Percikan sinar matahari membangunkan Earwen dari tidurnya. Ia mengerjapkan matanya berulang untuk menyesuaikan cahaya dengan rentina matanya. Dengan pelan, Earwen berusaha melepaskan kungkungan dari Edmund tanpa membangunkan empunya. Tidur di pelukan Edmund? Itu sudah biasa, akhir-akhir ini tubuhnya menjadi bantalan Edmund. Terkadang ia ingin marah karena pelukan Edmund yang erat membuatnya kesulitan bernapas dan juga Edmund berat, lelaki itu tidak menyadarinya kah kalau tubuhnya itu lebih lebar dan besar dibandingkan tubuh Earwen yang ramping. "Erghh!" Erangan Edmund menghentikan Earwen yang akan beranjak dari tempatnya. Ia menoleh dan menatap Edmund sebentar, sesekali Earwen mengusap pelan punggung Edmund agar dia tertidur kembali. The real big baby! Dirasanya sudah tenang Earwen beranjak ke kamar mandi untuk melakukan ritual paginya. Seperti berendam di air hangat dengan sabun aroma vanila dan lilin aromaterapi miliknya. Earwen tidak ingin Edmund mengacaukan semuanya, ia ingin me
Tak Tak TakEarwen mendesis kala panahannya tidak tepat sasaran, matanya menatap tajam layaknya busur. Ia duduk di atas kudanya dengan busur dan anak panah di tangannya. Sudah hampi dua jam ia dengan kegiatannya, di jauh sana Briana tengah memantau aktivitasnya. Beginilah cara Earwen untuk meredam seluruh pikirannya yang kolot. "What happened?" Telinga Earwen berdenyut mendengar suara lantang. Ia memutar balikkan kudanya ke arah suara itu. "Apa kau se depresi itu ketika aku tidak ada?" Earwen mendengus kesal mendengar ungkapan yang keluar dari mulut Steve. Ia menyerahkan kudanya ke arah pengawal untuk di taruh di kandangnya. "Tentu saja tidak," ucap Earwen dan menyesap jus jeruknya yang dibawakan Briana. "Briana bisakah kau tinggalkan kami berdua?" Briana mengangguk dan meninggalkan Earwen dan Steve di pinggir lapangan berkuda. "Kau tau, saat aku melihatmu di atas kuda dan busur panah di tanganmu. Kau menjadi seperti singa liar Earwen," ucap Steve sembari terkekeh geli. Earwen
"Saya kira anda tidak akan datang," cibir Princess Lilyana. Earwen menggulum bibirnya ke dalam mendengar cibiran tersebut. "Saya memang berniat untuk tidak dat––" "My Lord!" ungkap Prince Albert dan Princess Lilyana secara bersamaan. Earwen menengok kebelakang dan benar saja Edmund kini sudah berdiri dibelakangnya. Pria itu mengucapkan akan bertemu dengan petinggi kerajaan lain dan tidak akan menyapa Albert dan Lilyana. Tapi sekarang Edmund berdiri di belakangnya. Cih!"Selamat atas pernikahan anda," ucap Edmund seraya melingkarkan tangannya di pinggang Earwen. "Kau menunggu lama?" Earwen menyerngit heran mendengar pertanyaan itu. Tidak biasanya Edmund bertanya seperti itu dan dengan suara yang sangat soft di dengar. Gerutan di dahi Earwen memancing gelak tawa Edmund. Prince Albert dan Princess Lilyana juga ikut menatap heran kepada Edmund yang tertawa kecil, mereka baru pertama kali ini melihat King of Devils itu tersenyum dan tertawa. Bukannya kagum, Lilyana malah merasa takut
"Memangnya apa yang mereka lakukan?" tanya Edmund penasaran sambil melihat ke sekelilingnya. Earwen menghela nafas panjang dan menjatuhkan kembali kepalanya pada dada bidang Edmund. "Mereka menggunjingku, mereka bilang kau terlalu sempurna untukku. Aku Princess non magic, dan kau the perfect King. Kau punya kekuasaan, kau punya kekuatan hebat, kau hampir punya segalanya," ucap Earwen sambil mendongakkan kepalanya menatap wajah Edmund Hening. Edmund menatap wajah Earwen yang memerah karena terpengaruh alkohol. Ia tidak berniat menjawab unek-unek dari Earwen. "Aku tidak bisa memungkiri itu, Oompa Callen bilang aku adalah Special Princess. Tapi, aku tidak menemukan apapun yang spesial pada diriku," lanjut Earwen. Manik hitam milik Edmund bertabrakan dengan manik milik Earwen yang mengembun karena air mata yang membendung. Edmund mengusap pelan kelopak mata wanita yang tengah di dekapnya. "It's okay,"cicit Edmund. "I miss Oompa Callen, maaf aku menangis. Mungkin terakhir aku menan
