"Jangan bercanda! Mereka itu menikah secara terpaksa," ujar ayah Aruna.Sekretaris langsung tersenyum. "Meski begitu, nona Aruna terlihat nyaman dengan suaminya."Ayah Aruna menatap lama ke arah rumah Yuksel. Aruna yang nampak mengusap kening, kemudian mulai berjalan masuk ke rumah.Sementara Yuksel yang mengemudi ke kantor, membuat mereka berdua memilih memalingkan muka. Takut Yuksel mengenali dan mempertanyakan."Tuan Yuksel benar-benar menyelidiki beasiswa yang nona dapatkan," ujar sekretaris memberi tahu.Helaan napas terdengar dari ayah Aruna. "Pantas saja Aruna menolak uang dariku, dia benar-benar takut Yuksel tahu keberadaan ayahnya."Sekretaris langsung menatap. "Jika tuan Yuksel memang ingin menemukan Anda, bukankah dalam hitungan jam dia akan mendapatkan informasi?""Apa maksudmu?""Tuan Yuksel orang yang pintar dan memiliki banyak dukungan, mencari Tuan saja bukankah hal yang mudah baginya?"Ayah Aruna tersenyum sinis. "Tentu saja itu mudah. Namun, foto wajah lamaku hangus
"Besok aku libur, jadi ingin mengajakmu jalan-jalan."Aruna malah semakin bingung, kenapa suaminya jadi sebaik ini. Melihat Aruna yang termenung, membuat Yuksel meraih tas kerja di tangannya kemudian meletakkan sendiri di atas meja."Tidak ada maksud lain, kata dokter kamu tidak boleh sering dikurung di dalam rumah."Aruna menatap Yuksel lama. "Ini inisiatif Mas sendiri atau sungguh karena dokter?"Yuksel berdehem. "Daris memberiku dua tiket menonton, jadi jangan berkomentar dan besok berdandan saja."Aruna memandang kepergian Yuksel yang ke kamar mandi. Seperti sengaja menghindar darinya. Bibir Aruna mulai mengulas senyum."Sepertinya dia benar-benar peduli padaku dan itu bukan sandiwara," gumamnya pelan.***Yuksel siang itu membawa Aruna ke taman akuarium. Berjalan beriringan dengan tangan saling menggenggam. Aruna pikir, mereka akan jadi pusat perhatian seluruh pengunjung.Namun, ternyata tempatnya sangatlah sepi. Yuksel berhenti melangkah dan memandang pada ikan yang berenang beg
Aruna mulai kembali ke ruangan dan sempat menatap pada Yuksel yang sedang menelpon di dekat jendela. Aruna menatap makanan di atas meja dengan tidak minat.Namun, demi anaknya. Aruna harus duduk dan memulai makan. Yuksel menoleh karena mendengar suara alat makan yang Aruna gunakan."Ya, tetap seperti itu saja."Yuksel menggeser kursi dan duduk di sebelahnya. Memandang ke arah Aruna yang makan sembari melamun. Bahkan mata sedikit bengkak, hal itu membuat Yuksel menatap lama.Aruna yang menyadari ditatap suami, langsung mengangkat kepala dan membalas mata Yuksel."Ya lakukan saja."Yuksel sepenuhnya mengakhiri telepon dan mengusap sudut mata Aruna."Kamu menangis?"Aruna langsung menghindar dan memalingkan muka. "Aku tidak menangis."Yuksel menarik napas dan terus saja memandang ke arahnya. Tangan Aruna langsung mendorong wajah suaminya untuk menatap ke arah lain. "Jangan terus menatap!" pintanya."Katakan!" pinta Yuksel juga.Jemari Yuksel mengetuk permukaan meja dengan raut tak sabar
Yuksel memasuki rumah dengan raut serius. Dia memikirkan siapa yang mengawasi rumah diam-diam. Apalagi seorang pria paruh baya.Namun, saat melihat Aruna menyibukkan diri di dapur. Membuat Yuksel mulai menyadari sesuatu. "Bisa saja itu ayah dari Aruna," gumam Yuksel pelan.Mendengar ada suara yang melangkah. Aruna berhenti sejenak dari kegiatannya. Bahkan mematikan kompor, hal itu membuat Yuksel berjalan mendekati."Apa yang sedang kamu buat, Aruna?"Dengan senyuman, Aruna menjawab, "aku membuat buah dilapisi gula. Rasanya manis di luar asam dan segar di dalam."Kepala Yuksel mengangguk. "Kalau begitu makanlah.""Apa ... Mas tidak ingin memakannya?"Mata Yuksel menatap strawberi dilapisi gula buatan istri. Ini jelas bukan makanan yang disukai oleh Yuksel."Ibunya yang ingin makan atau anaknya?" tanya Yuksel.Aruna tersenyum. "Ibunya."Kepala Yuksel mengangguk mengerti, kemudian mengambil satu tusuk. Menggigit sedikit, namun suara renyah sampai terdengar membuat Aruna tersenyum."Baga
