Share

Wanita Yang Sama

Padahal Yuksel nampak marah. Tapi, begitu berhadapan langsung dengan tetangganya, dia justru tersenyum. Aruna membingkai serius ekspresi pria itu dari dalam mobil.

"Apa dia berkepribadian ganda?" gumam Aruna penuh rasa penasaran.

Terlihat pria itu mengeluarkan dompet dan memberi sejumlah uang, yang berhasil membuat Aruna membulatkan mata. Entah berapa jumlahnya, namun Aruna yakin. Jumlahnya tidak sedikit.

Yuksel berjalan ke arahnya dan mengetuk kaca mobil. "Turun."

Aruna pun menurut dan matanya bertemu dengan tetangga begitu keluar mobil. Baik Aruna mau pun tetangganya, sama-sama melempar senyuman.

"Aku membayar lumayan mahal karena kelakuanmu, kau berhutang padaku, jadi jangan menolak menikah denganku," bisik Yuksel.

Dia ternyata pria yang picik. Menggunakan alasan menabrak dan membayar ganti rugi atas keniatannya yang ingin kabur, untuk menjeratnya dalam status pernikahan.

"Nak Aruna, kalau bukan calon suami, sudah bapak laporkan ke RT," ujar tetangganya membuat Aruna menoleh pada Yuksel.

"Terima kasih karena Bapak sudah berbelas kasih," sahut Yuksel sembari tersenyum.

"Aih, bapak ini sudah melihat Aruna tumbuh sejak kecil."

Kepala Aruna pun menoleh, saat pintu rumah terbuka. Ibunya berdiri di ambang pintu dan menyaksikan semuanya, apalagi perbincangan itu.

***

"Calon suami? Kapan ibu mengizinkanmu menikah dengannya?"

Malam ini, Aruna disidang oleh ibunya di dalam kamar. Sementara Yuksel telah lama pamit pulang. Aruna menatap ibunya serius. Jika Aruna menolak pernikahan itu, maka ... Yuksel tak akan berhenti mengganggu ibunya.

Mengingat tujuan pria itu bukan hanya untuk menyerahkan warisan milik ayahnya.

"Lantas kalau tidak menikah, aku harus bagaimana bu?" tanya Aruna berusaha tenang, "perutku bakal terus membesar."

Diana menarik napas cukup panjang. "Apa kau tergoda ketampanannya? Sehingga kau hamil anaknya?"

Aruna terdiam. Yuksel memang lebih tampan dari Adrian, tapi hatinya sudah berlabuh untuk artis yang tak bertanggung jawab itu. Dan alasannya bukan karena wajah, tapi rasa nyaman ketika bersama Adrian.

"Setidaknya aku tidak membuat Ibu malu, karena dia mau menikahiku," ujarnya pelan.

Namun membuat ibunya terlihat marah. "Kau pikir tindakanmu ini benar? Berani hamil karena janji bakal dinikahi? Di mana harga dirimu sebagai wanita hah?"

Aruna berkaca-kaca mendengarnya. Benar, entah di mana Aruna meletakkan harga dirinya itu? Diana menatap Aruna jauh lebih serius.

"Pasti semua tetangga cepat atau lambat tahu hubungan kalian karena kejadian tadi, segera menikahlah sebelum anakmu ketahuan," ujar ibunya terlihat tak ada rencana lain.

"Setidaknya, dia lahir bukan tanpa ayah," lanjut ibunya dan mulai meninggalkan kamar.

Aruna menggigit bibirnya dan menahan tangis. Menerima pernikahan pria lain, itu artinya Aruna harus siap melupakan setiap kenangan berharganya dengan Adrian.

"Bodoh, kenapa aku masih memikirkan pria yang tak mau bertanggung jawab seperti dia," gumam Aruna dan mulai mengusap matanya.

Esok harinya. Aruna sibuk kuliah dengan sangat berusaha menahan rasa ingin muntahnya. Bisa kacau jika ia sampai ketahuan, apalagi Aruna kuliah dengan jalur beasiswa.

Selepas kuliah, Aruna mampir ke asrama. Tempat tinggalnya dengan ketiga sahabat karibnya. Sekarang, Aruna harus meninggalkan asrama karena dalam hitungan hari, pernikahannya akan tiba.

"Na, serius mau nikah?"

Tangan Aruna terhenti sejenak dari kegiatannya memasukkan baju, kemudian menoleh pada Tiara. Aruna tersenyum manis.

"Serius, bahkan undangan pun besok mulai disebar."

Intan berdecak sembari mengayunkan kaki di atas ranjang. "Memangnya tidak repot, kuliah sambil nikah?"

"Ya, apalagi nanti kalau punya anak. Waktumu hanya akan tersita untuk anak dan suami, lalu kuliahmu?" tanya sahabatnya yang lain, dia bernama Susan.

Aruna kembali tersenyum. "Dia pria yang kaya, kalian bisa tenang."

