"Tapi ... jika aku sampai hamil bagaimana?"
Pertanyaan yang dilontarkan cukup serius. Namun sang pendengar yang baru saja meletakkan secangkir teh hangat, nampak tertawa kecil. Tawa yang masih terdengar jelas, meski suara televisi mengisi ruangan."Aruna," mulut itu mulai menyebut namanya."Sayang, kita baru sekali melakukannya. Hamil? Itu hal yang mustahil."Jari jemari Aruna meremas dress. Mata yang semula penuh dengan keraguan, mulai menatap sosok pria tercinta bernama Adrian. Pria yang dua hari lalu merilis album baru juga mendapat penghargaan sebagai aktor pendatang baru terbaik."Aku tanya jika, lantas kita harus bagaimana?" Di antara sofa yang lebar dan tersebar itu, pria terkenal ini lebih memilih duduk di sebelahnya. Tangan yang biasa menulis lagu, mulai menggenggam jemari Aruna."Menikah?" tanya Adrian membuat matanya menatap lebih lekat, "karirku sedang melambung tinggi, tak mungkin aku melanggar kontrak yang sudah ditanda tangani dengan agensi.""Bukankah ada dokter ilegal di negara ini, apa gunanya mereka kalau anak di luar nikah tetap lahir kan?" lanjut Adrian memberi tahu dengan serius.Mata yang saling menatap tapi sibuk dengan pemikiran masing-masing. Perlahan mengundang Adrian untuk mendekatkan wajah pada Aruna. Bibir yang punya tujuan untuk mencium itu, membuat kepala Aruna terburu melengos."Kenapa Sayang?" tanya Adrian terlihat heran."Aku ingin pulang." Matanya mulai memanas.Adrian menatap lekat. "Di luar ada reporter yang berkeliaran, kau mau pulang malam begini?""Ibuku akan mencariku kalau sampai jam 10 belum pulang," tegasnya.Adrian menarik napas. "Meski begitu, tapi aku tidak bisa mengantarmu kalau jam segini. Aku baru bisa melakukannya saat tengah malam.""Dan saat tengah malam, kau akan beralasan sudah malam. Aku harus menginap, begitu kan?" tebak Aruna dengan mata menyorot dingin.Sama seperti malam itu. Ketika rayuan yang manis serta sentuhan yang membuat bergetar, Aruna terperangkap oleh kenikmatan sesaat yang merusak segalanya. Rencana masa depan tepatnya.Bibir Adrian tersenyum. "Jadi, tidak ingin menginap?"Aruna langsung berdiri. "Malam seperti itu, aku tidak ingin mengulanginya lagi."Ucapan yang Aruna lontarkan berhasil membuat senyum di bibir Adrian langsung hilang. Kemudian tubuh ikut berdiri dan mulai membukakan pintu untuknya. Apartemen yang setengah tahun lalu baru dibeli dan ditempati sekiranya dua bulan, tepat saat malam itu terjadi kesalahan terbesar dalam hidup Aruna."Tapi Sayang, sepertinya aku tidak bisa mengantarmu," ujar Adrian begitu tubuhnya diambang pintu dan kekasihnya ini sibuk menutupi wajah.Aruna memunggungi Adrian. "Tidak usah mengantar."Sepanjang kaki Aruna melangkah. Air mata terus saja mengalir dan Aruna sama sekali tidak merasa malu jika bertemu orang. Karena sudah ada hal yang sangat memalukan dalam hidupnya.Jari-jemari Aruna bergetar. Ini bukan persoalan menyembunyikan uang yang sekali remas akan menghilang dari pandangan. Bukan sama sekali. Tapi, sebuah aib yang akan tumbuh semakin besar dan mengundang perhatian.Aruna mengandung anak dari Adrian, seorang aktor sekaligus penyanyi terkenal.Di sudut halte bus yang cukup sepi itu. Aruna