Sorot mata Aruna mendelik dengan ekspresi kaget. Jangankan dihamili, pernah bertemu saja tidak. Lantas, kenapa pria asing ini mengakui anak yang bukan milik dia?
"Kau bilang apa? Kau menghamili Aruna?" suara ibunya masih bisa pelan, meski diliputi amarah.Kepala Yuksel terangkat dan mata menatap ke arahnya. "Kami saling mencintai."Aruna tertegun saat pria ini dengan berani meraih tangannya. Begitu Aruna hendak menarik diri, justru genggaman semakin erat. Lantas Yuksel menatap pada ibunya."Bu Diana tidak akan membiarkan cucu Anda lahir tanpa ayah kan? Membuat Aruna menjadi bahan perbincangan."Ibunya memejamkan mata, Aruna tahu jelas ada kekecewaan serta amarah yang bercampur padu. Namun, entah mengapa? Ibunya tak berani main tangan pada pria ini."Kenapa kau mengincar anakku? Uang 500 juta itu, aku sama sekali tidak menginginkannya. Kenapa kau begitu kekeh?" Mata ibu Aruna terbuka dan langsung menyorot tajam.Yuksel perlahan bangkit hanya untuk membantunya berdiri. Bahkan dengan telaten, menuntun Aruna duduk di salah satu sofa."Aku tertarik pada Aruna bukan karena masalah ini. Lagi pula, warisan itu sudah seharusnya dibagikan," ujar Yuksel terdengar serius.Diana mendengkus. "Aruna, apa kau sungguh mencintainya? Dia adalah cucu dari kelompok pembunuh!"Aruna segera menatap pada Yuksel. Sosok pria yang terlihat angkuh hanya dengan melihat wajah. Menyandang gelar cucu kelompok pembunuh, sepertinya sangat pantas."Biarkan kami menikah, hanya dengan begini nama baik Aruna akan terselamatkan."Mata Diana melirik sangat tajam ke arahnya. "Pergi dari rumah ini."Aruna terkejut setengah mati. "Bu!""Cukup ayahmu saja yang terlibat hal kotor, kenapa kau justru mengandung anak dari keluarga yang mencuci otak ayahmu!"Keputusan Diana sudah final. Wanita setengah baya ini berjalan cepat ke arah kamar dan segera mengunci pintu. Membuat Aruna yang terlambat mendekat pun, hanya bisa mengetuk pintu dengan banyak memohon.Tapi, pada akhirnya ...."Aku tidak akan pergi dengan orang yang tak kukenal," ujar Aruna dengan tangan membawa tas kecil dan berjalan keluar pekarangan rumah."Lantas kau mau ke mana? Malam begini, menginap di rumah kekasih yang bahkan tidak menginginkamu ini?"Ucapan itu memang menohok, tapi begitulah kenyataannya. Aruna terdiam dengan sibuk pada pikirannya sendiri. Adrian yang baru disinggung masalah hamil saja sudah menyuruh digugurkan, apalagi nanti. Jika Aruna membuka mulut, mungkin nyawa Aruna juga akan dihilangkan demi karir yang sedang cemerlang itu.Aruna kaget saat Yuksel merampas tas di tangannya, secara paksa memasukkan tas itu ke dalam mobil. Lantas membuka pintu untuknya."Masuk, udara malam cukup dingin.""Hanya tas berisi pakaian, kau bisa memilikinya," sahut Aruna dan bersiap untuk pergi.Namun, sekali lagi. Yuksel memaksa Aruna untuk masuk ke dalam mobil. Bahkan terdengar suara pintu yang dikunci, membuat Aruna membulatkan matanya."Apa kau berniat menculikku?"Yuksel menyeringai. Pria itu menyenderkan tubuh pada bodi mobil, mengambil sebatang rokok dari saku dan mulai membakarnya. Menyesap sebentar, hingga kepulan asap mulai berkeliaran bebas."Ibumu tahu siapa aku, menculikmu? Itu bukan hal yang menguntungkan."Aruna menatap lekat pria yang menunjukkan punggung ini. Pria yang nampak ramah ketika bicara pada ibunya, tapi terlihat dingin dan kasar di hadapannya."Siapa namamu?" tanya Aruna mulai sedikit tenang dan duduk dengan benar.Yuksel kembali menyeringai. "Benar, setidaknya kau harus tahu nama calon suamimu. Yuksel Pradipta, namaku."Itu bukan marga kan? Aruna melirik dengan sedikit berkaca-kaca. Pasti Pradipta banyak digunakan sebagai nama tambahan. Tidak mungkin Adrian dan pria ini berasal dari keluarga yang sama."Kenapa kau mau menikahiku? Padahal ini bukan anakmu, bahkan kita tidak saling mengenal." Aruna tentunya penasaran akan hal ini.Yuksel kembali menyesap puntung rokok. "Menurutmu?"Cinta? Itu sangat tidak masuk akal."Apa karena warisan ayahku? Kau menginginkannya?"Mendengar pertanyaannya, Yuksel tertawa mengejek. "Warisan? 