Jari Aruna mulai menghitung. "Suami? Tidak perlu aku yang urus, dia terbiasa dengan pembantu. Anak? Dia bisa menyewa baby siter saat aku kuliah. Lalu kuliahku? Tentu saja akan berjalan lancar."

Tiara terdiam dan menatap ekspresinya yang memang tidak dibuat-buat, tapi hatinya ingin tertawa. Benci tapi ia memuji-muji Yuksel serta kekayaan pria itu.

Ponsel yang bergetar membuat Aruna meraih dan menatap serius. Nomor yang kemarin berbincang dengannya, Yuksel.

"Aku sudah di depan gedung asramamu, keluarlah," ujar Yuksel begitu Aruna mengangkat telepon.

"Kalau begitu tunggu aku."

Setelah Aruna mematikan telepon. Ketiga sahabatnya menatap padanya dengan ekspresi penasaran. Kemudian terburu membuka gorden, melalui jendela ini. Mereka bisa melihat Yuksel yang berdiri menyender pada bodi mobil dengan mata mengawasi. Kemudian melambai tersenyum pada ketiga sahabatnya.

"Wah! Pantas kau mau diajak menikah," ujar Susan sembari tersenyum lebar.

"Benar, dia sangat tampan!" puji Intan juga.

Sementara Tiara hanya diam dan menatapnya cukup serius. Hal itu membuat Aruna melirik dan langsung tersenyum.

"Dia sangat tampan, aku tidak akan menyesal menikah dengannya," ujarnya masih tersenyum.

Tapi, setelah membuat satu asrama heboh dengan Aruna yang dijemput oleh Yuksel. Bibir Aruna cemberut di dalam mobil, membuat Yuksel yang mengemudi melirik.

"Bukannya tadi masih bahagia, begitu naik mobil langsung kembali ke sifat aslimu," sindir Yuksel.

Aruna menoleh dengan wajah kesal. "Aku mengizinkanmu datang karena ketiga sahabatku penasaran, tapi tidak perlu semua orang tahu masalah pernikahan ini."

Yuksel menyeringai. "Pernikahan akan diadakan dengan megah, jadi untuk apa disembunyikan?"

"Megah?" ulang Aruna kaget.

"Menurutmu? Cucu satu-satunya dari Pradipta generasi pertama akan menikah, apakah pernikahannya hanya dilakukan di KUA?" sindir Yuksel.

Mendengarnya membuat Aruna terdiam. Ia telah lupa, siapa yang dirinya nikahi. Yuksel Pradipta, pria dari keluarga kaya. Jika saja dia memiliki orang tua atau kakek, kemungkinan pernikahan ini tak akan terwujud.

Sayangnya, tak ada satu pun yang melarang Yuksel menikah dengannya, wanita dari keluarga miskin.

"Beberapa hari lagi, kita akan menikah. Bukankah kau harus segera menyelesaikannya?" tanya Yuksel membuatnya menoleh.

Kepala Aruna pun tertunduk. Memberi tahu pria yang ia cintai mengenai pernikahannya dengan pria lain, itu adalah hal yang sulit.

"Jika masih belum kau atasi pria itu, maka aku yang akan turun tangan," ujar Yuksel sekaligus terdengar mengancam.

"Tidak usah! Aku saja."

Sementara itu, di studio musik. Adrian keluar dari ruang record dan mendekati sang manajer sembari tersenyum.

"Aku sudah bisa pulang kan?"

Manajer bernama Lusi ini menyipitkan mata dan berbisik, "kau mau menemui kekasihmu?"

"Tentu saja, setelah lelah dengan pekerjaan, aku butuh energi dari pelukannya," sahut Adrian terdengar ceria.

Lusi tersenyum dan mengikuti sang artis. "Meski begitu, kau harus berhati-hati. Sekarang kau seorang publik figur, kamera bisa menangkapmu kapan dan di mana pun."

"Ya aku tahu, kau tidak usah menasihatiku lagi."

Lusi menghela napas melihat Adrian yang berjalan lebih cepat.

"Aku dengar pamanmu akan menikah."

Adrian langsung menyamai langkah kaki dengan Lusi. "Paman yang mana?"

"Pamanmu, Yuksel Pradipta. Pemilik perusahaan Horation."

Adrian langsung tertawa. "Akhirnya dia memandang wanita, aku jadi penasaran. Siapa yang berhasil membuat pamanku tertarik hingga ingin menikah."

"Namanya Aruna," ujar Lusi mulai terlihat serius.

Adrian tersenyum lebar. "Kebetulan sekali, namanya sama dengan kekasihku. Aku pergi dulu, sudah tak sabar ingin bertemu Aruna."

Kaki Lusi terhenti dan mata menatap punggung Adrian yang berlari itu, kemudian menghela napas. "Bodoh, calon istri pamanmu dan kekasihmu adalah Aruna yang sama."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status