berjongkok dan sibuk muntah, meski hasilnya tak ada satu pun sisa makanan yang keluar dari mulutnya."Perutku sangat mual," keluh Aruna sembari mengusap perutnya.Rasa ingin mual kembali singgah dan Aruna kali ini benar-benar muntah di sana. Di antara banyaknya pengendara yang sedang ditahan oleh lampu merah, penghuni mobil berwarna silver langsung berdecak kesal saat menurunkan kaca."Sial sekali, ingin mencari udara segar malah menemukan orang muntah," gumam pria itu, pria yang mengenakan stelan jas dan nampak sangat rapi.Sang sopir pun ikut melirik. "Apakah dia mabuk? Di kota ini masih saja ada yang mabuk secara terang-terangan, tidak takut ditangkap polisi?"Mata pria itu masih menatap. Wajah yang tetap cantik meski sehabis muntah, hingga tangan yang mengelus perut itu membuat pria tersebut menyeringai."Sepertinya sedang ngidam," gumam pria itu lebih pelan dari sebelumnya."Sungguh kita akan ke rumah itu, Tuan Yuksel?"Mata pria itu mulai menatap lurus, ke arah jalanan. "Ditolak sekali, aku akan menggunakan seribu alasan untuk datang."Mobil silver itu mulai melaju, membawa pria tampan yang terlihat arogan itu semakin menjauh.***Lama menghabiskan isi perut di luar. Aruna memutuskan untuk pulang dengan menaiki taksi. Tapi, begitu sampai di depan rumah. Mata menemukan sebuah mobil silver terparkir di depan pekarangan."Sepertinya pak tua itu datang lagi dan berusaha membujuk ibu," ujarnya pelan.Semakin memasuki pekarangan rumah. Aruna bisa mendengar suara ibunya yang berteriak memaki seseorang di dalam. Aruna memutuskan untuk membuka pintu.Biasanya, ibu Aruna begitu melihatnya akan langsung berlari dan menghambur ke dalam pelukannya sembari menangis. Namun, hari ini ada yang berbeda. Ibunya, menatap sengit begitu melihatnya."Ibu, siapa ini?" tanya Aruna sembari melirik seorang pria tampan dengan stelan jas warna hitam, dia adalah Yuksel.Aruna mengira kalau yang datang adalah pria tua, setiap hari akan datang meski selalu diusir. Tapi, hari ini yang berkunjung rupanya orang lain. Mata Yuksel melirik ke arahnya dengan raut sedikit terkejut, karena mengenali Aruna yang muntah di pinggir halte."Lebih baik kau pergi! Aku tidak ingin membicarakan masalah pria bejat itu yang sudah tiada!" seru ibunya marah.Di mata Aruna, ayahnya adalah pria yang baik dan sederhana. Namun, nyatanya Aruna terlalu naif. Ayahnya cukup kaya hingga memiliki warisan 500 juta.Jika saja itu uang halal, maka ibunya akan menerima dan hidup dengan mewah. Sayangnya ... uang itu berasal dari penjualan organ secara ilegal."Aku tidak akan menerimanya, jadi pergilah!" Dan ibunya selalu menolak mentah-mentah warisan itu.Aruna melihat amarah ibunya semakin parah hari ini, tidak seperti biasanya. Namun, mata Aruna melotot saat menemukan alasan kemarahan ibunya yang berapi-api. Tes kehamilan yang tergenggam pada tangan ibunya, itu adalah pemicunya."Kenapa terkejut begitu? Padahal kau sendiri yang mengetesnya," sindir ibunya dengan tatapan marah besar."Ibu, aku bisa jelaskan," ujar Aruna sembari ingin menangis.Namun, ibunya malah mendorong Yuksel untuk segera pergi. "Jangan datang lagi!"Pintu rumah tertutup rapat dan kini giliran Aruna yang