Share

Istri Bayangan Tuan Arogan
Istri Bayangan Tuan Arogan
Author: Miss han

Bab 1 Pernikahan Hitam

Author: Miss han
last update Last Updated: 2025-03-07 12:07:03

Bibir Rania terasa kering. Tangannya menggenggam erat kain gaun putih yang menjuntai di pangkuannya. Di ruangan itu, suara lantang penghulu menggema, diikuti dengan desiran pelan dari para tamu yang menahan napas.

Di sampingnya, Aidan duduk tegak, mengenakan jas hitam dengan wajah tanpa ekspresi.

"Ijab qabul akan segera dilaksanakan," kata penghulu.

Rania menunduk. Ini benar-benar terjadi.

Ia mengeraskan hatinya. Tidak boleh ada keraguan. Tidak boleh ada penyesalan.

"Aidan Ramadhani bin Fadhlurrahman," suara penghulu terdengar lagi, mantap dan jelas. "Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Rania Amara binti Firdaus dengan mahar seperangkat alat salat dan emas 500 gram, dibayar tunai."

Hening sejenak.

Lalu, suara berat itu terdengar.

"Saya terima nikahnya Rania Amara binti Firdaus dengan mahar tersebut, tunai."

Gema sah dari para saksi menggetarkan ruangan. Rania mengangkat wajah, mencoba menangkap perubahan sekecil apa pun di raut wajah Aidan. Namun, pria itu tetap dingin, seolah apa yang baru saja terjadi hanyalah sebuah transaksi biasa.

Sebagian tamu tersenyum haru. Beberapa sanak keluarga menyeka air mata. Akan tetapi, Aidan bahkan tidak menoleh ke arahnya. Pernikahan itu resmi, tetapi mengapa rasanya seperti ia baru saja kehilangan sesuatu?

Resepsi berlangsung meriah. Lampu kristal berkilauan, bunga-bunga putih menghiasi seluruh aula, dan hidangan mewah tersaji di meja panjang. Semua orang tampak bahagia. Kecuali kedua mempelai.

"Selamat, Aidan," suara lembut seorang wanita menyusup di antara keramaian.

Rania menoleh. Wanita cantik tersenyum manis pada Aidan dan senyum itu dibalas tidak kalah hangat, tetapi hanya sekejap.

Gaun merah yang dikenakannya begitu mencolok, seakan sengaja dipilih untuk menarik perhatian. Matanya berbinar, tetapi ada sesuatu di dalamnya, sesuatu yang membuat perut Rania terasa tidak nyaman.

"Aku hampir tidak percaya ini benar-benar terjadi." Wanita itu tersenyum kecil. "Pernikahanmu."

Aidan mengepalkan tangan di samping tubuhnya, tetapi ia tidak mengatakan apa pun. Ia hanya mendengkus kesal.

Wanita itu mengalihkan pandangannya ke Rania. "Kau sangat beruntung, Rania."

Rania hanya tersenyum tipis. Ia tidak bodoh. Kalimat itu bukanlah sebuah pujian.

Aidan menghela napas panjang, lalu berbisik pelan, "Larissa, ini bukan tempat yang tepat. Aku akan menjelaskannya segera."

Larissa mengedikkan bahu sebelum melangkah pergi. Rania ingin bertanya. Tentang hubungan mereka. Tentang ia merasa seperti ada bayangan asing yang begitu kuat di antara dirinya dan Aidan. Namun, ia menahan diri. Mungkin ia tidak ingin tahu jawabannya.

***

Rania duduk di sisi tempat tidur, jemarinya menggenggam ujung selimut. Kamar ini terlalu luas, terlalu asing, terlalu sunyi.

Aidan masuk. Ia melepas dasinya, berjalan melewati Rania tanpa menatapnya.

"Aidanb…." Rania mencoba bicara, tetapi suara itu nyaris seperti bisikan.

Pria itu berhenti sejenak. "Tidurlah. Aku akan di luar."

Rania menoleh cepat. "Di luar?"

"Aku ada urusan," jawabnya singkat.

Tidak ada kehangatan di matanya. Tidak ada keraguan. Aidan tidak merasa perlu memberikan penjelasan lebih panjang. Ia mengambil kunci mobilnya dan keluar tanpa menoleh lagi. Pintu tertutup pelan.

Sepi.

