Mistha beranjak ke kamar mandi pagi itu. Membasahi wajah, sikat gigit, lalu mengganti pakaian yang masih digunakan semalam. Sejenak langkahnya terhenti begitu melihat Ghara yang masih tertidur pulas di atas sofa. Mistha memandangi wajah oval Ghara, ternyata Ghara termasuk hasil pahatan Tuhan yang sempurna, gumamnya. Alis tebal, jambang tipis disekeliling rahang tegasnya, serta anak rambut yang memenuhi kening, membuat Ghara tidur saja masih terlihat memesona. Apalagi jika Mistha menatap manik mata spectrum Ghara. Satu hal yang sangat dihindari Mistha adalah jatuh cinta, terlebih jatuh cinta kepada pria yang saat ini tengah dipandangi. Hati dan pikiran Mistha benar-benar berperang! Saat hati ingin berperan, namun pikiran berkata tinggalkan.
"Sudah bangun, Nduk," sapa ibu Ghara mengagetkan Mistha. Mistha membalas senyum ucapan wanita yang sedang memakai mukena."Mau ikut Sholat di Masjid?" imbuhnya.Mistha gelagapan, lalu menggaruk-garuk kepala yang benar-benar gatal karena jilbab yang dikenakan dan binggung mau menjawab pertanyaan ibu Ghara, dengan kata tidak! Namun sungkan."Pakai ini," pungkasnya sembari mengenakan atasan mukena, dibarengi dengan tangan Mistha yang mencoba menyempurnakan ikatan di belakang lehernya."Cantik," tukasnya sembari mengelus pelan pipi sebelah kanan Mistha.Mistha tersipu malu, begitu mertuanya menggandeng lengannya berjalan menuju masjid.
"Ini mukena peninggalan Eyang Ti, Ghara. Ibu memang sengaja simpan mukena ini supaya suatu saat bisa dipakai Ibu dari anak-anak Ghara," cetus mertuanya memecah hening yang tercipta sesaat.
Jantung Mistha berdesir hebat, binggung mau menjawab, bertanya, atau ngomong apa. Hanya ada satu pertanyaan yang terbersit dalam hatinya, "Pantaskah Mistha menerima ini semua?""Nanti, Ibu kasih resep masakan kesukaan suamimu," sambungnya lalu mengambil barisan untuk melaksanakan shalat subuh pagi itu.Selesai shalat subuh, Mistha menemani mertuanya yang sedang sibuk di dapur kecilnya.
"Bisa masak 'kan, Nduk?" tanya ibu Ghara saat mendapati Mistha yang hanya diam berdiri."Bi-bisa, Bu." jawab Mistha terbata-bata."Bisa masak apa saja?" sambarnya sembari mengeluarkan bahan-bahan dari dalam kulkas di samping Mistha."Ini-anu-em," jawab Mistha gugup, lalu tersambut senyum yang tertotol di wajah wanita yang kini tengah mencoba menginterogasinya."Ya sudah, kalau gitu mau bantu Ibu, atau mau istirahat lagi?" pungkasnya begitu mengetahui gelagat Mistha yang tidak yakin, dia akan bisa memasak sesuai selera keluarga."Saya bantu, Bu. Saya mau masak buat Mas Ghara," sahut Mistha optimis disertai langkah maju sejengkal mendekati mertuanya."Ghara itu selera makannya sederhana. Nduk Mistha beruntung punya suami kayak Dia.""Mas Ghara suka masakan apa, Bu?""Sayur bening, sama pepes cumi-cumi."Cumi-cumi dipepes? Batin Mistha, dasar pria aneh!"Nduk Mistha bisa bikin bumbunya?""Hehehehe," jawabnya, isyarat bahwa dirinya benar-benar tidak tahu mau mulai dari bumbu yang namanya apa.Kemudian, diiringi ibu Ghara menyodorkan serentetan catatan bumbu masakan yang sudah dicatat rapi untuk Mistha. Mistha sama sekali buta soal bumbu dapur, apalagi daun-daunan, bunga, serta pala wija yang tersedia lengkap di rumah