500 juta itu maksudmu? Lucu sekali. Dalam hitungan menit aku bisa mendapatkannya, untuk apa repot-repot menikahi anak orang demi secuil uang itu.""Lantas kenapa?"Kali ini, Yuksel tak menyahut. Justru membuat Aruna menjadi semakin penasaran. Apalagi Yuksel tidak menunjukkan wajah padanya, jadi Aruna tidak bisa membaca ekspresi pria ini."Kematian ayahmu lima tahun lalu," singgung Yuksel, "ayahku ikut terlibat dalam kejadian itu."Aruna tertegun dan menatap. Mobil yang dikemudikan ayahnya bersama beberapa penumpang lainnya, terjatuh ke dalam jurang setelah dihantam truk dan berguling melewati pembatas jalan. Jurang itu terhubung dengan sungai besar."Apa ayahmu ... orang yang hilang itu?" tanya Aruna menebak."Benar.""Lalu apa hubungannya dengan pernikahan ini?" Inilah pertanyaan yang paling penting.Yuksel mulai berbalik dan menatap matanya serius. "Sebagai anaknya, apa kau tidak pernah mendapat kabar apa pun dari ayahmu? Selama lima tahun ini?"Tangan Aruna langsung mengepal. Matanya sedikit tak fokus. Membuat Yuksel tersenyum sinis."Begitu ya, ternyata ayahmu yang selamat itu sesekali menghubungimu."Yuksel menjatuhkan puntung rokok ke tanah. Cukup kasar menginjak dengan sepatu sampai hancur. Tangan pria ini menarik pintu setelah membuka kuncinya, duduk tepat di sebelahnya dengan wajah serius."Aku menyelamatkan nama baikmu, sebagai gantinya ...," jeda Yuksel mulai meliriknya, "galih informasi dari ayahmu mengenai kecelakaan hari itu."Nama baik itu ... apakah sebanding dengan mengungkap kematian palsu ayahnya? Membuat keluarga terdekatnya hancur, hanya demi nama baik."Ayahku sudah lama meninggal. Anda bisa melihat pemakamannya.""Pemakaman kosong kau jadikan bukti kematian ayahmu? Lucu sekali."Aruna menghela napas. "Kalau begitu, silakan gali makam ayahku. Di sana--""Bisa saja itu jasad orang lain. Mengingat ada beberapa orang di dalam mobil itu," potong Yuksel dengan nada santai.Sementara Aruna mengepalkan tangannya. Kuburan yang bertahun-tahun didoakan oleh keluarga, memang bukan jasad ayahnya. Tapi, Aruna tak mungkin mengungkapnya semudah itu."Silakan lakukan tes DNA, selagi anaknya di sini masih hidup," tantangnya.Yuksel sempat terdiam sejenak, melihat keseriusan di wajahnya. Lantas tersenyum sinis, seolah telah menduga kepuraan darinya ini. Namun, mulut tak ingin mendebat lebih lanjut."Kita mau ke mana?" tanya Aruna begitu Yuksel mulai menghidupkan mobil."Ke rumahku."Aruna membulatkan matanya dan segera meraih pintu, selagi mobil masih berusaha parkir. Yuksel yang kaget langsung meraih tangan Aruna, namun pria itu telah lepas kendali. Bagian belakang menabrak pagar tetangga.Yuksel mendengkus. "Sial. Kenapa kau tidak bisa diam sama sekali?""Kita hanya tahu nama masing-masing saja! Sudah mau dibawa ke rumah? Itu mustahil!" sewotnya.Namun, pintu rumah tetangga yang terbuka membuat atensi Aruna dan Yuksel tersita. Menatap tetangganya yang memakai sarung dan kaos polos, sedang mendekat dengan raut bingung."Pagar sialan ini, kenapa diletakkan di sini," omel Yuksel sembari membuka pintu mobil dan mulai keluar dengan raut garang.Padahal Yuksel nampak marah. Tapi, begitu berhadapan langsung dengan tetangganya, dia justru tersenyum. Aruna membingkai serius ekspresi pria itu dari dalam mobil. "Apa dia berkepribadian ganda?" gumam Aruna penuh rasa penasaran.Terlihat pria itu mengeluarkan dompet dan memberi sejumlah uang, yang berhasil membuat Aruna membulatkan mata. Entah berapa jumlahnya, namun Aruna yakin. Jumlahnya tidak sedikit.Yuksel berjalan ke arahnya dan mengetuk kaca mobil. "Turun."Aruna pun menurut dan matanya bertemu dengan tetangga begitu keluar mobil. Baik Aruna mau pun tetangganya, sama-sama melempar senyuman."Aku membayar lumayan mahal karena kelakuanmu, kau berhutang padaku, jadi jangan menolak menikah denganku," bisik Yuksel.Dia ternyata pria yang picik. Menggunakan alasan menabrak dan membayar ganti rugi atas keniatannya yang ingin kabur, untuk menjeratnya dalam status pernikahan. "Nak Aruna, kalau bukan calon suami, sudah bapak laporkan ke RT," ujar tetangganya membuat Aruna menoleh pada