menerima kemarahan dari ibunya. Mata ibunya sudah dipenuhi oleh amarah, apalagi ketika tangan mengangkat tes kehamilan."Katakan, pria mana yang sudah menghamilimu? Kau tak punya kekasih, apa kau diperkosa?" pertanyaan ini terdengar lebih pelan, mungkin takut tetangga mendengar.Aruna menelan ludah dengan air mata sudah terjatuh. "Bu ... aku ...."Tubuh Aruna bergetar. Harusnya ia katakan anak ini adalah hasil buah cintanya dengan aktor ternama yang tidak ingin menikah karena karir."Katakan!" seru ibunya mulai tak sabar.Aruna benar-benar tak sanggup mengungkap siapa ayah dari bayi di kandungannya. Apakah pria itu akan tanggung jawab? Itulah yang Aruna takutkan. Meski bicara pun, pada akhirnya semuanya akan menjadi sia-sia.Sebuah tamparan melayang di pipi Aruna, hingga tubuhnya tersungkur. Aruna hanya bisa menangis, kesalahan ini telah melukai lubuk hati ibunya."Gugurkan," ujar ibunya ditengah amarah serta tangisan.Aruna tertegun dan langsung mendongak. "Bu, bagaimana bisa seorang Ibu mengatakan hal buruk seperti ini?"Jari ibunya menunjuk sengit. "Lantas kau mau melahirkannya? Di usiamu yang muda dan masih mahasiswi ini?"Jemari Aruna mengepal. Jika sampai universitasnya tahu kehamilan ini, maka Aruna langsung didepak dan akan kesulitan mengejar cita-cita.Tiba-tiba saja pintu rumah terbuka, pria yang tadi diusir oleh ibunya rupanya menguping dan langsung bersimpuh di sebelahnya tanpa ragu."Bu Diana, Aku yang menghamilinya, dan aku berjanji akan bertanggung jawab."Sorot mata Aruna mendelik dengan ekspresi kaget. Jangankan dihamili, pernah bertemu saja tidak. Lantas, kenapa pria asing ini mengakui anak yang bukan milik dia?"Kau bilang apa? Kau menghamili Aruna?" suara ibunya masih bisa pelan, meski diliputi amarah.Kepala Yuksel terangkat dan mata menatap ke arahnya. "Kami saling mencintai."Aruna tertegun saat pria ini dengan berani meraih tangannya. Begitu Aruna hendak menarik diri, justru genggaman semakin erat. Lantas Yuksel menatap pada ibunya."Bu Diana tidak akan membiarkan cucu Anda lahir tanpa ayah kan? Membuat Aruna menjadi bahan perbincangan."Ibunya memejamkan mata, Aruna tahu jelas ada kekecewaan serta amarah yang bercampur padu. Namun, entah mengapa? Ibunya tak berani main tangan pada pria ini. "Kenapa kau mengincar anakku? Uang 500 juta itu, aku sama sekali tidak menginginkannya. Kenapa kau begitu kekeh?" Mata ibu Aruna terbuka dan langsung menyorot tajam.Yuksel perlahan bangkit hanya untuk membantunya berdiri. Bahkan dengan te
Padahal Yuksel nampak marah. Tapi, begitu berhadapan langsung dengan tetangganya, dia justru tersenyum. Aruna membingkai serius ekspresi pria itu dari dalam mobil. "Apa dia berkepribadian ganda?" gumam Aruna penuh rasa penasaran.Terlihat pria itu mengeluarkan dompet dan memberi sejumlah uang, yang berhasil membuat Aruna membulatkan mata. Entah berapa jumlahnya, namun Aruna yakin. Jumlahnya tidak sedikit.Yuksel berjalan ke arahnya dan mengetuk kaca mobil. "Turun."Aruna pun menurut dan matanya bertemu dengan tetangga begitu keluar mobil. Baik Aruna mau pun tetangganya, sama-sama melempar senyuman."Aku membayar lumayan mahal karena kelakuanmu, kau berhutang padaku, jadi jangan menolak menikah denganku," bisik Yuksel.Dia ternyata pria yang picik. Menggunakan alasan menabrak dan membayar ganti rugi atas keniatannya yang ingin kabur, untuk menjeratnya dalam status pernikahan. "Nak Aruna, kalau bukan calon suami, sudah bapak laporkan ke RT," ujar tetangganya membuat Aruna menoleh pada