ini."Saya kupas-kupas, sama bantu bersih-bersihin bumbunya dulu ya, Bu."Wanita itu hanya mengangguk."Suami itu senang kalau diperhatikan sama istri," tukasnya sembari terus sibuk berkutat dengan dapurnya.Ha, suami? Mistha lupa. Benar-benar lupa jika hingga detik ini ia masih menjadi istri sah Ghara."Kalau pagi, istri sudah harus siap buatin kopi sama sarapan. Bapak itu paling manja kalau sama Ibu, mau makan kalau ndak ada Ibu, pilih ndak makan. Katanya, kalau ndak ada Ibu, makanan rasa apapun jadi hambar. Soalnya nggak ada ocehan istri yang mendampingi. Jadi usahakan ya, Nduk. Temani suami kalau lagi makan, minimal Kamu temani saja ngobrol kalau memang Kamu lagi ndak selera makan," tuturnya panjang.Seketika tangan Mistha tertahan oleh petuah panjang yang diucapkan oleh ibunya."Minta tolong, Nduk. Itu sayurnya dikasih garam, trus pepesnya dimasukin satu-satu ke dalam panci sebelahnya ya. Ibu antar bubur buat Bapak dulu."Ha, Garam? Yang mana? Ayo Mistha kamu bisa, ayo bisa. Mistha melangkah lalu mengenakan celemek di badannya, kemudian sibuk mencari-cari bahan yang bernama garam."Pagi, Sayang!"Sejurus Mistha merespon ucapan yang barusan didengarnya. Dih, nggak salah dengar, 'kan? Batin Mistha, lalu membalas senyum masam begitu mendapati wajah Ghara berdiri di belakangnya. Sayang? Sementara Ghara memancarkan senyum termanis begitu melihat Mistha ternyata pandai juga berkutat di dapur seperti ibu-ibu rumah tangga."Hmmm...." Ghara mengendus bau masakan yang seketika menggoda hidungnya."Selain cantik, ternyata pinter masak juga," ucap Ghara yang sudah memeluk Mistha dari belakang."Apaan sih, Ghara. Minggir nggak! Tahu ini apa?" ucapnya samar tanpa menoleh kearah Ghara, takut-takut ucapannya terdengar oleh ibunya."Kuah," balasnya enteng."Ini mendidih ya, minggir nggak!" tegasnya begitu Mistha merasakan sesuatu yang keras mengganjal di pantatnya. Ternyata pria satu ini masih punya hawa nafsu juga."Minggir!" suruh Mistha sembari mengangkat sebelah bahunya."Sttt, ada Ibu," ucapnya lihir, "Emang, pinter ya Istriku," kemudian disertai ucapan keras begitu ibunya keluar Ghara mengecup kening Mistha.Sialan, bener-bener ini manusia satu cari-cari kesempatan."Bikinin, kopi dong, Sayang," ucap Ghara yang sudah mengambil alih tempat duduk di sebelah Mistha.Apa? kopi! Bikin sendiri! Batin Mistha menolak keras."Manjanya, pengantin baru jam segini baru bangun. Lihat itu istrimu, bangun pagi sholat subuh ke Masjid bareng Ibu, pinter masak. Kayak gitu kok mau dilama-lamain, nggak ndang-ndang dinikahi. Yo, Nduk yo," sahut ibunya begitu mendengar rajukan Ghara ke Mistha."Yang punya menantu baru, anaknya dicuekin," canda Ghara.Dih, bener ini orang nggak lucu. Nggak lucu Ghara lo tahu! Batin Mistha sembari tetap sibuk mengaduk-aduk kuah sayur."Sayang, mana kopinya.""Bentar, Sayang. Tunggu mendidih. 'Tar kalau udah mendidih, gue siram ke muka lo Ghara'," Jawab Mistha, sembari ngedumel dalam hati."Kakak sudah balik, Bu?" tanya Ghara disela-sela bisingnya bunyi sendok yang beradu di atas piring masing-masing."Kakakmu lak yo langsung balik to, iki dino opo?" jawab ibunya yang berarti, 'kakakmu ya langsung balik, ini hari apa?'