Rania menghela napas dalam. Lalu ia tersadar. Ini bahkan belum benar-benar dimulai dan Aidan sudah memilih pergi. Ia semakin tahu gambaran pernikahan paksaannya. Ternyata bukan hanya dia yang terpaksa.

Rania tetap duduk di tempatnya, menatap pintu kamar yang tertutup. Kepergian Aidan menyisakan kehampaan yang aneh.

Dadanya terasa sesak, tetapi ia tidak tahu pasti karena apa. Mungkin karena fakta bahwa suaminya pergi begitu saja tanpa sedikit pun rasa bersalah. Atau mungkin karena sejak awal, ia sudah tahu ini akan terjadi. Ia pikir Aidan bisa bersikap baik padanya meski mereka tidak saling mencintai.

Rania menunduk, jemarinya meremas gaun tidur yang baru sempat diganti. Rasa dingin merayap di kulitnya, tetapi bukan karena udara malam, melainkan kesadaran bahwa ia benar-benar sendirian dalam pernikahan ini.

Rania bangkit. Langkahnya pelan saat ia berjalan menuju cermin besar di sudut ruangan. Bayangannya terpantul di sana, seorang wanita dalam balutan pakaian tidur sutra putih, rambut panjangnya tergerai berantakan. Matanya sembab. Ia tertawa kecil, getir. Baru saja menikah, tetapi malam pertamanya sudah dihabiskan sendiri.

Di luar, rintik hujan mulai turun. Rania melangkah menuju jendela besar, menyingkap tirai tipis, dan menatap jalanan gelap di bawah sana. Lampu-lampu kota masih menyala, gemerlap seperti bintang yang jatuh ke bumi dan di antara mereka, ada Aidan. Entah di mana.

Apakah dia bersama wanita itu? Larissa?

Pikiran itu menyusup begitu saja ke benaknya, menusuk tanpa ampun.

Larissa.

Nama itu terasa seperti duri dalam daging. Ia tak tahu hubungan pasti apa yang terjalin di antara Aidan dan wanita itu, tapi ia bukan orang bodoh. Cara Larissa berbicara tadi, tatapan Aidan yang mendadak hidup, tetapi penuh sesuatu yang tak terkatakan, semua itu cukup untuk memberi tahu bahwa ada sesuatu di sana. Rania hanyalah orang asing yang kebetulan terjebak di dalamnya.

Sementara itu, di dalam mobil yang melaju di jalanan basah, Aidan mengeratkan jemarinya di kemudi. Ia tidak tahu harus pergi ke mana. Yang ia tahu hanyalah ia tidak bisa berada di rumah itu. Tidak malam ini.

Hujan semakin deras, menampar kaca mobil, menciptakan suara samar yang mengisi keheningan di dalam kabin.

Pernikahan. Ia seharusnya sudah terbiasa dengan ide itu. Sejak berbulan-bulan lalu, keluarganya sudah membicarakan ini, menegaskan bahwa tidak ada pilihan lain. Namun tetap saja, saat mendengar penghulu mengucapkan ijab, saat suaranya sendiri menyatakan penerimaan, semuanya terasa seperti mimpi buruk.

Aidan menekan pedal gas lebih dalam. Ia tahu Rania tidak pantas menerima ini. Ia tahu bahwa perempuan itu tidak bersalah. Tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa berpura-pura. Tidak bisa pura-pura mencintai. Tidak bisa pura-pura menerima.

Ia menghela napas berat, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang berkecamuk. Akan tetapi bayangan mata Rania tadi, mata yang berusaha tetap tegar meskipun dipenuhi pertanyaan, terus menghantuinya. Ia memejamkan mata sejenak sebelum kembali fokus pada jalan. Hanya satu yang ia yakini malam ini. Ia tidak bisa pulang. Tidak sekarang.

Hujan turun semakin deras. Wiper mobil Aidan bergerak cepat, berusaha menghalau butiran air yang jatuh tanpa ampun. Tangannya masih mencengkeram kemudi, tetapi pikirannya melayang jauh. Rania dan tatapan perempuan itu sebelum ia pergi sangan mengganggu.

Aidan meremas setir lebih erat. Tidak. Ia tidak boleh memikirkannya. Ini bukan kesalahannya. Ia sudah memberi tahu keluarganya bahwa ia tidak ingin pernikahan ini. Tapi mereka tetap memaksanya. Dan sekarang, Rania harus menanggung akibatnya.

Mobilnya terus melaju, meninggalkan gemerlap lampu kota, memasuki kawasan perumahan elit dengan deretan rumah mewah yang sunyi.