Adrian nampak menghubungi Aruna sepanjang perjalanan. Namun, berakhir dengan mengerutkan dahi. Karena Aruna tak kunjung mengangkat telepon.Adrian menarik napas. "Sebenarnya sedang apa kamu Aruna? Dua hari ini tidak ada kabar darimu."Pria itu memilih menepi di sudut jalan dengan raut bingung. Tidak tahu alamat rumah Aruna sama sekali, selama berpacaran karena terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai lupa menanyakan."Atau dia ada di asrama ya?"Adrian memutuskan untuk menemui Aruna di kampus. Namun, ragu karena di sana banyak sekali orang yang kemungkinan akan menimbulkan gosip. Adrian pada akhirnya memilih pulang dan menunggu kabar dari Aruna.Sementara Aruna sendiri sedang sibuk mencoba gaun pengantin di balik gorden. Bibir Yuksel menyeringai, setelah mengambil ponsel milik Aruna di atas meja."Adrian ini artis yang itu kan?" tanya Yuksel dengan mata melirik sekretaris."Benar sekali Pak."Yuksel kembali menyeringai. "Bukankah dia keponakanku? Golongan kerabat dari generasi kedua."Ke
Hari pernikahan telah tiba. Aruna berada di sebuah ruangan khusus setelah dirias. Aruna menarik napas dengan gugup, sembari menatap wajahnya yang kini telah dipoles dengan indah. Padahal, ia tahu jika pernikahan ini bukanlah pernikahan yang didasari cinta. Tapi, mengapa dia segugup ini?"Sudah saatnya untuk pengantin wanita keluar."Sebuah suara mengejutkan lamunannya, seseorang menghampiri Aruna, bahkan membantunya berdiri dengan gaun pernikahan yang sangat lebar dan berat ini. Aruna berjalan memasuki altar pernikahan, telah duduk Yuksel di kursi bersama penghulu.Mata Aruna mencari seseorang di antara keramaian. Ia ingin menikah dengan ayahnya sebagai wali, namun menghadiri pernikahannya saja dirasa mustahil. Namun, bibir Aruna mengulas senyum saat menemukan ibunya duduk di sekitar altar. Meski sempat melengos dengan raut kesal saat mata berpandangan."Baiklah, kita mulai ijab kabulnya."Pandangan Yuksel yang semula tertuju pada Aruna, mulai melirik penghulu yang mengulurkan tangan,
Jemari Yuksel menyentuh dagu Aruna, dia tahu tubuh istri bergetar, antara menahan rasa takut juga amarah. Namun, Yuksel tidak ingin berhenti.Wajah mendekat dan ingin mengobrak-abrik mulut Aruna dengan lidahnya. Namun, tangan Aruna mendorong pundak Yuksel."Anda jangan lupa, saya bukan hanya seorang istri. Saya juga seorang ibu yang sedang hamil muda."Mendengar perkataan itu. Yuksel mendapati mata Aruna yang nampak penuh tekad. Cara terbaik untuk menghindari malam pertama dengan suami, hanyalah anak di kandungannya. Yuksel tersenyum sinis, kemudian mulai bangkit dari tubuh Aruna. Jantungnya berdetak sangat kencang, tak pernah terpikir olehnya untuk berbagi kehangatan tubuh dengan Yuksel."Jadi, kamu sedang menegaskan bahwa kamu tidak boleh disentuh?"Aruna mulai terduduk di ranjang, mata menyorot sengit ke arah Yuksel. Meski secara hukum status pria ini adalah suami baginya. Namun, menurut Aruna mereka hanyalah dua orang yang saling memanfaatkan."Pada trimester pertama, lebih baik
