Share

Ch-4. Tidur Bersama

Plak!! 

Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Dante, begitu kepala keluarga Atmaja muncul. Praja Atmaja, selaku kakek Dante itu menatap cucu kesayangannya dengan sorot mata tajam dan wajah yang begitu dingin. 

"Apa empat tahun hidup di luar negeri membuatmu lupa akan tata-krama, Dante?!" 

Tubuh Yuki bergetar. Teriakan amarah yang menggelegar di ruangan itu, membuatnya ingat tentang ayahnya yang mengusirnya kala itu saat dia membawa pulang bayi ke rumah. Jantungnya berdegup kencang, yang membuatnya semakin memeluk tubuh Aiden semakin erat. 

Peristiwa Dante yang mengumumkan sudah menikah kepada semua tamu undangan, membuat pesta menjadi gempar. Wira–dengan segala sopan santunnya mengusir para tamunya dan mengakhiri pesta dengan cepat. 

Kini, tinggal keluarga Larsson yang ada di sana sebagai calon besan keluarga Atmaja. 

"Kakek, maaf. Dante–" 

Bug!! 

Dante belum menyelesaikan ucapannya, ketika Praja kembali melayangkan sebuah tinju pada wajah Dante. 

Praktis, Dante tersungkur dengan sudut bibir berdarah. 

Seolah merasakan suasana tegang, Aiden tampak rewel dan kini menangis kencang. 

Praja mendengar, langsung menoleh dan menatap wanita yang dibawa pulang Dante dengan tatapan datar. "Tenangkan bayimu, pergilah ke kamar sekarang!" perintahnya dengan tegas. 

"Firman." 

Firman yang masih berada di ruangan itu, segera menarik Yuki dan bayinya setelah mendengar namanya dipanggil oleh tuan besar. 

Yuki menurut, meskipun sesekali dia masih menoleh ke belakang untuk menatap Dante penuh kekhawatiran. 

*****

"Apa dia akan baik-baik saja?" tanya Yuki begitu Firman menunjukkan sebuah kamar padanya. 

Wanita itu tampak gelisah, sambil menimang bayinya agar tak lagi menangis. 

"Entahlah, berdoa saja agar Dante masih bisa berjalan," kata Firman, yang semakin membuat Yuki tidak tenang. 

Sepeninggalan Firman, Yuki menidurkan Aiden. Berkali-kali dia menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya sendiri. Perasaan gelisah dan tidak tenang menghantui hatinya. 

Rasanya dia begitu familiar dengan masalah seperti ini. 

Ya, dia takut jika nantinya Dante akan diusir oleh keluarganya, sama seperti dirinya yang ditendang keluar oleh keluarganya akibat bermasalah. 

Saking lelahnya, Yuki hampir saja terlelap. Tapi, dia terbangun saat mendengar pintu kamar terbuka. 

Melihat Dante masuk–dengan wajah penuh lebam–Yuki segera bangun dan menghampiri. 

"Dante," lirih Yuki–menggigit kecil bibir bawahnya–menatap dengan sorot penuh kekhawatiran.  

Dante tampak tersenyum, lalu melangkah duduk di sofa. "Tenang saja, aku tidak apa-apa, Yuki." 

"Tapi, lukamu…." Yuki tak meneruskan ucapannya, hanya menunjuk dengan miris pada wajah Dante yang beberapa memar dan mengeluarkan darah. 

"Ini akan sembuh, jangan khawatir." 

Yuki menghela napas panjang, lalu bergabung duduk di dekat Dante. "Bagaimana dengan pembicaraan kalian di bawah tadi? Maaf, aku tidak bisa membantumu." 

"Yuki." Bukannya menjawab, Dante malah meraih tangan Yuki dan menatapnya lekat. "Jangan sering berkata maaf jika bersamaku." 

Jantung Yuki berdegup kencang, dia tampak salah tingkah dan menarik tangannya cepat. Dia bahkan langsung berdiri dengan sikap yang gugup. 

Dante yang melihat itu mengangkat sebelah alisnya heran. 

"Kakekku menerimanya, meskipun dengan marah. Orang tuaku tidak terima dan tidak mau mengakui pernikahan ini. Sedangkan keluarga wanita yang akan dijodohkan denganku meminta pertanggungjawaban." Dante membagikan hasil pembicaraannya saat di bawah tadi. 

Dia menghela napas panjang. "Ada banyak hal yang belum kukatakan. Tapi bisakah kita membahasnya besok? Aku lelah dan ingin istirahat." 

Meskipun masih belum puas dengan jawaban singkat Dante, Yuki tetap diam dan mengangguk setuju. Matanya mengikuti saat Dante mulai berdiri dan melangkah menuju ranjang. 

Spontan, Yuki langsung bergerak menahan tangan Dante. "Apa yang kamu lakukan?" tanyanya panik. 

"Tentu saja tidur. Aku perlu beristirahat." 

Yuki menghela napas lega. Dia mengira Dante akan mengusik Aiden yang tengah tertidur di ranjang. 

Tapi, lagi-lagi dia membelalak lebar. "Tidur? Di sini?" tanyanya memekik–menunjuk ranjang di sebelahnya. 

Dante mengangguk. 

"K-kamu … k-kamu tidak, maksudku apa kita tidur satu ranjang?" tanya Yuki dengan nada terbata-bata. 

Hal ini membuat Dante langsung menghadap Yuki dan menatapnya lekat. "Bukankah kita sedang berperan sebagai suami istri, Yuki? Tentu saja kita akan tidur satu ranjang."

'Ada apa dengannya? Kenapa Yuki terlihat panik dan … malu?' pikir Dante bertanya-tanya. 

"Tapi, itu hanya bohongan, Dante." Suara Yuki terdengar lirih. "Tidak bisakah kamu tidur di sofa saja? Atau, adakah kasur lantai agar aku bisa tidur bersama Aiden?" 

"Yuki!" panggil Dante mendesah. Tangannya menyibak rambut dengan kasar. "Akan sangat merepotkan jika tiba-tiba ada yang datang, lalu memergoki kita tidur terpisah. Lagipula, kenapa kamu begitu malu? Kita memang tidur seranjang, tapi bukankah ada Aiden yang akan memisahkan kita?" 

Napas Yuki tampak tercekat selama beberapa saat, sebelum akhirnya berembus dengan kasar melalui mulut. Dia menggigit kecil bibir bawahnya dengan sikap yang … sedikit gugup. 

Bahkan, hal-hal kecil itu tak luput dari perhatian Dante. Dia terus menatap Yuki lekat–seolah menunggu respon dari wanita itu. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status