Earwen melenguh kecil ketika kepalanya terasa pening. Matanya menyipit mengedarkan pandangannya dan menangkap sosok Edmund yang tengah duduk di sofa dengan berkas ditangannya. Kemeja hitam yang membungkus tubuh atletis pria itu dan celana kain yang senada. Pemandangan pagi yang indah dan mempesona. Kepalanya kembali terasa pening, Earwen mendudukkan tubuhnya dan menyandarkan kepalanya pada kepala ranjang. Tangannya memijat pelan keningnya. Earwen memikirkan kembali kejadian semalam. Ia tidak ingat sama sekali, ingatan terakhirnya adalah meneguk wine yang terlihat menggoda di matanya. Lalu apa yang terjadi? Bahkan ia tidak ingat kenapa dirinya berakhir di ranjang dengan gaun satin ini. Matanya menatap tajam ke arah Edmund, shit! Pria itu pasti dengan lancang menggantinya. "Ada apa dengan tatapan matamu?" tanya Edmund tanpa mengalihkan perhatiannya pada kertas miliknya. Earwen memutar bola matanya mengganti tatapannya. "Tidak," ucapnya dan kembali memejamkan mata menikmati pijatannya
"She's? Dia perempuan?" tanya Carlo. Steve melirik sekilas ke arah Carlo yang tengah menyerngit ke arahnya. Ah ini salahnya karena membuat peraturan agar mendaftar hitamkan perempuan di Deville Morte. Dulu dirinya pikir perempuan terlalu lemah untuk ia jadikan sebuah pasukan, para Gert miliknya. Namun, setelah ia tahu bahwa sang legenda berjenis kelamin perempuan membuatnya bungkam seketika. Steve kala itu tidak bisa bertindak gegabah dengan mencoret peraturan yang baru ia buat, dan ia memilih melanjutkannya dan merahasiakannya hingga sekarang. "Ya," ucap Steve. Carlo menatap tidak percaya ke arah Steve. "Kenapa? Kenapa anda baru berbicara sekarang, Capo?" Steve memejamkan matanya perlahan, jika Carlo sudah memanggilnya dengan sebutan 'Capo' maka pria itu benar-benar menahan amarahnya. "Tolong rahasiakan ini terlebih dahulu sebelum saya yang akan membawanya ke markas, " titah Steve. Carlo tersenyum jenaka. "Lalu kau pikir dengan membawanya kesini, dia akan diterima di antara kita
Earwen menggoyangkan kakinya pada rerumputan di tempat yang beberapa minggu lalu ia temukan dengan Briana– beautiful place. Setelah kembali dari laut Saterin ia memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya pada tempat ini, sedangkan Edmund ia sudah diboyong oleh Jack untuk menghadiri jamuan dengan Prince Hilman.Netra coklatnya mengedarkan pandangannya menjelajahi setiap inci tempat ini, karena sebelumnya ia hanya sebentar disini––memanjakan mata dengan jernihnya air di tempat yang belum Earwen ketahui namanya. Hingga sebuah pintu kecil nyaris tidak terlihat itu mengusik indra penglihatan Earwen. Pintu itu tertutup dedaunan yang menjalari pintu tersebut. Earwen bangun dari posisinya dan berjalan mendekati pintu aneh itu, rasa keingintahuannya sudah membuncah. Dirinya ingin tahu, apakah ada sesuatu dibalik pintu tersebut? Ceklek.Pintu terbuka dan menampakkan sebuah ayunan yang menggantung pada pohon. Dipojok kanan terdapat sebuah ruangan berpintu putih. Earwen berjalan mendekatinya. F
Earwen menatap langit-langit kamar, setelah kembali dari luar bersama Briana ia mengurung dirinya di kamar. Pikirannya kacau mengetahui fakta yang baru saja ia dengar. Masalah terus bertambah layaknya virus, Earwen harus memikirkan untuk kedepannya. Ia tidak boleh stuck di satu tempat seperti ini, mimpinya! Free life, Earwen ingin kembali fokus untuk itu. Kali ini ia berjanji untuk itu, walaupun hatinya tidak kontras Earwen ingin berusaha. Netra hazel miliknya menatap guci yang terdapat pada nakas. Earwen memfokuskan pikirannya kepada satu titik yang ia minta. Dan-guci tersebut melayang di udara, tepat di atas kepala Earwen. "Magic," lirih Earwen menatap guci yang melayang-layang. Ah Steve! Pria itu benar-benar menepati janjinya. Kini Earwen sudah lumayan bisa untuk menguasai kekuatannya. Steve bilang kini Earwen hanya perlu untuk mengebalkan tubuhnya. Ah ia jadi rindu dengan pria itu yang sedang perjalanan jauh entah kemana dan tidak tahu kapan pulangnya. Ceklek.Pintu terbuka da