Mata Aruna memandang pembantu dengan tidak mengerti. "Senin dan kamis?"Pembantu tersenyum. "Benar sekali, Nyonya.""Selain hari itu, kalian tidak akan makan bersama. Meja makan ini adalah tempat pertemuan nanti."Aruna memandang meja yang ada di hadapannya, kemudian sempat menyeringai. Yuksel sedang bermain dengannya. Bukan hanya tidak ingin menampakan batang hidung pada Aruna. Bahkan jadwal makan saja diatur dan tidak disampaikan sendiri."Lantas di mana tuan Yuksel?""Tuan sedang bekerja, Nyonya."Aruna mengangguk mengerti. Jadi, untuk hari ini sampai lusa, Aruna tidak akan menatap atau bertemu dengan Yuksel. Karena pria itu tidak akan pulang ke rumah ini.Aruna mulai memahami, semenjak tinggal di sini. Yuksel hanya datang pada hari tertentu dan memperlakukan Aruna selayaknya wanita selingkuhan.***"Nyonya sepertinya merasa bosan."Yuksel menyibak halaman dokumen dengan mata menatap lekat. Namun, mendadak perhatian teralihkan setelah mendengarnya. Yuksel mengangkat pandangan dan
"Siapa juga yang mau cium?" keluh Aruna pelan.Aruna merasa malu karena ketahuan menatap suami sendiri. Yuksel pasti sedang berpikir buruk tentangnya. Begitu selesai berbelanja. Aruna pikir, Yuksel akan masuk ke mobil setelah memasukkan belanjaan di kursi belakang. Tapi, Yuksel menatap Aruna yang berjalan mendekat."Kita jalan sebentar, cari angin," ujar Yuksel sembari menunjuk jalanan.Mata Aruna saling berpandangan dengan Yuksel. "Baiklah."Setelah mendapat persetujuan dari Aruna. Yuksel terlihat berjalan mendahului, membuat Aruna mengikuti. Mereka berdua saling diam satu sama lain, Aruna mengatur napasnya yang gugup."Aku dengar kamu bosan di rumah," singgung Yuksel.Ketika Aruna melirik, Yuksel langsung menoleh. Hingga mata kembali berpandangan, terburu Aruna menurunkan wajahnya. "Sedikit."Yuksel mengangguk mengerti. Namun, tak menyahut sama sekali. Membuat suasana di antara mereka canggung, padahal jalanan nampak ramai.Rasa mual yang semula muncul karena pemicunya aroma dagin
Matahari merengkuh bumi dengan santai. Berbeda dengan Aruna yang sedang memandang pembantu bernama Tuti amat serius. Wanita itu kerap datang dan pergi dari pintu gerbang belakang. Lantas pandangan Aruna tertuju pada rumah di sebelah. Semua gorden tertutup, seolah tidak mau mengekspos diri. Lagi, sebuah mobil Pajero mulai pergi dari rumah itu pada jam yang sama setiap harinya. Aruna menutup gorden dan melirik ke arah pintu kamarnya."Tiga, dua, satu."Aruna memandang pintu yang diketuk dan perlahan dibuka oleh Tuti. Raut yang sama, napas sedikit sulit dikendalikan dan keringat tipis di wajah."Tuan Yuksel ke mana?""Tuan sudah pergi ke kantor, Nyonya."Aruna mengangguk mengerti. Sekarang dirinya sudah menyimpulkan, bahwa penghuni di rumah sebelah tak lain adalah suaminya sendiri. Tuti nampak heran dengan Aruna yang hampir tiap hari menanyakan Yuksel. Namun, pembantu tersebut langsung tersenyum lebar."Apa Nyonya merindukan, tuan? Mau saya sampaikan padanya?" tawar Tuti begitu ceria.
"Saya tidak mau," ujar Aruna sedikit menghindar.Aruna mulai takut, ketika lutut Yuksel berada di antara kedua kakinya. Sementara tubuh lebih dekat dari sebelumnya. Yuksel meraih dagu Aruna dan mata begitu fokus pada bibirnya."Layani suami, itu bukan hal tabu, Aruna."Jemari Aruna mendorong Yuksel untuk menjauh. Namun, bibirnya sudah lebih dulu dikecup. Yuksel yang tertarik, mulai merengkuh leher dan pinggangnya. Memperdalam ciuman dan lidah menjelajahi mulutnya.Aruna benar-benar merasa tidak ada harapan, karena Yuksel cukup antusias dan menunjukan hasrat pada Aruna. Mengangkat tubuh Aruna dan membawanya ke ranjang."Tuan, sebaiknya kita jangan seperti ini," tolaknya sembari berusaha memberontak."Diam, nanti kamu jatuh."Yuksel menjatuhkan tubuh Aruna perlahan di atas ranjang. Aruna tak diberi kesempatan untuk kabur, karena tangan dicekal sementara dia membuka kancing kemeja satu persatu. "Saya lagi hamil," ujarnya dengan mata menghindar.Otot perut Yuksel mulai terpampang jelas k