."Jumat," jawab Ghara, sementara Mistha memandangi wajah keduanya. Benar-benar mirip, Ghara memang keturunan yang sempurna. Sayangnya, pria yang kini sudah berstatus sebagai suaminya kurang punya nyali kejantanan yang menggambarkan paras tampannya."Bu," ucap Ghara tiba-tiba.Wanita itu memandang Ghara, menghentikan aktifitas mengunyahnya serta menghentikan ketukan sendok di atas piring."Besok, Ghara harus balik ke Jakarta," pungkasnya."Ya wis ndak opo-opo, Ibu wis lego. Anggep bojomu iku koyo wong tuo, dadi opo-opo yo kudu manut karo bojo, anggepen opo sing dikarepne bojomu iku yo karepe wong tuo, paham, Le!""Inget, Ibu wis tuo. Ora usah ditunda-tunda, ben Adzan iku onok koncoe, gak mok ngalor ngidul puthu sitok ae," imbuhnya yang berarti,'Nggak usah ditunda buat momongan," wkwkwkwk, sebenarnya Mistha pengen ketawa, tapi akhirnya ngedumel.Aduh ngomong apa sih! Mistha berusaha mencerna kata-kata ibunya Ghara, namun tak satu pun ia paham apa yang dimaksud, tapi logatnya lucu, medok bin meleok-leok. Sementara Ghara yang memang paham dengan maksudnya merespon dengan mengagguk-anggukan kepala, berisyarat bahwa ia menyetujui semua perkataan yang baru saja diucapkan oleh ibunya.Seketika Mistha terhenyak begitu mendengar bunyi nada dering yang keluar dari arah ponselnya. Ghara menoleh kearah Mistha, menghentikan sejenak aktifitas mengunyah, lalu berisyarat kepada Mistha untuk segera mengangkat telepon yang entah dari siapa.Benar, Saya bicara dengan Ibu Nagiea Mistha? ucap seorang pria yang terdengar dari ujung speaker handphonenya.Ya, Saya. Jawab Mistha.Entah apa percakapan selanjutnya, karena Mistha mengecilkan volum teleponnya lalu masuk ke dalam kamar.Ghara mengetuk pintu kamar Mistha. Tidak ada sahutan dari sana, lalu Ghara menyeruak masuk begitu tidak mendapat respon apa-apa. "Ada apa?" tanya Ghara begitu melihat Mistha seperti dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. "Mistha," tanya Ghara sekali lagi, begitu melihat Mistha hanya duduk sembari memegangi kedua tungkai. "Hei, ada apa?" tanya Ghara lagi sembari mendekati Mistha yang sudah merubah posisi dan menggigit jari jemari. "Kita balik ke Jakarta sekarang!" jawab Mistha lirih. "Iya, balik. Cerita dulu ada apa?" desak Ghara masih penasaran. "Nggak usah ikut campur masalah gue. Ngerti!" bentak Mistha dengan sebutan yang sudah berbeda. "Saya masih Suamimu, jadi sudah seharusnya tahu masalahmu!" tukas Ghara sedikit meninggi. "Ghara! Lo-" Mistha mendelik, sembari mengarahkan satu jari tepat di depan wajah Ghara, lalu Mistha mendengkus memukul agin berusaha membuang kekesalannya."Sttt..., tenang dulu. Nggak perlu emosi kayak gitu, iya oke, fine. Saya nggak akan cari tahu dan
"Mistha," sapa Ghara saat mendapati Mistha yang tengah duduk termenung di kursi ayunan taman samping rumah Ghara. Mistha merubah posisi yang semula menyangga dagu dengan kedua tangan di atas paha begitu melihat Ghara berdiri di hadapannya dan membawa shoping bag, lalu Ghara menyodorkan benda tersebut kearah Mistha. Sebuah explosion box warna pink. "Buka," perintah Ghara. "Apa?" tanya Mistha sembari memandangi Ghara yang tangan kanannya masih di dalam satu saku celana, berdiri diam dengan seringai wajah handsomenya. "Buka," perintah Ghara lagi. Mistha menerima uluran explosion box dari tangan Ghara, lalu menarik ujung pita benda tersebut. Terbelah menjadi empat bagian sama rata, namun di dalam box itu masih ada box kecil terbungkus rapi kain berwana pink muda. "Box yang satunya jangan dibuka dulu kalau Kamu belum benar-benar membutuhkannya," ucap Ghara, sementara Mistha masih sibuk membaca setiap sisi yang tertuliskan, Blessed, House, Happyness, dan Help. Tentu Mistha sangat penas