Adrian nampak menghubungi Aruna sepanjang perjalanan. Namun, berakhir dengan mengerutkan dahi. Karena Aruna tak kunjung mengangkat telepon.Adrian menarik napas. "Sebenarnya sedang apa kamu Aruna? Dua hari ini tidak ada kabar darimu."Pria itu memilih menepi di sudut jalan dengan raut bingung. Tidak tahu alamat rumah Aruna sama sekali, selama berpacaran karena terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai lupa menanyakan."Atau dia ada di asrama ya?"Adrian memutuskan untuk menemui Aruna di kampus. Namun, ragu karena di sana banyak sekali orang yang kemungkinan akan menimbulkan gosip. Adrian pada akhirnya memilih pulang dan menunggu kabar dari Aruna.Sementara Aruna sendiri sedang sibuk mencoba gaun pengantin di balik gorden. Bibir Yuksel menyeringai, setelah mengambil ponsel milik Aruna di atas meja."Adrian ini artis yang itu kan?" tanya Yuksel dengan mata melirik sekretaris."Benar sekali Pak."Yuksel kembali menyeringai. "Bukankah dia keponakanku? Golongan kerabat dari generasi kedua."Ke
Hari pernikahan telah tiba. Aruna berada di sebuah ruangan khusus setelah dirias. Aruna menarik napas dengan gugup, sembari menatap wajahnya yang kini telah dipoles dengan indah. Padahal, ia tahu jika pernikahan ini bukanlah pernikahan yang didasari cinta. Tapi, mengapa dia segugup ini?"Sudah saatnya untuk pengantin wanita keluar."Sebuah suara mengejutkan lamunannya, seseorang menghampiri Aruna, bahkan membantunya berdiri dengan gaun pernikahan yang sangat lebar dan berat ini. Aruna berjalan memasuki altar pernikahan, telah duduk Yuksel di kursi bersama penghulu.Mata Aruna mencari seseorang di antara keramaian. Ia ingin menikah dengan ayahnya sebagai wali, namun menghadiri pernikahannya saja dirasa mustahil. Namun, bibir Aruna mengulas senyum saat menemukan ibunya duduk di sekitar altar. Meski sempat melengos dengan raut kesal saat mata berpandangan."Baiklah, kita mulai ijab kabulnya."Pandangan Yuksel yang semula tertuju pada Aruna, mulai melirik penghulu yang mengulurkan tangan,
Jemari Yuksel menyentuh dagu Aruna, dia tahu tubuh istri bergetar, antara menahan rasa takut juga amarah. Namun, Yuksel tidak ingin berhenti.Wajah mendekat dan ingin mengobrak-abrik mulut Aruna dengan lidahnya. Namun, tangan Aruna mendorong pundak Yuksel."Anda jangan lupa, saya bukan hanya seorang istri. Saya juga seorang ibu yang sedang hamil muda."Mendengar perkataan itu. Yuksel mendapati mata Aruna yang nampak penuh tekad. Cara terbaik untuk menghindari malam pertama dengan suami, hanyalah anak di kandungannya. Yuksel tersenyum sinis, kemudian mulai bangkit dari tubuh Aruna. Jantungnya berdetak sangat kencang, tak pernah terpikir olehnya untuk berbagi kehangatan tubuh dengan Yuksel."Jadi, kamu sedang menegaskan bahwa kamu tidak boleh disentuh?"Aruna mulai terduduk di ranjang, mata menyorot sengit ke arah Yuksel. Meski secara hukum status pria ini adalah suami baginya. Namun, menurut Aruna mereka hanyalah dua orang yang saling memanfaatkan."Pada trimester pertama, lebih baik