Mendadak Yuksel berhenti mencium. Dia menjauhkan kepala dengan mata menatap berhasrat pada Aruna. Yuksel menarik napas, kemudian benar-benar menjauh.Yuksel menyugar rambut. Bagaimana bisa dia bersikap seperti ini? Padahal istri mengeluh perut kram. Yuksel jelas bukanlah binatang."Mas."Ketika Yuksel menoleh. Sebuah kecupan dia dapatkan dari Aruna. Bahkan Aruna yang tidak pandai ini, mencoba untuk tetap melumat.Tangan Yuksel meraih wajah Aruna. "Jangan bangkitkan hasratku, Aruna."Jarak di antara mereka berdua benar-benar tipis. Suara napas Yuksel mulai memberat, membuktikan hasrat sepenuhnya sudah bangkit.Perlahan, jemari Aruna merambat di baju suami. Kemudian mencoba melepas kancingnya satu persatu. Mata Yuksel tersita untuk melirik perbuatan dari Aruna."Aruna," sebut Yuksel."Tidak apa, aku masih bisa melayani."Entah apa yang merasuki Aruna. Ia juga justru ingin disentuh oleh suami. Sentuhan yang membuat dirinya melayang dan merasa damai."Aku mungkin akan menggila, tapi sebis
Daris mengerjapkan mata. "Tunggu sebentar."Mata Daris menatap Yuksel serius. "Jadi, kalian berdua melakukannya karena ingin dan tidak terpaksa."Kepala Yuksel mengangguk. Daris mulai bertepuk tangan. "Wah! Sepertinya kalian berdua sudah di tahap saling nyaman, kemudian akan--"Yuksel melempar berkas acak ke arah Daris. "Bereskan berkasnya!""Loh, bukannya Tuan yang mengacaknya sendiri?"Mata Yuksel menatap tajam, membuat Daris menarik napas. Bukan Yuksel namanya jika tidak menyiksa orang.Daris membereskan tumpukan berkas yang jadi berserakan. Tatapan Yuksel tertuju pada sekretaris cukup serius."Aku tidak menaruh rasa pada Aruna. Aku hanya merasa kasihan saja padanya," ujar Yuksel memberi tahu.Namun, Daris diam-diam melirik. Padahal pria tersebut tidak menyinggung perihal perasaan Yuksel sama sekali. Hanya soal mereka yang mulai nyaman.Ekspresi Yuksel mulai terlihat serius kembali. Dia telah mengetahui keberadaan ayah Aruna. Hanya perlu memikirkan cara yang sempurna untuk menangk
Ayah Aruna nampak mengemudi dengan ugal-ugalan. Tidak peduli diklakson banyak pengendara. Ayah Aruna memaksakan diri mendatangi rumah sakit tempat Aruna dirawat.Pria tersebut, tidak peduli jika bertemu Yuksel dengan identitas yang telah terbongkar. Fokus pria tersebut hanyalah pada Aruna. "Yuksel!"Yuksel yang semula menundukkan wajah dengan posisi duduk pada kursi tunggu. Perlahan, Yuksel mengangkat kepala. Mata menatap sosok ayah tiri Adrian yang nampak kehabisan napas."Bagaimana keadaan Aruna?"Bibir Yuksel menyeringai. Mangsa justru masuk ke kandang predator dengan kaki sendiri."Jangan diam saja! Bagaimana keadaan Aruna?"Pria ini nampak tidak sabar sama sekali. Yuksel melirik ke arah pintu kamar rawat Aruna yang ditutup rapat. "Kita bicara di tempat lain."Yuksel sudah berdiri dari duduk. Dia tidak ingin mengganggu Aruna yang tidur terbangun, kemudian dalam kondisi yang lemah malah memilih mengejar sang ayah.Mata Yuksel melirik ayah Aruna yang menurut mengikuti. Tanpa peras
Mendengar ucapan dari Yuksel. Pandangan Aruna pun mulai terangkat. Benar, kenapa tidak terbesit secuil pun dalam pikirannya mengenai itu."Kamu selalu cemas ayahmu aku sakiti. Sekarang aku tahu siapa dan keberadaannya. Nampaknya kamu tidak cemas sama sekali," sindir Yuksel.Aruna tersenyum sinis. Matanya memandang langit-langit kamar. Perutnya saat ini semakin rata saja, karena telah kehilangan isinya."Aku tidak ingin memikirkan apa pun hari ini," ujarnya dengan mata mulai terpejam.Yuksel diam cukup lama. Memandang ke arah jendela yang sedang memunculkan adegan hujan. Kilatan petir samar terdengar, namun cahayanya membelah langit."Adrian sudah tahu."Mata Aruna kembali terbuka saat mendengar ucapan dari Yuksel. Bahkan kepalanya menoleh dengan cepat."Mas bercanda, kan?"Yuksel menatapnya lama. "Menurutmu, aku sedang bercanda begitu?"Mata saling bertatapan dengan suami. Tidak ada kebohongan sama sekali di pandangan suaminya. Aruna tak sanggup lagi menatap, ia turunkan pandangan.Ar