Bunyi air mendidih keluar dari sebuah teko pagi itu berhasil mengusik tidur pulas Mistha, seketika bias matanya merambat kesekeliling, berusaha menerka kejadian semalam, cangkir wine, sisa lemon dan daun mint-Ah sial! Mistha ingat, tentu otak primitifnya semalam sudah terlanjur menguasai diri yang tak mampu menahan hormon testoteron yang seketika memuncak. Reflek tangannya menggamit pakaian berwarna putih di lantai begitu melihat tubuhnya tak tersintal sehelai kain. "Selamat pagi," ucap pria dari balik punggung bidangnya, sembari sibuk mengaduk kopi di atas meja ruang makan. Mistha mengumpulkan nyawa, setengah sadar berjalan kearah Ghara sembari mengusap-usap kedua mata dengan punggung tangannya. Ghara seketika tertawa geli, melihat baju yang tengah dikenakan Mistha. Sejurus Mistha memandang kearah dada, ternyata ia sedang memakai kemeja putih yang kemarin dipakai Ghara. Anehnya, baju itu melekat dengan kancing tak sempurna, membuat sembulan kesar di samping
Mistha mengemudikan mobil Ghara menuju tempat sesuai petunjuk dari Vall Ankala, sembari membawa sekoper uang untuk menebus Khatila.Bajingan Tua: Bagaimana, Nona? Pesan pertama yang dibaca Mistha.Mistha: Sekali lo sakiti Khatila, gue bunuh lo Bajingan! balas Mistha geram.Bajingan Tua : Lakukan jika Anda mampu melepas pelana tepat di kepala Saya dengan tangan manis Anda, Nona!Iblis! Desisnya, lalu melangkah mantap menuju sebuah gedung tempat Khatila berada. Sebuah gedung kosong, seperti tempat bekas peninggalan Belanda. Corak dari bangunan yang masih kentara, tidak ada yang dirubah satu pun diantara tembok-tembok yang berdiri kokoh di tengah kota.Mistha merasa tertipu, begitu tiba di lantai dua. Tidak ada Khatila di sana, tidak ada pula Vall Ankala yang berdiri tegak dengan kesombongannya."Hei, Bajingan Tua!" teriak Mistha, sembari melepas koper yang ada di tangannya.Tak lama kemudian, Mistha melihat segerombolan pria membawa senjata masuk ke dalam beranda.Shit! Mistha mengumpat
Jack'o Justice mengusut tuntas kasus Mistha. Berdasarkan hasil investigasi, secara sah Mistha ditetapkan sebagai terdakwa.Persidangan digelar sehari setelah Jack'o Justice menyerahkan tuntutan atas kendali Vall Ankala kepada pengadilan tinggi, namun Mistha bungkam sehingga penasehat hukum yang ditunjuk sebagai pengacaranya hari itu gagal mematahkan tuduhan. Semua barang bukti sudah diterima jaksa penuntut umum, dan putusan Hakim secara mutlak, Mistha resmi divonis hukuman selama lima belas tahun. Tiga kali ketukan palu berbunyi, pledoi sudah tak berarti!"Pak, bagaimanapun terdakwa memiliki hak angkat bicara," ucap Ghara memberi sanggahan kepada Panitera setelah Hakim membacakan nota kebenaran. "Benar, Pak Ghara. Namun setelah pledoi. Terdakwa sudah menerima vonis seringan-ringannya 10th masa tahanan karena secara formil dan materiil terdakwa sudah tidak ada pembuktian untuk melakukan pembelaan.""Sekarang Saya kuasa hukum terdakwa, dan Saya yang akan membela dan membuktikan kalau t