Lalu ia berhenti. Rumah megah di hadapannya berdiri kokoh di tengah kegelapan, diterangi hanya oleh lampu teras dan bias cahaya dari jendela lantai dua. Jemarinya mengepal di atas paha, seakan ragu.

Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya ia membuka pintu mobil dan keluar. Hujan langsung menyambutnya, membasahi rambut dan bahunya, tetapi ia tidak peduli.

Dengan langkah panjang, ia berjalan menuju pintu besar yang telah begitu familiar. Ia mengangkat tangannya, memencet bel. Hening.

Lalu, suara kunci diputar dari dalam terdengar. Pintu terbuka sedikit, dan seseorang berdiri di sana, bayangannya samar tertelan cahaya dari dalam rumah.

“Wah, pengantin baru kabur?” Suara seseorang menyentaknya. Suara yang beberapa tahun ini berhasil menawan hatinya. Mata Aidan terangkat, menatap sosok itu dengan ekspresi yang sulit diartikan. 

Ia tersenyum menatap Aidan. Sosok itu tahu maksud dari pria yang sering menyambanginya setiap hari. Lalu pintu terbuka lebih lebar, memberi ruang Aidan untuk masuk. Tanpa ragu, Aidan melangkah ke dalam dan pintu tertutup kembali di belakangnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 45 Kakutan Kalina

    Rania yang telah tidur tiba-tiba terbangun karena mimpi buruk. Rania duduk di ujung ranjang dengan pandangan kosong. Tangannya gemetar, dan untuk sesaat ia merasa seperti kembali menjadi gadis remaja yang hanya bisa menahan air mata di pojok kamar, saat Kalina kembali memanggilnya “anak titipan,” “si yatim,” atau “anak pengganti” yang katanya telah mencuri kasih sayang tantenya.Aidan yang belum tidur segera bangkit dan memberikan segelas air pada istrinya. “Yang … are you okey?”Rania mengangguk pelan, tetapi air matanya mulai jatuh tanpa bisa dicegah. “Dulu aku pikir semua itu udah selesai, Mas. Tapi ternyata … dia masih marah. Padahal itu bukan mauku.”“Hey, kamu kenapa?” Aidan mendekat dan memeluk bahunya, membiarkannya menangis sejenak.“Akiu mimpi Kalian, Mas.”“Okey, itu hanya mimpi, Yang. Ada yang mau kamu ceritain biar lega?”Rania terdiam sejenak, ia mencoba mengatur napasnya dan bersandar pada dada Aidan.“Ak

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 44 Gosip

    Hubungan Aidan dan Rania terus membaik, bahkan keduanya sekarang lebih sering menghabiskan waktu berdua. Meskipun terkadang Aidan tampak melamun, tetapi kehadirannya dan pengakuan Aidan yang mulai mencintai Rania, membuat gadis itu berbunga-bunga. Keduanya mulai bisa menerima satu sama lain.Seperti hari ini, suasana ruang tamu rumah Aidan dan Rania pagi itu cukup tenang. Rania menata bunga di vas kaca kecil di meja, sementara Aidan duduk di sofa membaca laporan kerja dari tablet.“Mas, bisa enggak kalau lagi libur itu enggak usah sambil kerja?” tanya Rania saat melihat Aidan yang terlalu fokus pada benda tipis di pangkuannya. “Sedikit lagi, Yang,” ucap Aidan lembut.Namun, ketenangan itu buyar saat suara bel rumah terdengar dipencet berulang kali.Rania bergegas membuka pintu. Betapa terkejutnya ia melihat Kalina berdiri di depan rumah, mengenakan blazer krem dan celana panjang hitam, wajahnya merah pa

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 43 Ancaman

    Rania masih duduk di sudut kafe bersama Reza setelah pertemuan dengan klien selesai. Suasana kafe yang semula tenang, mulai terlihat ramai dengan pengunjung yang berdatangan. Jam pulang kantor kafe-kafe mulai penuh dengan karyawan yang ingin melepas penat sebelum pulang. Reza meletakkan cangkir kopinya yang tinggal setengah. Tatapannya kembali menyelidik ke arah Rania.“Ran,” ucapnya pelan. “Aku cuma mau pastikan. Kalina yang kamu maksud tadi itu, Kalina yang dulu sering kamu ceritain. Sepupu yang sering ngebully kamu di rumah?”Rania mengangguk pelan, sambil memainkan sendok kecil di piring dessert-nya.“Iya. Dia, cukup bikin hari-hariku berat waktu SMA bahkan hingga sekarang, Mas.”Reza mengernyit, wajahnya terlihat bersalah. “Ya ampun, Ran. Aku enggak tahu kalau kamu pernah sesulit itu karena sahabatku. Aku minta maaf.”“Kenapa Mas Reza minta maaf? Kan, Kalina yang salah!”“Iya, aku sebagai sahabatnya enggak nyangka aja Kalina yang lembut bisa sebar-barb itu. Nanti aku bilangin d