Mata Aruna memandang pembantu dengan tidak mengerti. "Senin dan kamis?"Pembantu tersenyum. "Benar sekali, Nyonya.""Selain hari itu, kalian tidak akan makan bersama. Meja makan ini adalah tempat pertemuan nanti."Aruna memandang meja yang ada di hadapannya, kemudian sempat menyeringai. Yuksel sedang bermain dengannya. Bukan hanya tidak ingin menampakan batang hidung pada Aruna. Bahkan jadwal makan saja diatur dan tidak disampaikan sendiri."Lantas di mana tuan Yuksel?""Tuan sedang bekerja, Nyonya."Aruna mengangguk mengerti. Jadi, untuk hari ini sampai lusa, Aruna tidak akan menatap atau bertemu dengan Yuksel. Karena pria itu tidak akan pulang ke rumah ini.Aruna mulai memahami, semenjak tinggal di sini. Yuksel hanya datang pada hari tertentu dan memperlakukan Aruna selayaknya wanita selingkuhan.***"Nyonya sepertinya merasa bosan."Yuksel menyibak halaman dokumen dengan mata menatap lekat. Namun, mendadak perhatian teralihkan setelah mendengarnya. Yuksel mengangkat pandangan dan
"Siapa juga yang mau cium?" keluh Aruna pelan.Aruna merasa malu karena ketahuan menatap suami sendiri. Yuksel pasti sedang berpikir buruk tentangnya. Begitu selesai berbelanja. Aruna pikir, Yuksel akan masuk ke mobil setelah memasukkan belanjaan di kursi belakang. Tapi, Yuksel menatap Aruna yang berjalan mendekat."Kita jalan sebentar, cari angin," ujar Yuksel sembari menunjuk jalanan.Mata Aruna saling berpandangan dengan Yuksel. "Baiklah."Setelah mendapat persetujuan dari Aruna. Yuksel terlihat berjalan mendahului, membuat Aruna mengikuti. Mereka berdua saling diam satu sama lain, Aruna mengatur napasnya yang gugup."Aku dengar kamu bosan di rumah," singgung Yuksel.Ketika Aruna melirik, Yuksel langsung menoleh. Hingga mata kembali berpandangan, terburu Aruna menurunkan wajahnya. "Sedikit."Yuksel mengangguk mengerti. Namun, tak menyahut sama sekali. Membuat suasana di antara mereka canggung, padahal jalanan nampak ramai.Rasa mual yang semula muncul karena pemicunya aroma dagin
Matahari merengkuh bumi dengan santai. Berbeda dengan Aruna yang sedang memandang pembantu bernama Tuti amat serius. Wanita itu kerap datang dan pergi dari pintu gerbang belakang. Lantas pandangan Aruna tertuju pada rumah di sebelah. Semua gorden tertutup, seolah tidak mau mengekspos diri. Lagi, sebuah mobil Pajero mulai pergi dari rumah itu pada jam yang sama setiap harinya. Aruna menutup gorden dan melirik ke arah pintu kamarnya."Tiga, dua, satu."Aruna memandang pintu yang diketuk dan perlahan dibuka oleh Tuti. Raut yang sama, napas sedikit sulit dikendalikan dan keringat tipis di wajah."Tuan Yuksel ke mana?""Tuan sudah pergi ke kantor, Nyonya."Aruna mengangguk mengerti. Sekarang dirinya sudah menyimpulkan, bahwa penghuni di rumah sebelah tak lain adalah suaminya sendiri. Tuti nampak heran dengan Aruna yang hampir tiap hari menanyakan Yuksel. Namun, pembantu tersebut langsung tersenyum lebar."Apa Nyonya merindukan, tuan? Mau saya sampaikan padanya?" tawar Tuti begitu ceria.