Waktu berlalu dan malam pun semakin menyurut berganti cahaya semburat kekuningan yang menyilaukan mata. Ghara menutup setengah matanya yang terkena cahaya, dari balik cendela angin, ia mengkibas-kibaskan tanganya untuk menghalau cahaya yang menyeruak kain putih semerawang, senada dengan suara shower yang mengalir deras dari balik pintu kamar mandi. Tubuhnya masih terbuntal bedcover putih bersih, di atas dipan dengan sebuah kasur empuk. Seluruh ruangan dengan sudut-sudut yang berbeda, mirror besar, alat-alat make-up dan seluruh komponen ruangan yang tersusun rapi, berbanding terbalik dengan kamarnya yang berantakan sekali. Ia tersentak, saat mendapati langkah kaki yang cantik. Tubuh yang terbalut bathroop dan gelungan handuk di atas kepala. Wanita itu mematung, dia pun tercengang. "Rupanya anda masih hidup!" "Kenapa gue ada di sini?" Safira mendecih, lalu melangkah kearah mirror. Mendaratkan bokong semoknya tepat di atas kursi ritualnya. "Bukankah harusnya saya yang bertanya kena
Sampai di kantor, Ghara sekilas melihat Safira dan Erick Choii masuk ke dalam ruang berkas penyimpanan pengaduan, namun Ghara masih tak berminat untuk menyelidiki lebih lanjut kedua manusia yang saat ini terlihat mencurigakan itu, karena Ghara mendapat telepon dari anggota Devisinya yang mengabarkan bahwa Mistha secara resmi dipindahkan kelapas kelas 1A, lapas khusus untuk terpidana wanita dengan kasus berat. Anehnya Ghara tak pernah melihat penampakan Vall Ankala selama ini. Siapa dia sebenarnya? Batin Ghara penasaran, lalu beranjak turun menuju parkiran mobil. *** Dalam lapas itu terdapat empat napi wanita penghuni lama. Satu diantaranya mirip kepala geng ruang tahanan. Tubuh Mistha bergetar, nafas tersengal, irama jantung berdetak kencang. Dorongan paksa anggota Jack'o Justice berhasil membuat Mistha terjungkal tepat di depan lutut ketua gengnya. Beberapa barang Mistha pun jatuh berserakan tepat di depan mata semua wanita yang tengah berdiri mengan
Satu bulan berselang selama ditahan dilapas barunya, Mistha nampak pucat karena tidak memiliki nafsu makan, sehingga dilarikan ke Rumah Sakit lantaran muntah-muntah hebat dan demam tinggi. "Ibu, Mistha," Sapa Dokter visite pagi itu. Mistha membuang muka, mengacuhkan keberadaan Dokter. Keadaan Mistha benar-benar memprihatinkan, wajahnya pucat pasi, bibir pecah-pecah, dengan beberapa goresan luka di ujung bibir dan keningnya akibat berkelahi hebat dengan penghuni lapas sebelum akhirnya dipindahkan keruang isolasi. "Ibu, Mistha. Apakah, Anda memiliki suami?" Mistha menoleh, dengan wajah sayu enggan untuk menanggapi. "Apakah, Anda melakukan hubungan di dalam lapas?" berondongnya. "Kenapa, Dok?" tanya Mistha akhirnya penasaran dengan pertanyaan Dokter yang seolah-olah Mistha perempuan murahan yang bisa disetubuhi siapa saja. "Ibu hamil. Saya harap, jika Ibu memiliki suami segera memberitahunya," Pungkas Dokter. "Saya suaminya!" ucap seorang pria di belakang Dokter perempuan itu. M