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 42 Hamil

    Pagi datang lebih cepat dari yang Rania harapkan. Setelah kemarin dihabiskan dengan suasana hangat bersama Aidan. Saling mengenal dan membangun hubungan keduanya yang mulai berwarna, meskipun Aidan masih terlihat cuek. Kini ia kembali harus menghadapi dunia kerja. Dunia di mana segala ketegangan bisa terjadi, termasuk bertemu Reza, sosok yang kini dicurigai Aidan.Rania menyiapkan dirinya dengan lebih hati-hati pagi itu. Ia mengenakan blouse putih gading, rok hitam selutut, dan syal tipis berwarna biru muda. Make up-nya sederhana, hanya polesan tipis agar tampak segar. Saat berangkat, Aidan hanya menatapnya singkat dari meja makan, tapi dari sorot matanya, ada kekhawatiran dan sedikit cemburu.“Mas, aku berangkat ya. Doain lancar.”Aidan mengangguk. “Ya.”Rania mengecup punggung tangan Aidan, mulai pagi itu ia akan diantar jemput oleh sopir pribadi Aidan.Di kantor, semuanya terlihat seperti biasa. Reza yang biasanya santai, pagi ini sudah duduk di ruang meeting sambil menatap laptop.

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 41 Kerjasama

    “Oke kalau itu keputusan kamu,” jawab Aidan dengan wajah terlihat lebih bersahabat. “Kaarena kamu hari ini sudah aku buat bete, jadi aku akan kasih kamu treatment sebelum tidur.”“Treatment?” tanya Aidan sambil mengerutkan dahi.“Iya, Treatment. Malam ini aku pastikan kamu relaks dan tidur cepat,” ucap Rania sambil mengeringkan mata.Aidan menahan senyumnya. Ia sudah tidak marah, tetapi gengsi mengakuinya jadi ia hanya terdiam pasrah ketika Rania mulai melakukan treatment. Rania berdiri dan menarik tangan Aidan untuk ikut berdiri. “Ganti baju dulu, nanti aku siapin air hangat buat pijat. Badan kamu pasti pegal karena selama ini jagain aku.”Aidan mengikutinya ke kamar mandi. Setelah beberapa menit, ia keluar dengan kaos santai. Rania sudah menunggu di tepi ranjang, memegang minyak pijat dan handuk hangat.Rania mulai memijat perlahan pundak dan punggung Aidan. Sentuhannya lembut, penuh perhatian. Sesekali ia meniup pelan kulit leher Aidan, membuat pria itu memejamkan mata dan menghe

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 40 Salah Paham

    “Reza?” gumam Rania pelan, seolah tak percaya dengan sosok yang baru saja lewat.Pria bertubuh tegap itu menoleh cepat, lalu tersenyum dengan mata berbinar saat melihat Rania. “Ran!” sapanya sambil berjalan mendekat. Tatapannya hangat, tetapi sedikit terkejut saat melihat Aidan duduk di hadapan Rania.“Hai, Pak Reza.” Rania menyambut dengan senyum ramah.Aidan hanya menatap Reza sekilas, kemudian kembali ke makanannya tanpa memberi sapaan. Sorot matanya jelas menunjukkan ketidaksukaan, dagu yang mengeras dan jemari mencengkeram garpu sedikit lebih kuat dari biasanya.Reza berdiri di samping meja, lalu melirik ke arah tangan Rania yang kini tanpa perban. “Oh, hari ini kamu lepas perban. Gimana tangannya kata Dokter?”“Masih agak nyeri sih, tapi udah jauh lebih baik,” jawab Rania.Reza mengangguk. “Baguslah. Padahal tadinya aku mau nemenin kamu ke dokter, tapi maaf, ada meeting hari ini. Tuh, anak-anak ada di sana mau makan siang.” Rania hendak menjawab, tetapi Aidan memotong lebih dul

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status