya ia melihat Kalina berdiri di depan rumah, mengenakan blazer krem dan celana panjang hitam, wajahnya merah pa

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 43 Ancaman

    Rania masih duduk di sudut kafe bersama Reza setelah pertemuan dengan klien selesai. Suasana kafe yang semula tenang, mulai terlihat ramai dengan pengunjung yang berdatangan. Jam pulang kantor kafe-kafe mulai penuh dengan karyawan yang ingin melepas penat sebelum pulang. Reza meletakkan cangkir kopinya yang tinggal setengah. Tatapannya kembali menyelidik ke arah Rania.“Ran,” ucapnya pelan. “Aku cuma mau pastikan. Kalina yang kamu maksud tadi itu, Kalina yang dulu sering kamu ceritain. Sepupu yang sering ngebully kamu di rumah?”Rania mengangguk pelan, sambil memainkan sendok kecil di piring dessert-nya.“Iya. Dia, cukup bikin hari-hariku berat waktu SMA bahkan hingga sekarang, Mas.”Reza mengernyit, wajahnya terlihat bersalah. “Ya ampun, Ran. Aku enggak tahu kalau kamu pernah sesulit itu karena sahabatku. Aku minta maaf.”“Kenapa Mas Reza minta maaf? Kan, Kalina yang salah!”“Iya, aku sebagai sahabatnya enggak nyangka aja Kalina yang lembut bisa sebar-barb itu. Nanti aku bilangin d

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 42 Hamil

    Pagi datang lebih cepat dari yang Rania harapkan. Setelah kemarin dihabiskan dengan suasana hangat bersama Aidan. Saling mengenal dan membangun hubungan keduanya yang mulai berwarna, meskipun Aidan masih terlihat cuek. Kini ia kembali harus menghadapi dunia kerja. Dunia di mana segala ketegangan bisa terjadi, termasuk bertemu Reza, sosok yang kini dicurigai Aidan.Rania menyiapkan dirinya dengan lebih hati-hati pagi itu. Ia mengenakan blouse putih gading, rok hitam selutut, dan syal tipis berwarna biru muda. Make up-nya sederhana, hanya polesan tipis agar tampak segar. Saat berangkat, Aidan hanya menatapnya singkat dari meja makan, tapi dari sorot matanya, ada kekhawatiran dan sedikit cemburu.“Mas, aku berangkat ya. Doain lancar.”Aidan mengangguk. “Ya.”Rania mengecup punggung tangan Aidan, mulai pagi itu ia akan diantar jemput oleh sopir pribadi Aidan.Di kantor, semuanya terlihat seperti biasa. Reza yang biasanya santai, pagi ini sudah duduk di ruang meeting sambil menatap laptop.

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 41 Kerjasama

    “Oke kalau itu keputusan kamu,” jawab Aidan dengan wajah terlihat lebih bersahabat. “Kaarena kamu hari ini sudah aku buat bete, jadi aku akan kasih kamu treatment sebelum tidur.”“Treatment?” tanya Aidan sambil mengerutkan dahi.“Iya, Treatment. Malam ini aku pastikan kamu relaks dan tidur cepat,” ucap Rania sambil mengeringkan mata.Aidan menahan senyumnya. Ia sudah tidak marah, tetapi gengsi mengakuinya jadi ia hanya terdiam pasrah ketika Rania mulai melakukan treatment. Rania berdiri dan menarik tangan Aidan untuk ikut berdiri. “Ganti baju dulu, nanti aku siapin air hangat buat pijat. Badan kamu pasti pegal karena selama ini jagain aku.”Aidan mengikutinya ke kamar mandi. Setelah beberapa menit, ia keluar dengan kaos santai. Rania sudah menunggu di tepi ranjang, memegang minyak pijat dan handuk hangat.Rania mulai memijat perlahan pundak dan punggung Aidan. Sentuhannya lembut, penuh perhatian. Sesekali ia meniup pelan kulit leher Aidan, membuat pria itu memejamkan mata dan menghe

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 40 Salah Paham

    “Reza?” gumam Rania pelan, seolah tak percaya dengan sosok yang baru saja lewat.Pria bertubuh tegap itu menoleh cepat, lalu tersenyum dengan mata berbinar saat melihat Rania. “Ran!” sapanya sambil berjalan mendekat. Tatapannya hangat, tetapi sedikit terkejut saat melihat Aidan duduk di hadapan Rania.“Hai, Pak Reza.” Rania menyambut dengan senyum ramah.Aidan hanya menatap Reza sekilas, kemudian kembali ke makanannya tanpa memberi sapaan. Sorot matanya jelas menunjukkan ketidaksukaan, dagu yang mengeras dan jemari mencengkeram garpu sedikit lebih kuat dari biasanya.Reza berdiri di samping meja, lalu melirik ke arah tangan Rania yang kini tanpa perban. “Oh, hari ini kamu lepas perban. Gimana tangannya kata Dokter?”“Masih agak nyeri sih, tapi udah jauh lebih baik,” jawab Rania.Reza mengangguk. “Baguslah. Padahal tadinya aku mau nemenin kamu ke dokter, tapi maaf, ada meeting hari ini. Tuh, anak-anak ada di sana mau makan siang.” Rania hendak menjawab, tetapi Aidan memotong lebih dul

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status